Anda di halaman 1dari 20

PENGELOLAAN JALAN NAFAS

(AIRWAY MANAGEMENT)

REFERAT
Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Stase Anastesi RS Immanuel Bandung

PIA ROHDINA
1815121

BAGIAN ILMU ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
2.1 Anatomi system pernafasan ...................................................................... 3
2.2 Fisiologi system pernafasan ..................................................................... 5
2.2.1 Mekanisme pernafasan ...................................................................... 5
2.2.2 Volume dan kapasitas paru ............................................................... 5
2.3 Jalan napas (airway) ................................................................................. 7
2.4 Tindakan pembebasan jalan nafas dengan tanpa alat ............................... 7
2.4.1 Head Tilt / Chin Lift .......................................................................... 8
2.4.2 Jaw Trust Manuver ............................................................................ 9
2.5 Pengelolaan jalan napas (airway management) dengan alat .................... 9
2.5.1 Oropharyngeal airway ....................................................................... 9
2.5.2 Nasopharygeal airway ..................................................................... 11
2.5.3 Face Mask ....................................................................................... 11
2.5.4 Laryngeal mask airway (LMA) ....................................................... 13
2.5.5 Intubasi Endotracheal (ETT) ........................................................... 16
BAB III ................................................................................................................. 18
KESIMPULAN ..................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

1
BAB I
PENDAHULUAN

Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung


dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat
pasien ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapat pertolongan
sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat.
Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat
sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan
oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga
memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit
akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan
menyebabkan kematian.
Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu
tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam
anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat penting
dilakukan secara efektif dan efisien dan penatalaksanaan jalan nafas (airway
management) perlu dilakukan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi system pernafasan


Secara anatomis saluran nafas terbagi menjadi
 Saluran nafas atas:
Hidung → rongga hidung + sinus paranasalis → faring (nasofaring → orofaring
→ laryngofaring).
 Saluran nafas bawah:
Laring → trakea → bronkus (primer → sekunder → tertier) → bronkiolus →
bronkiolus terminalis → bronkiolus respiratorius → ductus alveolaris →
alveolus (paru).

Secara fisiologis saluran nafas terbagi menjadi:


 Pars konduktiva: bronkiolus terminalis ke proximal.
 Pars respiratorius: bronkiolus respiratorius ke distal.

3
Hipofaring
Anatomi mengenai hipofaring penting untuk managemen airway. Batas
laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal.
Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan
dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang,
kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula
terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini
dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya.
Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke
esophagus.

4
2.2 Fisiologi system pernafasan
2.2.1 Mekanisme pernafasan
Paru dan dinding dada merupakan struktur yang elastis. Pada keadaan normal,
hanya ditemukan selapis tipis cairan di antara paru dan dinding dada (ruang
intrapleura). Inspirasi merupakan proses aktif. Kontraksi otot inspirasi akan
meningkatkan volume intratoraks. Tekanan intrapleura di bagian basis paru akan
turun dari sekitar -2,5 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) pada awal
inspirasi. Tekanan di dalam saluran udara menjadi sedikit lebih negatif dan udara
akan mengalir ke dalam paru.
Pada akhir inspirasi, daya recoil paru mulai menarik dinding dada kembali ke
kedudukan ekspirasi sampai tercapai keseimbangan kembali antara daya recoil
jaringan paru dan dinding dada. Tekanan di saluran udara menjadi lebih positif dan
udara mengalir meninggalkan paru.

2.2.2 Volume dan kapasitas paru


Volume paru dan kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem
pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas fungsi paru dapat
diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.

Volume Paru
Terdapat empat macam volume paru. Keempat macam volume paru tersebut
jika semuanya dijumlahkan, sama dengan volume maksimal paru yang
mengembang atau disebut juga total lung capacity, dan arti dari masing-masing
volume tersebut adalah sebagai berikut :
1. Volume tidal, merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap kali
inspirasi atau ekspirasi pada setiap pernapasan normal. Nilai rerata pada kondisi
istirahat ± 500 ml.
2. Volume cadangan inspirasi, merupakan jumlah udara yang masih dapat masuk
ke dalam paru pada inspirasi maksimal. Nilai rerata ± 3000 ml.

