Anda di halaman 1dari 39

Shri, R. (2010). Anxiety: Causes and Manage.

The Journal of Behavioral Science,

5(I), 100-118.

Soendoro, T. 2008. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (RIKERDAS) 2007.

Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan Republik Indonesia.

33
DAFTAR PUSTAKA

Adetunji, B. et., 2005. Detection and Management of Malingering in a Clinical


Setting. Primary Psychiatry, 13(1), p. 68-75.
Andersen, K.K., Olsen, T.S. 2013. Body Mass Index and Stroke: Overweight and
Obesity Less Often Associated with Stroke Recurrence. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases, 18(7):1-6.
Bamford, J., Sandercock, P., Dennis, M., Burn, J., Warlow, C. 1991. Classification
and natural history of clinically identifiable subtypes of cerebral infarction.
Lancet, 337:1521-1526.
Bass, C., 2009. Illness Deception. Barcelona: John Radcliffe Hospital.
Bosch, A. F., 2003. A Patient with Diagnosis of a Factitious Disorder: A
Phenomenological Investigation Pretoria: Faculty of Psychology Faculty of
Humanities University of Pretoria.
Conroy. M. A. & Kwartner, P. P., 2006. Malingering. 2 penyunt. Huntsvile:
Psychology in Criminal Justice.
Duffy, S., 2011. Malingering PsychologicalSymptoms : An Empirical Review.
Illinois: Departemen of Psychology Illinois State University.
Durand, M. & Barlow, D. H., 2006. Psikologi Abnormal Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Hurlock, E. B., 2000. Psikologi Perkembangan. Keenam penyunt Jakarta: Erlangga.
Journal of Epidemiology, 30:189.
Kaplan and Sadock, 2010. Epidemiologi. In : Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
2.Editor Edisi Bahasa Indonesia : dr. Husny Muttaqin, dr. Retna Neary Elseria
Sihombing. Jakarta, hal. 415 – 417.
Maramis F.Willy dan Maramis A.Albert, 2009. Gangguan Disosiatif ( Konversi ).
In : Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Editor : Kampus C Unair, JL.
Mulyorejo Surabaya. Surabaya, hal. 314.

32
BAB III

SIMPULAN

Malingering adalah perilaku yang disengaja untuk tujuan eksternal yang

diketahui. Ini tidak dianggap sebagai bentuk gangguan jiwa atau psikopatologi, meski

bisa terjadi dalam konteks gangguan jiwa lainnya. Motivasi untuk malingering

biasanya bersifat eksternal misalnya menghindari tugas militer atau pekerjaan,

mendapatkan kompensasi finansial, menghindari tuntutan pidana, atau mendapatkan

obat-obatan terlarang (Duffy, S., 2011).

Latar Belakang Menurut DSM-5, malingering harus dicurigai dengan adanya

kombinasi dari hal-hal berikut ini: Masalah medikolegal (misalnya seorang pengacara

merujuk pasien, seorang pasien mencari kompensasi karena cedera), Perbedaan yang

ditandai antara gejala yang dikeluhkan dan temuan objektif. Kurangnya kerjasama

selama evaluasi dan dalam mematuhi perlakuan yang ditentukan, Adanya gangguan

kepribadian antisosial (Durand, M, 2006).

Menurut Statt 1981 dan DSM IV (APA, 1994) digolongkan kedalam gangguan

konversi (Convertion disorder). Gangguan ini ditandai dengan pseudoneurologis atau

neurologis semu, karena tanpa adanya gangguan medis tertentu penderita mengalami

kelumpuhan pada salah satu fungsi motoric (anggota tubuh) atau fungsi sensoris (alat-

alat pengindraannya) (Bamford, J, 1991).

31
30
Gambaran Keluhan, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Orang malingering

biasanya keluhannya berlebihan dan tidak sesuai dengan yang biasanya dikeluhkan

pasien pada umumnya. Mereka juga sering kali menyatakan ketidaksetujuan jika

dianggap keluhannya tersebut tidak sesuai anatomis fisiologis yang dipahami dalam

dunia kedokteran. Jika diberikan obat pun terkadang orang yang malingering

menunjukkan respon yang tidak sesuai (Bamford, J, 1991).

Pada Pemeriksaan Status Kejiwaan bisa dijumpai :

1. Sikap pasien terhadap dokter pemeriksaan seringkali tidak jelas atau mengelak.

2. Suasana hati mungkin mudah tersinggung atau bermusuhan.

3. Isi pikir ditandai dengan sibuk merujuk terus menerus atau "keasyikan" dengan

penyakit yang diklaim atau cedera.

Meskipun neuroimaging tidak dapat digunakan untuk penilaian diagnostik,

subjek yang diinstruksikan untuk melakukan dengan sengaja pada tes kognitif seolah-

olah mereka menderita cedera otak akibat gangguan memori, menunjukkan aktivasi

yang lebih besar pada korteks prefrontal superior dan medial saat berpura-pura cedera

dibandingkan dengan kinerja optimal. Pola spasial mengisyaratkan bahwa otak yang

melakukan malingering harus berusaha lebih keras untuk mengingat jawaban yang

benar dan untuk menekannya. Ini tentunya harus dikonfirmasi oleh dokter saraf dan

dokter radiologi yang kompeten (Bosch, A. F., 2003).

29
gangguan Factitious. Sehingga hal ini pun dapat menimbulkan kesulitan bagi tenaga

kesehatan untuk memisahkannya dari gangguan factitious (Bamford, J, 1991).

Malingering sering dikaitkan dengan gangguan kepribadian antisosial dan ciri

kepribadian histrionik. Pengamatan langsung yang berkepanjangan dapat

mengungkapkan bukti berkelit karena sulit bagi orang yang berkomplot terkait

malingering untuk menjaga konsistensi dengan klaim palsu atau berlebihan untuk

waktu yang lama. Orang yang sedang berpura-pura biasanya tidak memiliki

pengetahuan tentang bagaimana harus bersikap dalam menjaga kelainan pura-pura itu

agar tampak benar-benar sakit (Bamford, J, 1991).

Wawancara dan pemeriksaan yang berkepanjangan terhadap seseorang yang

dicurigai adanya kelainan malingering dapat menyebabkan kelelahan dan mengurangi

kemampuan orang yang sedang malingering untuk mempertahankan tipuan tersebut.

Urutan pertanyaan yang cepat akan meningkatkan kemungkinan tanggapan yang

kontradiktif atau tidak konsisten (Bamford, J, 1991).

Misalnya pada orang yang melakukan kelainan psikotik, dia sering membesar-

besarkan halusinasi dan delusi tapi tidak bisa meniru gangguan proses pemikiran

formal. Mereka biasanya tidak dapat berpura-pura meniru afek tumpul khas pasien

psikotik dan ganguan berpikir konkret. Mereka sering menganggap bahwa amnesia dan

disorientasi adalah ciri psikosis (Bamford, J, 1991).

