Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang
sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang. Kehilangan dan
berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau
nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak
melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya. Dalam perkembangan
masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju.
Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada
orang lain.
Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila
menghadapi kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan
diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang
memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga
intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan.
Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan
menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima
kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut.
Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami
kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial
yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang
mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan
dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi
ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan,
penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi
mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama
kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).

1
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep dasar dan asuhan keperawatan dari
kehilangan dan berduka
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dari kehilangan dan berduka
b. Mahasiswa dapat menyebutkan tanda dan gejala dari kehilangan dan berduka
c. Mahasiswa dapat menyebutkan dan menjelaskan faktor penyebab kehilangan
dan berduka
d. Mahasiswa dapat menyebutkan tahap-tahap kehilangan dan berduka
e. Mahasiswa dapat menyebutkan karakteristik perilaku dari kehilangan dan
berduka
f. Mahasiswa dapat menyebutkan faktor-faktor risiko yang menyertai kehilangan
g. Mahasiswa dapat menerapkan mekanisme koping dari kehilangan dan berduka
h. Mahasiswa dapat menyebutkan akibat dari kehilangan dan berduka
i. Mahasiswa dapat menerapkan dan mendemonstrasikan teknik napas dalam
j. Mahasiswa dapat menerapkan dan mendemonstrasikan teknik hipnosis 5 jari

C. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan, bab ini terdiri dari latar belakang, tujuan, dan sistematika
penulisan.

BAB II Konsep Dasar Kehilangan dan Berduka, bab ini terdiri dari pengertian, tanda
dan gejala, faktor penyebab, tahap-tahap, karakteristik perilaku, faktor risiko yang
menyertai, mekanisme koping, akibat, teknik napas dalam dan teknik hipnosis 5 jari

BAB III Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka

BAB IV Penutup, bab ini terdiri dari simpulan

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB II
KONSEP DASAR KEHILANGAN DAN BERDUKA
A. Pengertian
1. Kehilangan

Kehilangan (loss) adalah suatu situasi actual maupun potensial yang dapat
dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi
perasaan kehilangan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami
oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Sejak lahir, individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda. Setiap individu akan berekasi terhadap kehilangan.
Respons terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh respons individu
terhadap kehilangan sebelumnya (Hidayat, 2009 : 243).

2. Berduka
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini
diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada masing-masing orang dan
didasarkan pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan keyakinan spiritual
yang dianutnya (Hidayat, 2009 : 244).

B. Tanda dan Gejala


1. Kehilangan
Menurut Prabowo (2014 : 117) tanda dan gejala kehilangan diantaranya:
a. Perasaan sedih, menangis
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
(Eko prabowo, 2014 : 117)

3
2. Berduka
Menurut Dalami (2009) tanda dan gejala berduka diantaranya :
a. Efek fisik
Kelelahan, kehilangan selera, masalah tidur, lemah,berat badan menurun,
sakit kepala, berat badan menurun, sakit kepala, pandangan kabur, susah
bernapas, palpitasi dan kenaikan berat , susah bernapas.
b. Efek emosi
Mengingkari, bersalah , marah, kebencian, depresi,kesedihan, perasaan
gagal, perasaan gagal, sulit untuk berkonsentrasi, gagal dalam menerima
kenyataan, iritabilita, perhatian terhadap orang yang meninggal.
c. Efek social.
1) Menarik diri dari lingkungan
2) Isolasi (emosi dan fisik) dari istri, keluarga dan teman
.
C. Faktor Penyebab

Faktor Penyebab Kehilangan yaitu

1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
a. Genetic

Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai


riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi
suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.

b. Kesehatan Jasmani

Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan fisik

c. Kesehatan Mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat
depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi
oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan.

4
d. Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu

Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kana-
kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada
masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991)

e. Struktur Kepribadian

Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan


menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress
yang dihadapi.