5
3. Volume cadangan ekspirasi, merupakan jumlah udara yang dapat dikeluarkan
secara aktif dari dalam paru melalui kontraksi otot ekspirasi secara maksimal,
setelah ekspirasi biasa. Nilai rerata ± 1000 ml.
4. Volume residual, merupakan udara yang masih tertinggal di dalam paru setelah
ekspirasi maksimal. Nilai rerata ± 1200 ml.

Kapasitas Paru
Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam
paru seseorang secara maksimal. Jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam
paru akan ditentukan oleh kemampuan compliance sistem pernapasan. Semakin
baik kerja sistem pernapasan berarti volume oksigen yang diperoleh semakin
banyak.
1. Kapasitas vital, yaitu jumlah udara terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru
dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal. Kapasitas vital merupakan
hasil penjumlahan volume tidal dengan volume cadangan inspirasi dan volume
cadangan ekspirasi. Nilai rerata ± 4500 ml.
2. Kapasitas inspirasi, yaitu volume udara maksimal yang dapat dihirup pada akhir
ekspirasi biasa. Kapasitas inspirasi merupakan penjumlahan volume tidal
dengan volume cadangan inspirasi. Nilai rerata ± 3500 ml.
3. Kapasitas residual fungsional, yaitu jumlah udara di paru pada akhir ekspirasi
pasif normal. Kapasitas residual fungsional merupakan penjumlahan dari
volume cadangan ekspirasi dengan volume residual. Nilai rerata ± 2200 ml.
4. Kapasitas total paru, yaitu jumlah udara dalam paru sesudah inspirasi maksimal.
Kapasitas total paru merupakan penjumlahan dari keseluruhan empat volume
paru atau penjumalahan dari kapasitas vital denganvolume residual. Nilai rerata
± 5700 ml.

6
2.3 Jalan napas (airway)
Airway merupakan komponen yang penting dari sistem pernapasan adalah
hidung dan mulut, faring, epiglotis, trakea, laring, bronkus dan paru. Sehingga
Penilaian jalan napas (airway) pada korban yang pertama kali adalah:
1. Mendengarkan apakah ada suara nafas tambahan?
2. Apakah jalan nafas terbuka
3. Lindungi C-spin

Tanda-tanda sumbatan pada jalan nafas yaitu:


1. Bagian atas
a. Snoring: suara seperti orang ngorok dimana pangkal lidah yang jatuh ke
belakang.
b. Gurgling: seperti orang berkumur dimana dikarenakan adanya cairan atau
darah.
c. Stridor: terjadi karena uap panas atau gas yang mengakibatkan mukosa
bengkak ataupun jalan nafanya menjadi kasar.

2. Bagian bawah
a. Rales
b. Wheezing: seperti suara biola dimana mengalami penyempitan di
bronkusnya.
c. Stridor

2.4 Tindakan pembebasan jalan nafas dengan tanpa alat


Lidah merupakan penyebab utama tertutupnya jalan napas pada korban tidak
sadar. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan kehilangan kekuatan ototnya
sehingga akan terjatuh kebelakang rongga mulut. Hal ini mengakibatkan
tertutupnya trakea sebagai jalan napas. Pada kasus-kasus tertentu, korban
membutuhkan bantuan pernapasan. Sebelum diberikan bantuan pernapasan, jalan
napas korban harus terbuka. Ada dua manuver yang lazim digunakan untuk
membuka jalan napas, yaitu Head tilt / Chin lift dan jaw trust manuver.

7
2.4.1 Head Tilt / Chin Lift
Tehnik ini hanya dapat digunakan pada korban tanpa cedera kepala, leher, dan
tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah:
1) Letakkan tangan pada dahi korban (gunakan tangan yang paling dekat
dengan dahi korban).
2) Pelan-pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi kearah
belakang.
3) Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian tulang dari dagu
korban. Jika korban anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan
dibawah dagu.
4) Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan samapi
mulut korban tertutup. Jika korban anak-anak, jangan terlalu
menengadahkan kepala.
5) Pertahankan posisi ini.

