PENDAHULUAN
Dewasa ini upaya kesehatan mengalami perubahan yang semula hanya upaya
kuratif (penyembuhan) penderita, secara berangsur-angsur berubah kearah kesatuan
upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat, yang menyangkut empat aspek, yaitu:
promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan
rehabilitatif (pemulihan) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Upaya yang dilakukan dalam peningkatan (promotif) pelayanan kesehatan
bayi ibu anak, antara lain dengan mengurangi angka kematian bayi dan ibu yang
sedang melahirkan. Menurut survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (1994)
angka kematian ibu adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian
perinatal adalah 40 per 1.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan Negara-
negara lain, maka di Indonesia adalah 15 kali lebih tinggi dari Malaysia, 10 lebih
tinggi dari pada Thailand, atau 5 kali lebih tinggi dari pada Philiphina (Saifudin,2001).
Perhatian akan kesehatan ibu merupakan hal yang sangat penting. Ibu yang
sehat, diharapkan mampu memberikan keturunan yang sehat pula. Para calon ibu,
katakanlah para wanita yang sedang hamil, memerlukan persiapan baik mental
maupun fisik untuk menghadapi proses kelahiran.
A. Latar Belakang
Sejak jaman neurologi klasik telah dikenal 3 sindrom, kelumpuhan akibat lesi
di plexus brachialis. Yang pertama ialah kelumpuhan akibat lesi di bagian atas plexus
brachialis, yang menghasilkan sindrom kelumpuhan Erb-Ducenne dan yang kedua
ialah kelumpuhan yang disebabkan oleh lesi di bagian tengah dan yang terakhir lesi di
bagian bawah plexus brachialis ,yang didalam klinik dikenal sebagai sindrom
kelumpuhan klumpkey.
1
Paralisis plexus brachialis pada neonates pertama kali di deskripsikan pada
tahun 1779 saat Smellie melaporkan kasus kelemahan pada kedua lengan bayi yang
terjadi secara spontan setelah beberapa hari kelahiran. Pada tahun 1870, penemuan
terbaru traksi pada trunkus atas erb’s paralysis atau Erb’s_duchenne paralysis.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan
memahami penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis.
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui manfaat terapi latihan dalam meningkatkan ROM sendi
elbow dan menghindari kontraktur.
2
2. Untuk mengetahui manfaat terapi Infra merah dalam melancarkan sirkulasi
darah dan menurunkan spasme otot ekstensor lengan pada kasus Erb’s
Paralysis.
3. Untuk mengetahui manfaat stimulasi tapping dalam merangsang sensoris
dan meningkatkan kepekaan sensoris pada kasus Erb’s Paralysis.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Ilmu pengetahuan
Ikut serta dalam menambah wacana ilmu pengetahuan khususnya mengenai
tentang peran fisioterapi pada kasus Erb’s Paralysis.
2. Bagi institusi pendidikan
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada di institusi pendidikan
khususnya mengenai fisioterapi neuromuskuler tentang peran fisioterapi
pada kasus Erb’s Paralysis.
3. Terhadap penulis
Untuk menambah pemahaman dan memperdalam tentang penatalaksanaan
terapi latihan pada kasus Erb’s Paralysis.
4. Bagi Masyarakat
Membantu masyarakat dalam menghadapi permasalahan yang
berhubungan dengan erb’s paralysis dan memberikan informasi bahwa
fisioterapi berperan pada kasus erb’s paralysis.
3
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
4
dari cord posterior dan n ulnaris dari cord medial. Long thorasic dan dorsal scapular
berasal langsung dari root saraf spinal. Hanya n suprascapular (C5 C6) yang
berasaldari trunk. Saraf spinal keluar dari foramina vertebralis dan melewati scalenus
anterior dan medial, kemudian antara klavikula dan rusuk pertama didekat coracoid
dan caput humerus. Pleksus pada bagian praosimal bergabung di prevertebral dan
oleha xillary sheath di mid arm.