2. Faktor Presipitasi

Strees yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata,
ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain
meliputi: kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran
dalam keluarga, kehilangan posisi dimasyarakat, kehilangan milik pribadi seperti:
kehilangan harta benda atau orang yang dicintai, kehilangan kewarganegaraan, dan
sebagainya.

a. Perilaku

Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti: menangis


atau tidak mampu menangis, marah-marah, putus asa, kadang-kadang ada tanda-
tanda bunuh diri atau ingin membunuh orang lain. Juga sering berganti tempat
mencari informasi yang tidak menyokong diagnosanya.

b. Mekanisme Koping

Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain:
Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan Proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan.
Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam
keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan
tidak tepat

5
D. Tahap-Tahap Kehilangan dan Berduka
1. Tahap Pengingkaran (Denail)

Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya
atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan
mengatakan "Tidak , saya tidak percaya itu terjadi" atau "Itu tidak mungkin terjadi".
Bagi individu atau keluarga yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus
mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus
berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun.

2. Tahap Marah (Anger)

Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya
kehilangan Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering
diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia
menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh
dokter-perawat yang tidak pecus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka
merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

3. Tahap Tawar-menawar (Bargaining)

Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia


akan maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan.
Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata "kalau saja kejadian ini bisa ditunda,
maka saya akan sering berdoa". Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan
yang sering keluar adalah "kalau saja yang sakit, bukan anak saya"

4. Tahap Depresi (Depresion)

Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai
pasien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak
berharga, ada keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain
: menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido manurun.

6
5. Tahap Penerimaan (Acceptance)

Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu
berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang.
Individu telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek
atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan
beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan "saya betul-
betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis" atau "Apa yang dapat
saya lakukan agar cepat sembuh"

E. Karakteristik Perilaku
Seseorang yang mengalami kehilangan dan berduka memiliki beberapa
karakteristik yaitu :
1. Mengingkari kenyataan kehilangan terjadi dalam waktu yang lama
2. Sedih berkepanjangan
3. Adanya gejala fisik yang berat
4. Keinginan untuk bunuh diri

F. Faktor-Faktor Resiko yang Menyertai Kehilangan


Menurut Martocchio Cit Ambarwati dan Sunarsih (2001), faktor-faktor resiko
yang menyertai kehilangan meliputi :
1. Status sosial ekonomi yang rendah
2. Kesehatan yang buruk
3. Kematian yang tiba-tiba atau sakit yang mendadak
4. Merasa tidak adanya dukungan sosial yang memadai
5. Kurangnya dukungan dan kepercayaan keagamaan
6. Kurangnya dukungan keluarga atau seseorang yang tidak dapat menghadapi
ekspresi berduka
7. Kecenderungan yang kuat tentang keteguhan pada seseorang sebelum
kematian atau kehidupan setelah mati dari seseorang yang sudah mati
8. Reaksi yang kuat tentang distres, kemarahan da mencela diri sendiri.

7
Tipe kehilangan dibagi dalam 2 tipe (menurut Ambarwati dan Sunarsih,
2011), yaitu :

1. Aktual atau nyata


Mudah dikenal atau didentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian
orang yang sangat berarti/dicintai.
2. Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya
seseorang yang berhentinbekerja/PHK, menyebabkan perasaan kemandirian
dan kebebasannya menjadi menurun.

G. Mekanisme Koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain : Denial,
Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan proyeksi yang digunakan
untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan
disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan patologis
mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat (Prabowo,
2014 : 117 –118).
1. Denial
Dalam psikologi, terma “denial” artinya penyangkalan dikenakan pada seseorang
yang dengan kuat menyangkal dan menolak serta tak mau melihat fakta-fakta yang
menyakitkan atau tak sejalan dengan keyakinan, pengharapan, dan pandangan-
pandangannya. Denialisme membuat seorang hidup dalam dunia ilusifnya sendiri,
terpangkas dari kehidupan dan nyaris tidak mampu keluar dari cengkeramannya.
Ketika seseorang hidup dalam denial “backfire effect” atau “efek bumerang”
sangat mungkin terjadi pada dirinya. Orang yang hidup dalam denial tentu saja
sangat ridak berbahagia. Dirinya sendiri tidak berbahagia, dan juga membuat
banyak orang lain tidak berbahagia (Prabowo, 2014 : 118).
2. Represi
Represi merupakan bentuk paling dasar diantara mekanisme lainnya. Suatu cara
pertahanan untuk menyingkirkan dari kesadaran pikiran dan perasaan yang
mengancam. Represi adalah mekanisme yang dipakai untuk menyembuhkan hal-
hal yang kurang baik pada diri kita kea lam bawah sadar kita. Dengan mekanisme

