Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

STIMULASI SISTEM SARAF PUSAT DAN ANTIEPILEPIKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem saraf pusat merupakan pusat pengaturan informasi, dimana seluruh
aktivitas tubuh dikendalikan oleh system saraf pusat. Sistem saraf pusat terdiri
atas otak dan sumsum tulang belakang. Otak dilindungi oleh tengkorak dan
sumsum tulang belakang dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang. Otak dan
sumsum tulang belakang dibungkus oleh selaput meningia yang melindungi
system saraf halus, membawa pembuluh darah, dan dengan mensekresi sejenis
cairan yang disebut serebrospinal, selaput meningia dapat memperkecil
benturan dan guncangan. Meningia terdiri atas tiga lapisan, yaitu piamater,
arachnoid, dan duramater. Susunan saraf pusat berkaitan dengan system saraf
manusia yang merupakan suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus
dan saling berhubungan satu dengan yang lain.
Stimulan system saraf pusat (SSP) adalah obat yang dapat merangsang
serebrum medulla dan sumsum tulang belakang. Stimulasi daerah korteks
otak-depan oleh senyawa stimulan SSP akan meningkatkan kewaspadaan,
pengurangan kelelahan pikiran dan semangat bertambah. Contoh senyawa
stimulan SSP yaitu kafein dan amfetamin.
Sistem saraf dapat dibagi menjadi system saraf pusat atau sentral dan
system saraf tepi (SST). Pada system syaraf pusat, rangsang seperti sakit,
panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor, kemudian
dilanjutkan k eotak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh
perangsangan rasa sakit di otak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan
reaksi emosional yang ditimbulkan rasa sakittersebut. Sistem syaraf pusat
dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidaks pesifik,
misalnya sedative hipnotik.
Obat – obat yang bekerja terhadap susunan saraf pusat berdasarkan efek
farmakodinamiknya dibagi atas dua golongan besar yaitu :
a. Merangsang atau menstimulasi yang secara langsung maupun tidak
langsung merangsang aktivitas otak, sumsum tulang belakang beserta
syarafnya.
b. Menghambat atau mendepresi, yang secara langsung maupun tidak
lansung memblokir proses proses tertentu pada aktivitas otak, sumsum
tulang belakang dan saraf- sarafnya.

Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek yang
sangat luas (merangsang atau menghambat secara spesifik atau secara umum).
Kelompok obat memperlihatkan selektifitas yang jelas misalnya analgesic
antipiretik khusus mempengaruhi pusat pengatur suhu pusat nyeri tanpa
pengaruh jelas. Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap
merupakan masalah medic dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh
gangguan komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan kognitifdan
mental. Dilain pihak obat-obatan anti epilepsi juga bisa berefek terhadap
gangguan kognitif dan behavior. Oleh sebab itu pertimbangan untuk
pemberian obat yang tepat adalah penting mengingat efek obat yang bertujuan
untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga bisa berefek pada gangguan
kognitifdan behavior.
Kerja obat anti epilepsi (OAE) akan menurunkan irritability neuron
dimana mungkin menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan seperti
penurunan fungsi kognitif dan efek behavior dimana terhadap behavior
mungkin memberikan rentang efek mulai dari iritabel dan hiperaktifitas
hingga efek psikotropik positif pada mood. (Loring dkk, 2007)
Menurut Christian E. Elger, dkk, menulis bahwa obat anti epilepsy
menimbulkan adverse effect depressi rendah (carbamazepine, clobazam,
felbamate, gabapentine, levetiracetam, lamotrigine, pregabalin, topiramat,
valproat acid, zonisamide) dantinggi (ethosuximide, phenobarbital, phenitoin,
tiagabine, vigabatrin); pemburukan kognitif rendah (ethosuximide, felbamate,
gabapentine, levetiracetam, lamotrigine, oxcarbazepine, pregabalin, tiagabine,

2
vigabatrin, valproat acid) dantinggi (carbamazepine, clobazam, phenobarbital,
phenitoin, topiramat, zonisamide). (Elgerdkk, 2008)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana manifestasi stimulasi sistem saraf pusat secara berlebihan pada
mahluk hidup?
2. Bagaimana manifestasi stimulant yang berlebihan dapat diatasi?

1.3 Tujuan Praktikum


Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan:
1. Mengerti dan memahami manifestasi stimulasi sistem saraf pusat secara
berlebihan pada mahluk hidup.
2. Memperoleh gambaran bagaimana manifestasi stimulan berlebihan itu
dapat diatasi

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf

Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang

merupakan suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling

berhubungan satu dengan yang lain. Susunan ini terdiri atas otak, sum-sum

tulang belakang, dan urat-urat saraf atau saraf cabang yang tumbuh dari otak

dan sum-sum tulang belakang, yang disebut urat saraf periferi (urat saraf tepi).