28
2. Observasi pada waktu dan kondisi tertentu

Metode observasi sebenarnya yang paling kuat dapat dipakai untuk

mengkonfirmasi jika ada malingering. Observasi dapat dilakukan setiap saat baik

selama subyek dalam ruang perawatan ataupun dalam lingkungan sosialnya.

Pengamatan dapat dilakukan selama 24 jam dalam sehari, karena subyek malingering

biasanya tidak dapat melakukan kebohongan tentang gejala penyakitnya dalam waktu

lama.

2.2 Malingering Pada Aspek Neurologi

Pada malingering yang berkaitan dengan aspek neurologi dibahas bahwa sering

ditemui bermacam-macam bentuknya salah satunya hysteria yang paling menonjol

adalah konversi hysteria (Bamford, J, 1991).

Menurut Statt 1981 dan DSM IV (APA, 1994) digolongkan kedalam gangguan

konversi (Convertion disorder). Gangguan ini ditandai dengan pseudoneurologis atau

neurologis semu, karena tanpa adanya gangguan medis tertentu penderita mengalami

kelumpuhan pada salah satu fungsi motoric (anggota tubuh) atau fungsi sensoris (alat-

alat pengindraannya). Sebagai contoh misalnya penderita tiba-tiba tidak mampu

melihat (buta) padahal tidak ditemukan adanya gangguan medis pada matanya. Atau

secara tiba-tiba penderita mengalami kelumpuhan pada anggota tubuhnya pada hal ia

tidak mengalami kelumpuhan saraf apapun. Sekalipun simtom-simtom gangguan

Factitious atau malingering, kelumpuhan tanpa alasan medis adakalanya disuga bentuk

27
atau fase konfrontasi. Proses selanjutnya adalah dengan memberikan pertanyaan yang

jawabannya ya atau tidak dan pertanyaan ini terus diberikan walaupun ada perlawanan

dari subyek. Keputusan subyek untuk menerima kondisinya dan berusaha untuk

menjadi lebih baik lagi sebagai tahapan selajutnya. Selama wawancara yang menjadi

titik penting adalah menjaga aliansi dengan subyek walaupun mengetahui subyek

sedang berbohong pada saat itu. Pemeriksa perlu mengumpulkan data adanya riwayat

pemakaian zat pada remaja, gangguan psikiatri atau gangguan kepribadian yang

mengarah kepada kecurigaan malingering (Bosch, A. F., 2003).

B. Observasi

Pemeriksa melakukan observasi selama wawancara dan pada waktu serta

kondisi tertentu (Bosch, A. F., 2003).

1. Observasi selama wawancara

Pemeriksa mengamati perilaku verbal, ekspresi wajah, dan gestur tubuh.

Subyek yang berbohong biasanya bicara dengan nada yang agak tinggi, kadang

membuat gramatikal yang tidak tepat, dan selama wawancara sering terhenti

dipertengahan wawancara. Pergerakan badan biasanya yang kurang mendapat

perhatian dari subyek sehingga bisa sebagai penentu. Gerakan yang biasa ditampilkan

dapat berupa menggaruk, menggosok bagian tubuh tertentu, ataupun menarik bagian

tubuh dan juga dapat menggunakan alat peraga seperti pena. Gerakan tersebut dalam

waktu yang lama dan berulang.

26
2.1.10 Penilaian Malingering

Alur dalam menilai malingering (gambar 3) dan beberapa diagnosis yang

menyerupai malingering (Durand, M, 2006). Langkah yang dapat diikuti dalam

menentukan malingering pada seseorang sebagai berikut:

A. Mengumpulkan data

Data dapat dikumpulkan dengan cara wawancara dengan subyek. Wawancara

biasanya berlangsung lama, detail, dan melelahkan. Sangat sulit bagi subyek yang

melakukan malingering untuk mempertahankan gejala dalam waktu yang lama

(Adetunji, et al., 2005). Subyek juga dapat ditanyakan tentang penyakit yang lain untuk

melihat tanggapan mereka. Lima langkah wawancara yang dapat diterapkan pada

subyek malingering yaitu: mendengarkan, mengikuti, menghadapi, memecahkan, dan

menyetujui (Conroy. M. A., 2006).

Langkah pertama yaitu mendengarkan, dalam hal ini pemeriksa memberikan

pertanyaan yang bersifat terbuka dan tidak memberikan beberapa petunjuk yang

menjadi kecurigaan pemeriksa akan kebohongan yang dilakukan pasien. Langkah

kedua yaitu mengikuti, hal ini dimaksudkan pemeriksa mengecek subyek untuk

keakuratan cerita, klarifikasi, dan mengidentifikasi penyataan, ketidakkonsistenan

yang disampaikan, dan adanya rincian dan sikap yang berlebihan. Pemeriksa mencatat

pernyataan subyek yang tidak konsisten dan memberikan sebuah pertanyaan yang

kontradiksi namun tidak dengan ancaman, hal ini dilakukan pada tahap menghadapi

25
2.1.9 Menegakkan Diagnosis

Malingering DSM-5 mengatakan ada beberapa faktor yang dapat

mengarahkan pada kecurigaan adanya malingering yaitu: subyek akan

menampilkan gejala jika berhubungan dengan masalah medikolegal, adanya

perbedaan antara masalah atau gangguan yang disampaikan subyek secara

subyektif dengan temuan secara obyektif dari gejala, subyek tersebut tidak

kooperatif atau tidak patuh dalam terapi, dan adanya gangguan kepribadian

antisosial (Duffy, 2011). Beberapa pendapat ahli juga menyampaikan kriteria

yang mengarahkan kepada adanya malingering dari observasi dan wawancara,

yaitu (Adetunji, et al., 2005): a. Adanya riwayat suka berbohong sebelumnya

b.Tidak sesuai antara yang disampaikan subyek sebagai keluhan dengan

pemeriksaan obyektif yang dilakukan c. Sangat mudah disugesti dan diinduksi

untuk menambahkan elemen yang aneh atau tidak masuk akal kedalam cerita d.

Kadang tidak mengetahui faktor apa saja yang dapat memperberat atau

meringankan gejala e. Mengancam dan mengintimidasi para klinisi jika klinisi

atau dokter menampakkan ketidakpercayaan tentang apa yang disampaikan.

Beberapa kriteria harus disingkirkan terlebih dahulu untuk mengarahkan kepada

malingering seperti factitious disorder, disosiatif, gangguan somatoform, dan

gangguan spesifik lainnya sesuai gambar 4 (Bass, 2009).

24
fisiologis mempengaruhi proses perkembangan emosi. Kognisi juga berperan

dalam proses belajar tentang bagaimana mengenal, memahami serta

mengekspresikan emosi (Mashar, 2011). Emosi mempengaruhi bagaimana

seseorang berperilaku, karena motif seseorang dalam berperilaku terkadang

tergantung pada emosi yang dialami saat itu (Durand & Barlow, 2006).