B. Definisi Erb-Parlysis
5
C. Insiden & Epidemologi
6
E. Patofisiologi
Sama dengan semua cedera saraf perifer lainnya, pleksus dapat cedera dengan
berbagai proses. Akibat cedera, pada serabut bermielin akan terjadi demielinisasi dan
cedera akson (kehilangan akson).
a. Demielinisasi
Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan sensorik
dimana terjadi kerusakan dari mielin tetapi akson tetap intak.
Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik sementara atau
edema dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :
self limited; iskemik sementara dapat menghilang dengan segera tetapi edema
memerlukan waktu beberapa minggu.
Remielinisasi: Ini adalah suatu proses perbaikan dimana bagian yang mengalami
demielinisasi membentuk mielin baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih
tipis dengan jarak internodal yang lebih pendek menyebabkan kecepatan konduksi
lebih lambat dari normal.
7
A
8
Gambar. Anatomi saraf motorik perifer normal dan respon terhadap cedera.11
9
yaitu :
1. Neuropraksia : suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan
demielinisasi sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak).
Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga
proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling
ringan. Biasanya akibat dari penekanan dan sembuh karena perbaikan oleh sel
Schwann, dimana memerlukan waktu beberapa minggu sampai bulan.
2. Aksonotmesis : suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan
menyebabkan degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi selubung
endoneural tetap intak. Biasanya akibat dari traksi atau kompresi saraf yang
berat. Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang
denervasi (perbaikan lebih baik pada jarak lesi yang pendek dan letaknya
lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik lebih baik daripada motorik, karena
reseptor sensorik lebih lama bertahan dari denervasi dibandingkan motor end
plate (kira-kira 18 bulan).
3. Neurotmesis : kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana proses
pemulihan sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy. Penyembuhan yang
terjadi sering menyebabkan reinervasi yang tidak lengkap atau salah sambung
dari serabut saraf.
Klasifikasi Sunderland berdasarkan pada derajat perineural yang terkena yaitu:
1. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural
dan epineural masih intak
4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi
epineural masih intak
5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan
epineural (neurotmesis).
10
Tabel 1. Klasifikasi cedera saraf perifer.11
F. Gejala Erb-Paralysis
Gejala yang timbul pada Erb-Paralysis sesuai dengan kelemahan otot-otot
yang disarafi oleh C5-C6. Kelumpuhan dapat sebagian atau lengkap, kerusakan pada
masing-masing saraf dapat berupa memar atau robeknya saraf tersebut. Paralisis Erb-
paralysis merupakan sindrommotor neuron yang terkait dengan gangguan sensibilitas
dan motorik.
Sehingga menimbulkan gejala seperti gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi
lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan. Gangguan pada
11
perkembangan otot apabila berkurangnya aktivitas kontrasi otot sehingga
menimbulkan atrofi otot dan kontraktur siku. Reflek bisep dan brachioradialis
menurun atau hilang. Gangguan pada sistem sirkulasi menyebabkan gangguan
pengaturan suhu, dan ketidakmampuan kulit untuk menyembuhkan diri sehingga
mudah terinfeksi, selain itu karena tidak ada/berkurangnya rangsang sensoris pada
daerah antara bahu dan lengan bawah yang dihantarkan ke otak, sehingga mudah
terjadi trauma dan melukai diri sendiri. Tidak jarang ditemukannya bekas luka di
daerah lengan. Pemeriksaan sensoris sesuai dengan dermatomnya.
Pada gangguan motorik, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan,
adduksi dan endorotasi, sehingga telapak tangan bawah pronasi. Kerusakan pada otot
deltoid menimbulkan posisi adduksi bahu dan medial rotasi, sehingga dapat
ditemukannya Putti sign, dimana apabila dilakukan abduksi bahu maka ujung medial
skapula akan terlihat menonjol diatas garis bahu. Paralisis m. Serratus anterior akan
memberi gambaran “winged skapula”. Pasien tidak bisa melakukan posisi fleksi
lengan atas, fleksi lengan bawah, supinasi lengan bawah, abduksi dan ekso rotasi
l;engan atas. Pasien kurang bia memegang bahu sisi lain karena lesi N. Pectoralis
lateralis.