Fungsi sistem saraf antara lain: mengkoordinasi, menafsirkan dan

mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya.

Stimulan sistem saraf pusat (SSP) adalah obat yang dapat merangsang

serebrum medula dan sumsum tulang belakang. Stimulasi daerah korteks otak-

depan oleh se-nyawa stimulan SSP akan meningkatkan kewaspadaan,

pengurangan kelelahan pikiran dan semangat bertambah. Contoh senyawa

stimulan SSP yaitu kafein dan amfetamin.

Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat atau sentral dan

sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat, rangsang seperti sakit,

panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor, kemudian

dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh

perangsangan rasa sakit diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan

reaksi emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem syaraf pusat

dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik,

misalnya sedatif hipnotik. Obat yang dapat merangsang SSP disebut

analeptika.

4
2.2 Obat-Obat yang Menstimulasi Sistem Saraf Dan Epileptikum

Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek yang

sangat luas. Obat tersebut mungkin merangsang atau menghambat aktifitas

susunan saraf pusat secara spesifik atau secara umum. Etanol merupakan salah

satu dari berbagai senyawa yang dapat mendepresi fungsi sistem saraf pusat

(SSP). Obat yang efek utamanaya terhadap susunan saraf pusat adalah

sttimulansi sistem saraf pusat dan antiepileptikum.

a. Obat-obatan stimulan sistem saraf pusat

Obat-obatan stimulan sistem saraf pusat adalah obat-obatan yang

dapat bereaksi secara langsung ataupun secara tidak langsung pada SSP.

Beberapa obat memperlihatkan efek perangsangan susunan saraf pusat

yang nyata dalam dosis toksik, sedangkan obat lain memperlihatkan efek

perangsangan SSP sebagai efek samping. CNS adalah organ yang

bertanggung jawab dalam sistem kontrol dan penjagaan fungsi- fungsi

kesadaran dan vegetatif yaitu selera makan, rasa kenyang, atensi, arousal,

aktifitas dan respirasi. Hipotalamus merupakan mediasi untuk rasa lapar

(selera makan) dan rasa kenyang. Mekanisme tidur dan bangun serta RAS

(Reticular activating system ) diatur di Pons. Sedangkan kontrol respirasi

terjadi di pons dan medulla. Obat stimulan mempengaruhi dopamin pada

VTA (Ventral Tegmental Area) yang terletak pada bagian ventral otak

tengah, NAc (Nucleus Accumbens) yang terletak pada bagian ventral otak

depan, dan korteks prefrontal. Stimulan SSP dapat memprofokasi kuat

terjadinya peningkatan neurotransmiter dopamin, melepaskan norepinefrin

walaupun tidak sekuat dopamin.

5
b. Antiepileptikum

Epilepsi merupakan gangguan fungsi otak yang ditandai dengan

terjadinya seizure secara berkala, dan tidak dapat diperkirakan.

Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak dari sekelompok besar

sel-sel saraf di otak. Seizure diduga berasal dari korteks serebral, dan

bukan dari struktur sistem saraf pusat yang lain seperti talamus, batang

otak, atau serebelum. Seizure epileptik digolongkan menjadi dua, yaitu:

1. Seizure parsial, yang mulainya terpusat di tempat korteks. Seizure

parsial terdiri dari dua jenis, yaitu :

a) Parsial sederhana

Bertahannya kesadaran, hanya menunjukkan aktivitas

abnormal dari bagian badan atau kelompok otot tertentu saja

b) Parsial kompleks

Gangguan kesadran selama 30 detik sampai dua menit,

sering disertai dengan gerakan tanpa arti seperti mengecupkan bibir

atau memijitkan tangan, diare, urinasi

2. Seizure menyeluruh(Generalisata), banyak melibatkan kedua hemisfer

sejak awal. Seizure menyeluruh terdiri dari dua jenis, yaitu :

a) Absence (Petit Mal)

Onset gangguan kesadaran muncul tiba-tiba disertai dengan

mata membelalak dan aktivitas yang sedang berlangsung terhenti,

biasanya berlangsung kurang dari 30 detik. Memperlihatkan mata

berkedip-kedip cepat yang berlangsung hingga 5 detik.

6
b) Tonik Klonik (Grand Mal)

Kehilangan kesadaran dan kontraksi (tonik) otot terus

menerus di seluruh tubuh diikuti dengan kontraksi otot bergantian

dengan periode relaksasi (klonik), bisasanya berlangsung 1-2menit.

