Abstract
Improper management of natural resources all this time has caused bad impact towards
human beings, such as floods, landslide, forest fire, air contamination and other
concerning condition. One of the triggers of these impacts is that management of
natural resources done by the government has been conducted without involving the
people around the resources itself. This article will portray the practices of local
wisdom on how people in Kalimantan manage the natural resources. The identification
of the local wisdom is expected to stimulate the government to change the paradigm of
natural resources management by using a continuing development concept with regard
to continuity, balance and preservation principles supported by applying traditional
knowledge and wisdom of local society.
Latar Belakang
Bumi beserta isinya yang berupa Sumber Daya Alam (SDA) merupakan
anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan dan
dikelola secara arif dan bijaksana guna menopang kehidupan manusia sehingga perlu
dipelihara dan dilestarikan. Dalam pemanfaatan SDA tentunya diperlukan pengelolaan
yang baik agar kelangsungan sumber daya alam tersebut dapat menjadi koeksistensi
secara suistainable dan saling menguntungkan (mutualisme) antara sumber daya alam
tersebut dapat lestari dan manusia sebagai pengguna dapat memperoleh manfaat tanpa
harus merusak alam sekitarnya.
Namun dalam prakteknya berbagai fakta dan data menunjukkan bahwa
keberlangsungan dan kelestarian sumber daya alam dewasa ini sangat memprihatinkan.
Banjir dan longsor kini telah rutin dan menyebar di seluruh Indonesia. Dalam tahun
2003 saja, telah terjadi 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu
juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Dalam tahun yang
sama tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 Propinsi dan 36 Kabupaten
(KLH, 2004). Dalam periode itu juga, 19 propinsi lahan sawahnya terendam banjir,
263.071 Ha sawah terendam dan gagal panen, serta 66.838 Ha sawah puso.
Data lain menunjukan bahwa Indonesia tergolong negara yang kawasan hutan
1
Tulisan ini merupakan saduran dari hasil penelitian PKP2A III LAN dengan tema “Pola Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis Kearifan Local (Local Wisdom) di Kalimantan” dimana
dalam kegiatan penelitian tersebut penulis adalah sebagai anggota tim Peneliti.
2
Said Fadhil, SIP, adalah Staf Peneliti Pada PKP2A III LAN Samarinda dan Dosen Luar Biasa Pada
Universitas Widyagama Mahakam Samarinda
tropisnya hilang dalam waktu tercepat di dunia. Laju deforestasi terus meningkat
mencapai rata-rata 2 juta ha per tahun. Tipe hutan tropis ini dalam waktu dekat
dipastikan hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi dan Sumatera, dan di Kalimantan
diperkirakan akan lenyap pada tahun 2010, jika laju deforestari tersebut terus
berlangsung. Disamping itu hampir setengah dari luas hutan di Indonesia sudah
terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan
pembangunan, seperti pembangunan perkebunan dan hutan tanaman industri.
Akibat lanjutannya dari kerusakan lingkungan (SDA) adalah fungsi lingkungan
hutan yang mendukung kehidupan manusia terabaikan, beragam kehidupan flora dan
fauna yang membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi
rusak dan hilang. Semua ini mengakibatkan timbulnya ketidakadilan dan kesenjangan
mengakses manfaat pembangunan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Jika kita melihat kembali kepada pengelolaan sumber daya alam yang telah
dilakukan selama ini, sistem pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan di
Indonesia pada umumnya dan Kalimantan khususnya, lebih kepada pendekatan dimana
negara ataupun daerah dalam hal ini pemerintah lah yang mempunyai kewenangan
dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dan melibatkan
masyarakat sekitarnya sehingga pada saat terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di lapangan, masyarakat disekitarnya
tidak akan peduli dan tidak akan bertindak untuk menjaga kelestariannya bahkan malah
akan turut terlibat dalam perusakannya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang
ada tanpa memperhatikan kelestariannya.
Kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan oleh pemerintah
dengan pendekatan top down dan struktural tersebut, dengan sendirinya terkadang
mengabaikan kepentingan masyarakat yang tinggal disekitarnya dan kurang
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam proses
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tersebut. Di lain pihak, lemahnya dan
makin lunturnya kepedulian masyarakat (community awareness) untuk mengelola
sumber daya alam dan lingkungan secara lestari dan memecahkan persoalan-persoalan
bersama yang ada terkait dengan permasalahan sumber daya alam dan lingkungan.