8
ini kita akan terhindar dari situasi tanpa kehilangan wibawa kita (Prabowo, 2014 :
118).
3. Intelektualisasi
Intelektualisasi adalah pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang menganggu perasaannya. Dengan intelektualisasi,
manusia dapat mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan, dan
memberikan kesempatan untuk meninjau permasalahan secara objektif (Prabowo,
2014 : 118).
4. Regresi
Yaitu menghadapi stress dengan perilaku, perasaan dan cara berfikir mundur
kembali ke ciri tahap perkembangan sebelumnya (Prabowo, 2014 : 118).
5. Disosiasi
Beban emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan diputus atau diubah.
Mekanisme dimana suatu kumpulan proses-proses mental dipisahkan atau
diasingkan dari kesadaran dengan bekerja secara merdeka atau otomatis, afek dan
emosi terpisah, dan terlepas dari ide, situasi, objek, misalnya pada selektif amnesia
(Prabowo, 2014 : 118).
6. Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi sebenarnya
merupakan analog dari represi yang disadari. Perbedaan supresi dengan represi
yaitu pada supresi seseorang secara sadar menolak pikirannya keluar alam sadarnya
dan memikirkan yang lain. Dengan demikian supresi tidak begitu berbahaya
terhadap kesehatan jiwa, Karena terjadinya dengan sengaja, sehingga ia
mengetahui apa yang dibuatnya (Prabowo, 2014 : 118).
7. Proyeksi
Proyeksi merupakan usaha untuk menyalahkan orang lain mengenai kegagalannya,
kesulitannya atau keinginan yang tidak baik. Dolah dan Holladay (1967)
berpendapat bahwa proyeksi adalah contoh dari cara untuk memungkiri tanggung
jawab kita terhadap impuls-impuls dan pikiran-pikiran dengan melimpahkan
kepada orang lain dan tidak pada kepribadian diri sendiri (Prabowo, 2014 : 118).

9
H. Akibat dari Kehilangan dan Berduka

Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah
pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (Husnudzon) dan
kompensasi yang positif (konstruktur). Apa bila kondisi tersebut tidak tercapai, maka
akan berdampak pada terjadinya depresi. Pada saat individu depresi sering
menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien sangat penurut, tidak mau
bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri,
dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah tidur, letih,
dorongan libido manurun( Prabowo, 2014:117)

I. Teknik Relaksasi Napas Dalam


1. Pengertian

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang
dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas
dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana
menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri,
teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan
meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).

Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami
nyeri kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan konsumsi oksigen,
frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan
siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot (McCaffery, 1998).

Relaksasi merupakan metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada klien yang
mengalami nyeri kronis. Relaksasi sempurna dapat mengurangi ketegangan otot, rasa
jenuh dan kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulus nyeri. (Ns.Eni
Kusyati,S,Kep,Dkk hal 198, 2006).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa relaksasi merupakan metode


efektif untuk menurunkan nyeri yang merupakan pengalaman sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan dengan mekanismenya yang menghentikan siklus nyeri.