Gambar 1. Tiga Komponen Emosi (Durand & Barlow, 2006) Berdasarkan

bagan tersebut dijelaskan bahwa emosi akan membentuk suatu perilaku sebagai

wujud dari ekspresi pengungkapannya dalam berkomunikasi dengan lingkungan.

Perilaku terbentuk juga disebabkan oleh reaksi emosional tubuh yang

mempengaruhi sistem organ yang ada. Kemampuan belajar subyek terhadap suatu

situasi yang dialaminya juga berpengaruh dalam hal penilaian terhadap emosi yang

sedang dialami. Subyek yang melibatkan kognitif, emosi akan terekspresikan

dengan tepat dan tidak merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Tumpang tindih

antara emosi, perilaku dan fisiologi memunculkan sebuah irisan yaitu ekspresi dari

emosi itu sendiri. Hal ini dikarenakan ekspresi emosi merupakan bentuk

komunikasi kepada orang lain yang melibatkan faktor fisiologis serta kognitif

(Durand & Barlow, 2006). Kondisi yang mempengaruhi perkembangan emosi

yaitu faktor pematangan dan faktor belajar. Hurlock (2000) menyebutkan bahwa

“pematangan dan belajar berjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi

perkembangan emosi sehingga pada akhirnya akan sulit untuk menentukan dampak

relatifnya”.

23
yang ada dan harus dilakukan. Subyek melihat situasi yang dihadapi subyek

saat ini sebagai sesuatu yang tidak menyenagkan, mereka mempercayai

bahwa untuk menghilangkan yang tidak menyenangkan adalah dengan

malingering dan tidak ada cara lain yang lebih efektif lagi untuk mencapai

tujuan mereka, itulah hal yang penting dalam teori ini. Model adaptasional

juga menghilangkan konotasi negatif selama ini tentang malingering dan

memberikan penjelasan bahwa perilaku individu memerlukan adaptasi

untuk dapat bertahan didalam situasi terburuk sekalipun (Duffy, 2011).

B. Motivasi Malingering

Motivasi utama pada perilaku malingering yaitu untuk menghindari situasi

sulit atau hukuman misalnya menghindari nyeri dan yang kedua adalah menerima

kompensasi atau perawatan misalnya mendapatkan kesenangan (Resnick & Knoll,

2005). Contoh umumnya adalah menghindari penyiksaan, kekerasan, atau

penghinaan. Contoh lainnya adalah untuk mendapatkan tempat yang aman dan

nyaman untuk tinggal dan bermain. Hal yang mendasari motivasi seseorang

tergantung kepada lingkungan dan situasi sekitar individu tersebut (Duffy, 2011).

C. Perkembangan Emosi

Emosi memiliki keterkaitan antara perilaku, kognisi dan fisiologis. Emosi

secara fisiologis terdapat pada salah satu bagian dari sistem limbik, yaitu otak kecil

di atas tulang belakang, di bawah tulang tengkorak. Sistem tersebut memilik tiga

fungsi, yaitu mengontrol emosi, seksualitas, dan pusat-pusat kenikmatan yang

paling penting dalam perkembangan otak (Muhammad, 2011). Kematangan

22
menghilang jika batasan yang ada dihilangkan sehingga malingering

sebenarnya tidak dimasukkan kedalam kategori penyakit dan semakin

banyak yang menggugurkan teori ini (Singh, et al., 2007). Teori ini dipakai

dalam waktu singkat namun dengan adanya teori ini dapat mengetahui

ternyata malingering mengalami evolusi dari tahun ke tahun (Duffy, 2011).

b. Model kriminologi Teori ini mendeskripsikan malingering berhubungan

dengan perilaku antisosial yang ditunjukkan oleh orang dengan kepribadian

antisosial sejalan dengan kriteria DSM IV-TR. Teori ini mengasumsikan

bahwa orang yang malingering pada dasarnya merupakan individu yang

buruk dan penipu. Seorang klinisi dalam menilai seseorang dalam

lingkungan masyarakat yang melakukan tindakan tertentu akan dianggap

sebagai penipu dan hal tersebut akan menganggu penilaian yang dilakukan

jika memakai patokan teori ini. Teori ini banyak mendapat kritikan namun

teori ini masih dipakai pada beberapa bidang. Teori ini bukan teori yang

terbaik dalam menggambarkan motif seseorang melakukan malingering

atau berpura-pura mengalami sakit (Duffy).

c. Model adaptasional Teori ini berkembangan karena adanya keyakinan

kalau semua motif yang mendasari seseorang berpura-pura tidak dapat

dikategorikan secara mudah dengan memberikan label seorang individu dan

perilaku mereka sebagai gila atau buruk. Teori ini menilai perilaku seorang

yang melakukan malingering berdasarkan analisis keuntungan dari pilihan

mereka dan memutuskan bahwa malingering merupakan pilihan terbaik

21
sehingga menyebabkan dia tidak dapat bekerja saat ini sehingga mendaptkan

tunjangan kompensasi dari tempat kerjanya.

2.1.8 Psikodinamika Malingering

A. Teori Malingering ROGER, Salekin, Sewell, Goldstein, dan Leonard

memaparkan tiga model teori yang berkembang dari tahun ke tahun untuk dapat

menjelaskan motivasi utama seseorang dapat melakukan melingering. Tiga

model teori tersebut adalah model patogenik, model kriminologik, dan model

adaptasional (Duffy, 2011).

a. Model patogenik Model ini yang paling popular saat psikoanalitik sangat

digemari pada awal abad ke-20, teori ini mengusulkan malingering

dimasukkan ke dalam gangguan jiwa. Keyakinan utama dari teori ini adalah

malingering berasal dari kondisi psikopatologis dimana individu kesulitan

beradaptasi dengan adanya penyakit jiwa yang mendasari. Subyek gagal

berusaha mengontrol penurunan yang terjadi pada dirinya dan secara sadar

menciptakan suatu gejala baru yang lain. Teori ini mengatakan karena

kondisi mental subyek mengalami perburukan sehingga tidak dapat

mengontrol gejala palsu yang dibuat sehingga gejala tersebut menjadi benar

terjadi. Penelitian yang mendukung teori ini secara empiris sangat sedikit.

Gejala malingering berdasarkan fakta yang ada dapat menghilang atau

menjadi buruk tergantung dari keuntungan eksternal yang didapat semakin

bertambah atau menghilang (Duffy, 2011). Gejala malingering dapat

20
pada berbagai umur, umur termuda dari penelitian adalah 9 tahun (Adetunji, et

al.,2005). Penelitian lain mengatakan rata-rata umur yang berpura-pura sakit sekitar

13,9 tahun dengan rentang umur dari 8-18 tahun (Soendoro, T. 2008).