Dengan kata lain, kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan selama ini belum mampu menumbuhkan rasa memiliki dan
keinginan dari masyarakat disekitar lingkungan tersebut untuk turut menjaganya. Itulah
sebabnya, implementasi suatu kebijakan yang penerapannya berhubungan langsung
dengan sumber daya alam dan kehidupan masyarakat, justru sering ditolak dan
menimbulkan konflik vertikal yang kontra-produktif. Hal seperti ini sungguh sangat
ironis di era otonomi luas seperti saat ini. Sedangkan penerapan desentralisasi yang
banyak dilakukan pada era otonomi saat ini hanya merupakan penyerahan wewenang
yang semu dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan dalam
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, pemerintah daerah tidak
melibatkan masyarakat sekitar, kalaupun ada hanya kegiatan dengan skala kecil dan
untuk daerah tertentu saja.
Bahkan kebijakan desentralisasi (otonomi) yang diharapkan mempercepat lajut
pembangunan dan peningkatan perekonomian secara merata di seluruh daerah, secara
tidak langsung justru turut juga mempercepat kerusakan sumber daya alam dan
lingkungan karena adanya pemegang wewenang baru didaerah-daerah yang
berkeinginan membangun daerahnya masing-masing dengan segera sehingga
melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam tanpa
memperhatikan kelangsungan sumber daya alam dan lingkungan serta masyarakat
disekitarnya.
Oleh karena itu, langkah terpenting yang dapat dilakukan adalah dengan
mengembangkan partisipasi masyarakat setempat. Pendekatan kebijakan yang sifatnya
sentralistik dari pemerintah sebagai pemegang kewenangan kepada masyarakat perlu
direvisi dengan metode yang lebih kolaboratif dan melibatkan peran langsung warga.
Dengan metode baru ini, perlu dibentuk kelompok-kelompok masyarakat di sekitar
sumber daya alam yang kemudian seharusnya menjadi mitra atau “rekanan” Pemerintah
dalam pengelolaan dan penjagaan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
tersebut. Dengan pola pengelolaan seperti ini, diharapkan dapat menghasilkan output
berupa tetap terjaganya sumber daya alam dan lingkungan tersebut, dan
terberdayakannya masyarakat yang bertempat tinggal disekitarnya sehingga kehidupan
sosial ekonomi masyarakat juga meningkat, serta berkurangnya beban pengawasan oleh
pemerintah untuk secara langsung di lapangan dalam kegiatan penjagaan yang
sesungguhnya bisa diserahkan kepada masyarakat sendiri.
Dengan model “kerjasama” tersebut, peran pemerintah dapat dikurangi secara
signifikan, sehingga sumber daya aparatur yang ada dapat dimanfaatkan secara lebih
produktif untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan. Ini berarti pula bahwa
kebijakan Pemerintah lebih mampu “memanusiakan” kelompok-kelompok marginal
masyarakat yang berada di sekitar sumber daya alam tersebut. Pada saat yang
bersamaan, upaya ini juga dapat menumbuhkan rasa saling percaya (trust) diantara
masyarakat dengan pemerintah, sekaligus mengembangkan jaringan kerja (network)
yang harmonis serta meningkatkan kehidupan sosial ekonomi melalui pemberdayaan
masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan yang partisipatif dan memperhatikan norma-
norma sosial budaya yang berlaku pada masyarakat akan mengantarkan pada
menguatnya kepedulian dan kontrol sosial masyarakat untuk mengatasi masalah-
masalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk mendeteksi hal-hal yang ada dan
berkembang di masyarakat mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
berbasis pengetahuan dan kearifan local (local wisdom) dimasing-masing daerah untuk
kemudian dikembangkan sehingga hal tersebut dapat diterima oleh masyarakat dan akan
dapat menunjang program pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan secara baik dan lestari. Ini berarti pula bahwa kebijakan pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan tidak boleh hanya berorientasi pada keuntungan yang besar
namun dalam tempo waktu yang tidak lama kemudian habis dan meninggalkan
permasalahan yang mengancam kelangsungan kehidupan sendiri, tetapi harus pula
mengacu pada pengelolaan sumber daya dan lingkungan secara berkelanjutan
(suistainable) dan lestari.
3
Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
2004.
pandangan ini, resiko akan terkurasnya sumber daya alam menjadi perhatian utama.