2. Jenis-jenis nafas dalam


Nafas dalam yaitu bentuk latihan nafas terdiri atas :
a. Pernafasan Diafragma

10
1) Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen di rumah.
2) Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring ke
kiri atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk.
3) Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian tengah,
tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian atas
mengembang dan tulang rusuk bagian bawah membuka. Penderita perlu
disadarkan bahwa diafragma memang turun pada waktu inspirasi. Saat
gerakan (ekskursi) dada minimal. Dinding dada dan otot bantu napas
relaksasi.
4) Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-pelan
melalui mulut (pursed lips breathing), selama inspirasi, diafragma sengaja
dibuat aktif dan memaksimalkan protrusi (pengembangan) perut. Otot
perut bagian depan dibuat berkontraksi selama inspirasi untuk
memudahkan gerakan diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar
toraks bagian bawah.
5) Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut untuk
menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban seberat 0,5-1 kg dapat
diletakkan di atas dinding perut untuk membantu aktivitas ini.

b. Pursed lips breathing


1) Menarik napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan
menarik napas dalam) dengan mulut tertutup.
2) Kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan
posisi seperti bersiul.
3) PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama ekspirasi.
4) Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung.
5) Dengan pursed lips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan tekanan pada
rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang
bronkus sehingga dapat mencegah air trapping dan kolaps saluran napas kecil
pada waktu ekspirasi

c. Tujuan nafas dalam pada pasien gangguan jiwa


Berikut adalah tujuan nafas dalam sebagai berikut :
1) Mengurangi stress

11
2) Menurunkan rasa nyeri
3) Menurunkan kecemasan

d. Manfaat teknik relaksasi nafas dalam


Berikut adalah manfaat teknik relaksasi nafas dalam :
1) Ketentraman hati
2) Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah
3) Tekanan dan ketegangan jiwa menjadi rendah
4) Detak jantung lebih rendah
5) Mengurangi tekanan darah
6) Ketahanan yang lebih besar terhadap penyakit
7) Tidur mudah lelah
8) Kesehatan mental menjadi lebih baik
9) Daya ingat lebih baik
10) Meningkatkan daya berpikir logis
11) Meningkatkan kreativitas
12) Meningkatkan keyakinan
13) Meningkatkan daya kemauan
14) Meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain

e. Persiapan melakukan relaksasi nafas dalam


Berikut adalah persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan teknik
relaksasi nafas dalam, sebagai berikut :
1) Pastikan anda dalam keadaan tenang dan santai (rileks).
2) Pilih waktu dan tempat yang sesuai. (duduk di kursi jika anda di kerjaan
atau di rumah).
3) Anda boleh melakukan teknik relaksasi ini sambil membaca doa, berzikir
atau sholawat.

f. Teknik nafas dalam


Berikut adalah teknik nafas dalamn sebagai berikut :
1) Cuci tangan.
2) Jelaskan prosedur yang akan kita lakukan pada pasien.

12
3) Atur posisi nyaman bagi pasien dengan posisi setengah duduk ditempat
tidur atau telentang.
4) Flexikan lutut klien untuk merileksasikan otot abdominal.
5) Letakkan 1 atau 2 tangan pada abdomen, tepat dibawah tulang iga.
6) Anjurkan pasien untuk mulai latihan dengan cara menarik nafas dalam
melalui hidung dengan bibir tertutup.
7) Kemudian anjurkan klien untuk menahan napas sekitar 1-2 detik dan
disusul dengan menghembuskan napas melalui bibir dengan bentuk mulut
seperti orang meniup ( purse lips breathing).
8) Lakukan 4-5 kali latihan, lakukan minimal 3 kali sehari.
9) Catat respon yang terjadi setiap kali melakukan latihan nafas dalam
10) Cuci tangan.

J. Teknik Hipnosis 5 Jari


Hipnotis lima jari adalah pemberian perlakuan dalam keadaan rileks, kemudian
memusatkan pikiran pada bayangan atau kenangan yang diciptakan sambil
menyentuhkan lima jari tangan secara berurutan dengan membayangkan kenangan.
Manfaat hipnotis lima jari adalah dapat meningkatkan semangat, menimbulkan
kedamaian di hati dan mengurangi ketegangan. (Keliat dkk, 2011).
Langkah-langkah Hipnotis 5 jari :
2) Atur posisi klien senyaman mungkin
3) Pejamkan mata
4) Tarik nafas
5) Buang perlahan
6) Lakukan selama 3 kali
7) Tautkan ibu jari kepada jari telunjuk, bayangkan ketika anda begitu sehat
8) Tautkan ibu jari kepada jari tengah, bayangkan ketika anda berkumpul dengan
keluarga
9) Tautkan ibu jari kepada jari manis, bayangkan ketika anda mendapat suatu
pujian dan penghargaan.
10) Tautkan ibu jari anda kepada jari kelingking, ketika anda berada di tempat yang
paling nyaman, tempat yang membuat anda merasa sangat bahagia.
11) Tarik nafas, buang perlahan, lakukan selama 3 kali
12) Buka mata kembali.