Memperlihatkan mata yang kebingungan dan kelelahan.

c) Seizure Mioklonik

Kontraksi otot singkat (barangkali satu detik) yang mirip

syok yang dapat terbatas pada bagian dari satu anggota gerak atau

kemungkinan menyeluruh.

2.3 Aminofilin

Aminofilin digunakan sebagai bronkodilator dalam penanganan asma dan

penyakit paru obstruktif kronik. Aminofilin juga digunakan untuk

meringankan obstructive bayi. Sebelumnya digunakan sebagai tambahan

dalam pengobatan gagal jantung, dan kadang-kadang mungkin memiliki peran

pada pasien yang menderita penyakit saluran napas obstruktif.

Untuk mengurangi efek samping, aminofilin intravena tidak boleh

diberikan pada tingkat yang lebih besar dari 25 mg / menit. Pada orang dewasa

yang belum memakai aminofilin, teofilin, atau obat xanthine containing lain,

dosis awal dari 5 mg / kg ideal berat badan atau 250 sampai 500 mg

aminofilin dapat diberikan secara intravena selama 20 sampai 30 menit

dengan injeksi lambat atau infus, diikuti dengan dosis infus pemeliharaan 500

µg/kg per jam.

Farmakokinetik aminofilin yaitu penyerapannya setelah injeksi

intramuskular lambat dan tidak lengkap. Sekitar 40 sampai 60% terikat pada

7
protein plasma, tetapi pada neonatus, atau orang dewasa dengan penyakit hati,

pengikatan berkurang. Di metabolisme di dalam hati. Metabolit diekskresikan

dalam bentuk urin. Pada orang dewasa, sekitar 10% dari dosis aminofilin

diekskresi tidak mengalami perubahan dalam urin, tetapi pada neonatus sekitar

50% yang tidak berubah, dan sebagian besar diekskresikan sebagai kafein.

Waktu paruh aminofilin pada orang dewasa tidak merokok serta tidak

mengalami asma adalah 7 sampai 9 jam, pada anak-anak 3 sampai 5 jam, pada

perokok 4 sampai 5 jam, pada neonatus dan bayi prematur 20 sampai 30 jam,

dan pada orang tua non-perokok 10 jam. Waktu paruh aminofilin dapat

meningkat pada pasien dengan gagal jantung atau penyakit hati. Keadaan

stabil biasanya dicapai dalam waktu 48 jam dengan jadwal pemberian dosis

sesuai.

Aminofilin Injection dapat menurunkan ambang kejang dan harus

diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan kejang kecuali pasien

menerima terapi antikonvulsan yang sesuai. Penyesuaian dosis dari setiap obat

antikonvulsan mungkin diperlukan. Pemberian intramuskular tidak dianjurkan

karena menyebabkan nyeri lokal yang intens dan pengelupasan jaringan.

Efek samping yang umum ditemui pada aminofilin, teofilin dan derivatif

xanthine terlepas dari rute, adalah iritasi gastrointestinal dan stimulasi SSP.

Konsentrasi serum teofilin lebih besar dari 20 µg/mL (110 mikromol/liter)

dikaitkan dengan peningkatan risiko efek samping. Overdosis juga dapat

menyebabkan agitasi, diuresis dan muntah berulang-ulang (terkadang

hematemesis) dan dehidrasi akibatnya, aritmia jantung termasuk takikardi,

8
hipotensi, gangguan elektrolit termasuk hipokalemia, hiperglikemia,

hipomagnesemia, asidosis metabolik, rabdomiolisis, kejang, dan kematian.

Risiko kejang dengan toksisitas aminofilin akut rendah pada konsentrasi

serum aminofilin kurang dari 60 mikrogram/mL, kejang yang paling mungkin

pada pasien dengan konsentrasi puncak di atas 100 mikrogram/mL. Namun,

risiko kejang jauh lebih besar setelah overdosis kronis; aktivitas kejang telah

dilaporkan pada konsentrasi serum tepat di atas atau bahkan dalam rentang

terapeutik. Pasien Lansia atau orang dengan cedera otak sebelumnya atau

penyakit neurologis mungkinmengalami peningkatan risiko, meskipun masih

dipertanyakan hubungan tersebut. Hasil kejang tampaknya variabel: kematian

dan defisit saraf parah telah terjadi, tetapi lainnya telah mencatat pemulihan

tanpa morbiditas yang serius. Pada sistem saraf pusat menyebabkan Sakit

kepala, gugup, insomnia, lekas marah, gelisah, pusing, hipereksitabilitas

refleks, kejang, kecemasan, tremor, pusing, kegembiraan.

Aminofilin berpotensi toksisitas pada konsentrasi serum lebih besar dari

40 mikrogram/mL (220 micromole/L) dalam overdosis kronis. Dalam

konsentrasi serum overdosis akut lebih dari 90 mikrogram/mL (495

micromole/L) umumnya terkait dengan toksisitas berat.