Dalam pandangan ini, sumber daya alam harus dimanfaatkan secara hati-hati karena
karena ada faktor ketidakpastian terhadap apa apa yang akan terjadi terhadap sumber
daya alam untuk generasi yang akan datang.
Pandangan ini berakar pada pemikiran Malthus yang dikemukakan sejak tahun
1879 ketika bukunya yang tersohor itu, Principle of Population diterbitkan. Dalam
perspektif Malthus, sumber daya alam yang jumlahnya terbatas ini tidak akan mampu
mendukung pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh secara eksponensial.
Sementara produksi dari sumber daya alam akan mengalami apa yang disebut dalam
teori konvensional sebagai diminishing return dimana output perkapita akan mengalami
kecenderungan yang menurun sepanjang waktu. Menurut Malthus, ketika proses
diminishing return ini terjadi, standar hidup juga akan menurun sampai ke tingkat
subsisten yang pada gilirannya akan mempengaruhi reproduksi manusia.
Pandangan kedua, adalah pandangan eksploitatif atau sering juga disebut
sebagai perspektif Ricardian. Dalam pandangan ini dikemukakan antara lain:
SDA dianggap sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) yang
mentransformasikan sumber daya ke dalam man-made capital yang pada gilirannya
akan menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi di masa datang.
Keterbatasan supply dari sumber daya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat
disubstitusikan dengan cara intensifikasi (eksploitasi sumber daya secara intensif)
atau dengan cara ekstensifikasi (memanfaatkan sumber daya yang belum
dieksploitasi).
Jika sumber daya menjadi langka, hal ini akan tercermin dalam dua indikator
ekonomi, yakni meningkatnya baik itu harga output maupun biaya ekstraksi per satuan
output. Meningkatnya harga output akibat meningkatnya biaya per satuan output akan
menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam.
Di sisi lain, peningkatan harga output menimbulkan insentif kepada produsen sumber
daya alam untuk berusaha meningkatkan supply. Namun, karena ketersediaan sumber
daya alam sangat terbatas, kombinasi dampak harga dan biaya akan menimbulkan
insentif untuk mencari sumber daya substitusi dan peningkatan daur ulang. Selain itu,
untuk mengembangkan inovasi-inovasi seperti pencarian deposit baru, peningkatan
efisiensi produksi, dan peningkatan teknologi daur ulang sehingga dapat mengurangi
tekanan terhadap pengurasan sumber daya alam.
Kemudian dalam hirarki konseptual, sumber daya alam merupakan barang
publik (public goods). Konsekuensi atas konsepsi ini adalah bahwa akses untuk
mendapatkannya harus terbuka untuk sebanyak mungkin pelaku ekonomi dan
masyarakat luas. Jenis public goods seperti ini harus dikelola secara transparan dan
diawasi secara terbuka. Dengan demikian, jika kendali pengelolaannya dilakukan
pemerintah saja tanpa kontrol yang memadai dari pihak masyarakat, maka
kemanfaatannya menjadi sangat terbatas pula. Pengalaman Indonesia selama ini
memperlihatkan bahwa kontrol pemerintah pusat sangat kuat sehingga kemanfaatannya
pun terbatas pada kalangan dekat birokrasi pusat tersebut. Hal ini terbukti dari alokasi
berbagai potensi sumber daya alam seperti pertambangan, hutan, perikanan dan
sebagainya (Rachbini: 2003).
Pola pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, pada umumnya dapat
dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pertama; melalui kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah untuk kemudian diterapkan dilapangan dengan disertai aturan-aturan
dan konsekuensi dalam pelaksanaannya sehingga pemerintah beserta aparat akan
berperan sebagai subjek sedangkan sumber daya alam dan masyarakat akan menjadi
objek yang hanya mengikuti ketetapan pemerintah, sedangkan pendekatan yang kedua;
adalah dilakukan desentralisasi pengelolaan SDA oleh pemerintah kepada masyarakat,
sehingga masyarakat akan turut berperan secara langsung dan turut menjadi subjek
dalam pengelolaannya sehingga akan tumbuh rasa memiliki dan keinginan turut
menjaga kelestariannya.
