Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker merupakan penyakit akibat pertumbuhan jaringan yang tidak
terkontrol dalam tubuh manusia, sukar disembuhkan dan bersifat fatal. Secara
global angka kejadian kanker sekitar 5-20 % dan sebagai penyebab kematian
utama. Penyebab terjadinya kanker belum diketahui dengan pasti, namun yang
pasti adanya faktor genetik (herediter) dan dicetuskan oleh faktor lingkungan.
Banyak faktor lingkungan yang diduga kuat sebagai faktor pencetus kanker
seperti rokok, alkohol, radiasi, bahan kimia, pola makan, dan banyak lagi. Tidak
ada pengobatan kanker yang memuaskan, pengobatan kanker bertujuan untuk
mengontrol pertumbuhan atau mematikan sel kanker tanpa mengganggu
kelangsungan hidup dan fungsi sel sehat lainnya.
Teh (camellia sinensis) merupakan minuman kedua yang paling sering
dikonsumsi di dunia disamping air. Akhir-akhir ini selain kegunaan teh sebagai
minuman yang menyegarkan, juga dikaitkan dengan manfaatnya bagi kesehatan.
Hubungan antara konsumsi teh dengan masalah kesehatan sangatlah menarik.
Senyawa antikanker yang terdapat dalam teh, antara lain senyawa polifenol,
teofilin, vitamin C dan vitamin E.
Penelitian-penelitian telah banyak dilakukan di Jepang dan Cina sejak tahun
1980an dan diketahui bahwa teh hijau dapat mencegah berbagai macam penyakit
kanker. Senyawa EGC dan EGCG yang banyak terdapat dalam teh hijau memiliki
efek antipoliferasi dan penghambatan aktivitas sel kanker. Teh hijau merupakan
salah satu minuman yang mengandung polifenol dengan sifat antikarsinogenik.
Menurut Oguni, teh hijau maupun EGCG (komponen utama teh hijau),
mempunyai efek antimutagen pada pertumbuhan bakteri, menghambat
mutagenesis dari Trp-P-1 dari triptofan pirolisat.
Beberapa tahun terakhir ini teh hijau mendapat banyak perhatian berkaitan
dengan sifat potensialnya sebagai antikanker. Teh hijau diyakini dapat mencegah
dan menurunkan resiko terjadinya kanker. Pengaruh teh hijau terhadap kanker ini
diketahui terutama karena disebabkan oleh adanya kandungan polifenol teh.
2

Peranan teh hijau sebagai kemopreventif kanker ialah mencegah reaksi reduksi-
oksidasi (redoks). Menurut Fujuki,dkk (1992), mengkonsumsi atau meminum teh
hijau dalam jumlah besar (10 cangkir per hari) dapat mencegah terjadinya kanker.

1.2 Tujuan Pembuatan Makalah

1. Untuk mengetahui jenis ilmiah dari teh hijau


2. Mengetahui kandungan dalam teh hijau sehingga dapat menurunkan angka
kejadian kanker
3. Mengetahui jumlah takaran konsumsi teh hijau yang dianjurkan untuk
menurunkan angka kejadian kanker
4. Mengetahui farmasetika dari teh hijau
5. Mengetahui farmakokinetik dari teh hijau
6. Mengetahui farmakodinamik dari teh hijau
7. Indikasi dan kontradiksi obat
8. Efek samping penggunaan teh hijau yang berlebihan
9. Implikasi Keperawatan

BAB II. KONSEP DASAR OBAT TRADISIONAL

2.1 Definisi

Obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari
tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik (ekstrak rimpang) atau campuran bahan
tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Selama ini dunia obat tradisional dari tumbuhan jumlahnya lebih besar
dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral sehingga sebutan untuk obat
3

tradisional selalu identik dengan tanaman obat. Ada tiga hal yang bisa menjadi alasan
kuat tumbuhan untuk dikatakan sebagai tanaman obat, yaitu

1. Tanaman atau bagian tanaman dapat memperkuat fungsi organ tubuh,


2. Tanaman atau bagian tanaman dapat menyingkirkan racun atau penyakit, dan
3. Tanaman atau bagian tanaman dapat membangun sistem kekebalan tubuh.
Obat herbal menurut World health Organization (WHO), adalah obat yang
mengandung bahan tanaman atau bagian tanaman dalam keadaan diolah maupun tidak
sebagai zat aktifnya, serta bisa mengandung zat tambahan (excipients). Kombinasi bahan
alami dengan senyawa aktif sintetik kimia atau konstituen yang telag diisolasi tidak
dianggap sbagai obat herbal. Sementara European Medicine Evaluation Agency (EMEA)
memberi definisi: bahwa obat herbal merupakan produk yang mengandung secara
khusus bahan obat herbal (simplisia) atau preparat obat herbal. Yang termasuk kategori
preparat terdiri atas bentuk sediaan serbuk, tinktur, ekstrak, minyak lemak, minyak atsiri,
jus, resin dan gum.

Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yan dapat diminum atau
ditempelkan pada permukaan kulit. Tetapi tidak tersedia dalam bentuk suntikan atau
aerosol. Dalam bentuk sediaan obat-obat tradisioal ini dapat berbentuk serbuk yang
menyerupai bentuk sediaan obat modern, kapsul, tablet, larutan, ataupun pil (BPHN,
1997)

1. Larutan
Larutan terjadi apabila suatu zat padat bersinggungan dengan
suatu cairan, maka zat padat tadi terbagi secara molekuler dalam cairan
tersebut. Zat cair atau cairan biasanya ditimbang dengan botol yang
digunakan sebagai wadah yang diberikan. Cara melarutkan zat cair ada
dua cara yakni zat-zat yang agak sukar larut dilarutkan dengan
pemanasan (Anief, 2000)
2. Serbuk
Serbuk adalah campuran homogen dua atau lebih obat yang
diserbukkan. Pada pembuatan serbuk kasar, terutama serbuk nabati,
digerus terlebih dahulu sampai derajat halus tertentu setelha itu
dikeringkan pada suhu tidak lebih 50⁰C.
4

Serbuk obat yang mengandung bagian yang mudah menguap


dikeringkan dengan pertolongan bahan pengering yang cocok, setelah
itu diserbuk dengan jalan digiling, ditumbuk dan digerus sampai
diperoleh serbuk yang mempunyai derajat halus serbuk (Anief, 2000)
3. Tablet
Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak,
berbentuk rata atau cempung rangkap, umumnya bulat, mengandung
satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat
pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah. Contohnya yaitu
tablet antalgin (Anief, 2002)
4. Pil
Pil adalah suatu sediaan yang berbentuk bulat seperti kelereng
mengandung satu atau lebih bahan obat. Berat pil berkisar antara 100
mg sampai 500 mg. Untuk membuat pil diperlukan zat tambahan seperti
zat pengisi untuk memperbesar volume, zat pengikat dan pembasah dan
bila perlu ditambah penyalut (Anief, 2002)

5. Kapsul
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam
cangkang keras atau lunak yang larut. Cangkang umumnya terbuat dari
gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai.
Ukuran cangkang kapsul keras bervariasi dari nomor paling kecil
(5) sampai nomor paling besar (000), dan ada juga kapsul gelatin keras
ukuran 0 dengan bentuk memanjang (dikenal sebagai ukuran OE), yang
memberikan kapasitas isi yang lebih besar tanpa peningkatan diameter,
contohnya kapsul pencekap (Farmakope IV, 1995)

Ciri-ciri dari obat tradisional adalah bahan-bahan atau ramuan bahan yang digunakan
berupa tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sairan(galenik), atau campuran dari bahan
tersebut secara turun temurun.

2.2 Tingkatan Obat Tradisional

2.2.1 Jamu (Empirical based herbal medicine)


5

Menurut peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 246 tahun


1992, pengertian jamu adalah obat tradisional yang bahan bakunya simplisia yang
sebagian besar belum mengalami standarisasi dan belum pernah diteliti, bentuk sediaan
masih sederhana berwujud serbuk seduhan, rajangan untuk seduhan, dan sebagainya.
Oleh karena itu jamu merupakan bagian dari obat tradisional yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan dan hewan.

Jamu adalah obat tradisional yang diracik dengan menggunakan bahan tanaman
sebagai penyusun jamu tersebut jamu disajikan secara tradisional dalam bentuk serbuk
seduhan, pil, atau cairan. Satu jenis jamu yang disusun dari berbagai tanaman obat
jumlahnya antara 5 – 10 macam, bahkan bisa lebih . Menurut peraturan menteri
kesehatan nomor 917/menkes/per/X/1993, obat adalah sediaan atau paduan-paduan
yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologis atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan konstrapensi.

2.2.2. Obat herbal terstandar (scientific based herbal medicine)

Obat herbal terstandar (standarized based herbal medicine) merupakan obat


tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman
obat, binatang, maupun mineral (lestari, 2007). Dalam proses pembuatan obat herbal
standar ini dibutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih mahal daripada
pembuatan jamu. Tenaga kerja yang dibutuhkan pun harus di dukung dengan
keterampilan dan pengetahuan membuat ekstrak. Obat herbal ini umumnya ditunjang
oleh pembuktian ilmiah berupa penelitian praklinis. Penelitian ini meliputi standarisasi
kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standarisasi pembuatan ekstrak
yang higenis, serta uji toksisitas akut maupun kronis.

2.2.3 Fitofarmaka (clinical based herbal medicine)

Fitofarmaka (clinical based herbal medicine) merupakan obat tradisional yang


dapat disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatannya diperlukan peralatan
berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit (lestari, 2007).
Fitofarmaka memiliki kekhasan tersendiri , hal ini disebabkan fitofarmaka
6

merupakan obat tradisional yang memiliki keunggulan yang hampir sama dengan obat-
obatan. Dengan uji klinik yang sama dengan obat-obatan serta menggunakan teknologi
modern, sehingga fitofarmaka dapat memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.

2.3 Syarat-syarat obat tradisional

Dalam pembuatan dan pengolahan obat tradisional diperlukan persyaratan-


persyaratan yang harus dipenuhi oleh sediaan obat tradisional yang dibuat sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 tentang
persyaratan obat tradisional. Persyaratan ini diperlukan untuk melindungi masyarakat
terhadap hal-hal yang dapat mengganggu dan merugikan kesehatan karena keamanan,
kemanfaatan, dan mutu obat yang beredar di masyarakat. Persyaratan tersebut secara
umum meliputi persyaratan kadar air, waktu hancur, keseragaman bobot, mikroba
pathogen, angka lempeng total, angka kepang/khamir, keberadaan aflatoksin, bahan
tambahan, serta wadah dan penyimpanannya.