2.4 Diazepam

Diazepam merupakan salah satu obat golongan benzodiazepin. Efek yang

paling menonjol dari obat golongan ini adalah aktivitas sedasi, hipnosis,

berkurangnya ansietas, relaksasi otot, anterograde amnesia dan antikonvulsan.

Benzodiazepin dipercaya menmunculkan sebagian besar efeknya melalui

interaksinya dengan reseptor neurotransmitter inhibitori yang secaera langsung

9
di aktivasi oleh GABA. Benzodiazepin tidak secara langsung mengaktivasi

reseptor GABA, tetapi membutuhkan GABA untuk mengaktivasi efeknya

yaitu senyawa-senyawa ini hanya memodulasi efek GABA.

Diazepam termasuk ke dalam obat golongan benzodiazepin dengan kerja

lama, dengan waktu paruhnya lebih dari 24 jam (20-40jam). Waktu paruh

diazepam meningkat dengan bertambahnya usia. Sekitar 99% diazepam

berikatanm dengan protein plasma. Obat ini menembus sawar plasenta dan di

sekresi ke dalam air susu. Diazepam dan lorazepam khususnya dengan cepat

dan luas didistribusikan ke jaringan, dengan volume distribusi antara 1 L / kg

dan 3 L / kg. Onset kerja ini sangat cepat. Bioavailabilitas oral diazepam

adalah 100%, diekskresikan sebanyak 1%, keterikatan dengan plasma sebesar

99%, dengan waktu paruh: 43 jam.

Jika diberikan secara intravena atau rectal, diazepam sangat efektif untuk

menghentikan aktivitas kejang yang terus menerus, terutama pada status

epileptikus tonik-klonik. Obat ini terkadang diberikan secara oral pada kondisi

kronis, meskipun tidak dianggap sangat efektif untuk aplikasi ini.

Efek samping yang utama dari diazepam adalah sedatif, kantuk, lemahnya

otot dan ataksia. Efek ini menurun pada dosis lanjutan dan merupakan efek

dari depresi sistem saraf pusat (SSP). Efek lainnya adalah sakit kepala,

vertigo, bicara cadel atau disartria, kebingungan, depresi, tremor, perubahan

pada libido, retensi urinaria, gangguan gastrointestinal, dan amnesia. Beberapa

pasien mungkin mengalami perangsangan paradoksal seperti timbul rasa

marah, agresi dan rasa malu. Penyakit kuning, gangguan darah, dan

hipersensitivitas juga dilaporkan terjadi. Gangguan pernapasan dan hipotensi

10
kadang-kadang terjadi dengan dosis tinggi dan pada penggunaan secara

parenteral. Overdosis dapat menimbulkan depresi Sistem Saraf Pusat (SSP)

dan koma atau perangsangan paradoksial.

Penggunaan diazepam pada trimester pertama pada ibu hamil, kadang-

kadang dikaitkan dengan cacat bawaan pada bayi, tetapi hal ini belum dapat

ditetapkan.

Terdapat dua aspek yang membatasi kegunaan dari obat-obat golongan

benzodiazepin, yaitu :

a. Aspek sedatifnya pada saat pengobatan epileptikum dan terapi kronis.

Pada anak-anak biasanya menimbulkan perangsangan paradoksial.

b. Aspek kedua adalah mengenai toleransi, yaitu pada saat penggunaan pada

kejang, awalnya dapat merespon namun dalam beberapa bulan dapat

terjadi kekambuhan kembali. Potensi anti kejang yang luar biasa dari

senyawa ini sering tidak dapat direalisasikan karena faktor pembatas

tersebut.

11
BAB III

METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Praktikum


Tempat : Laboratorium Farmakologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tanggal : Kamis, 14 April 2016
Waktu : 08.00 – 10.00 WIB

3.2 Alat dan Bahan


Hewan Percobaan : Tikus 2 ekor
Obat yang diberikan : Diazepam dan Aminofilin
Alat yang diperlukan : Alat suntik, timbangan hewan, stopwatch

12
2.3 Prosedur

Timbang masing-masing
tikus

Suntikan kedua tikus


dengan aminofilin

Catat tingkah laku tikus

Tepat pada menit ke-45,


suntikan tikus kedua dengan
diazepam

Catat tingkah laku tikus dan


perhatikan kejang yang
ditimbulkan aminofilin dan
yang ditahan oleh diazepam

13
BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

a. Perhitungan Dosis

Diazepam Aminofilin
No. Kelompok
Dosis Konsentrasi Dosis Konsentrasi
Kelompok 200 mg/60
1. 5 mg/60 kg BB 5 mg/ml 24 mg/ml
1 kg BB
Kelompok 15 mg/60 kg 250 mg/60
2. 5 mg/ml 24 mg/ml
2 BB kg BB
Kelompok 20 mg/60 kg 300 mg/60
3. 5 mg/ml 24 mg/ml
3 BB kg BB