8
2.4.2 Jaw Trust Manuver
Tehnik ini dapat digunakan selain tehnik diatas. Walaupun tehnik ini menguras
tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk korban dengan cedera tulang
belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah:
1) Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di kedua sisi kepala
korban. Letakkan tangan di kedua sisi kepala korban.
2) Cengkeram rahang bawah korban pada kedua sisinya.jika korban anak-
anak, gunakan dua atau tiga jari dan letakkan pada sudut rahang.
3) Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang bawah korban
keatas. Hal ini menarik lidah menjauhi tenggorokan.
4) Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu, tarik bibir
bagian bawah dengan kedua ibu jari.

2.5 Pengelolaan jalan napas (airway management) dengan alat


2.5.1 Oropharyngeal airway
Ada yang menyebutnya sebagai oropharingeal airway, ada yang menyebutnya
mayo tube, atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah gudel.

a. Pengertian
Memasang oropharingeal tube adalah suatu tindakan pemenuhan kebutuhan
oksigen dengan membebaskan jalan nafas melalui pemasangan oropharingeal tube
melalui rongga mulut ke dalam pharing.

b. Tujuan
1) Membebaskan jalan nafas
2) Mencegah lidah jatuh atau melekat pada dinding posterior pharing
3) Memudahkan penghisapan lendir

9
c. Langkah-langkah Pelaksanaan
1) Menjelaskan maksud dan tujuan tindakan serta prosedur tindakan termasuk
selama pemasangan oropharing tube pasien tidak diperbolehkan makan dan
minum
2) Mencuci tangan terlebih dahulu kemudian memakai handschoen
3) Membuka mulut pasien, tahan lidah dengan menggunakan tongue spatel
4) Bersihkan mulut dengan kassa steril
5) Masukkan oropharing tube melalui rongga mulut dengan ujung mengarah
ke palatum, setelah masuk dinding belakang pharing lalu putar
oropharingeal tube 180º sampai posisi ujung mengarah ke oropharing
6) Lakukan fiksasi dipangkal oropharing tube dengan plester tanpa menutup
lubang oropharing tube

Catatan:
1) Oropharingeal tube tidak boleh dipasang pada pasien sadar.
2) Oropharingeal tube dipasang pada pasien yang tidak sadar atau pada pasien
dengan penurunan kesadaran.
3) Pada pasien yang dilakukan pemasangan oropharing tube harus dilakukan oral
hygiene.
4) Ukuran oropharingeal: disesuaikan dengan mengukur panjang oropharingeal
dari mulut ke mandibula atau sesuai ukuran

10
2.5.2 Nasopharygeal airway
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung ke
lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan
adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang
diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan
pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui
hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal
airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.

2.5.3 Face Mask


Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas
anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan
rapat. Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium
face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang
rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat
menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan
adanya kebocoran sekeliling face mask.

11
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face
mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu
jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint
atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan
lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari
kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw
thrust manuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

12
Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan cedera
akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila face mask dan ikatan
mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk
menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk
menghindari resiko aberasi kornea.

2.5.4 Laryngeal mask airway (LMA)


Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk
memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan
dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan
positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak
besar, kecil, normal dan besar

a. Indikasi
1) Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET
menjadi suatu indikasi.
2) Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
3) Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan
diri.

13
b. Kontraindikasi
1) Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada
emergency adalah pengecualian ).
2) Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal
yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada
tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan
inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir
kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
3) Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama.
4) Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat
memicu terjadinya laryngospasme.

c. Efek Samping
1) Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan
insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek
samping yang utama adalah aspirasi.

d. Prosedur pemasangan
1) Kaf harus dikempeskan maksimal dan benar sebelum dipasang.
Pengempisan harus bebas dari lipatan dan sisi kaf sejajar dengan sisi lingkar
kaf.
2) Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk
menjaga agar ujung kaf tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum.
Pemberian jeli pada sisi depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau
aspirasi, karena itu tidak dianjurkan.
3) Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan “air sniffing” dengan
cara menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang tidak
dominan.
4) Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau dengan jari
ketiga tangan yang dominan.

