PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama dan nilai-nilai agama merupakan fakta yang konstan yang ada pada
setiap masyarakat manusia sepanjang masa. Agama dan nilai-nilai agama bersatu
dengan unsur-unsur budaya membentuk system dan struktural yang membina dan
yang memunculkan arah kehidupan manusia yang secara nyata telah
membedakaan kehidupan dan kualitas kehidupan manusia dari makhluk lainnya
dibandingkan dengan faktor-faktor sosial budaya, maka faktor agama itulah yang
sangat berpengaruh pada semua segi kehidupan mereka.
Dari segi ajaran agama dapat dikatakan bahwa agama merupakan sumber
motivasi perilaku masyarakat dan bangsa. Keinginan untuk meningkatkan kualitas
pribadi dan kesejahteraan sesama warga bangsa akan lebih berhasil bila pula
disertai motivasi keagamaan.
Hal ini telah digariskan oleh Allah SWT dalam Surah al-Hujurat ayat 13: Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
1
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Sumber dan Asas-Asas Pranata Sosial Islam?
2. Bagaimana Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam?
3. Apa saja Bidang-Bidang Pranata Sosial Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui Sumber dan Asas-Asas Pranata Sosial Islam.
2. Bagaimana Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam.
3. Apa saja Bidang-Bidang Pranata Sosial Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah Swt yang dituangkan di dalam al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan hokum tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan ayat.
Demikian pula bila dibandingkan dengan masalah yang harus diberi ketetapan
hokum yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia ini. Ayat-ayat al-Qur’an
yang agak terinci hanya hokum ibadah dan hokum keluarga. Namun demikian
secara umum Allah menerangkan bahwa semua masalah (pokok-pokoknya)
terdapat dalam al-Qur’an. Allah Swt berfirman: “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam al-Kitab” (Q.S. Al-An’am/6: 38).[2]
Pada masa sahabat apabila mereka menghadapi suatu masalah yang harus
dipecahkan mereka lebih dahulu berpegang pada nash al Qur’an kemudian al-
Hadits. Namun apabila tidak ditemui pemecahannya mereka berijtihad untuk
menemukan hukumnya. Dalam berijtihad mereka berpegang pada pengalaman
dalam bidang syariat, pergaulan mereka dengan Nabi dan rahasia-rahasia yang
terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Terkadang mereka menetapkan hokum
dengan qiyas yaitu mengqiyaskan sesuatu yang ada nashnya. Terkadang pula
hokum ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan dan menolak kemudharatan.
Dengan demikian para sahabat memperkaya bahkan mengembangkan hokum
3
Islam. Memang terdapat perbedaan pemahaman antara para mujtahid dalam
memahami yang tersurat atau tersirat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, lebih-lebih
ketika Islam telah meluas dan ummat Islam mengenal berbagai intuisi, pemikiran
dan budaya dimana Islam berkembang. Ketika masing-masing pemahaman itu
mendapat pengikut maka lahirlah apa yang dinamakan madzhab dalam fiqh.
Madzhab itu muncul dan berkembang dalam perjalanan sejarah Islam ketika
kondisi social, politik dan ekonomi menuntut keberadaannya. Dalam literature
Islam tentang madzhab dalam fiqh yang pertamakali dikenal adalah yang
beridentifikasi dengan kota tempat tinggal mujtahid/ pimpian madzhab. Maka
dikenallah madzhab Kuffah, Madinah dan Syiria. Sangat sulit untuk menentukan
kapan madzhab itu muncul, keberadaannya bertahap, tumbuh dengan perlahan-
lahan menurut kebutuhan situasi dan kondisinya dan menurut catatan sejarah,
tidak seorang mujtahid yang sengaja atau mengaku dirinya membentuk madzhab.
Dikalangan ulama/mujtahidin dalam ijtihadnya terdapat perbedaan-perbedaan,
mereka masing-masing mempunyai dasar yang mereka pegangi, kemudian
pendapatnya itu tersebar ke mana-mana dan dianut oleh masyarakat kaum
muslimin.[3]
Sejak keberadaannya, madzhab fiqh itu menjadi panutan atau identik dengan
taklid, dan taklid dipandang sebagai sumber keterbelakangan, maka mulai abad
4
kesembilan belas Masehi yaitu yang disebut abad kebangkitan ummat Islam,
timbullah gerakan yang mencanangkan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits
atau setidak-tidaknya dalam kondisi ittiba atau mengikuti metode berfikir yang
tertuang dalam kaidah usul fiqh atau kaidah fiqhiyah yang dipakai oleh para imam
madzhab yang disesuaikan dengan kondisi dan tempat ia berada, yang pada
gilirannya akan hilanglah fanatisme terhadap madzhab tertentu. Hal ini didorong
pula oleh kebutuhan kehidupan yang semakin pragmatis akibat adanya tantangan
modernisasi dan globalisasi.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa Allah yang Maha Kuasa terlibat
dalam penciptaan, dan bahwa tak ada wujud diwaktu manapun yang tak
memerlukan Allah.[4] Termasuk adanya akal menyebabkan manusia mengenal
generalitas berbagai hal serta garis-garis utama kebenaran dan kebatilan. Tetapi
dalam hal-hal mendetai dan halus ia memerlukan tuntunan lain. Akal tidak
mempunyai kemampuan untuk melihat semua detail. Misalnya, semua orang
bijaksana tahu bahwa keadilan adalah baik, dan kedzaliman adalah buruk. Tetapi
mereka tak dapat membedakan detail-detail kasus keadilan dan kedzaliman untuk
menentukan dimana tepatnya keadilan dan kedzaliman itu. Hal ini dapat sampai
pada suatu titik dimana kebenaran dipandang sebagai kebatilan, dan keadilan
sebagai kedzaliman. Allah Yang Maha bijaksana yang menciptakan manusia
untuk mencapai kesempurnaan secara sukarela tidak membiarkannya tanpa
tuntunan semacam itu. Allah telah menimpali kekurangannya dalam pemahaman
dan pengenalan dengan wahyu dan kenabian (nubuwwah).[5]
Tuntunan tersebut ada tuntunan umum dan tuntunan khusus. Tuntunan umum
yakni tuntunan yang meliputi kaum mukmin dan kaum kafir, yang bajik maupun
yang durhaka. Sedangkan tuntunan khusus yakni tuntunan yang hanya untuk
kaum mukmin, dimana orang kafir tidak berhak atasnya. Tuntunan khusus hanya
meliputi orang-orang yang secara ikhlas beribadah kepada Allah Swt.