13
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

KEHILANGAN DAN BERDUKA

A. Pengkajian
1. Data Fokus
a. Perasaan sedih, menangis
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yg berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur dan tingkat aktivitas

2. Dokumentasi Pengkajian
a. Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien
dengan apa yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui
perilaku.
b. Beberapa percakapan yang merupakan bagian pengkajian agar mengetahui apa
yang mereka pikir dan rasakan adalah:
1) Persepsi yang adekuat tentang kehilangan
2) Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan
3) Perilaku koping yang adekuat selama proses
c. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan:
1) Faktor genetik : individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam
keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan selit mengembangkan
sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam
menghadapi perasaan kehilangan.
2) Kesehatan jasmani: individu denga keadaan fisik sehat, pola hidup
yang teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress
yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami
gangguan fisik.
3) kesehatan mental: individu yang mengalami gangguan jiwa terutama
yang mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak
berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa depan yang suram,
biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi kehilangan.

14
4) Pengalaman kehilangan masa lalu: Kehilangan atau perpisahan dengan
orang yang berarti pada masa kanak-kanak akan mempengaruhi
individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa
5) Struktur kepribadian: Individu dengan konsep yang negatif, perasaan
rendah diri akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yg tidak
objektif terhadap stress yang dihadapi
d. Faktor Presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan.
Kehilangan kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti:
kehilangan sifat bio-psiko-sosiol antara lain:
1) Kehilangan kesehatan
2) Kehilangan fungsi seksualitas
3) Kehilangan peran dalam keluarga
4) Kehilangan posisi di masyarakat
5) Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
6) Kehilangan kewarganegaraan
e. Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan, antara lain: Denial,
Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi, dan Proyeksi, yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat
menyakitkan. Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang
dalam. Dalam keadaan patologis, mekanisme koping tersebut sering dipakai
secara berlebihan dan tidak tepat.
f. Respon spiritual
1) Kecewa dan marah terhadap Tuhan
2) Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan
3) Tidak memiliki harapan, kehilangan makna
g. Respon Fisiologis
1) Sakit kepala, insomnia
2) Gangguan nafsu makan
3) Berat badan turun
4) Tidak bertenaga
5) Palpitasi, gangguan pernapasan
6) Perubahan sistem imune dan endokrin

15
h. Respon Emosional
1) Merasa sedih, cemas
2) Kebencian
3) Merasa bersalah
4) Perasaan mati rasa
5) Emosi yang berubah-ubah
6) Penderitaan dan kesepian yang berat
7) Keinginan yang kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu
atau benda yang hilang
8) Depresi, apati, putus asa selama fase disorganisasi dan keputusaaan
9) Saat fase reorganisasi, muncul rasa mandiri dan percaya diri
i. Respon Kognitif
1) Gangguan asums dan keyakinan
2) Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna kehilangan
3) Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal
4) Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang meninggal
adalah pembimbing
j. Perilaku
Individu yang sedang berduka, sering menunjukkan perilaku:
1) Menangis tidak terkontrol
2) Sangat gelisah
3) Iriitabilitas dan sikap bermusuhan
4) Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan bersama
yang telah meninggal
5) Menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal padahal ingin
membuangnya
6) Kemungkinan menyalahgunakan obat dan alcohol
7) Kemungkinan melakukan upaya bunuh diri atau pembunuhan

16
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan NANDA yang berhubungan dengan respon emosional
maladaptif. North Amercian Nursing Diagnosis Association: NANDA Nursing
diagnoses : Definition and classification 2001, philadelphia, 2001, the association.