Kadar air obat tradisional adalah banyaknya air yang terdapat di dalam obat
tradisional yang dapat berasal dari kandungan simplisia, penyerapan air pada saat
produksi atau penyerapan uap air dari udara pada saat berada dalam peredaran atau
distribusinya. Kadar air yang dipersyaratkan secara umum adalah tidak lebih dari 10%,
hal ini dengan pertimbangan dengan kadar air yang kurang dari 10% diharapkan tidak
terjadi pertumbuhan mikroba dalam sediaan obat tersebut yang dapat mengkontaminasi
dan merusak obat tradisional yang diproduksi.

Waktu hancur sediaan obat tradisional menggambarkan kemampuan suatu


bentuk sediaan obat tradisional akan hancur di dalam lambung atau saluran pencernaan
sehingga dapat melepaskan zat yang berkhasiat dalam sediaan obat tradisional tersebut.
Pengujian waktu hancur biasanya menggunakan alat yang terdiri dari suatu keranjang
dengan cakram dalam suatu wadah berisi cairan. Sediaan obat tradisional dikatakan
hancur sempurna bila sisa sediaan yang tertinggal pada kasa alat uji merupakan masa
lunak yang tidak memiliki inti yang jelas, kecuali bagian dari penyalut atau cangkang
7

kapsul yang tidak larut. Pengujian waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau
bahan aktifnya terlarut sempurna.

Makin cepat daya hancur pil, tablet, kapsul diharapkan semakin besar dan makin
cepat zat aktif yang diserap oleh tubuh. Makin besar dan makin cepat zat aktif yang
diserap oleh tubuh, sehingga semakin cepat dirasakan hasilnya. Waktu hancur untuk
sediaan berbentuk pil yang dipersyaratkan adalah tidak lebih dari 60 menit, untuk
sediaan kapsul tidak lebih dari 15 menit, untuk sediaan yang berbentuk tablet tidak
bersalut tidak lebih dari 20 menit dan untuk tablet yang bersalut tidak boleh lebih dari
60 menit.

Keseragaman bobot dalam sediaan obat tradisional seperti dalam pil atau tablet
obat tradisional terutama untuk takaran tunggal perlu diperhatikan agar ketepatan
takaran yang dianjurkan dapat dipenuhi sehingga dosis yang dikonsumsi dapat seragam,
karena keseragaman dalam sediaan tersebut. Untuk pengujian biasanya dilakukan
sampling terhadap 20 sampling terhadap 20 sample baik itu serbuk, pil, kapsul, maupun
tablet, kemudian dihitung bobot rata-ratanya. Di samping keseragaman bobot ysng
dipersyaratkan oleh Departemen Kesehatan ada juga persyaratan metrologi dari
Departemen Perdagangan yang tujuannya bukan ketepatan takaran tetapi mencegah
pengurangan jumlah, isi maupun berat dari sediaan obat tradisional yang dihasilkan.

Ketentuan Besar Penyimpangan Bobot yang Dipersyaratkan untuk Beberapa Sediaan


Obat Tradisional

Bentuk Sediaan Bobot Rata-Rata Penyimpangan Terhadap Bobot Isi Rata-


Rata
A B
Serbuk 5-10 g 8% 10%
Pil 100-250 mg 10% 20%
251-500 mg 7,5 % 15%
Kapsul < 120 mg ± 10 % ± 20 %
>120 mg ±7,5 % ± 15 %
Tablet < 25 mg 15% 30%
26-150 mg 10% 20%
151-300 mg 7,5 % 15 %
8

>300 mg 5% 10%

Agar sediaan obat tradisional yang dibuat aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat,
maka sediaan obat tradisional tersebut harus terhindar dari kontaminasi akibat mikroba
pathogen. Yang dimaksud mikroba pathogen adalah semua mikroba yang dapat
menyebabkan orang menjadi sakit bila kemasukan mikroba tersebut. Obat tradisional
untuk penggunaan obat dalam seperti obat tradisional berbentuk cair yang diminum
maupun dalam bentuk padat, perlu diwaspadai adanya mikroba seperti Salmonella,
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginose. Obat tradisional
untuk penggunaan obat luar seperti bentul tapel, pilis maupun parem kocok, perlu
diwaspadai adanya mikroba seperti Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginose,
Candida albicans, Clostridium perftingens, Bacillus antracis. Bakteri-bakteri tersebut
dapat menyababkan penyakit seperti pneumonia, diare, penurunan daya tahan tubuh,
penyakit kuku dan mulut, dan penyakit infeksi-infeksi lainnya bahkan bisa menimbulkan
kematian.

Selain keberadaan mikroba pathogen, sediaan obat tradisional juga harus


memenuhi syarat angka lempeng total harus ditekan sekecil mungkin. Meskipun mikroba
tersebut tidak membahayakan bagi kesehatan, namun kadang-kadang karena pengaruh
sesuatu dapat menjadi mikroba yang membahayakan kesehatan bagi seseorang yang
mengkonsumsinya. Mikroba tersebut biasanya berupa jamur atau khamir yang tidak
berbahaya. Sediaan obat tradisional diencerkan dengan larutan yang sesuai kemudian
disebarkan pada media pertumbuhan mikroba pada cawan petri kemudian diinkubasi
pada suhu yang sesuai dan setelah beberapa hari kemudian dilakukan pengamatan
untuk dihitung keberadaan jumlah koloi mikroba pada cawan petri tersebut. Untuk
keberadaan bakteri biasanya dinyatakan sebagai angka lempeng total dan untuk
keberadaan jamur, kepeng atau khamir biasanya dinyatakan sebagai angka kapang atau
khamir.