2.1.7 Jenis Malingering

Tiga jenis malingering yang umum terjadi (Duffy, 2011), yaitu:

1. Malingering murni Malingering murni terjadi ketika seorang subyek memalsukan

secara total atau menipu seutuhnya gangguan mental yang sebenarnya tidak mereka

alami.

2. Malingering sebagian Malingering sebagian terjadi jika seorang subyek melebih-

lebihkan gejala nyata mereka alami. Sebagai contoh adalah seorang gelandangan

yang memiliki riwayat skizofrenia dapat melebihkan gejala halusinasi perintah

untuk melakukan bunuh diri agar dia dimasukkan ke rumah sakit untuk mendaptkan

keamanan dan tempat yang nyaman untuk tinggal. Contoh lainnya adalah pecandu

narkotika yang memalsukan gejala lain untuk mendapatkan keuntungan eksternal.

Mereka memalsukan gejala depresi atau psikotik agar mereka mendapatkan terapi

seperti obat penenang yang tidak mereka dapatkan di tempat rehabilitasi.

3. Imputasi palsu Seorang subyek menghubungkan gejala dahulu dengan kondisi

sekarang yang sebenarnya mereka mengetahui tidak ada hubungan antara gejala

tersebut dengan kondisi mereka saat ini disebut dengan imputasi palsu. Sebagai

contohnya adalah seorang yang memiliki riwayat depresi mayor yang sudah lama,

menghubungkan gejala depresi tersebut sebagai gangguan akibat pekerjaan

19
1. Hubungan dokter-pasien terganggu dan tidak ada intervensi positif lebih lanjut

yang memungkinkan, pasien akan lebih berjaga-jaga dan bukti penipuan dapat

benar-benar tidak memungkinkan. Jika pasien dapat diterima dan dipercaya,

perawatan pasien dirumah sakit atau observasi rawat jalan selanjutnya dapat

mengungkapkan ketidakstabilan gejala, yang terus ada hanya jika pasien sadar

bahwa mereka sedang diawasi.

2. Mempertahankan hubungan dokter-pasiensering penting ujntuk diagnosis dan

terapi jangka panjang. Evaluasi yang teliti sering mengungkapkan masalah yang

relevan tanpa perlu adanya konfrontasi. Biasanya paling baik menggunakan

pendekatan terapi intensif seolah-olah gejala tersebut benar adanya. Gejala

kemudian dapat dihilangkan sebagai respon pada terapi, tanpa pasien kehilangan

muka.

2.1.6 Prevalensi Malingering

Prevalensi malingering secara tepat tidak diketahui. Penelitian memperlihatkan

lebih banyak malingering terjadi pada situasi tertentu seperti ruang lingkup militer,

penjara, tempat kerja, atau berkaitan dengan kriminalitas (Adetunji, et al., 2005).

Rogers memperkirakan sekitar 4,5% sebagai malingering sesungguhnya sedangkan

sekitar 20% sebagai suspek malingering (Conroy & Kwartner, 2006). Anggota

American Board of Clinical Neuropsychologist memperkirakan sekitar 39%

malingering terjadi pada trauma kepala ringan, sekitar 30% pada kasus kecacatan, dan

sekitar 29% pada trauma lainnya (Shaver & Bullet, 2005). Malingering dapat terjadi

18
Keluhan sering disajikan secara dramatic, kabur, atau berlebihan, atau

merupakan bagian dari suatu riwayat medic yang telah banyak dapat pertimbangan

fisik. Penderita seperti ini sering mendapat perawatan dari banyak dokter, kadang-

kadang beberapa dokter sekaligus (Adetunji, 2005).

Gambaran penyerta : kecemasan dan afek depresif sering ditemukan. Seperti

upaya ancaman bunuh diri, tingkah laku antisocial, keukaran dalam pekerjaan,

hubungan interpersonal dan perkawinan. Perjalanan : gangguan ini bersifat kronis dan

sering berfluktuasi dan jarang bisa sembuh secara spontan (Adetunji, 2005).

Kriteria Diagnostik :

1. Terdapat riwayat penyakit dengan keluhan gejala fisik selama beberapa tahun yang

dimulai sebelum usia 30th.

2. Paling sedikit terdapat 14 gejala pada wanita dan 12 pada pria, termasuk cedera

fisik.

2.1.5 Terapi

Seorang pasien yang dicurigai melakukan malingering harus dievaluasi secara

menyeluruh dan objektif, serta dokter tidak boleh menunjukkan kecurigaannya. Jika

dokter menjadi marah (suatu respon yang lazim terhadap pelaku malingering),

konfrontasi dapat terjadidengan dua konsekuensi : ( Kaplan and Sadock, 2010).

17
D. Fugue Psikogenik

Factor predisposisi dan perjalanan. Penggunaan alcohol secara berat dapat

merupakan factor predisposisi. Fugue Psikogenik secara khas timbul sesudah stressor

psikososial yang berat, seperti perceraian, penolakan pribadi, konflik militer, atau

bencana alam (Bosch, A. F., 2003).

Biasanya fugue itu berlangsung pendek/beberapa jam atau hari dan mencakup

suatu tindakan melakukan perjalanan yang terbatas.jarang dapat berlanjut sehingga

beberapa bulan yang mencakup suatu perjalanan yang kompleks terkadang sehingga

ribuan kilometer bahkan keluar negeri. Pada akhirnya dapat pulih secara cepat dan

jarang kambuh (Bosch, A. F., 2003).

Kriteria Diagnostik :

1. Suatu perjalanan mendadak yang tidak diduga, jauh dari rumah atau tempat kejanya

yang biasa, disertai ketidakmampuan mengingat masa lampaunya.

2. Pemakaian identitas baru (baik sebagian atau lengkap).

3. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan mental organik.

E. Gangguan Somatoform

Keluhan somatik yang majemuk dan berulang, yang berlangsung bertahun-

tahun, untuk hal mana telah mencari pertolongan medis akan tetapi tidak disebabkan

oleh gangguan fisik (Adetunji, 2005).

16
Individu-individu tersebut biasanya menyajikan riwayat penyakitnya dengan

sangat dramatis, tetapi sangat kabur dan tidak konsisten apabila ditanyakan secara lebih

cermat. Terkadang ada dusta patologik yang tidak dapat dikontrolnya dan sangat

menarik bagi pendengar tentang segala hal ikhwal yang berkaitan dengan riwayat

perjalanan gejalanya atau kehidupannya (pseudologia fantastica) (Durand, M, 2006).

Mereka seringkali memiliki pengetahuan yang luas tentang istilah kedokteran

dan tatacara rutin rumah sakit. Sekali mereka dirawat dirumah sakit, mereka dapat

menimbulkan keributan dibangsal dan menuntut perhatian dan bersikap tidak patuh

pada peraturan dan tata cara yang berlaku (Durand, M, 2006).