1. Duka cita, Adaptif

Respons dan perilaku intelektual dan emosional yang dialami individu,


keluarga, dan komunitas selama proses memodifikasi konsep diri berdasarkan
persepsi potensi kehilangan.

2. Duka cita, Maladaptif.

Penggunaan respons intelektual dan emosional yang lama dan berhasil yang
diupayakan oleh individu, keluarga, komunitas dalam melakukan proses
memodifikasi konsep diri berdasarkan persepsi kehilangan.

a. kemungkinan ditandai dengan

1) Presepsi area dalam kehidupan yang tidak terpenuhi atau hilang; penyangkalan
kehilangan; ekspresi masalah yang tidak terselesaikan;rasa bersalah.

2) Menangis atau efek labil.

3) Gangguan pada fungsi kehidupan, perubahan dalam konsentrasi atau


penyelesaian tugas, perubahan kebiasaan makan, pola tidur atau mimpi, tingkat
aktifitas, libido

C. Intervensi Keperawatan

1. Kaji kehilangan yang terjadi pada kehidupan klien. Diskusikan arti dari yang
dialami klien.

Rasional : Penyangkalan dampak atau pentingnya kehilangan dapat berperan


dalam bertambah parahnya depresi.

2. Tentukan faktor budaya dan cara individu mengatasi kehilangan terdahulu

Rasional : Keyakinan budaya mempengaruhi bagaimana masyarakat


mengeskpresikan dan menerima proses berduka

17
3. Anjurkan penggungkapan tentang dan bantu dalam mengidentifikasi perasaan
dan hubungan anatara perasaaan dan kejadian atau stressor, jika kejadian
diketahui.

Rasional :Pengungkapan perasaan pada lingkungan yang tidak engancam dapat


membantu klien menghadapi masalah yang tidak dikenal atau yang
terselesaikan, yang dapat memperberat depresi membantu klien menyadari
respon (perasaan) yang tidak berhungan dengan stressor atau kejadian yang
mendukung.

4. Diskusikan cara-cara untuk mengidentifikasi dan menghadapi perasaan yang


diahadapi nya (misalnya terluka, menolak, marah). Ataur batasan yang terkait
dengan prilaku merusak

Rasional : dimulai untuk meningkatkan peran klien dalam strategi koping


dengan mempelajari bahwa ada pilihan untuk berperilaku secara berbeda sering
dapat menurunkan perasaan tersesat .”bercerita” bagaimanan oranglain dapat
mengatasi situasi yang mungkin dapat membantu tidak hanya memberi
penyelesaian penting tetapi juga dalam memeberi ide bahwa masalah dapat
diatasi

5. Identifikasi tahap tahap normal berduka dan terima kenyataan perasaan tersebut,
misal perasaan bersalah, perasaan marah, tidak berdaya.

Rasional: membantu klien memahami perasaan yang normal dan dapat


menghilangkan perasaan bersalah akibat perasaan normal ini

6. Bimbing klien untuk mengidentifikasi perlunya menempatkan masalah secara


berbeda jelaskan semua aspek masalah melalui keterampilan komuniksi
teurapetik

Rasional: menghadapi perubahan dimuali dengan menghadapi “masalah”.


Denagn demikian membantu klien untuk mempertimbangkan semua aspek
masalah, untuk memgidentifikasikan secara jelas apa yang klien hadapi.

7. Bantu klien mengenal gejala awal depresi dan rencanakan cara


menghilangkannya. Bantu klien membentuk langkah langkah untuk dukungan
dari luarjika gejala berlanjut

18
Rasional : melibatkan klien secara aktif, mengurangi perasaan tidak berdaya,
latihan meningkatkan generalisasi strategi koping yang baru dipelajari terhadap
situasi yang baru dan dapat membantu menimalkan kekambuhan perasaan
deprsif

8. Tekankan aspek positif untuk tetap dapat mendapatkan bantuan

Rasional : mendorong klien memperlajari bagaimana cara mengatur atau


merawat diri. Hal ini penting bahwa klien memilki dukung yang tersedia, yang
dapat membantu jika dibutuhkan dan bahwa klien mengalami kebutuhan untuk
mencapainya secara positif, mencerminkan perasaan berkuasa dan memiliki
perasaan harga diri.