Praktek pola pengelolaan SDA secara sentralistik mewarnai perjalanan sejarah
pembangunan di Indonesia dan telah memberikan dampak yang cukup luas. Salah satu
dampak yang sangat dahsyat akibat sentralisasi pemerintahan dan manajemen
pemerintahan Orde Baru adalah hilangnya inisiatif lokal dan masyarakat dalam meng-
create dan mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya seperti potensi hutan
yang dimilikinya. Masyarakat seperti terhipnotis oleh lakon pejabat -- mulai dari pusat
hingga daerah -- yang secara semena-mena dan tanpa mempertimbangkan ekosistem
dan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang sejak turun-temurun dimiliki
masyarakat dan telah berinteraksi dengan ekosistem hutan yang menurut mereka
sebagai bagian dari matapencaharian lestari.
Pada era tersebut para penyelenggara negara selalu memandang sumber daya
alam, termasuk hutan sebagai sumber daya sebagai engine of growth atau sebagaimana
pandangan yang dianut oleh ilmuwan ekonomi konvensional seperti Adam Smith dan
David Ricardo. Akibat cara pandang yang cenderung eksploitatif tersebut, maka sumber
daya alam (hutan) termasuk sumber daya alam yang ‘dikuasai’ oleh pemerintah pusat
yang dikelola secara sentralistis. Padahal disisi lain masyarakat tidak memandang hutan
sebagaimana cara pandang pengusaha dan pemerintah pusat pada saat itu, dimana hutan
sebagai potensi ekonomi yang dilihat sebagai potensi kayu yang memiliki nilai ekspor
tinggi. Akan tetapi masyarakat menilai berbagai potensi yang ada dalam hutan akan
menyelamatkan generasi masa mendatang karena hutan masyarakat bisa hidup dan
menyelamatkan generasi yang akan datang.
Dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, pengelolaan sumber daya alam
khususnya sumber daya hutan sangat ditentukan oleh pemerintah pusat. Kebijakan
pemerintah untuk mengelola hutan secara legal mendorong praktek ekstraksi sumber
daya hutan. Artinya penerima manfaat yang besar adalah pemerintah pusat dan
pengusaha, sementara daerah mendapat bagian yang sangat kecil bahkan untuk daerah
penghasil khususnya masyarakat hanya menjadi penonton dan penerima dampak
langsung yang ditimbulkan oleh pengusahaan hutan. Bahkan masyarakat seringkali
menjadi kambing hitam sebagai penyebab dampak negatif yang ditimbulkan oleh
praktek-praktek swasta (pengusaha hutan) dan kebijakan pemerintah
Praktek sentralisme dan ketertutupan birokrasi tersebut juga berdampak buruk
pada pola pengelolaan sumber-sumber potensi ekonomi yang cenderung mengabaikan
kepentingan masyarakat banyak dan tidak memperhitungkan dampak yang ditimbulkan
akibat rusaknya ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di masa
datang. Bukti-bukti empiris seperti yang terjadi saat ini seperti banjir bandang di
berbagai pelosok republik yang terjadi secara terus menerus, peristiwa tanah longsor,
dan terjadinya kekeringan adalah akibat dari pola-pola pengelolaan lingkungan atas
dasar kepentingan sesaat yang tidak berorientasi kedepan.
Memperhatikan kondisi tersebut, perubahan paradigma pembangunan khususnya
pola pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan berkesinambungan dengan
mengacu kepada prinsip kesinambungan, keseimbangan dan kelestarian merupakan
pilihan yang harus dipilih oleh pemerintah. World Commission on Environment and
Development (WCED) atau Brundtland Commission memberikan definisi pada prinsip
pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang memenuhi
kebutuhan sendiri”, definisi tersebut tercantum dalam Laporan Brundtland Commission
Our Common Future yang diterbitkan pada tahun 19874.
Terlepas dari perdebatan interpretasi pendefinisian pembangunan berkelanjutan
tersebut, menurut Emil Salim, terdapat tiga langkah, sebagai implikasi kebijakan yang
penting untuk dipikirkan para pengambil keputusan pembangunan, sebagai berikut:
Pertama, berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam (resource management)
dengan tekanan pada pengelolaan hutan, tanah dan air. Pengelolaan hutan harus
mencakup sumber hayati plasma nuftah, yang merupakan sumber alam genetik (genetic
resource), sehingga pengelolaan hutan itu tidak hanya memperhatikan kayu-kayunya,
melainkan juga sumber genetik tersebut. Hal ini penting karena pada awal abad 21,
sumber alam genetik akan menjadi sumber daya alam yang amat menentukan
pembangunan yang akan datang (Salim, 1992 dan Rachbini, 2001).