Apabila mereka dihadapkan dengan bukti bahwa gejalanya adalah buatan,

mereka menyangkal dengan tegas, atau segera menghilang atau kabur ke tempat lain.

Pada pelaku hal seperti ini biasanya mempunyai riwayat kesehatan yang unik dan

sering keluar masuk rumah sakit (Bosch, A. F., 2003).

Kriteria diagnostik :

1. Penampilan gejala fisik yang sedemikian rupa meyakinkan sehingga terjadi

perawatan berulang kali dirumah sakit, yang nampaknya berada dibawah

pengendalian volunter individu.

2. Tujuan individu itu nampaknya hanyalah untuk mendapatkan peran “pasien” dan

hal itu tidak dapat dijelaskan dari segi situasi lingkungannya (sebagaimana halnya

pada keadaan berpura-pura/malingering).

15
1. Seluruhnya dibuat-buat (total fabrication), misalnya keluhan nyeri perut hebat,

padahal tidak ada sama sekali keluhan tersebut.

2. Dengan sengaja menghasilkan timbulnya penyakit, misalnya di kulit, dengan

menyuntik air liur kedalam kulit.

3. Melebih-lebihkan atau sengaja menimbulkan eksaserbasi suatu kondisi fisik yang

sudah ada sebelumnya, misalnya sengaja membiarkan dirinya disuntik penicillin,

meskipu jelas mengetahui bahwa dirinya pernah mengalami reaksi anafilaktik atau

salah satu kombinasi, atau variasi dari tiga hal tersebut diatas.

C. Gangguan buatan kronik dengan gejala fisik (Sindrom Munchauseen)

Gambaran utama: penyajian gejala fisik buatan oleh individu secara sedemikian

rupa meyakinkan, sehingga memungkinkan dirinya dirawat dan memperoleh

perawatan berulang-ulang dirumah sakit. Seluruh kehidupan orang itu dapat berupa

upaya agar dirawat atau perawatan yang berulang dirumah sakit.

Gambaran klinis yang sering dikemukakan pada umumnya berupa : Keluhan

nyeri hebat didaerah perut kanan bawah disertai mual dan muntah, pusing dan

penglihatan jadi gelap, batuk darah hebat, kemerahan atau abses diseluruh permukaan

kulit, demam yang tak dapat ditentukan sebabnya, perdarahan sekunder akibat makan

antikoagulan, dan sindrom yang mirip “lupus”. Semua system organ dapat menjadi

sasarannya, dan gejala yang disajikan pasien hanya terbatas pada taraf pemahaman,

derajat sofistikasi dan khayalan individu tentang pengetahuan kedokteran (Durand, M,

2006).

14
seperti gangguan konversi, perbedaan gejala tidak sering diperoleh melalui sugesti atau

hypnosis (Conroy. M. A., 2006).

Penilaian bahwa perilaku tersebut berada dibawah pengendalian volunteer,

sebagian berdasarkan dari kemampuan pasien untuk meniru penyakit sedemikian rupa,

sehingga tiruan tersebut tidak dapat dikenal (Durand, M, 2006).

A. Gangguan buatan dengan gejala psikologik (Sindrom Ganser).

Kriteria diagnostik :

1. Produksi gejala-gejala psikologik (seringkali berat dan mirip gejala psikotik,

sehingga memberi kesan terdapatnya gangguan mental), yang nampaknya berada

dibawah pengendalian volunter individu (dapat dikendalikan menurut kehendak

individu).

2. Gejala yang dihasilkan tidak dapat dijelaskan oleh gangguan mental lain manapun

juga (meskipun dapat terjadi bersama-sama/bertumpang tindih dengan salah satu

gangguan mental).

3. ujuan individu rupa-rupanya adalah agar dapat dianggap sebagai “pasien” dan hal

itu tidak dapat dijelaskan atas dasar hubungannya dengan keadaan lingkungan

individu (seperti halnya pada kondisi berpura-pura)

B. Gangguan buatan dengan gejala fisik :

Gambaran utama : terdapat penyajian gejala fisik yang tidak sejati atau tidak

benar (not real). Penyajiannya dapat berupa :

13
Beda antara berpura-pura dengan gangguan konversi sereta gangguan

somatoform adalah bahwa pada berpura-pura gejalanya berada dibawah pengendalian

volunteer dan khususnya pada berpura-pura tedapat tujuan yang jelas. Pada gangguan

berpura-pura penyajian gejalanya tidak berdasarkan konflik emosi dan juga tidak

merupakan suatu “symbol” dari konflik emosional yang mendasarinya (Bosch, A. F.,

2003).

Pada Gangguan Buatan terbukti adanya suatu kebutuhan intrapsikis untuk

mempertahankan peranan sebagai orang sakit. Jadi, apabila diagnosis Gangguan

Buatan ditegakkan, hal itu meniadakan diagnosis Berpura-Pura (Malingering). Juga

pada Gangguan Berpura-pura tidak terjadi pengurangan gejala dengan cara sugesti,

hypnosis, atau pemberian barbiturat intavena (Bosch, A. F., 2003).

2.1.4 Diagnosa Banding

Tindakan berpura-pura (malingering) sangat sulit dibedakan dengan gangguan

buatan (factitious disorders). Perbedaan yang signifikan bisa ditemukan pada tujuan

melakukan hal tersebut. Pada gangguan berpura-pura terdapat tujuan yang jelas untuk

mendapat keuntungan eksternal.

Malingering dibedakan dengan gangguan somatoform dengan adanya

pembentukan yang disengaja serta dengan keuntungan eksternal yang jelas terkait

dengannya. Pada Malingering, berlawanan dengan beberapa gangguan somatoform

12
bukan psikologi individualnya. Contoh tujuan yang jelas tersebut ialah menghindarkan

diri dari wajib militer, tugas yang tidak disukai, mendapat ganti rugi, mengelak dari

tuntutan hukum, atau agar mendapat obat atau zat-zat tertentu. Berpura-pura mungkin

dapat pula merupakan suatu perilaku yang adaptif pada beberapa situasi tertentu, missal

berpura-pura sakit ketika berada di dalam ruang tahanan musuh dalam situasi

peperangan (Duffy, S., 2011).

Pertimbangan tentang kondisi berpura-pura/malingering hendaklah dipikirkan

apabila terdapat salah satu hal dibawah ini : (Duffy, S., 2011).

1. Timbulnya gejala dibawah konteks hukum kedokteran. Misalnya pasien yang

dikirim ke dokter oleh pengacara/pembelanya untuk diperiksa.

2. Terdapat perbedaan (diskrepansi) yang besar antara penderitaan atau hendaya yang

dikeluarkan orang itu dengan penemuan klinis secara objektif.