Berat tikus 1 : 276 gram : 0,27 kg (untuk diberikan aminofilin saja)

Berat tikus 2 : 298 gram : 0,29 kg (untuk diberikan diazepam dan aminofilin)

Tikus 1

Aminofilin

𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎


Dosis Hewan : 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 × 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛

200 𝑚𝑔 37
Dosis Hewan : × = 20,56 𝑚𝑔/𝑘𝑔
60 𝑘𝑔 6
𝑚𝑔
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 ( 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛) × 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔)
𝑘𝑔
VAO : 𝑚𝑔 = ⋯ 𝑚𝑙
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
20,56 ×0,276 𝑘𝑔
𝑘𝑔
VAO Tikus 1 : = 0,23 𝑚𝑙
24 𝑚𝑔/𝑚𝑙

14
Tikus 2

Diazepam

𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎


Dosis Hewan : 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 × 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛

5 𝑚𝑔 37
Dosis Hewan : 60 𝑘𝑔 × = 0,51 𝑚𝑔/𝑘𝑔
6
𝑚𝑔
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 ( 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛) × 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔)
𝑘𝑔
VAO : 𝑚𝑔 = ⋯ 𝑚𝑙
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,51 ×0,298 𝑘𝑔
𝑘𝑔
VAO Tikus 2 : = 0,03 𝑚𝑙
5 𝑚𝑔/𝑚𝑙

Aminofilin

𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎


Dosis Hewan : 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 × 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛

200 𝑚𝑔 37
Dosis Hewan : × = 20,56 𝑚𝑔/𝑘𝑔
60 𝑘𝑔 6
𝑚𝑔
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 ( 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛) × 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔)
𝑘𝑔
VAO : 𝑚𝑔 = ⋯ 𝑚𝑙
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
20,56 ×0,298 𝑘𝑔
𝑘𝑔
VAO Tikus 1 : = 0,25 𝑚𝑙
24 𝑚𝑔/𝑚𝑙

b. Tabel Hasil Pengamatan

No. Kelompok Hewan Perlakuan Waktu Pengamatan


Jantung tikus
204 detik berdegub kencang
dan tremor
Tikus menggaruk-
Disuntikkan
1 Kelompok 1 Tikus 1 garuk tubuhnya
Aminofilin
300 detik dengan hebat dan
tubuhnya terlihat
bergetar kesakitan.
360 detik Tubuh tikus terlihat

15
No. Kelompok Hewan Perlakuan Waktu Pengamatan
memanjang dan
bergetar kesakitan.
Tubuh tikus
melingkar dan
420 detik kepala masuk
menekuk ke arah
badan
Tikus diam,
660 detik memojok, namun
badan tetap gemetar.
Tikus bergerak
kembali, namun
masih tetap terlihat
720 detik kesakitan karena
kaki belakang tikus
menggaruk
badannya.
Tikus mulai
bergerak kembali
780 detik seperti semula
namun masih terlihat
kesakitan.
End time. Tikus
1260 detik
beraktifitas normal.
Terjadi tremor pada
Disuntikan 60 detik
tubuh tikus tersebut
Diazepam,
Jantung tikus
didiamkan 120 detik
Tikus 2 berdegub kencang
30 menit,
Tremor pada tubuh
disuntikkan 600 detik
tikus selesai
Aminofilin
900 detik End time. Tikus

16
No. Kelompok Hewan Perlakuan Waktu Pengamatan
kembali beraktifitas
normal.
Kepala tikus
307 detik
mengalami tremor
Jantung tikus
407 detik berdegub dengan
kencang.
Tubuh tikus
466 detik
Disuntikkan gemetar.
Tikus 1
Aminofilin Tikus masih berjalan
655 detik
tidak terkendali.
End time. Tikus
2 Kelompok 2
bergerak normal
1313 detik namun kepalanya
terkadang cenderung
miring.
Disuntikan Tikus lebih aktif dari
60 detik
Diazepam, sebelumnya.
didiamkan 120 detik Terjadi tremor.
Tikus 2
30 menit, End time. Tikus
disuntikkan --- detik kembali normal.
Aminofilin
Tikus gelisah dan
60 detik jantungnya berdegub
dengan kencang.
Tubuh tikus
Disuntikkan
3 Kelompok 3 Tikus 1 180 detik mengalami kejang
Aminofilin
atau tremor.
Tremor semakin
240 detik parah dan pupil pada
mata tikus