Angka lempeng total dan angka kapang atau khamir dapat digunakan sebagai
petunjuk sampai tingkat berapa dalam pembuatan obat tradisional tersebut
melaksanakan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Makin kecil angka
lempeng total dan angka kapang atau khamir bagi setiap produk yang dihasilkan dan
9

menunjukkan semakin tinggi nilai penerapatn CBOTB dalam pembuatan obat tradisional
tersebut. Angka lempeng total dan angka kapang atau khamir yang dipersyaratkan untuk
sediaan obat tradisional yang dibuat pada umumnya dalah tidak lebih dari 10.

Jumlah jamur atau kapang dan khamir yang besar, menunjukkan kemunduran
dari mutu obat tradisional yang dihasilkan. Pada beberapa kapang tertentu ada yang
menghasilkan zat racun atau toksin seperti pada jamur Aspergilus flavus dapat
menghasilkan aflatoksin yang dapat meracuni organ tubuh bahkan dapat mengakibatkan
kanker. Untuk obat tradisional dipersyaratkan secara umum jika terdapat aflatoksin maka
tidak boleh lebih dari 30 bjp ( bagian per juta) dari sediaan tersebut.

Dalam pembuatan dan pengolahan obat tradisional biasanya ditambahkan zat


tambahan atau ekspirin agar obat tradisional yang dihasilkan memiliki penampakan atau
rasa yang lebih menarik, lebih awet dalam penyimpanan, dan menyetabilkan senyawa
yang dikandungnya. Bahan tambahan yang biasa digunakan menjadi bahan tambahan
alami dan bahan tambahan kimia. Bahan tambahan kimia pada umumnya bersifat racun
karena itu perlu ada pembatasan penggunaannya serta sejauh mungkin agar dihindari.
Bahan tambahan yang biasanya digunakan dalam obat tradisional antara lain bahan
pengawet, pewarna, dan bahan pengisi.

Penambahan bahan pengawet dalam obat tradisional dilakukan dengan tujuan


untuk menghambat pembusukan dan menjamin mutu awal obat tradisional yang
dihasilkan agar tetap terjaga selama mungkin. Penggunaan pengawet dalam produk obat
tradisional dalam praktiknya berperan sebagai anti mikroba atau anti oksidan atau
keduanya. Jamur, bakteri, dan enzim sebagai penyebab pembusukan obat tradisional
yang dibuat perlu dihambat pertumbuhan maupun ativitasnya agar obat tradisional yang
dihasilkan dapat tahan lama. Untuk melindungi konsumen secara maksimal, maka pada
penggunaan bahan pengawet harus diusahakan agar pada kemasan akhir kadar
pengawet yang masih efektif lebih rendah dari kadar yang dapat menimbulkan
keracunan pada manusia. Secara umum bahan pengawet yang biasa ditambahkan dalam
obat tradisional yang dibuat tidak boleh lebih dari 0,1 % dan bahan pengawet tersebut
antara lain metil p-hidroksi benzoat yang lebih dikenal dengan Nipagin, propil p-hidroksi
10

benzoat yang dikenal dengan Nipasol, asam sorbat atau garamnya, garam natrium
benzoat dalam suasana asam, serta pengawet lainnya yang disetujui.

Untuk memberikan rasa yang enak untuk dikonsumsi, biasanya dalam obat
tradisional ditambahkan bahan pemanis atau perasa tertentu. Pemanis yang biasanya
digunakan sesuai dengan persyaratan adalah gula tebu(gula pasir), gula aren, gula
kelapa, gula bit, dan pemanis alam lainnya yang belum menjadi zat kimia murni. Untuk
sediaan obat tradisional yang berbentuk cair dipersyaratkan tidak mengandung etanol
lebih dari 1% dan kadar etanol lebih dari 0,1% yang dihitung terhadao kadar etanol.

Sebelum obat tradisional yang dibuat dipasarkan ke konsumen biasanya akan


dikemas terlebih dahulu. Persyaratan wadah atau kemasan untuk obat tradisional adalah
wadah tertutup baik atau dalam wadah tertutup rapat. Wadah dan sumbatannya tidak
boleh mempengaruhi obat tradisional yang disimpan didalamnya baik secarakimia
maupun secara fisika, yang dapat mengakibatkan perubahan keamanan, kemanfaatan
dan mutu dari obat tradisional yang dibuat. Wadah tertutup baik harus melindungi isinya
terhadap masuknya bahan padat dari luar dan mencegah kehilangan waktu pengurusan,
pengangkutan, penyimpanan dan penjualan dalam keadaan dan dengan cara biasa
dilakukan. Sedangkan wadah tertutup rapat harus melindungi isi obat tradisional yang
dikemas terhadap masuknya bahan padat atau lengas dari luar dan mencegah
kehilangan, pelapukan, pencairan, dan penguapan pada waktu pengurusan,
pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan dalam keadaan dan dengan cara biasa
dilakukakan.