3. Kurangnya kerjasama antara evaluasi diagnostik dengan rencana terapi.

4. Terdapat kepribadian antisosial.

Perbedaan antara Gangguan Buatan dengan Berpura-pura bergantung pada

pemeriksaan klinis, dalam hal apakah wujud dari gejalanya itu tercapai suatu tujuan

yang jelas. Individu dengan Gangguan Buatan tidak mempunyai tujuan yang jelas atas

apa yang dilakukannya, hal itu hanya dapat ditela’ah dari sisi psikologi (Duffy, S.,

2011).

11
luka-luka sebenarnya atau penjelasan yang dapat dipercaya mengenai cacat yang

akan dipura-purakan nantinya.

4. Perusakan data – merubah data atau laporan diagnostik untuk mensimulasikan

penyakit. Perubahan yang demikian itu bisa mengambil bentuk mutilasi diri (untuk

mempengaruhi hasil pemeriksaan fisik), tambahan atau pengurangan fisik

substansi dari spesimen laboratorium (untuk mempengaruhi hasil analisis yang

dilakukan terhadap spesimen), mencacati atau menyesuaikan laporan laboratorium,

peralatan diagnostik, dan dokumen-dokumen medikohistorikolegal.

5. Pura-pura sakit oportunis – mengeksploitasi kejadian yang terjadi secara alami atau

kondisi medis sebelumnya untuk satu perolehan. Pura-pura sakit oportunis

dibedakan dari pura-pura sakit parsial, yang melibatkan melebih-lebihkan gejala-

gejala spesifik yang ada sebelumnya.

6. Penemuan gejala – keluhan secara bohong dan secara sadar gejala-gejala yang tidak

terkait dengan penyakit atau luka saat ini atau yang sudah ada sebelumnya.

2.1.3 Diagnosa

Gambaran utama. Pembantukan dan penyajian gejala fisik atau psikologik yang

palsu atau dilebih-lebihkan. Gejala-gejala itu disajikan agar tercapai suatu tujuan yang

sangat jelas, yang dapat dikenal apabila diperhatikan keadaan lingkungan individu, dan

10
gejala yang berlebih-lebihan yang dicakup, dan (3) derajat perusakan aktual (jika ada).

Dalam menjaga dengan konsep rangkaian kesatuan, definisi berikut ini telah diusulkan:

(Duffy, S., 2011).

1. Pura-pura sakit asli – berpura-pura sakit atau cacat ketika penyakit atau cacat

tersebut sama sekali idak ada.

2. Pura-pura sakit parsial – melebih-lebihkan dengan sadar gejala yang benar-benar

ada.

3. Tuduhan palsu – menganggap asal gejala aktual sebagai penyebab yang dimaklumi

secara sadar tidak memiliki relasi dengan gejala-gejala tersebut.

Sebagai tambahan terhadap berbagai derajat pura-pura sakit, beberapa bentuk pura-

pura sakit telah diidentifikasi dan didefinisikan : (Duffy, S., 2011).

1. Simulasi – berpura-pura gejala yang tidak ada, atau melebih-lebihkan secara sadar,

menyolok gejala-gejala yang ada sebelumnya. Kadang-kadang simulasi dikenal

sebagai berpura-pura tidak sehat dan pura-pura sakit (malingering) positif.

2. Disimulasi – menyembunyikan atau meminimalkan gejala-gejala yang ada.

Disimulasi juka dikenal sebagai berpura-pura sehat, pura-pura sakit negatif dan

defensif. Istilah tersebut telah membuktikan sedikit membingungkan, karena

kadang-kadang ini digunakan untuk menunjukkan keberpura-puraan medis secara

umum – yaitu sebagai sinonim dari pura-pura sakit.

3. Kejadian yang dijadwalkan – kejadian-kejadian yang direncanakan, disusun dan

dilaksanakan secara hati-hati oleh individu, dengan hasil yang diharapkan baik

9
Agaknya, makeup defensif seseorang dengan penyakit somatoform diyakini lebih

toleran dari huru-hara nyata dalam bentuk yang dapat diobservasi dan ekstrapsikis

dibanding gangguan emosional yang tidak dapat diobservasi (Maramis F.Willy, 2009).

Meningat berbagai skema nosologis yang digunakan secara historis dan secara

internasional setuju atas sentralitas penipuan kemauan pada malingering, ada lebih

banyak kontroversi mengenai apakah malingering dianggap penyakit mental juga. Dari

beberapa kepentingan, karena dalam kebanyakan proses pengadilan sipil, jika bukan

penyakit mental, maka tidak dapat dikomepnsasikan. DSN-IV mengklasifikasikan

malingering sebagai satu kondisi yang tidak dapat diatributkan pada penyakit mental

(kode V), dengan dmeikian, jika malingering terjadi berhubungan dengan penyakit

mental seperti penyakit kepribadian antisosial, factitious disorder , atau penyakit

somatoform, maka ahli diganostik diperintahkan untuk memikirkan dasar-dasar

diagnosis ini. Kenyatannya, diagnosis factitious disorder tidak meliputi diagnosis

malingering (Maramis F.Willy, 2009).

2.1.2 Tipe Malingering

Telah dikemukakan bahwa pura-pura sakit tidak dianggap sebagai variabel

dikotomi (satu kondisi yang ada maupun juga tidak ada) tetapi sebagai yang jatuh

sepanjang satu rangkaian kesatuan dalam dimensi (1) derajat kesengajaan, (2) derajat

8
diagnosis Gangguan Buatan. Diagnosis ditegakkan sesuai definisi yang mencakup

psikopatologi, paling sering gangguan kepribadian yang berat (Shri, R., 2010).

Dengan demikian, malingering dibedakan dari factitious disorder dalam

motivasinya: Dalam malingering didorong oleh keinginan sadar untuk memperoleh

upah eksternal nyata atau hasil environmental (berkenaan dengan lingkungan),

sedangkan factitious disorder tidak. Pada yang belakangan, satu matriks intrapsikis

perlu memanifestasikan diri mereka sendiri sebagai keinginan yang sangat menarik

untuk menganggap peran penderita yang dipikirkan untuk memotivasi penipuan

penyakit yang disengaja. Masalah dalam diferensiasi diagnostik sangat jelas. Seseorang

bisa bermalingering untuk mencapai upah nyata (seperti bayaran untuk cacat atau sup

ayam) yang dihubungkan dengan peran penderita tetapi mungkin masih bisa menikmati

perawatan dan asuhan yang diberikan dengan peran demikian. Seseorang dengan

factitious disorder kemungkinan sangat resisten untuk mengembalikan ini lebih secara

finansial dan aspek-aspek yang memuaskan menjadi orang sakit, sementara masih

bertaut dan memerlukan kepuasan yang lebih emosinal yang orang dengan penyakit ini

diharapkan untuk memohon (Maramis F.Willy, 2009).