G. Diagnosa
12
dislokasi bahu posterior, infeksi cutaneus dan agnosia dari anggota badan yang
terkena.
I. Penatalaksanaan
Pada beberapa bayi terjadi perbaikan sendiri, beberpa perlu penangan dari
spesialis. Bedah saraf neonatal/pediatric kadang melakukan perbaikan fraktur avulsi,
sehingga terjadi penyembuhan lesi dan fungsi kembali normal. Fisioterapi diperlukan
untuk mendapatkan kembali fungsi seperti normal. Range of motion dapat kembali
normal pada anak kurang dari satu tahun, apabila setelah satu tahun tidak ada
perbaikan fungsi sepenuhnya, harus diwaspadai timbulnya atritis.
Pada beberapa kasus yang berat, terutama yang berkaitan dengan trauma
dimana terjadi avulsi saraf, intervensi tindakan operatif dilakukan dalam beberapa
hari setelah cedera untuk perbaikan primer, atau setelah beberapa minggu sampai
bulan untuk perbaikan sekunder, dapat meningkatkan fungsi (Spinner dan Kline,
2000). Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf
bersih dari benda tajam. Perbaikan operatif sekunder setelah 2 – 4 minggu secara
umum direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas dimana cedera saraf terjadi komplit atau sangat berat.
J. Program Fisioterapi
Sebuah program terapi yang komprehensif harus terdiri dari latihan ROM,
fasilitasi gerakan aktif, penguatan, promosi kesadaran sensorik, dan penyediaan
instruksi untuk kegiatan rumah. Secara keseluruhan tujuan harus fokus pada
meminimalkan deformitas tulang dan kontraktur sendi, sekaligus mengoptimalkan
hasil fungsional.
13
meminimalkan risiko masalah ini. Rotasi eksternal, dilakukan dengan adduksi bahu
samping dada dan dengan siku tertekuk sampai 90 °, memberikan peregangan
maksimum Rotator internal (khususnya, subskapularis) dan kapsul bahu anterior.
Skapula harus stabil saat peregangan otot bahu korset untuk mempertahankan
mobilitas dan melestarikan beberapa ritme scapulohumeral.
Awal perkembangan kontraktur fleksi di siku adalah umum dan dapat
diperburuk oleh dislokasi kaput disebabkan oleh supinasi paksa. Supinasi lengan
agresif, karena itu, harus dihindari.
Mobilitas dan penguatan aktif awalnya difasilitasi melalui kegiatan yang
sesuai dengan usia perkembangan. Sebagai anak bertambah usia, latihan penguatan
standar yang digunakan dan keterampilan fungsional spesifik diperkenalkan.
Kelompok otot tertentu dapat ditargetkan untuk memperkuat melalui gerakan
fungsional. Kompensasi dan gerakan pengganti harus dihindari, karena dapat
melestarikan otot lemah dan deformitas. Belat statis dan dinamis dari lengan berguna
untuk mengurangi kontraktur, mencegah deformitas lebih lanjut, dan dalam beberapa
kasus, membantu gerakan. Splints sering diresepkan termasuk pergelangan tangan
istirahat dan bidai, splints siku ekstensi, fleksi siku dinamis dan splints supinator.
Pemilihan yang cermat dan waktu penggunaan belat adalah penting untuk
optimalisasi efek yang diinginkan. Teknik rekaman dapat digunakan oleh terapis
untuk mengendalikan ketidakstabilan skapulae dan karenanya untuk mempromosikan
mobilitas bahu ditingkatkan. Kegiatan kesadaran sensorik yang berguna untuk
meningkatkan kinerja motor aktif, serta untuk meminimalkan kelalaian dari anggota
badan yang terkena.
Penggunaan pijat bayi dan menarik perhatian visual untuk lengan yang
terkena dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kegiatan bermain dan sehari-hari.