Dalam penyimpanan obat tradisional dipersyaratkan agar disimpan pada suhu


kamar, ditempat kering dan terlindungi dari sinar matahari secara langsung. Obat
tradisional harus disimpan sedemikian rupa sehingga mencegah cemaran mikroba dari
luar dan terjadinya peruraian, terhindar dari pengaruh udara, kelembaban, panas dan
cahaya. Disimpan pada suhu kamar adalah disimpan pada suhu 15ºC sampai 30ºC serta
disimpan ditempat kering adalah disimpan di tempat yang terhindar dari kelembaban.

2.3 Peraturan Terkait Obat dan Pengobatan Tradisional


11

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia


Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Mutu Obat Tradisional:

- UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

- UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

- Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan

Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012 tentang

Registrasi Obat Tradisional

- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 tentang

Bahan Tambahan Pangan

- Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 261/Menkes/SK/IV/2009

tentang Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama

- Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2109/Menkes/SK/X/2011

tentang Pemberlakuan Suplemen I Farmakope Herbal Indonesia

- Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2345/Menkes/SK/XI/2011

tentang Pemberlakuan Suplemen II Farmakope Herbal Indonesia

- Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.41.1384 Tahun 2005

tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional,

Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka

- Keputusan Kepala BPOM Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001

tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan

Makanan

- Peraturan Kepala BPOM Nomor 36 Tahun 2013 tentang Batas


12

Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet

- Peraturan Kepala BPOM Nomor 37 tahun 2013 tentang Batas

Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pewarna

- Peraturan Kepala Badan BPOM Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis.

BAB III. ANALISA ARTIKEL

3.1 Jenis Teh


13

Tumbuhan teh (Camellia sinensis) familia dari Theaceae, diperkirakan berasal


dari pegunungan Himalaya dan daerah – daerah pegunungan yang berbatasan
dengan Republik Rakyat Cina, India, dan Birma. Tanaman ini dapat tumbuh di
daerah tropis dan subtropis, dengan menuntut cukup sinar matahari dan hujan
sepanjang tahun (Spillane, 1992). Tumbuhan teh dapat tumbuh sekitar 6 – 9 meter
tingginya. Di perkebunan - perkebunan, tanaman teh dipertahankan hanya sekitar
1 meter tingginya dengan pemangkasan secara berkala.
Dalam dunia tumbuh-tumbuhan, taksonomi teh dapat diklarifikasikan sebagai
berikut (Nazaruddin,1993) :
Kingdom : Plantae
Divisio : Divisio
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Ordo : Guttiferales
Famili : Theacceae
Genus : Camellia
Species : Camellia sinensis
Komposisi aktif utama yang terkandung dalam daun teh adalah kafein, tannin,
tehophylline, tehobromine, lemak, saponin, minyak esensial, katekin, karorin,
vitamin C, A, B₁, B₂, B₃, B₁₂, dan P, fluorite, zat besi, magnesium dan kalsium,
strontium (Fuldr, 2004).
Pada umumnya, tanaman teh berakar dangkal, sangat peka terhadap
keadaan fisik tanah sehingga cukup sulit untuk menembus lapisan tanah.
Pertumbuhan akar ke arah lateral dan penyebarannya dibatasi oleh perdu yang ada
di dekatnya. Perakaran utama berkembang pada lapisan tanah atas sedalam 0-25
cm, dimana tempat utama berakumulasinya unsur-unsur hara. Batang tanaman teh
berdiri tegak, berkayu, bercabang-cabang, ujung ranting dan daun muda berbulu
halus. Daun teh merupakan daun tunggal yang bertangkai pendek dan letaknya
berseling. Tiap helaian daun kaku seperti kulit tipis, bentuknya elips memanjang,
ujung, dan pangkal runcing. Bentuk tepi daun teh bergerigi halus, pertulangan
menyirip dengan panjang daun 6-18 cm dan lebar adalah 2-6 cm. Bunga teh
terletak di ketiak daun, tunggal atau beberapa bunga bergabung menjadi satu.
Perkembangan bunga mengikuti fase pertumbuhan daun. Bunga teh termasuk
kedalam bunga sempurna dengan garis tengah 3-4 cm. Warna bunga putih cerah
dengan kepala sari berwarna kuning dan baunya harum (Setyamidjaja, 2000).
14

Jenis-jenis teh :

1. Teh putih
Diantara jenis teh yang ada, teh putih atau white tea merupakan teh dengan
proses pengolahan teh dengan proses
pengolahan paling sederhana, yaitu
pelayuan dan pengeringan. Bahan baku
yang digunakan untuk proses pembuatan
teh putih inipun hanya berasal dari pucuk
dan dua daun dibawahnya. Biasanya proses
pelayuan ini mampu mengurangi kadar air sampai 12%.
2. Teh hijau
Secara umum, teh hijau dibedakan menjadi teh hijau China (Panning Type)
dan teh hijau Jepang
(Steaming Type). Baik teh
hijau China maupun
Jepang, prinsip dasar
proses pengolahannya
adalah inaktivasi enzim
polifenol oksidase untuk mencegah terjadinya oksimatis yang merubah
polifenol menjadi senyawa oksidasinya berupa teaflavin dan tearubigin.
Daun teh kemudian dilayukan. Setelah dilayukan daun teh kemudian
digulung dan dikeringkan sampai dengan kadar air tertentu.
3. Teh hitam
Dibandingkan dengan jenis teh lainnya, teh hitam adalah teh yang paling
banyak diproduksi yaitu
sekira 78%, diikuti teh hijau
20%, kemudian sisanya teh
oolong dan teh putih yaitu
2%. Diantara teh lainnya, teh
hitam inilah yang
pengolahannya paling sulit. Teh hitam merupakan daun teh yang paling
banyak mengalami proses fermentasi sehingga dapat dikatakan pengolahan
15