Diferensiasi dari penyakit somatoform (sebagai contoh, penyakit konversi)

lebih langsung, dalam penyakit somatoform kurang komponen kemauan dari

malingering. Pada penyakit somatoform konflik emosional yang mendasari dipikirkan

untuk tanpa disadari ditransformasikan menjadi manifestasi fisik dari beberapa jenis.

Tidak ada hasil eksternal atau lingkungan eksternal atau upah yang dicari secara sadar.

7
itu tidak dapat dikenal.hal ini mencakup faktor-faktor seperti pengaturan waktu

(timing) dan penyembunyianyya sedemikian rupa,untuk hal mana diperlukan suatu

taraf dan daya nilaidan aktivitas intelektual tertentu sehingga hal ini member kesan

adanya suatu pengendalian volunteer. Di pihak lain perbuatan itu mengandung kualitas

kompulsif, dalam arti bahwa orang itu tidak dapat menghindarkan diri dari perilaku

tertentu, meskipun hal itu membahayakan dirinya.jadi disatu pihak kondisi itu

dianggap “volunteer” dalam arti bahwa hal itu disengaja dan bertujuan, tetapi tidak

dalam arti perbuatanyyadapat dikontrolnya. Jadi pada Gangguan Buatan tingkah

lakunya berada dibawah pengendalian volunteer untuk suatu tujuan yang tidak

volunteer (involuntarily adopted goals) (Durand, M, 2006).

Gangguan Buatan berbeda dengan tindakan berpura-pura (malingering). Pada

keadaan berpura-pura (kode V.65.20) termasuk bukan kondisi gangguan jiwa, “pasien”

juga mengendalikan secara volunteer gejala-gejalanya, tetapi disini jelas ada tujuannya,

yang dapat dikenal dari situasi lingkungannya, dan bukan dari kondisi psikologiknya.

Contoh, seseorang mengaku menderita penyakit fisik, agar dapat menghindarkan diri

dari saksi, menghadap pengadilan, atau wajib militer, hal itu dapat diklasifikasikan

sebagai “Berpura-pura” (Shri, R., 2010).

Gangguan buatan tidak tampak tujuan yang jelas, selain dari mengambil peran

sebagai orang sakit (pasien). Sebagai contoh, misalnya seorang pasien yang akan

dipindahkan ke rumah sakit lain dengan fasilitas yang lebih meyenangkan bagi dirinya,

justru timbul eksaserbasi dari gejala-gejalanya. Hal ini diklasifikasikan sebagai

6
2. Ketidaksesuaian yang ditandai antara stress atau cacat yang diklaim seseorang dan

temuan obyektif.

3. Kurangnya kerjasama selama evalusi diagnostik dan dalam mentaati cara hidup

perawatan yang ditentukan

4. Adanya Gangguan Kepribadian Antisosial

Malingering berbeda dengan Factitious disorder (Penyakit Dibuat-Buat) dalam

motivasinya untuk produksi gejala, pada malingering adalah dorongan eksternal,

sedangkan pada Factitious disorder dorongan eksternal tidak ada. Bukti dari intrapsikis

perlu memelihara peran penderita yang mengesankan Factitious disorder . Malingering

dibedakan dari Penyakit Konversi dan Penyakit Somatoform lainnya oleh produksi

gejalanya yang disengaja dan oleh dorongan eksternal yang dihubungkan dengannya.

Pada malingering (berlawanan dengan Penyakit Konversi), penyembuhan gejala

seringkali tidak diperoleh melalui sugesti atau hypnosis (Conroy. M. A., 2006).

“Buatan” (factitious), berarti tidak sejati, tidak tulen (tiruan),artificial, tidak

wajar, atau tidak alamiah. Jadi Gangguan Buatan secara khas ditandai oleh gejala fisik

atau psikologik yang dibuat (dihasilkan) secara artificial oleh individu, dan berada

dibawah pengendalian volunteer. Kesan adanya pengendalian volunteer tersebut itu

merupakan hal yang subjektif, dan hanya dapat didimpulkan oleh seorang pengamat

dari luar (Durand, M, 2006).

Penilaian bahwa perilaku itu berada dibawah pengendalian volunteer, sebagian

berdasarkan dari kemampuan pasien untuk meniru sedemikian rupa, sehingga tiruan

5
temuan secara obyektif dari gejala, subyek tersebut tidak kooperatif atau tidak patuh

dalam terapi, dan adanya gangguan kepribadian antisosial (Duffy, 2011).

Ahli teori kontemporer berbagi dengan anteseden historis mereka konstruk

bahwa karakteristik dasar dari malingering adalah kepalsuan yang disengaja, dengan

dorongan yang mendasarinya dari perolehan beberapa jenis. Menurut DSM-IV

(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) edisi ke-empat. Dalam

pembahasan di bab ke-33 tentang Additional Conditions That May Be a Focus of

Clinical Attention dalam buku Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral

Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition, 2010 ada suatu kondisi seperti gangguan

jiwa yang sebenarnya bukanlah merupakan gangguan jiwa ( Kaplan and Sadock, 2010).

Sifat penting malingering adalah produksi kepalsuan yang disengaja atau gejala

fisik atau fisiologis yang berlebih-lebihan secara menyolok, yang dimotivasi oleh

dorongan eksternal seperti menghindari kewajiban militer, menghindari kerja,

memperoleh kompensasi finasial, mengelakkan tuntutan kriminal, atau memperoleh

obat-obatan. Pada beberapa keadaan, malingering bisa menggambarkan perilaku

adaptif – sebagai contoh, bermalingering saat menjadi tawanan musuh selama masa

perang ( Kaplan and Sadock, 2010).

Malingering harus dicurigai secara kuat jika tiap kombinasi berikut ini terlihat :

1. Konteks medikolegal dari presentasi (misalnya seseorang ditunjuk oleh pengacara

ke ahli klinik untuk pemeriksaan).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malingering

2.1.1 Definisi Malingering

Malingering sering disamakan dengan berbohong, menipu, atau memalsukan

sesuatu dan perilaku tersebut merupakan bagian terintegrasi dari perilaku manusia

sejak dahulu. Berbohong nampaknya memperpanjang spektrum perilaku normal di satu

sisi dan malingering di sisi lainnya sedangkan gangguan somatoform dan gangguan

factitious diantaranya (Singh, et al., 2007). The American Psychiatric Association

mendifinisikan malingering sebagai sesuatu kebohongan yang disengaja atau melebih-

lebihkan gejala fisik atau psikologis yang dilakukan karena ada keuntungan eksternal

yang menjadi motivasi melakukan kebohongan tersebut. DSM-5 tidak dapat

memberikan kriteria spesifik untuk malingering karena malingering tidak

dikatagorikan sebagai diagnosis gangguan jiwa tapi lebih fokus perhatian klinis.