5
dan menggantikannya dengan takwa. Ini tak tercapai dengan slogan semata, tak
akan didapat dengan melaksanakan shalat belaka. Untuk itu hati manusia harus
diserahkan kepada Allah dan motif amal perbuatan haruslah suci. Semangat
keakuan dan kelompok harus dihapus dari kehidupannya; maksud dan tujuannya
haruslah hanya demi kesempurnaannya. Ia harus menghasratkan tuntunan Allah
bagi dirinya dan orang lain dan tidak menghendaki apapun selain keridlaan Allah
Swt.[6]
Kajian fiqh sangatlah luas, oleh karena itu perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah fiqhiyyah yang sifatnya universal. Kaidah-kaidah ini berfungsi
sebagai klarifikasi terhadap masalah-masalah furu’menjadi beberapa kelompok,
6
dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang
serupa. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah ini para mujtahid merasa lebih
mudah dalam mengeluarkan hokum bagi suatu masalah.
Kaidah-kaidah yang dibentuk oleh para ulama pada dasarnya berpangkal dan
menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang
melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama
menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al-qawaid al-khams
(kaidah-kaidah yang lima). Kelima kaidah tersebut:
1. Setiap perkara tergantung pada niatnya.
2. Kemadharatan harus dihilangkan.
3. Adat dapat dipertimbangkan menjadi hokum.
4. Kesulitan (kesempitan) dapat menarik kemudahan.
5. Keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan.[7]
7
5. Hukuman (‘Uqubat) yang berhubungan dengan pencurian, perzinaan, saksi palsu,
dan lain-lain.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah Swt yang dituangkan di dalam al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan hokum tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan ayat.
Demikian pula bila dibandingkan dengan masalah yang harus diberi ketetapan
hokum yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia ini. Ayat-ayat al-Qur’an
yang agak terinci hanya hokum ibadah dan hokum keluarga. Namun demikian
secara umum Allah menerangkan bahwa semua masalah (pokok-pokoknya)
terdapat dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa Allah yang Maha Kuasa terlibat
dalam penciptaan, dan bahwa tak ada wujud diwaktu manapun yang tak
memerlukan Allah. Termasuk adanya akal menyebabkan manusia mengenal
generalitas berbagai hal serta garis-garis utama kebenaran dan kebatilan. Tetapi
dalam hal-hal mendetai dan halus ia memerlukan tuntunan lain.
Kaidah-kaidah yang dibentuk oleh para ulama pada dasarnya berpangkal dan
menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang
melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama
menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al-qawaid al-khams
(kaidah-kaidah yang lima). Kelima kaidah tersebut:
1. Setiap perkara tergantung pada niatnya.
2. Kemadharatan harus dihilangkan.
3. Adat dapat dipertimbangkan menjadi hokum.
4. Kesulitan (kesempitan) dapat menarik kemudahan.
5. Keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan.
9
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Taqi Misbah, 1996. Monoteisme, Tauhid sebagai Sistem Nilai dan
[1] M. Yusran Asmuni, 1997. Dirasah Islamiyah 1 Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-Hadits,
Fiqh dan Pranata Sosial. (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hlm.101.
[2] Ade Dedi Rohayana, 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,
(Jakarta : Gaya Media Pratama), hlm.1
[3] M. Yusran Asmuni, 1997. Dirasah Islamiyah 1 Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-Hadits,
Fiqh dan Pranata Sosial. (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hlm.102.
[4] Muhammad Taqi Misbah, 1996. Monoteisme, Tauhid sebagai Sistem Nilai dan Akidah
Islam, (Jakarta : Lentera), hlm.47.
[5] Muhammad Taqi Misbah, 1996. Monoteisme, ..., hlm.70.
[6] Muhammad Taqi Misbah, 1996. Monoteisme, ..., hlm.73.
[7] Ade Dedi Rohayana, 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, ..., hlm.201, 214, 218, 225, 231.
Lihat juga : Asjmuni Abdurrahman, 2003. Qawa’id Fiqhiyyah, Arti, Sejarah, Dan Beberapa
Qa’idah Kulliyah.(Yogyakarta : Suara Muhammadiyah), hlm.19-54.
[8] Hasan Langgulung, 1989. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi, Filsafat
dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka Al-Husna), hlm : 88-90.
10