Kedua, berkenaan dengan pengelolaan dampak pembangunan terhadap
lingkungan yang mencakup penerapan analisis dampak pembangunan terhadap
lingkungan, pengendalian pencemaran, khususnya bahan berbahaya dan beracun,
maupun pengelolaan lingkungan binaan manusia (man made environment) seperti kota,
waduk dan lain sebagainya. Ketiga, berkenaan dengan pembangunan sumberdaya
manusia (human resources development), yang mencakup pengendalian jumlah
penduduk atau kualitasnya (tingkat kelahiran, tingkat kematian, dan tingkat kesakitan);
pengelolaan mobilitas perpindahan penduduk kedaerah dan ke kota, pengembangan
kualitas penduduk, baik secra fisik maupun non fisik yang menyangkut kualitas pribadi
maupun kualitas bermasyarakat, serta pengembangan keserasian kuantitatif, keserasian
kualitatif dan keserasian wawasan.
4
Dikutip dari http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/artikel_34.htm
keterbukaan, partisipasi dan akuntabilitas publik dalam penetapan setiap kebijakan
pengelolaan hutan serta menerapkannya secara konsisten dan non diskriminasi.
Salah satu persoalan yang paling menonjol dalam manajemen kehutanan adalah
terjadinya kebakaran hutan. Kasus ini sebagian besar disebabkan oleh praktek tebas
bakar (slash and burn agriculture) dalam berbagai bentuk, baik oleh masyarakat asli
(indigenous people) ataupun pendatang (migrants), di wilayah pantai (coastal zone)
ataupun pedalaman (remote areas) yang ada di Kaltim, sehingga resiko kebakaran
saat ini terdapat dimana-mana. kegiatan membakar yang merupakan bagian dari
sistem perladangan telah dipraktekkan/dilakukan oleh masyarakat secara turun-
temurun, dan dengan demikian teknologi pengendalian api telah dikenal secara baik,
serta dipergunakan secara efektif dalam mencegah kebakaran. Beberapa pengalaman
yang terjadi diungkapkan dibeberapa kelompok masyarakat lokal yang ada di
Kaltim, termasuk suku Berau di Berau, dan suku Dayak Blusu di Bulungan yang
secara geografis berdekatan dengan masyarakat Berau. Suku lokal ini telah
mempraktekkan pengetahuan yang dimilikinya dalam pengendalian api selama
kegiatan perladangan, emlalui implementasi pengetahuan tradisional (traditional
knowledge) atau kearifan lokal (local genius).
Bagi masyarakat lokal khususnya suku dayak, hutan memiliki nilai yang sangat
sakral selain sebagai sumber penghidupan. Hutan, tanah merupakan bagian dari
suatu lingkungan yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Sumber daya
sekitar hutan tidaklah dipandang sebagai obyek yang harus dieksploitasi, tetapi
sebagai subyek bagi adaptasi manusia untuk berakar pada adaptasi kehidupan yang
selaras dengan kosmos. Kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari sangat tergantung
pada hutan yaitu sebagai salah satu sumber penghidupan sehingga sangat dijaga
kelestariannya, baik dari gangguan pihak luar maupun terhadap ancaman kebakaran.
Oleh karena itu perladangan yang merupakan salah satu aktivitas yang
memanfaatkan lahan hutan, dilakukan dengan mengikuti aturan adat yang berlaku,
terutama yang berhubungan dengan penggunaan api pada saat pembakaran lahan.
Dalam kegiatan perladangan, api digunakan untuk memudahkan pembersihan
lahan yang secara khusus dilakukan pada tahap-tahap awal kegiatan perladangan.
Alasan utama masih digunakannya api pada saat pembukaan ladang terutama pada
aspek kemudahan pengerjaan dan pembiayaan bila dibandingkan dengan cara
lainnya. Dalam kegiatan membakar ladang api sangat diperlukan terutama sekali
untuk membersihkan sisa-sisa dari kegiatan merintis/menebas ladang, dan kegiatan
lainnya dalam tatacara membuka ladang. Penggunaan api dipergunakan juga untuk
kegiatan berburu, memancing, dan memukat.