Menilai kemauan subyek dan keuntungan eksternal yang menjadi motivasi melakukan

kebohongan tersebut harus diperhatikan dalam malingering (Conroy & Kwartner,

2006). DSM-5 mengatakan malingering sebagai fokus perhatian klinis, ada beberapa

hal yang dapat menyatakan subyek tersebut suspek malingering yaitu: subyek akan

menampilkan gejala jika berhubungan dengan masalah medikolegal, adanya perbedaan

antara masalah atau gangguan yang disampaikan subyek secara subyektif dengan

3
Malingering menurut DSM-5, sebagai fokus perhatian klinis,

dengan kriteria: subyek akan menampilkan gejala jika berhubungan dengan

masalah medikolegal, adanya perbedaan antara masalah atau gangguan

yang disampaikan subyek secara subyektif dengan temuan secara obyektif

dari gejala, subyek tidak kooperatif atau tidak patuh dalam terapi, dan

adanya gangguan kepribadian antisosial (Duffy, 2011).

1.2 Tujuan

Mendiskripsikan malingering yang berhubungan pada aspek neurologi

1.3 Manfaat Secara akademis, dapat menjadi literatur tambahan bagi studi

terkait malingering yang berhubungan pada aspek neurologi. Secara praktis,

pengetahuan ini dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan rencana

penanganan yang optimal.

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malingering merupakan suatu keadaan yang disengaja, pura-pura,

dan bersifat penipuan atau melebihkan tentang suatu penyakit yang pada

kondisi dimana orang ingin menghindari tanggung jawab baik hukum atau

tanggung jawab lainnya atau dalam situasi dimana kompensasi atau

beberapa manfaat lain mungkin diperoleh dari usahanya tersebut (Adetunji,

2005).

Malingering dapat berupa malingering murni, malingering

sebagian, dan imputasi palsu. Malingering terjadi karena dua motivasi yaitu

untuk menghindari suatu yang tidak menyenangkan atau hukuman dan

untuk mendapatkan hadiah (Bosch, A. F., 2003).

Prevalensi malingering diperkirakan sekitar 10-20% pada kondisi

yang berhubungan dengan hukum dan diperkirakan lebih tinggi lagi pada

kasus atau kondisi lainnya yang jarang diamati dan diteliti selama ini.

Malingering terjadi pada berbagai kelompok umur, dapat terjadi pada

beberapa bidang kehidupan, namun yang berkaitan dengan psikiatri

biasanya mereka melakukan simulasi seperti orang retardasi mental,

menderita suatu penyakit berat, mengalami halusinasi, lupa dan gangguan

kognitif lainnya (Shri, R., 2010).


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………………i
Daftar Isi …………………………………………………………………………….1
BAB I Pendahuluan …………………………………………………………………2
BAB II Tinjauan Pustaka …………………………………………………………....3
2.1 Malingering …………………………………………………………………….3
2.1.1 Definisi Malingering ………………………………………………...3
2.1.2 Tipe Malingering…………………………………………………….9
2.1.3 Diagnosa …………………………………………………………….11
2.1.4 Diagnosa Banding …………………………………………………..12
2.1.5 Terapi ……………………………………………………………….18
2.1.6 Prevalensi Malingering …………………………………………......18
2.1.7 Jenis Malingering …………………………………………………...19
2.1.8 Psikodinamika Malingering ………………………………………...20
2.1.9 Menegakkan Diagnosis ……………………………………………..24
2.1.10 Penilaian Malingering ………………………………………………25
2.2 Malingering Pada Aspek Neurologi ………………………………………….27
BAB III Simpulan …………………………………………………………………..31
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………32

1
4
KATA PENGANTAR

Puji syukur kahadapan Tuhan Yang Maha atas tersusunnya Tinjauan


pustaka dan Laporan kasus ini yang berjudul dapat diselesaikan dalam rangka
mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Psikiatri FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar pada Stase Divisi Neuropsikiatri. Pada kesempatan ini
kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Ni Putu Witari, SpS, sebagai dosen pembimbing I dalam penyusunan
tinjauan pustaka ini
2. dr. AA Sri Wahyuni, SpKJ sebagai dosen pembimbing II dalam
penyusunan tinjauan pustaka ini. Seluruh supervisor dan staf bagian
Neurologi dan Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah.
3. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S (K), sebagai Kepala Bagian/SMF
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
4. dr. Ni Ketut Putri Ariani, Sp.KJ, sebagai Kepala Bagian/SMF Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah.
5. Dr. dr. AAA. Putri Laksmidewi, Sp.S (K), sebagai PLT Ketua Program
Studi Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
6. dr. Luh Nyoman Alit Aryani, Sp.KJ (K), sebagai Ketua Program Studi
Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah.
7. Rekan-rekan residen dan semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu
persatu atas bantuan dan dukungan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa monograf ini masih jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, atas perhatiannya penulis
mengucapkan terima kasih.

Denpasar, November 2018

Penulis

iii
LEMBAR PERSETUJUAN PRESENTASI

Nama : Rabiatul Udawiyah

Nim : 1514058103

Presentasi : Tinjauan Pustaka dan Laporan Kasus

Hari/Tanggal :

Jam : WITA

Tempat : Ruang Pertemuan Sekretariat SMF Neurologi FK UNUD/RSUP

Sanglah

Yang menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. Ni Putu Witari, SpS dr. AA Sri Wahyuni, SpKJ


NIP 19720229 200512 002 NIP 19640819 1995032 001

Mengetahui,

PLT Ketua Program Studi Neurologi

DR. dr. AAA Putri Laksmidewi, SpS(K)


NIP 19630403 198803 2 003

ii
Denpasar, November 2018

Kepada YTH: Konsulen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Di tempat

Dengan hormat,

Berkenaan dengan acara ilmiah residen, berikut ini saya sampaikan permakluman

sebagai berikut:

Nama : Rabiatul Udawiyah

Sub divisi : Neuropsikiatri

Judul : Tinjauan Pustaka dan Laporan Kasus

Hari/tanggal :

Jam :

Tempat : Ruang Pertemuan Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah SMF Neurologi FK

UNUD/RSUP Sanglah

Pembimbing : dr. AA Sri Wahyuni, SpKJ dan dr. Ni Putu Witari, SpS

Mohon kehadiran para senior yang saya hormati, atas perhatiannya saya

ucapkan terimakasih.

Hormat saya, Rabiatul Udawiyah

i
TINJAUAN PUSTAKA

KEBOHONGAN (MALINGERING)
PADA ASPEK NEUROLOGI

Oleh:
dr. Rabiatul Udawiyah

Pembimbing:
dr. AA Sri Wahyuni, SpKJ
dr. Ni Putu Witari, SpS

DIVISI NEUROPSIKIATRI
PPDS-1 ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR
2018

Anda mungkin juga menyukai