14
5) LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa
dan kaf.
6) Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan
dengan bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan
menyusuri palatum.
7) LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan
akan terasa bila sudah sampai hipofaring.
8) Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk
mempertahankan posisi, dan jari telunjuk kita keluarkan dari mulut
penderita. Bila sudah berpengalaman, hanya dengan jari telunjuk, LMA
dapat langsung menempati posisinya.
9) Kaf dikembangkan sesuai posisinya.
10) LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan dilakukan pernafasan bantu.
Bila ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan
kembali.
11) Pasang bite – block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu
lakukan fiksasi.

15
2.5.5 Intubasi Endotracheal (ETT)
ETT adalah tindakan untuk memasukan pipa endotracheal ke dalam trachea,
yang biasa digunakan sebagai pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan
dengan bag and mask dan lain sebagainya.

a. Tujuan
1) Pembebasan jalan nafas
2) Pemberian nafas buatan dengan bag and mask
3) Pemberian nafas buatan secara mekanik (respirator)
4) Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5) Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang
dikembangkan
6) Mencegah distensi lambung
7) Pemberian oksigen dosis tinggi

b. Indikasi
1) Ada obstruksi jalan nafas bagian atas
2) Pasien yang memerlukan bantuan nafas dengan respirator
3) Pemberian anestesi
4) Terdapat banyak sputum (pasien tidak dapat mengeluarkan sendiri)

c. Prosedur Pemasangan
1) Mencuci tangan lalu memakai sarung tangan
2) Posisi pasien terlentang
3) Kepala diganjal bantal setinggi 12 cm
4) Pilih ukuran pipa ETT yang akan digunakan
5) Periksa balon pipa/ cuff ETT
6) Pasang blade yang sesuai
7) Oksigenasi dengan bag and mask / ambubag dengan O2 100% selama 5mnt
agar pasien tidak hipoksia
8) Masukan obat-obat sedasi dan muscle relaksan

16
9) Buka mulut dengan laryngoskop sampai terlihat epiglottis
10) Dorong blade sampai pangkal epiglottis
11) Lakukan penghisapan lendir bila banyak secret
12) Masukan ETT yang sebelumnya diberi jelly (lepas laryngoskop,tarik stylet
lalu sambungkan ke ambubag,lalu pompa)
13) Cek apakah ETT sudah benar posisinya
14) Isi cuff/balon dengan udara sampai kebocoran tidak terdengar
15) Dengarkan suara nafas pada 5 titik.
16) Pasang oropharyngeal airway agar ETT tidak tergigit
17) Lakukan fiksasi dengan plester
18) Hubungkan ETT dengan ventilator

17
BAB III
KESIMPULAN

Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat.


Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat
sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan
oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga
memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit
akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan
menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita
gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.
Menghilangkan sumbatan pada jalan nafas agar jalan nafas dapat terbuka
sehingga udara dapat masuk ke paru-paru dilakukan tatalaksana jalan nafas yang
terdiri dari pengelolaan jalan nafas dengan teknik manual yaitu head-tilt chin lift
untuk pasien non trauma servikal dan jaw thrust untuk pasien yang mengalami
trauma servikal. Pengelolaan jalan nafas dengan bantuan alat yaitu Oropharyngeal
airway, nasopharyngeal airway, face mask, laryngeal mask airway (LMA), dan
ETT.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Hall JE. Chp. 68: Lipid Metabolism. In: JE Hall (Ed.), Guyton and Hall:
Textbook of Medical Physiology, 13th Ed. Philadelphia USA: Saunders
Elsevier. 2016

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk
Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
3. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th
ed. 2000
4. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and
ventilation in the lung: gravity is not the only factor. British Journal of
Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007
6. Advanced Paediatric Life Support. 3rd ed. London: BMJ Books 2001.
Chapters 4 (Basic life support); 5 (Advanced support of the airway and
ventilation); 22 (Practical procedures: airway and breathing).
7. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007. Hal. 173-7.
8. Brunner dan Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Vol. II,
EGC: Jakarta
9. John, A, Boswick, 1997. Perawatan Gawat Darurat. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
10. Purwadianto, Agus, dkk, 2000. Kegawatdaruratan Medik. Jakarta: Binarupa
Aksara

19

Anda mungkin juga menyukai