Kegiatan menahan beban dengan lengan terpengaruh di semua posisi tidak hanya
memberikan masukan proprioseptif yang diperlukan tetapi juga dapat berkontribusi
untuk pertumbuhan tulang. Sebuah program yang komprehensif yang mencakup
latihan peregangan, penanganan yang aman dan teknik posisi awal, kegiatan
14
pembangunan dan penguatan, dan kesadaran sensorik harus dikembangkan dan
diperbarui jika diperlukan. Pada anak yang lebih tua dengan kecacatan persisten,
fokus pada instruksi rumah bergeser ke kemerdekaan, dengan pasien belajar mandiri
peregangan dan latihan penguatan, serta strategi untuk mencapai keterampilan hidup
tertentu.
K. PROGNOSIS
Untuk cedera avulsi dan pecah, tidak ada potensi untuk pemulihan kecuali
rekoneksi bedah dibuat pada waktu yang tepat. Potensi untuk pemulihan bervariasi
untuk cedera neuroma dan neuropraxia. Kebanyakan individu dengan cedera
neuropraxia pulih secara spontan dengan 90-100 persen pengembalian fungsi. Untuk
pemulihan yang baik dari fungsi lengan dengan fisioterapi 50-80%.
15
BAB III
LAPORAN STATUS KLINIK
16
III. SEGI FISIOTERAPI
A. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
1. KELUHAN UTAMA :
Pasien mengeluh lengan kanannya tidak mampu digerakkan
17
3. RIWAYAT PERSALINAN DAHULU :
Pasien lahir dengan berat badan 4,3 kg, sehingga persalinan sulit,
dikarenakan kondisi bayi yang besar. Usia 1 bulan tampak lengan kanan
bayi tidak aktif.
4. RIWAYAT KELUARGA :
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit seperti pasien ini
5. STATUS SOSIAL
(Lingkungan kerja, tempat tinggal, aktivitas rekreasi dan diwaktu
senggang, aktivitas social)
Pasien yang berprofesi sebagai mahasiswa di salah satu universitas
negeri di yogyakarta, yang dalam kesehariannya mengikuti kuliah dan
kursus-kursus, merasa terganggu dengan kondisi yang dialaminya.
B. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
1. PEMERIKSAAN TANDA VITAL
a. Tekanan darah : 120/70 mmHg
b. Denyut Nadi : 90x/menit
c. Pernapasan : 22x/menit
d. Temperatur : 36 oC
e. Tinggi Badan : 167 cm
f. Berat Badan : 52 kg
18
2. INSPEKSI
(Statis dan dinamis)
a. Statis
Lengan kanan tampak deformitas kearah posisi bahu
endorotasi, siku cenderung fleksi 20°, pronasi dan fleksi
wrist
Tampak atrofi otot deltoid sisi kanan
Tampak lengan kanan lebih pendek dan kecil dibanding
lengan kiri
b. Dinamis
Pasien belum bisa mengangkat lengan kanannya ke atas
secara maksimal (fleksi bahu)
Tangan pasien saat menggenggam benda, gerakannya
belum terkoordinasi
3. PALPASI
a. Tidak terdapat nyeri tekan pada lengan kanan
b. Adanya hypotonus otot-otot deltoid dan tricep
c. Tidak ada perubahan suhu pada lengan kanan
4. PERKUSI
(Tidak dilakukan pemeriksaan)
5. AUSKULTASI
(Tidak dilakukan pemeriksaan)
6. PEMERIKSAAN GERAK DASAR :
Saat dilakukan pemeriksaan secara aktif, pasien belum mampu full
ROM
A. Gerak Aktif :
Sendi shoulder
Fleksi-Ekstensi-Abduksi-Eksorotasi-Ebdorotasi
19
(belum mampu Full ROM, ada keterbatasan LGS)
Sendi elbow
Fleksi-Ekstensi