D. Evaluasi

1. Menunjukkan kemajuan dalam menghadapi tahap-tahap berduka dengan


langkahnya sendiri.

2. Berpartisipasi dalam aktifitas kerja atau perawatan diri sesuai tingkat


kemapuannya.

3. Mengungkapkan adanya kemajuan dalam penyelesaian berduka dan harapan


untukasa depan.

4. Klien mampu mengungkapkan perasaannya secara spontan

5. Klien menunjukkan tanda-tanda penerimaan terhadap kehilangan

6. Klien dapat membina hubungan yang baik dengan orang lain

7. Klien mempunyai koping yang efektif dalam menghadapi masalah akibat


kehilangan

19
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat
dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi
perasaan kehilangan, sedangkan berduka (grieving) merupakan reaksi emosional
terhadap kehilangan. Hal ini diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada
masing-masing orang dan didasarkan pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya,
dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Tanda dan gejala kehilangan adalah
perasaan sedih dan menangis, perasaan putus asa dan kesepian, serta mengingkari
kehilangan. Lalu tanda dan gejala berduka adalah masalah tidur, marah, dan
menarik diri dari lingkungan.
Faktor yang dapat mempengaruhi kehilangan adalah faktor predisposisi dan
faktor presipitasi. Kehilangan dan berduka melalui 5 tahapan khusus yaitu denial,
anger, bargaining, depression, acceptance. Seseorang yang mengalami kehilangan
dan berduka memiliki beberapa karakteristik yaitu : Mengingkari kenyataan
kehilangan terjadi dalam waktu yang lama, Sedih berkepanjangan, Adanya gejala
fisik yang berat, Keinginan untuk bunuh diri. Mekanisme koping yang dapat
dilakukan antara lain : denial, represi, intelektualisasi, regresi, disosiasi, supresi
dan proyeksi. Apa bila kondisi tersebut tidak tercapai, maka akan berdampak pada
terjadinya depresi. Kecemasan yang dapat ditimbulkan dari kehilangan dan
berduka dapat diatasi dengan teknik relaksasi napas dalam dan teknik hipnosis 5
jari.
Asuhan keperawatan jiwa pada pasien kehilangan dan berduka terdapat
beberapa aspek penilaian yang berbeda. Pada pengkajian data fokus harus terdapat
faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Pada diagnosa dihubungkan dengan
respon maladaptif klien. Intervensi keperawatan dilakukan sesuai indikasi diagnosa
dengan tujuan dan kriteria hasil. Kriteria hasil yang ditemtukan harus menjadi
patokan untuk evaluasi akhir.

20
DAFTAR PUSTAKA

Al Adib, dkk. 2017. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Pasien
Kehilangan dan Berduka. Di akses di
https://samoke2012.files.wordpress.com/2017/03/lpsp-berduka.pdf pada 20
Agustus 2018.

Black, J.M., Matassarin, E. Medical Surgical Nursing. 1997. Clinical Management for

Continuity of Care. J.B. Lippincott Co.

Doengoes, Marilyn E., dkk. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri, Edisi 3. Jakarta:
EGC

Ernia. 2018. Laporan Pendahuluan Gangguan Psikososial Kehilangan. Di akses di


https://id.scribd.com/document/349413053/Laporan-Pendahuluan-Gangguan-
Psikososial-Kehilangan pada 20 Agustus 2018.

Kurniadi, Rizki. 2018. Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka. Di akses di

Luckman & Sorensen. Medical Surgical Nursing. 1990. WB Saunders Company.

Nurma. 2018. Kehilangan Berduka. Di akses di


https://id.scribd.com/document/336253036/kehilangan-berduka pada 20 Agustus 2018.

Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha Medika
Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC

21

Anda mungkin juga menyukai