teh hitam dilakukan dengan fermentasi penuh. Teh hitam juga biasa
disebut dengan teh merah, hal tersebut dikarenakan orang timur yang
menyebutnya teh merah dikarenakan larutan teh yang dihasilkan dari teh
ini akan berwarna merah
4. Teh oolong
Teh olong diproses secara semi fermentasi dan dibuat dengan bahan baku
khusus, yaitu varietas tertentu
seperti Camellia sinesis
varietas sinensis yang
memberikan aroma khusus.
Proses pembuatan dan
pengolahan teh oolong berada
diantara teh hijau dan teh hitam, dimana teh oolong dihasilkan melalui
pross pemanasan yang dilakukan segera setelah proses penggulungan
daun, dengan tujuan untuk menghentikan proses fermentasi, oleh karena
itu teh oolong disebut dengan teh semi fermentasi.

3.2 Kandungan Dalam Teh Hijau

Katekin teh hijau dan ekstrak teh hijau kini diakui sebagai preventives kanker
non-toksik bagi manusia. Berdasarkan bukti dijelaskan bahwa katekin teh hijau,
(-) -epigallocatechin gallate (EGCG) dalam air metastasis paru-paru menghambat
sel melanoma B16, meneliti penghambatan mekanisme metastasis dengan katekin
teh hijau menggunakan alat biomekanik, atomic force microscopy (AFM) dan
tandu optik mikofluida. Didapat hasil penelitian bahwa minum lebih dari 5
cangkir (120 ml / cup) teh hijau per hari bisa mencegah kambuhnya kanker di
berbagai organ pada manusia. Disini juga dikenalkan bahwa sejarah
perkembangan teh hijau dan EGCG sebagai preventives kanker pada manusia.

Senyawa EGC dan EGCG yang banyak terdapat dalam teh hijau memiliki
efek antipoliferasi dan penghambatan aktivitas sel kanker. Teh hijau merupakan
salah satu minuman yang mengandung polifenol dengan sifat antikarsinogenik.
teh hijau maupun EGCG (komponen utama teh hijau), mempunyai efek
antimutagen pada pertumbuhan bakteri, menghambat mutagenesis dari Trp-P-1
dari triptofan pirolisat.
16

Teh hijau mendapat banyak perhatian berkaitan dengan sifat potensialnya


sebagai antikanker. Teh hijau diyakini dapat mencegah dan menurunkan resiko
terjadinya kanker. Pengaruh teh hijau terhadap kanker ini diketahui terutama
karena disebabkan oleh adanya kandungan polifenol teh. Peranan teh hijau
sebagai kemopreventif kanker ialah mencegah reaksi reduksi-oksidasi (redoks).
Menurut Fujuki,dkk (1992), mengkonsumsi atau meminum teh hijau dalam
jumlah besar (5 cangkir per hari) dapat mencegah terjadinya kanker.

3.3 Farmasetika
3.3.1.1 BSO

Bentuk Sediaan Obat dari ekstrak teh hijau berupa ekstrak liquid. Bentuk
sediaan liquid digunakan dengan menyeduh teh yang sudah melalui proses
pengolahan. Penyeduhan daun teh dengan air, teh kemudian akan melarut. Jumlah
takaran teh yang diseduh biasanya sudah terdapat pada bungkus teh tersebut,
sehingga akan dengan mudah untuk mengaplikasikannya.
Berdasarkan pernelitian pada jurnal pendukung, penggunaan ekstrak teh hijau
diberikan pada mencit. Umumnya dalam satu hari, orang dewasa rata-rata
mengkonsumsi tiga cangkir seduhan teh hijau. Berat rata-rata mencit ialah 25 gr.
Berat rata-rata orang dewasa ialah 50 kg (50.000 gr). Satu kantong teh hijau celup
berisi 2 gr bubuk teh hijau. Jadi, seduhan teh hijau yang diberikan pada mencit
ialah 0,24 ml/hari. Seduhan teh hijau dibuat dengan cara menyeduh satu kantong
teh hijau dengan 160 ml air 70ºC selama 5 menit.

3.3.1.2 Proses Pengolahan Yang Dianjurkan


Pembuatan ekstrak teh hijau berdasarkan percobaan pada artikel yaitu
daun teh hijau yang dipetik langsung kemudian daun teh hijau tersebut diolah
menjadi teh yang layak untuk dikonsumsi. Baik teh hijau China maupun Jepang,
prinsip dasar proses pengolahannya adalah inaktivasi enzim polifenol oksidase
untuk mencegah terjadinya oksimatis yang merubah polifenol menjadi senyawa
oksidasinya berupa teaflavin dan tearubigin. Pada proses pengolahan teh hijau
China digunakan mesin pelayuan berupa rotary panner untuk menginaktivasi
17

enzim. Sementara itu, proses teh hijau Jepang menggunakan steamer dalam
menginaktivasi enzimnya. Daun teh yang sudah dilayukan, kemudian digulung
dan dikeringkan sampai kadar air tertentu.