(Pasien mampu menggerakkan secara aktif tetapi tidak full ROM)
Sendi Wrist
Fleksi-Ekstensi
(Pasien mampu menggerakkan secara aktif tetapi tidak full ROM)
B. Gerak Pasif :
SHOULDER Hasil
Fleksi- Ekstensi Full ROM, nyeri (-)
Abduksi-Adduksi Full ROM, nyeri (-)
Endorotasi-Eksorotasi Full ROM, nyeri (+)
ELBOW Hasil
Fleksi-Ekstensi Full ROM, nyeri (-)
WRIST Hasil
Fleksi-Ekstensi Full ROM, nyeri (+)
Ulna Deviasi-Radial Deviasi Full ROM, nyeri (-)
SHOULDER Hasil
Fleksi- Ekstensi Mampu, nyeri (-)
Abduksi-Adduksi Mampu, nyeri (-)
Endorotasi-Eksorotasi Mampu, nyeri (+)
20
ELBOW Hasil
Fleksi-Ekstensi Mampu, nyeri (+)
WRIST Hasil
Fleksi-Ekstensi Mampu, nyeri (+)
Ulna Deviasi-Radial Mampu, nyeri (+)
Deviasi
7. MUSCLE TEST
SHOULDER Hasil
Fleksi 4-
Ekstensi 3
Abduksi 3
Adduksi 3
Endorotasi 3
Eksorotasi 1
ELBOW Hasil
Fleksi 4
Ekstensi 1
WRIST Hasil
Fleksi-Ekstensi 3
UlnaDeviasi-Radial 3
Deviasi
8. ANTROPOMETRI TES
Pengukuran ROM test menggunakan midline pada lengan Dextra
diperoleh hasil:
a. Panjang lengan kanan (lesi) = 66 cm
b. Panjang lengan kiri = 72 cm
21
Selisih lingkar tangan (lengan) dextr dan sinistra, adalah:
Wrist = 3 cm (menggunakan tekhnik figure of 8)
Elbow = 3 cm (patokan di olecranon)
Shoulder= 5 cm (patokan di tuberculum mayor humeri
Kesimpulan = lengan yang lesi mengalami atrofi
9. ROM TEST
Pemeriksaan ROM Tes menggunakan goniometer di peroleh hasil
sebagai berikut:
SHOULDER Hasil
S (20°-0°-160°)
F (90°-0°-40°)
R (20°-0°-30°)
ELBOW Hasil
S (20°-110°)
WRIST Hasil
S (0°-0°-65°)
F (0°-0°-0°)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
22
Diperoleh Hasil:
Nyeri Diam =0
Nyeri Gerak = 1(saat gerakan ekstensi elbow)
Nyeri Tekan = 1 (pada m. Deltoideus dan m. Tricep)
23
Kriteria Penilaian per-Item 1-10
Jumlah dari semua Item : 80 x 100% = 19 : (80 x 100%)
= 41 %
(Sumber = Reach et. Al.(1991)) 25-50%= cukup mandiri
(Tidak Dilakukan)
24
14. MEKANISME TERJADINYA PERMASALAHAN
(UNDERLYING PROCESS)
(Jika perlu mencantumkan referensi)
Proses persalinan
yang kasar
Trauma
Kelahiran
Cidera Fleksus
Brachialis
STIMULASI EXCERCISE IR
TAPPING FARADIK
D. PROGRAM FISIOTERAPI
1. TUJUAN FISIOTERAPI
a. Tujuan jangka pendek
- Meningkatkan kekuatan otot
- Meningkatkan ROM sendi
- Meningkatkankontraktur otot
b. Tujuan jangka panjang
- Untukmeningkatkan aktifitas fungsional
- Untukmeningkatkan ADL
- Untukmelatih pasien agar tetap mandiri
2. TEKNOLOGI INTERFERENSI
- IR - FARADIK
- EXERCISE - MASSAGE
26
3. EDUKASI
- Pasien diedukasikan untuk selalulatihan seperti yang diberikan
terapis yaitu pendulumexercise
- Pasien dianjurkan laihan yang selalu melibatkan tangan pasien /
aktifitas ADL seperti : menulis, memegang sendok, mengambil
banda.
- untuk latihan mengangkat tangan keatas dankesamping dengan
bantuan bandul.
- Latihan menjalarkan tangan yang lesikedinding untuk mengangkat
tangankeatas.
- Latihan PNF yang sudah diajarkan terapis sebelumnya , seperti :
mengangkat tangan keatasdan kesamping dengan bantuan tangan
yang sehat .