17
No. Kelompok Hewan Perlakuan Waktu Pengamatan
membesar.
Tremor berhenti
namun bulu pada
900 detik
tubuh tikus masih
berdiri.
End time. Tikus
1080 detik kembali beraktifitas
normal.
Tikus mulai
menjilat-jilat
tangannya dan
150 detik
mengusap wajahnya,
serta terlihat sedikit
Disuntikan
tremor.
Diazepam,
Terjadi puncak
didiamkan
Tikus 2 340 detik tremor atau kejang
30 menit,
pada tikus tersebut.
disuntikkan
Tikus mulai diam
Aminofilin
namun jantungnya
441 detik
masih berdegub
cepat.
End time. Tikus
840 detik
kembali normal.

18
4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini, bertujuan untuk memahami stimulasi sistem
saraf pusat dan antiepileptika serta mendiagnosa sebab kejang pada hewan
percobaan. Dimana hewan yang di gunakan sebagai hewan percobaan adalah
tikus.
Epilepsi dari bahasa yunani adalah seragan atau sawan adalah suatu
gangguan saraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala, biasanya dengan
perubahan kesadaran. Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak dari
sekelompok besar sel-sel saraf di otak. Aksi ini disertai pelepasan muatan
listrik yang berlebihan dari neuron-neuron tersebut. Lazimnya pelepasan
muatan listrik ini terjadi secara teratur dan terbatas dalam kelompok-
kelompok kecil, yang memberikan ritme normal pada elektroencefalogram
(EEG).
Epilepsi dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, kelompok parsial dan
generalisata. Kelompok parsial terdiri dari parsial sederhana dan parsial
komplek, sedangkan generalista terdiri dari tonik klonik (grand mal) dan
absence (petit mal)
Pada pecobaan kali ini obat stimulan kejang yang digunakan adalah
Aminofilin. Aminofilin merupakan turunan dari teophilin yang bersifat
menstimulasi sistem saraf pusat, sampai batas tertentu sifat ini dapat
diterapkan untuk mengatasi depresi sistem saraf pusat yang berlebihan.
Dimana jika dosis yang di berikan tinggi pada makhluk hidup mengakibatkan
kejang tonik dan klonik. Aminofilin adalah kombinasi obat teofilin dengan
etilendiamin. Etilendiamin tidak aktif, hanya untuk meningkatkan kelarutan
teofilin dalam air saja. Teofilin merelaksasikan otot halus bronkus
(bronkodilatasi). Menghambat fosfodiesterase sehingga meningkatkan cAMP
intra sel. Kejang dapat terjadi apabila pemakaian mencapai kadar diatas 40
mg/L
Obat antiepilepsi yang digunakan pada praktikum ini adalah Diazepam.
Diazepam merupakan salah satu contoh obat antiepilepsi golongan
Benzodiazepin, relaksan otot yang bekerja sentral khususnya refleks
polisinaptik di sumsum tulang belakang dan mengurangi aktivitas neuron

19
sistem retikular di mesensefalon. Seingga Diazepam dapat digunakan untuk
mengatasi kejangan yang disebabkan Aminofilin. Diazepam berikatan dengan
subunit-subunit reseptor GABAa di sinaps neuron, dapat memfasilitasi
frekuensi pembukaan saluran ion klorida yang diperantarai GABA,
menimbulkan hiperpolarisasi dan stabilisasi. Untuk dapat megatasi kejang-
kejang digunakan dosis 2-60 mg per hari untuk dewasa