Teknologi penggunaan api (Marepm Api dalam bahasa Dayak Benuaq) di
masyarakat lokal telah dikenal lama dan diaplikasikan dari generasi ke generasi.
Cara pewarisannya secara umum melalui cerita, pemberian contoh secara
langsung dan pelibatan generasi muda oleh generasi yang lebih tua. Meskipun
demikian pada saat ini muncul kendala yang mengakibatkan proses pewarisan
teknologi tersebut tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar.
Kendala yang dihadapi masyarakat lokal secara umum dalam kegiatan
pemadaman kebakaran hutan yang besar adalah minimnya peralatan. Alat tradisional
yang selama ini digunakan untuk pengendalian api dalam kegiatan pembukaan
ladang tidak memadai untuk digunakan dalam pemadaman kebakaran hutan yang
besar. Peralatan ini pada umumnya hanya digunakan untuk mengendalikan api yang
kecil terutama sekali mencegah menjalarnya api pada saat pembakaran ladang.
Beberapa peralatan yang dipergunakan oleh masyarakat lokal seperti suku Dayak
Benuaq diantaranya; pocet, topoq, gawaakng, kiba, pemupar apuy, agit, pengokot,
beliung, mandau.
Selain itu, dalam penggunaan api, terdapat nilai budaya yang harus ditaati saat
akan membuat ladang, pembakaran ladang maupun saat berburu. Bila terjadi
kebakaran hutan pada saat pembukaan ladang biasanya ada unsur kesengajaan dan
kelalaian, kesemuanya akan dikenakan sanksi dari hasil keputusan adat dan
berlaku untuk semua masyarakat baik di kampung maupun orang luar termasuk
perusahaan. Mengantisipasi terjadinya kebakaran, aturan adat dalam pengendalian
api biasanya sangat ditaati masyarakat mengingat aturan tersebut dibuat untuk
dilaksanakan. Berkaitan dengan kebakaran hutan maupun lahan, baik disengaja
maupun tidak, ada beberapa hal yang terkait dengan aturan adat yang ada pada
masyarakat tradisional di Kaltim. Aturan adat ini pada dasarnya tidak tertulis dan
berasal dari aturan kegiatan pengendalian api pada masyarakat saat proses
pembakaran ladang.
Salah satu langkah penting dalam perlindungan dan sekaligus pemanfaatan
hutan secara lestari adalah diperkenalkannya konsep Model Forest (MF). Model
Forest adalah konsep pengelolaan hutan berbasis lahan, dimana hutan sebagai salah
satu sumberdaya atau nilai utamanya, melalui suatu bentuk kemitraan sukarela dari
berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dalam pengelolan hutan lestari.
Tujuan yang ingin dicapai dari konsep MF ini antara lain adalah terwujudnya
kelestarian sumber daya hutan, peningkatan keuntungan ekonomi dan jasa
lingkungan, berjalannya proses pendidikan publik/masyarakat, serta menemukan
keseimbangan antara keuntungan ekonomis dengan kebutuhan lingkungan.
Salah satu prinsip utama dari pengembangan MF ini adalah menghargai nilai-
nilai pengetahuan masyarakat setempat, wanita dan penduduk asli. Artinya,
kemitraan MF dan program-programnya menghargai nilai-nilai pengetahuan yang
dipunyai oleh masyarakat setempat termasuk wanita dan penduduk asli, sehingga
mereka bisa memainkan peranan penting dalam memberikan kontribusi kearah
kelestarian sumber daya dan kesejahteraan masyarakat, memberikan perhatian
terhadap kualitas hasil penelitian, dan membaginya dengan para anggota dan mitra
dari jaringan model forest. Dengan pola partisipatif dan penghargaan terhadap nilai-
nilai tradisional ini, maka program MF diharapkan dapat memberikan manfaat
langsung bagi masyarakat berupa; Terpeliharanya sistem tata air / sumber air bagi
masyarakat; Tersedianya bahan obat-obatan alami; Ketersediaan bahan pangan
hewani maupun nabati; Terjaminnya keberlanjutan mata pencaharian masyarakat;
Meningkatkan produksi pertanian; dan Meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan masyarakat dalam berorganisasi serta dalam memenuhi kebutuhan
sosial ekonomi.
Penutup
Upaya mencari pola pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang lebih
baik menjadi sangat penting dilakukan. Upaya ini makin terasa justru pada saat
ancaman deforestasi hutan terjadi dengan angka yang sangat mengerikan. Menurut
Menteri Lingkungan Hidup (2006), deforestasi hutan mencapai 2 juta hektar pertahun.