E.RENCANA EFALUASI
27
G. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI
T1 (TGL : 15 AGUSTUS 2013)
PEMBERIAN IR
PERSIAPAN ALAT
- Cek alat, cek lampu, cek kabel
PERSIAPAN PASIEN
- Test Sensibilita
- Tentukan posisi (px) senyaman mungkin.
DOSIS TERAPI
Tentukan dosis terapi sesuai kondisi pasien dan sesuai tujuan terapi :
- Waktu terapi : 15 menit
- Jarak IR-(px) : 60 cm
- Intensitas : Hangat (toleransi pasien)
TEKHNIK PENATALAKSANAAN TERAPI
- Pastikan persiapan Alat dan pasien telah dilakukan dengan baik.
- Setelah itu atur posisi pasien dan terapis.
- Posisi (px) : supine lying (rileks)
- Posisi (tx) : disamping (px)
- Kemudian hidupkan mesin (IR)
- Atur dosis terapi
- Setelah itu, pastikan pasien sudah merasakan hangat (bukan panas)
tunggu Hingga 15 menit.
- Setelah selesai terapi, matikan dan bereskan alat
28
PEMBERIAN FARADIK
PERSIAPAN ALAT
- cek alat, cek kabel
PERSIAPAN PASIEN
- Test Sensibilitas
- Tentukan posisi (px) senyaman mungkin
DOSIS TERAPI
Tentukan dosis terapi sesuai kondisi pasien dan sesuai tujuan terapi :
- Waktu terapi : 15 menit
- Frekuensi terapi : 2500 hz
- AMF : 80 ms
- Interfal : 10 ms
- Intensitas : toleransi pasien
TEKHNIK PENATALAKSANAAN TERAPI
- Pastikan persiapan Alat dan pasien telah dilakukan dengan baik.
- Setelah itu atur posisi pasien dan terapis.
- Posisi (px) : supine lying (rileks)
- Posisi (tx) : disamping (px)
- Kemudian hidupkan mesin (ES)
- Atur modalitas Faradik sesuai dosis terapi
- tunggu Hingga 15 menit.
- Setelah selesai terapi, matikan dan bereskan alat.
EXERCISE
TEKHNIK PENATALAKSANAAN TERAPI
- Pastikan persiapan pasien telah dilakukan dengan baik.
- Setelah itu atur posisi pasien dan terapis.
- Posisi (px) : duduk (rileks)
- Posisi (tx) : disamping (px)
29
- (px) diminta untuk melakukan latihan aktif dan pasif, meliputi :
Px diminta secara aktif melakukan gerakan sendi SHOULDER
flexi – extensi, abd-add, ekso-endo.
Px diminta secara aktif melakukan gerakan sendi ELBOW flexi
– extensi
Px diminta secara aktif melakukan gerakan sendi WRIST
flexi – extensi, ulnar defiasi-radial defiasi
(Px) diminta latihan ADL tangan seperti :
Menggenggam
Mengambil benda
Memegang pensil
mengambil Sendok
Lakukan pendulum exercise
H. EVALUASI
Setelah dilakukan 2 kali terapi dengan menggunakan intervensi fisioterapi
seperti :
- IRR - Massage
- Faradik - Excercise
ROM
Shoulder T1 T2 T3
30
Endorotasi 30° 40° 40°
Ekstensi - - -
Ekstensi 0° 0° 0°
MMT
T1 T2 T3
M. fleksor shoulder 3 4 4
M. ekstensor shoulder 3 3 4
M.fleksor elbow 0 0 1
M.ekstensor elbow 3 3 4
M. fleksor wrist 1 1 2
M. ekstensor wrist
Flexi 170°
31
Extensi 40°
Abduksi 25°
Adduksi 40°
Eksorotasi 50°
Endorotasi 100°
Ekstensi 5°
Ekstensi 5°
MMT
T4
M. fleksor shoulder 4
M. ekstensor shoulder 4
M.fleksor elbow 4
M.ekstensor elbow 1
M. fleksor wrist 4
M. ekstensor wrist 3
32
BAB IV
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
34