Pada praktikum ini, 2 kelompok kecil digabung menjadi 1 kelompok


besar. Setiap kelompok diberikan 2 tikus, tikus pertama sebagai kontrol atau
diberi aminofilin saja, dan tikus kedua diberi diazepam dan aminofilin.
Kelompok 1 diberikan dosis diazepam 5 mg/60 kg BB dan dosis aminofilin
200 mg/60 kg BB. Kelompok 2 diberikan dosis diazepam 15 mg/60 kg BB
dan dosis aminofilin 250 mg/60 kg BB. Kelompok 3 diberikan dosis diazepam
20 mg/60 kg BB dan dosis aminofilin 300 mg/60 kg BB. Kemudian
konsentrasi diazepam dan aminofilin pada semua kelompok adalah sama, 5
mg/ml untuk konsentrasi diazepam dan 24 mg/ml untuk konsentrasi
aminofilin.
Pada prosedur pengerjaan setiap tikus ditimbang, dihitung dosis hewan
dan dihitung VAO nya. Setelah VAO dihitung, kedua obat disiapkan dan
disuntikkan secara intraperitoneal. Untuk penyuntikan dilakukan dengan 2
cara penyuntikan, tikus pertama hanya disuntik menggunakan Aminofilin saja,
tikus kedua disuntik dahulu dengan Diazepam kemudian setelah 30 menit
barulah disuntik dengan Aminofilin. Selanjutnya diamati apa yang terjadi.
Hasil pengamatan tikus pertama di kelompok 1, onsetnya adalah 3 menit
24 detik. Pada saat onset, jantung tikus berdegub kencang dan tremor. Pada
menit kelima, tikus menggaruk-garuk tubuhnya dengan hebat dan tubuhnya
terlihat bergetar kesakitan. Pada menit keenam, tubuh tikus terlihat
memanjang dan bergetar kesakitan. Pada menit ketujuh, tubuh tikus melingkar
dan kepala masuk menekuk ke arah badan. Pada menit kesebelas, tikus diam,
memojok, namun badan tetap gemetar. Pada menit keduabelas, tikus bergerak
kembali, namun masih tetap terlihat kesakitan karena kaki belakang tikus
menggaruk badannya. Pada menit ketigabelas, tikus mulai bergerak kembali

20
seperti semula namun masih terlihat kesakitan. End time pada tikus pertama
kelompok 1 adalah 21 menit.
Tikus kedua pada kelompok 1 diamati setelah pemberian aminofilin yang
sebelumnya tikus telah diberi diazepam terlebih dahulu. Pada menit kesatu,
terjadi tremor pada tubuh tikus tersebut. Pada menit kedua, jantung tikus
berdegub kencang. Pada menit kesepuluh, tremor pada tubuh tikus selesai.
Sehingga end time pada tikus kedua adalah 15 menit.
Hasil pengamatan tikus pertama di kelompok 2, onsetnya adalah pada
menit kelima, kepala tikus mengalami tremor. Pada menit keenam, jantung
tikus berdegub dengan kencang. Pada menit ketujuh, tubuh tikus gemetar.
Pada menit kesepuluh, tikus masih berjalan tidak terkendali. Pada menit
keduapuluhsatu, tikus bergerak normal namun kepalanya terkadang cenderung
miring.
Tikus kedua pada kelompok 2 diamati setelah pemberian aminofilin yang
sebelumnya tikus telah diberi diazepam terlebih dahulu. Pada menit kesatu,
tikus lebih aktif dari sebelumnya. Kemudian terjadi tremor selama 2 menit.
Setelah itu, tikus kembali normal.
Hasil pengamatan tikus pertama di kelompok 3, pada menit kesatu, tikus
gelisah dan jantungnya berdegub dengan kencang. Pada menit ketiga, tubuh
tikus mengalami kejang atau tremor. Pada menit keempat, tremor semakin
parah dan pupil pada mata tikus membesar. Pada menit kelimabelas, tremor
berhenti namun bulu pada tubuh tikus masih berdiri. Pada menit
kedelapanbelas, tikus kembali beraktifitas normal.
Tikus kedua pada kelompok 3 diamati setelah pemberian aminofilin yang
sebelumnya tikus telah diberi diazepam terlebih dahulu. Pada menit kedua,
tikus mulai menjilat-jilat tangannya dan mengusap wajahnya, serta terlihat
sedikit tremor. Pada menit kelima, terjadi puncak tremor atau kejang pada
tikus tersebut. Pada menit ketujuh, tikus mulai diam namun jantungnya masih
berdegub cepat. Pada menit keempatbelas, tikus kembali normal.
Pada hasil pengamatan dapat disimpulkan, tikus pada kelompok 1, 2, dan 3
mengalami jenis epilepsi parsial. Epilepsi parsial bercirikan tidak hilangnya
kesadaran, kesadarannya hanya menurun untuk sebagian tanpa hilangnya