3.4 Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah cabang ilmu dari farmakologi yang mempelajari tentang


perjalanan obat mulai sejak diminum hingga keluar melalui organ ekskresi di
tubuh. Hewan uji terdiri dari 15 ekor mencit yang dibagi dalam 3 kelompok.
Semua mencit diberi makan pelet standar setiap hari selama pegujian. Ketiga
kelompok tersebut ialah:
1. Kelompok A, sebagai kelompok kontrol negatif, terdiri dari 5 ekor mencit yang
tidak diberi perlakuan.
2. Kelompok B, sebagai kelompok perlakuan 1, terdiri dari 5 ekor mencit yang
diberikan larutan benzo(α)pyrene dengan dosis tunggal 0,3 mg/25 grBB/hari
secara subkutan di daerah payudara mencit selama 14 hari (hari ke-1 sampai 14).
3. Kelompok C, sebagai kelompok perlakuan 2, terdiri dari 5 ekor mencit dengan
dosis tunggal 0,3 mg/25 grBB/hari secara subkutan di daerah payudara mencit,
kemudian diberikan seduhan teh hijau dengan dosis tunggal 0,24 ml/25 grBB/hari
selama 14 hari (hari ke-15 sampai 28).
Pada hari ke-29 mencit kelompok A, B, dan C diterminasi dan dibedah untuk
diambil jaringan payudaranya untuk pemeriksaan histopatologik.
Kemudian didapatkan hasil penelitian :
1. Kelompok A, Gambaran mikroskopik payudara mencit kelompok A sesuai
dengan gambaran histologik normal payudara mencit normal, berupa duktus
laktiferi yang dilapisi 1-2 lapis epitel kuboid atau epitel kolumar rendah,
jaringan ikat longgar dan jaringan adiposa yang normal.
2. Kelompok B, Gambaran mikroskopik payudara mencit kelompok B
menunjukkan adanya hiperplasia sel epitel kuboid pada duktus laktiferi (>4
lapis sel). Sel-sel epitel kuboid memiliki kromatin inti kasar. Tampak pula
dan sel-sel radang PMN pada jaringan ikat longgar.
18

3. Kelompok C, Gambaran mikroskopik payudara mencit kelompok C


menunjukkan adanya sel-sel radang PMN pada jaringan ikat longar dan
hiperplasia sel epitel kuboid dengan kromatin inti kasar. Jika dibandingkan
dengan gambaran mikroskopik payudara mencit kelompok B, maka dapat
dilihat bahwa hiperplasia epitel kuboid pada kelompok C ini lebih sedikit
(2-3 lapis sel) dari yang terlihat pada kelompok B (>4 lapis sel).

3.5 Farmakodinamik

Farmakodinamik adalah nasib tubuh setelah obat dimasukkan, biasanya


diikuti dengan proses atau efek yang dialami tubuh setelah masuknya obat ke
dalam tubuh. Telah menunjukkan bukti bahwa teh hijau memiliki efek dalam
mencegah terjadinya kanker. Para peneliti telah mengamati bahwa dengan
mengkonsumsi teh hijau dapat memberikan efek yang positif dalam mengatasi
terjadinya kanker. Teh hijau diyakini dapat mencegah dan menurunkan resiko
terjadinya kanker. Pengaruh teh hijau terhadap kanker ini diketahui terutama
karena disebabkan oleh adanya kandungan polifenol teh Namun mengkonsumsi
teh hijau lebih dari 300 mg/hari (sekitar 5 cangkir teh hijau) dapat mengakibatkan
efek samping berupa gelisah, insomnia atau sulit tidur, diare, mudah tersinggung,
sakit kepala, dan hilangnya nafsu makan.

3.6 Dosis
Katekin teh hijau baru-baru ini menarik perhatian untuk efek pencegahan pada
penyakit kardiovaskular, komplikasi diabetes, dan penyakit neurodegenerative
termasuk Alzheimer dan penyakit Parkinson, banyak uji klinis selain pencegahan
kanker, diantisipasi seluruh dunia. Hal ini penting untuk dicatat bahwa sejak
minum katekin teh hijau atau ekstrak teh hijau tidak memiliki efek samping yang
serius dalam uji klinis, minum teh hijau adalah praktis. Metode pencegahan
penyakit bagi orang-orang dunia. Jumlah yang disarankan adalah kurang dari 5
cangkir teh hijau per hari, sekitar 2,5 gram ekstrak teh hijau sangat penting untuk
kesehatan. Selain itu, dengan biofisik dilakukan penyelidikan EGCG dan teh hijau
19

untuk pencegahan dan pengobatan kanker akan menghasilkan perbaikan kualitas


hidup manusia.

3.7 Indikasi dan Kontraindikasi


3.7.1 Indikasi

Mencegah terjadinya kanker. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa


ekstrak teh hijau mengandung Senyawa EGC dan EGCG yang banyak terdapat
dalam teh hijau memiliki efek antipoliferasi dan penghambatan aktivitas sel
kanker. Teh hijau merupakan salah satu minuman yang mengandung polifenol
dengan sifat antikarsinogenik.

3.7.2 Kontraindikasi

Konsumsi teh hijau yang berlebihan, yakni melebihi dari anjuran yang
diberikan akan menyebabkan beberapa efek samping, yakni :
 Gelisah
 Insomnia/sulit tidur
 Diare
 Mudah tersinggung
 Sakit kepala
 Hilangnya napsu makan

3.8 Efek Samping Obat


Pada jurnal yang berjudul “Biophysical Approach to Mechanisms of Cancer
Prevention and Treatment with Green Tea Catechins” tidak dijelaskan bahwa
terdapat efek samping yang ditimbulkan akibat konsumsi teh hijau. Namun
meminum teh hijau lebih dari 300 mg/hari (lebih dari 5 cangkir teh hijau) dapat
mengakibatkan efek samping berupa gelisah, insomnia atau sulit tidur, diare,
mudah tersinggung, sakit kepala, dan hilangnya nafsu makan. Jika berinteraksi
dengan obat sintetik, teh hijau dapat memperlambat penyerapan obat ke dalam
tubuh (Oktavia, 2009).