Sebuah angka yang tentu mengejutkan banyak kalangan.
Dampak yang ditimbulkannya pun sudah didepan mata. Berbagai bencana
banjir, tanah longsor dan bencana lain yang akhir-akhir ini terjadi, sungguh diakibatkan
oleh deforestasi hutan tersebut. Pandangan terhadap pengelolaan sumber daya hutan pun
harus berubah, bukan lagi hutan dipandang sebagai sumber ekonomi potensial saja,
tetapi hutan sebagai sumber ekonomi dan sebagai sumber-sumber alam genetik (genetic
resources) yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Tawaran terhadap konsep pembangunan berkelanjutan menjadi sesuatu
keniscayaan karena konsep ini menawarkan sebuah model keseimbangan antara
pengelolaan sumber daya alam yang mempertimbangkan aspek jangka panjang
(generasi masa depan) di satu sisi, dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek
pengelolaan sumber daya manusia di sisi yang lain. Berbagai model atau pola praktis
atas pendekatan pembangunan berkelanjutan pun banyak dikembangkan oleh berbagai
pihak, baik itu pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, sebagai upaya
menemukan jalan keluar atas krisis hutan selama ini.
Dan tentu, tidak ada satupun model yang bersifat general yang bisa diterapkan
ke seantero Indonesia karena kebinekaan Indonesia yang memungkinkan pola tersebut
tidak isa diterapkan. Beragamnya suku, kultur daerah serta berbagai pranata sosial dan
kearifan lokal yang dimiliki menjadikan sebuah pola pengelolaan sumber daya hutan
hanya bisa diimplementasikan di wilayah tertentu.
Daftar Pustaka
Badan Kelola Masyarakat Kepulauan Derawan dan Maratua (Yayasan BESTARI,
Yayasan KALBU, Yayasan KEHATI), Konservasi dan Pemanfaatan SDA
Lestari yang Berbasis Masyarakat di Kepulauan Derawan tahun 2003-2005,
Hasil Perencanaan Kampung 22 –23 September 2003.
Bappeda Kab. Berau, Strategi Pengembangan Pesisir, bahan presentasi, tt.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Berau, Kebijakan Pengembangan Kawasan
Konservasi Laut di Kabupaten Berau, bahan presentasi, tt.
Fauzi, Akhmad. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2004: 2.
Ismuranty, Christien, Ani Mardiastuti, Jan Henning Steffen, Merintis Konservasi Pulau
Kakaban: Kerangka Pengembangan Model Pengelolaan Kolaboratif Kepulauan
Derawan Berbasis Masyarakat, Yayasan KEHATI, Januari 2004.
Kompas, Kakaban, Benteng Terakhir Kepulauan Derawan, 16 Juni 2004,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/16/bahari/1065450.htm
Nanang, Martinus dan Devung, G. Simon. Kabupaten Kutai Barat: Panduan
Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan.
IGES. Kanagawa, Jepang. 2004.
P2O-LIPI, Departeman Kelautan dan Perikanan (DKP), Yayasan Kehati, WWF
Indonesia, Proyek Pesisir, Yayasan Bestari, Yayasan Kalbu, Profil Kepulauan
Derawan, tt.
Rachbini J, Didik. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi. Grasindo.
Jakarta. 2001
Salim, Emil. Pembangunan Berkelanjutan: Keperluan Penerapannya di Indonesia.
Dalam Sudjatmoko. Pembangunan Berkelanjutan: Mencari Format Politik. PT
Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan Spes. Jakarta. 1992: 3.
----------, Sertifikasi Sumber daya Alam dalam Perspektif Ekonomi Politik Global.
Sekretariat Bersama Kelautan, Pengembangan Konservasi Kawasan Laut, Yayasan
Kehati, Bestari, The Nature Conservancy, WWF Indonesia, Mitra Pesisir/CRMP
II USAID, Kalbu, Berau.
Utomo, Tri Widodo W., et.al., 2005. “Kajian Tentang Pola Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Berbasis Kearifan Local (Local Wisdom) di Kalimantan”,
Samarinda: PKP2A III LAN.
Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI), ”Kajian Biodiversitas Bersama
Masyarakat Di Kawasan Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan”,
Banjarmasin, 2006.