21
ingatan, dengan memperlihatkan kelakuan otomatis tertentu seperti berjalan
linglung, aktivitas abnormal dari bagian badan atau kelompok otot-otot
tertentu, gangguan fungsi motorik gerakan menyunyah, diare dan urinasi.
Dari semua percobaan yang dilakukan pada hewan percobaan, Diazepam
menghambat aktivitas bangkitan yang di induksi oleh Aminofilin dan
memaksimalkan aktivitas gerakan otot. Dimana mekanisme kerjanya
merupakan potensial inhibisi neuron dengan GABA sebagai mediatornya.
Dimana setelah disuntikan Diazepam, dan 30 menit kemudian di suntikan
Aminofilin dengan dosis rendah, tikus tidak mati, hanya mengalami tremor
saja. Penggunaan Diazepam bertujuan untuk mengatasi kejang yang
disebabkan Aminofilin. Diazepam merupakan relaksan otot yang bekerja
sentral khususnya refleks polisinaptik disumsum tulang belakang dan
mengurangi aktivitas neuron sistem retikular di mesensefalon. Sedangkan
Aminofilin sendiri untuk obat asma. Dimana jika diberikan pada dosis yang
tinggi pada makhluk hidup mangakibatkan kejang tonik dan klonik. Kematian
dapat terjadi kejangan tonik yang meliputi keseluruhan otot kerangka,
termasuk otot pernafasan berlangsung lama, sehingga kematian bisa
terjadi akibat tidak bisa bernafas. Pada praktikum ini, tikus tidak mengalami
kematian karena dosis aminofilin yang diberikan adalah dosis rendah.
Penggunaan Diazepam dengan dosis yang diberikan 5, 10, dan 15
mg/kgBB kepada tikus percobaan bisa mengatasi kejang akibat disuntikan
Aminofilin. ini terjadi karena dosis yang di berikan seimbang sehingga
Diazepam bisa mengatasi kekejangan yang terjadi yang disebabkan oleh
Aminofiilin.
Dari ketiga kelompok, pada tikus yang hanya diberikan aminofilin saja,
kelompok 3-lah yang memiliki end time terlama dibandingkan kelompok lain,
karena dosis yang diberikan lebih besar. Kemudian, pada tikus yang
sebelumnya disuntikkan diazepam lalu 30 menit kemudian disuntikkan
aminofilin, end time kejang yang paling pendek terlihat pada kelompok 3. Hal
ini dikarenakan dosis diazepam yang diberikan lebih besar dibanding dosis
yang diberikan kelompok lain. Sehingga dapat disimpulkan kelompok 3

22
adalah kelompok yang dosisnya sesuai untuk menghambat tremor atau kejang
yang disebabkan oleh pemberian aminofilin.
Menurut literartur, untuk antiepilepsi digunakan 2-60 mg, maka dapat
dikatakan diazepam dengan dosis paling tinggi yang dipakai pada praktikum
lah yang dapat menekan epilepsi paling baik.Terbukti pada praktikum bahwa
dosis diazepam yang paling baik adalah yang 20 mg/60 kgBB.

23
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa :
a. Aminofilin merupakan obat stimulan sistem saraf pusat, sehingga dengan
dosis tertentu dapat menimbulkan efek kejang
b. Diazepam merupakan obat depresan system saraf pusat, sehingga dengan
dosis tertentu dapat menimbulkan efek antikejang (antiepileptika)
c. Berdasarkan literatur, dosis penggunaan aminofilin yang dapat
menginduksi kejang adalah penggunaan dengan dosis diatas 40 mg/L pada
manusia
d. Berdasarkan literatur, dosis penggunaan diazepam sebagai antiepilepsi
adalah penggunaan dengan dosis 2-60 mg pada manusia
e. Berdasarkan pengamatan pada hewan uji, dosis terkecil aminofilin yaitu
200 mg/60 kg dapat menimbulkan efek kejang.
f. Berdasarkan pengamatan, penggunaan diazepam sebagai antiepilepsi tidak
memberikan hasil yang signifikan dalam menekan kejang pada dosis 5
mg/60 kg dan 15 mg/60 kg, sedangkan dengan dosis20 mg/60 kg secara
signifikan dapat menekan efek kejang yang distimulasi oleh aminofilin.
5.2 SARAN
a. Dalam pengambilan obat, sebaiknya dilakukan dengan teliti
b. Dalam perlakuan hewan uji, sebaiknya dilakukan dengan baik dan benar
c. Dalam penginjeksian obat, sebaiknya dilakukan dengan baik dan hati-hati
sehingga tidak terjadi kesalahan injeksi dan tidak ada obat yang tidak
terinjeksi
d. Dalam pengamatan, sebaiknya dilakukan dengan lebih teliti dan seksama

24
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2008. Farmakologi dan Terapi


Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi; editor, Joel G. Hardman, Lee
E.Limbird; konsultan editor, Alfred Goodman Gilman; alih bahasa, Tim
Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB; editor edisi bahasa Indonesia, Amalia
H. Hadinataet al; Edisi 10; Jakarta: EGC 2012

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Bandung: ITB.

Soekarno, Bambang. 2000. Kimia Medisinal. Airlangga University Press:


Surabaya

Sumarheni. 2010. Anestetik Lokal Lidokain.

http://sumarheni.unhas.ac.id/2010/12/23/anestetik-lokal-lidokain. diakses
pada tanggal 18 april 2016

Tjay, Tan Hoan, Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting Edisi 6 . Jakarta : PT.
Elex Media Komputindo.

25

Anda mungkin juga menyukai