3.9 Hal-hal yang harus diperhatikan


Didalam jurnal yang tersebut tidak menyebutkan efek teh hijau tetapi dari jurnal
pendukung dijelaskan mengkonsumsi teh hijau secara berlebihan maka akan
20

menimbulkan efek samping berupa gelisah, insomnia atau sulit tidur, diare, mudah
tersinggung, sakit kepala, dan hilangnya nafsu makan.

3.10 Implikasi keperawatan


Implikasi keperawatan dalam farmakologi mencakup hal-hal yang berkaitan
dengan proses keperawatan. Beberapa hal yang perlu dikaji dalam pengelolaan
farmakologi :
a. Memberikan informasi tentang efek samping yang terdapat dalam teh hijau
b. Membantu pelaksanaan untuk terapi pengobatan melalui teh hijau terutama
untuk pencegahan kanker
c. Meneliti dan mengidentifikasi adanya kontra indikasi dalam teh hijau
d. Mengelola kelompok obat yang biasa digunakan pasien,khususnya minyak
zaitun yang sangat kaya akan manfaatnya.

BAB IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Teh (camellia sinensis) merupakan minuman kedua yang paling sering


dikonsumsi di dunia disamping air. Hubungan antara konsumsi teh dengan
masalah kesehatan sangatlah menarik. Senyawa antikanker yang terdapat dalam
teh, antara lain senyawa polifenol, teofilin, vitamin C dan vitamin E. Senyawa
EGC dan EGCG yang banyak terdapat dalam teh hijau memiliki efek
antipoliferasi dan penghambatan aktivitas sel kanker. Teh hijau merupakan salah
satu minuman yang mengandung polifenol dengan sifat antikarsinogenik. Didapat
hasil penelitian bahwa minum lebih dari 5 cangkir (120 ml / cup) teh hijau per
hari bisa mencegah kambuhnya kanker di berbagai organ pada manusia. Namun
juga dijelaskan bahwa mengkonsumsi teh hijau secara berlebihan maka akan
menimbulkan efek samping berupa gelisah, insomnia atau sulit tidur, diare, mudah
tersinggung, sakit kepala, dan hilangnya nafsu makan.

4.2 Saran
21

Setelah adanya penelitian mengenai manfaat teh hijau untuk meminimalkan


terjadinya kanker, diharapkan masyarakat dapat menggunakan tanaman herbal
untuk pengobatan. Dan juga diharapkan agar masyarakat menggunakan ekstrak
teh hijau tersebut sesuai dengan dosis atau takaran yang telah dianjurkan. Karena
penggunaan teh hijau yang berlebihan akan menimbulkan efek samping. Selain
itu sebagai juga sebagai perawat perlu berkolaborasi dengan farmasi untuk
melakukan penelitian lebih lanjut tentang potensi teh hijau dengan dosis setara
dengan obat kimia yang kemudian dapat dilakukan pengembangan produk dengan
prosedur tetap yang telah ditentukan.

Daftar Pustaka

Hidayat, Samsul. Wahyuni, Sri. dan Andalusia,Sofia. 2008. Seri


Tumbuhan Obat Berpotensi Hias. Jakarta:PT Elex Media Komputindo

Wasito, Hendri. 2011.Obat Tradisional Kekayaan Indonesia.


Yogyakarta:Graha Ilmu.

Suganuma,Masami., Takahashi,Atsushi., Watanabe ,Tatsuro., Iida


,Keisuke., Matsuzaki,Takahisa., Yoshikawa ,Hiroshi Y., Fujiki ,Hirota. 2016 .
Biophysical Approach to Mechanisms of Cancer Prevention and Treatment with
Green Tea Catechins.
22

Tabaga ,Kirsten D., Durry, Meilany F., Kairupan,Carla. 2015. Efek


Seduhan Teh Hijau (Camellia Sinensis) Terhadap Gambaran Histopatologi
Payudara Mencit Yang Diinduksi Benzo(Α)Pyrene.

Yu,Yang., Deng,Yuan., Lu,Bang-min., Liu,Yong-xi., Li,Jian., Bao,Jin-ku.


2013. Green tea catechins: a fresh flavor to anticancer therapy.

Fujiki,Hirota., Imai,Kazue., Nakachi,Kei., Shimizu,Masahito.,


Moriwaki,Hisataka., Suganuma,Masami. 2012. Challenging the effectiveness of
green tea in primary and tertiary cancer prevention.

Hanau,Claudia., Morré,D James., Morré,Dorothy M. 2014. Cancer


prevention trial of a synergistic mixture of green tea concentrate plus Capsicum
(CAPSOL-T) in a random population of subjects ages 40-84.

Fujiki,Hirota., Sueoka,Eisaburo., Watanabe,Tatsuro., Suganuma,Masami.


2014. Synergistic enhancement of anticancer effects on numerous human cancer
cell lines treated with the combination of EGCG, other green tea catechins, and
anticancer compounds.
23

lAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai