Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

RINITIS ALERGI, RINITIS VASOMOTOR DAN RINITIS


MEDIKAMENTOSA

Disusun Oleh:
Arum Aditya Gayatri, S.Ked J510170031
Azka Aulia Rahman J510170088
Baiq Yunita Haptianingsih, S.Ked J510170044
Maharani Eka Saputri J510170080
Nurtika, S.Ked J510170032

Pembimbing:

DR. Dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT-KL


Dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN UMUM ILMU PENYAKIT THT


RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

0
REFERAT

RINITIS ALERGI, RINITIS VASOMOTOR DAN RINITIS


MEDIKAMENTOSA

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Program Profesi Dokter Stase Ilmu THT
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Diajukan Oleh :
Arum Aditya Gayatri, S.Ked J510170031
Azka Aulia Rahman J510170088
Baiq Yunita Haptianingsih, S.Ked J510170044
Maharani Eka Saputri J510170080
Nurtika, S.Ked J510170032

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari , tanggal

Pembimbing:

DR. Dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT-KL (............................)

Dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT-KL (............................)

Dipresentasikan dihadapan :

Dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT-KL (............................)

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………….. 1
BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………………. 3
BAB II: ANATOMI DAN FISIOLOFI HIDUNG………………………….. 4
BAB III: RINITIS ALERGI, RINITIS MEDIKAMENTOSA, RINITIS
VASOMOTOR...........................................…………………………………… 12
BAB IV: PENUTUP………………………………………………………….. 37
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 38

2
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis adalah kondisi terjadinya inflamasi pada mukosa hidung yang


menimbulkan gejala seperti hidung tersumbat, gatal, dan berair. Rinitis dapat
dibedakan berdasarkan penyebabnya menjadi kondisi alergi dan non-alergi.
Rinitis non-alergi merupakan rinitis yang disebabkan oleh faktor pemicu tertentu
yang bukan merupakan alergen. Rinitis non-alergi dapat dibagi menjadi rinitis
infeksi dan non-infeksi. Rinitis infeksi dapat disebabkan virus, bakteri, maupun
jamur. Sedangkan rinitis non-infeksi terdiri dari rinitis idiopatik, okupasi,
hormonal, drug-induced, makanan, emosional, atrofi, dan refluks gastroesofageal
(GERD).1,2
Rinitis drug-induced merupakan rinitis yang dapat diakibatkan pemakaian
obat oral ataupun topikal. Namun karena patofisiologinya berbeda, penggunaan
istilah untuk rinitis drug-induced lebih tepat untuk rinitis yang disebabkan
penggunaan obat secara oral. Sedangkan pemakaian obat topikal dikatakan rinitis
medikamentosa.3
Rinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound rhinitis atau rinitis
kimia karena menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan
penggunaan vasokontriksi topikal yang berlebihan.3
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan
sehingga dalam penggunaan vasokontriktor topikal harus berhati-hati.
Vasokontriktor hidung diisolasi pertama kali pada tahun 1887 dari ma-huang yaitu
tanaman yang mengandung efedrin dan digunakan sebagai vasokontriktor topikal
pada mukosa hidung dalam bentuk inhalasi, minyak, semprot dan tetes.3,4
Rinitis medikamentosa merupakan salah satu kelainan hidung non alergi
yang dapat mengganggu dan membuat penderita datang berobat ke dokter. Oleh
karena itu pada makalah ini akan dibahas tentang definisi, etiologi, patofisiologi,
gejala, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, serta prognosis dari rinitis
medikamentosa.1,2,3,4

3
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

2.1. Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan perdarahan dan persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar
berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:5,6
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung

Gambar 2.1 Hidung bagian luar 8

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:5,6
1. Tulang hidung (os nasalis)
2. Prosesus frontalis os maksilla
3. Prosesus nasalis os frontalis
Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:5,6
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

4
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
3. Kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum
Prosesus
nasalis os
frontalis

Gambar 2.2. Kerangka hidung8

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan


kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.5,6
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.3,4,5 Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os ethmoid, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung.5,6

5
Gambar 2.3 Dinding medial hidung8

Bagian depan hidung sisi lateral memiliki permukaan licin, yang disebut
agar nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar
dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka
superior, konka media, konka inferior dan konka suprema. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah
konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah
konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter.5,6

Gambar 2.4 Dinding lateral rongga hidung8

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila


dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.5 Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus

6
yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di anatara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.5,6
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus usinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior.5
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksilla dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.5
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yg merupakan cabang a. oftalmika (cabang dari a. karotid interna).
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris
interna, yaitu a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.5

Gambar 2.5 Perdarahan hidung8

7
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang
disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epitaksis, terutama anak-anak.5
Vena-vena hidung berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yg berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai
intrakranial.5

Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratorius). Mukosa pernapasan
terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated peudostratified
collumner epithelium) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu
terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga hidung bagaian
atas tersusun atas epitel berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified collumner
non ciliated epithelium) yang dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel, penunjang,
sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal
dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam
keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai
susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika
propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan
pendarahan pada anyaman kapiler perglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen
dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang
dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya

8
sinusoid mempunyai otot sfingter. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang
mudah mengembangkan dan mengerut. Vasodilatasi dan vasosonstriksi pembuluh
darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.5,7,8
Sistem transpor mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan
kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari
cairan serosa sedangkan bagian permukaan banyak mengandung protein plasma
seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa
mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA
sekretorik (s-IgA).5
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan
lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan
mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen
saluran napas, sedangkan IgG beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi
inflamasi jika terpajang dengan antigen bakteri. Pada sinus maksila, sistem
transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial,
posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau
bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium, sekret akan lebih
kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan
atau mengubah transpor, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak terebut.
Tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami
defek.5
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan
spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posteror menuju area frontal.

9
Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada
sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau
gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya.5
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpror mukosilier. Rute
pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.
Sekret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya
berjalalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial
konka inferior menuju nasofaring melewati bagian antero inferior orifisium tuba
Eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa
pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan
proses menelan.5
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan
sphenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian
posterosuperior orifisium tuba Eustachius. Sekret yang berasal dari meatus
superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior
dari tuba Eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertikal ke arah bawah
terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba
Eustachius.5

2.2. Fisiologi Hidung


Fungsi hidung adalah:5
1. Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah kearah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan
atau arkus.5
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi
sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi sebaliknya.5
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat
Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya

10
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum
yang luas.5
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara
akan disaring di hidung oleh a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b)
silia, c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.5
2. Funsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.5
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti
perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang, atau coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.5
3. Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menebabkan resonansi berkurang
atau hilang sehinga terdengar suara sengau (rinolalia).5
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n,
ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk
aliran udara.5
4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merpakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskular dan pernapasan. Misalnya, iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.5

BAB III
RINITIS ALERGI
3.1 DEFINISI

11
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(5)

3.2 PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(5)
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th

12
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(5)

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13.


IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC). (5)
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular
Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan
berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini

13
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin
seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca
dan kelembapan udara yang tinggi.(5)

MEKANISME TERJADINYA NASAL ALLERGY SYNDROME PADA


RINITIS ALERGI
Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan
rhinorrhea. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada
hidung dan bersin-bersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi
hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf
sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris menghasilkan
sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis
dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.(5,6)

14
3.3 GAMBARAN HISTOLOGIK

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular


bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan
infiltrasi sel sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.(5)
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
menerus/ persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal.(5)
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : (5)
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass)
serta jamur (Aspergillus, Alternaria).(5)
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.(5)

15
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.(5)
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.(5)

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi
gejala asma bronkial dan rinitis alergi.(5)
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari : (5)
1. Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.(5)
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respons tertier.(5)
3. Respons tertier :

16
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.(5)

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberkulin (delayed hypersensitivity).(5)
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT
adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.(5)

3.4 KLASIFIKASI RINITIS ALERGI

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,


yaitu : (5)
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak
dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh
karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena
gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah,
gatal disertai lakrimasi).(5)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama
pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.(5)

17
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi(5):
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.(5)
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.(5)

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi(5):
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.(5)
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.(5)

3.5 DIAGNOSIS

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:


1.Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja(5). Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi
pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama

18
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.(5)

2.Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).(5)

3.Pemeriksaan Penunjang
In vitro :

19
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri. (5)

In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.(5)
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge
Test”). (5)
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.
Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.(5)

20
3.6 PENATALAKSANAAN

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.(5)
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan
rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara per oral.(5)
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek
pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar
darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal
(non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore,
bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada
fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan
menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin
yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia
ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari
peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,
desloratadin, dan levosetirisin.(5)
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin

21
atau topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari
saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.(5)
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. (5)
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.(5)
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. (5)
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.(5)
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.(5)

22
3.7 KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah(5) :


1. Polip hidung(5)
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.(5)
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.(5)
3. Sinusitis paranasal.(5)

RINITIS MEDIKAMENTOSA

3.1. Definisi
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor
topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa
hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).9,10
3.2. Epidemiologi
Angka kejadian pada kasus ini sama antara pria dan wanita tetapi lebih
sering pada usia dewasa muda dan pertengahan. Insidensi penyakit ini dilaporkan
sekitar 1-7%.3
3.3. Etiologi
Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat
vasokonstriktor topikal. Obat ini sebaiknya isotonik dengan sekret hidung yang
normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih dari satu
minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa hidung berupa:2,5,9,10
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membran basal menebal

23
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus
7. Lapisan submukosa dan periostium menebal

Tabel 3.1. Dekongestan yang menyebabkan rinitis medikamentosa


Simpatomimetik Amin Imidazolines
 Amfetamin  Klonidin
 Benzedrine  Naphazolin
 Kafein  Oxymetazolin
 Ephedrin  Xylometazolin
 Mescalin
 Phenylephrin
 Phenylpropanolamin
 Pseudoephedrin
3.4. Faktor predisposisi
Pasien dengan riwayat rinitis alergika, rinitis non-alergi, sinusitis akut,
sinusitis kronis, poliposis hidung, rinitis sekunder akibat kehamilan, rinitis akibat
septum deviasi dan obstruksi, dan otitis media.
3.5. Patofisiologi
Kongesti mukosa cavum nasi diakibatkan rangsangan dari saraf simpatis,
parasimpatis, serabut saraf C, dan saraf nonadrenergik nonkolinergik (NANC).
Saraf simpatis melepaskan norepinefrin yang akan mengikat prejunctional α dan
postjunctional α1 dan α2. Saraf parasimpatis melepaskan asetilkolin dan vasoactive
intestinal peptide (VIP) yang masing-masing mengakibatkan peningkatan sekresi
dan vasodilatasi. Serabut saraf C mengandung substansi P, neurokinin A, dan
kalsitonin yang mengakibatkan vasokonstriksi. Saraf NANC menyebabkan
rinorea, bersin, dan kongesti.3
Selain perangsangan saraf diatas, kongesti nasi bisa diakibatkan agen
inflamator lokal. Inflamator lokal yang dimaksud antara lain sel mast, eosinophil

24
dan basophil dengan mengeluarkan histamine, triptase, kinin, prostaglandin, dan
leukotriene.3
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan
atau iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topikal vasokonstriktor. Obat
topikal vasokonstriktor dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus
nasi terganggu dan akan berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu
dihentikan.9
Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dan dalam waktu lama
akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah
vasokonstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini
menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut.
Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik yang tinggi di mukosa
hidung. Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensitivitas reseptor alfa-
adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti mukosa hidung)
menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan
ini disebut juga sebagai rebound congestion.9
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes
hidung dalam waktu lama ialah: 1) silia rusak, 2) sel goblet berubah ukurannya, 3)
membran basal menebal, 4) pembuluh darah melebar, 5) stroma tampak edema, 6)
hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung, 7) lapisan
submukosa menebal, dan 8) lapisan periosteum menebal.9
3.6. Gejala klinis
Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa
mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisik bagi rinitis
medikamentosa tidak jauh bedanya dengan infeksi atau rinitis alergi. Mukosa
hidung kelihatan kemerahan (beefy-red) dengan area bercak pendarahan dan
sekret yang minimal atau edema. Selain itu juga, mukosanya bisa tampak pucat
dan edema, juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan penggunaan
dekongestan hidung dalan jangka waktu yang lama seperti pada pasien rinitis

25
alergi, asma, dan sinusitis kronis. Gejala lainnya pasien mendengkur, bernafas
lewat mulut, insomnia, dan sakit tenggorokan.3,4,5,9,10
3.7. Diagnosis
Kriteria bagi diagnosis rinitis medikamentosa adalah:1,2 3,4,5
 Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau
obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
 Obstruksi hidung yang berkelanjutan (kronik) tanpa pengeluaran sekret
atau bersin.
 Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisik.
Rinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis
lainnya yang menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk
menjalankan beberapa pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis
lainnya yang berpotensi untuk diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk
bagi pasien yang mempunyai riwayat rinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang
mempunyai trias ASA (rinosinusitis kronis, polip nasi, asma bronkial derajat
berat) dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi deviasi septum,
abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung.1,2 3,4,5
3.8. Penatalaksanaan
Untuk mengobati rinitis medikamentosa dapat dilakukan hal-hal berikut
ini:9
-
Dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaan obat tetes atau semprot
vasokonstriktor hidung. Pasien juga harus diberi edukasi mengenai
keluhan yang dialami dan diberikan pengobatan alternatif lainnya untuk
menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada
pasien.9
-
Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat
diberikan kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung. Dapat juga dengan
pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis
diturunkan secara bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis

26
sebanyak 5 mg setiap hari, (misalnya hari 1: 40 mg, hari 2: 35 mg dan
seterusnya).9
-
Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).9
Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien
sebaiknya ditindaklajuti dengan terapi kauterisasi (kyroterapi) dan pembedahan
(reseksi dan laser).9
3.9. Komplikasi
. Komplikasi yang dapat terjadi adalah hiperplasia menetap, perforasi
septum, rinitis atropi dan infeksi sinus.3

3.10. Prognosis
Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan
penggunaan obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang
sempurna. Bagi yang tetap menggunakan obat tersebut, fenomena rebound
congestion ini akan tetap berlangsung selagi pasien tidak menghentikan
pengobatan tersebut.3
RINITIS VASOMOTOR

3.1. Definisi
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa
hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini
termasuk dalam penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika. 9
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan
simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan
pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung
tersumbat, bersin dan ingus yang encer. 3
Rinitis vasomotor adalah kondisi dimana pembuluh darah yang terdapat di
hidung menjadi membengkak sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan
kelenjar mukus menjadi hipersekresi. 4

3.2. Epidemiologi

27
Mygind (1988), seperti yang dikutip oleh Sunaryo (1998), memperkirakan
sebanyak 30 – 60 % dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis
vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. 10
Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui. 2,5 Biasanya timbul pada
dekade ke 3 – 4.3 Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 –
21%.5
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon (1989)
dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non – alergi dan hanya 5%
dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari
kelompok non – alergi dijumpai pada dekade ke 3.5
Sibbald dan Rink (1991) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien,
menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rhinitis
vasomotor.5
Sunaryo, dkk (1998) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama
1 tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak
33 kasus (1,38 %) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor
sebanyak 240 kasus (10,07 %). 10

3.3. Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat
gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat
tertentu.1,2,5,11 Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1,3,12
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil
dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

3.4. Patofisiologi

28
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan
sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh
sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada
rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan
peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik
sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif,
keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema
dan kongesti.5,6,11
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari
sel-sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin,
prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak
hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi
juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi
hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak
diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi.11
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara,
perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).11
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis
vasomotor yaitu :4,11
1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. Mengurangi peptide vasoaktif
4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan.

3.5. Patogenesis
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-
pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf
parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang

29
dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas
mukosa hidung yang non – spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh
beberapa faktor pemicu.10,11
1. Latar belakang 2,11
- adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan sistem
saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa
hidung vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung hidung
tersumbat dan rhinoroe.
- Disebut juga “ rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ) “
- Merupakan respon non - spesifik terhadap perubahan - perubahan
lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan respon
terhadap protein spesifik pada zat allergen nya.
- tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE
( IgE-mediated hypersensitivity )
2. Pemicu (triggers) : 2,11
- Alkohol
- Perubahan temperatur / kelembapan
- Makanan yang panas dan pedas
- Bau – bauan yang menyengat ( strong odor )
- Asap rokok atau polusi udara lainnya
- Faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas
- Penyakit – penyakit endokrin
- Obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral

3.6. Gejala Klinis


Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit
dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang
hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat
sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama
sewaktu perubahan posisi.1,2,6,7,11

30
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis
alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. 1,2,6,7 Gejala dapat
memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. 1
Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok
( post nasal drip ).11
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2
golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners /
sneezers). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.1

3.7. Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. 1 Biasanya penderita tidak
mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia
dewasa.1,6,11Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap
paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.3
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa
edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua
( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka
dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret
mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang
ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. 1,7,11 Pada rinoskopi
posterior dapat dijumpai post nasal drip. 11
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST,
serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga
eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering
menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.1,2,7,11
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan
mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.1

31
Tabel 2. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor 5

Riwayat Penyakit - Tidak berhubungan dengan


musim.

- Riwayat keluarga ( - )

- Riwayat alergi sewaktu anak-anak


(-)

- Timbul sesudah dewasa.

- Keluhan gatal dan bersin ( - )


Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )

- Tanda – tanda infeksi ( - )

- Pembengkakan pada mukosa ( + )

- Hipertrofi konka inferior sering


dijumpai.
Radiologi X-Ray/CT - Tidak dijumpai bukti kuat
keterlibatan sinus.

- Umumnya dijumpai penebalan


mukosa.
Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )
Tes Alergi Ig E total - Normal
Prick test - Negatif atau positif lemah
RAST - Negatif atau positif lemah

3.8. Diagnosis Banding


1. Rinitis alergi
2. Rinitis infeksi

32
Tabel 3. Perbedaan Karakteristik antara Rhinitis Alergi dan Rhinitis Vasomotor.11,12

Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor


Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar allergen Riwayat terpapar allergen ( - )
( +)
Etiologi Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler terhadap
rangsangan spesifik beberapa rangsangan mekanis
atau
kimia, juga faktor psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus

3.9. Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan
hidung tersumbat. Contohnya: Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral)
serta Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-
bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator
vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum

33
dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat
pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior
turbinate ).
- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery ).
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection).
- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ).
- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.
Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang
hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi
dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi.

34
Gambar 3. Algoritme tatalaksana Rhinitis Vasomotor

35
Tabel 4. Terapi Operatif Terhadap Rhinitis Vasomotor 5
Simptom Jenis Terapi Prosedur
Obstruksi hidung Reduksi konka - Kauterisasi konka ( chemical atau
electrical )

- Diatermi sub mukosa

- Bedah beku ( cryosurgery )

- Turbinektomi parsial atau total


Reseksi konka
- Turbinektomi dengan laser ( laser

turbinectomy )

- Eksisi nervus vidianus


Rhinorhoea Vidian neurectomy
- Diatermi nervus vidianus

3.10. Komplikasi11
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah

2.11. Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat
membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang
diberikan.11

36
BAB IV

PENUTUP

Rinitis adalah kondisi terjadinya inflamasi pada mukosa hidung yang


menimbulkan gejala seperti hidung tersumbat, gatal, dan berair. Rinitis dapat
dibedakan berdasarkan penyebabnya menjadi kondisi alergi dan non-alergi.
Rinitis medikamentosa merupakan suatu kelainan hidung berupa gangguan
respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor
topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Hal ini sering disebut
sebagai rebound congestion. Penggunaan vasokonstriktor topikal sebaiknya paling
lama selama 1 minggu karena dapat menimbulkan silia rusak, sel goblet berubah
ukurannya, membran basal menebal, pembuluh darah melebar, stroma tampak
edema, hipersekresi kelenjar mukus, dan lapisan submukosa dan periostium
menebal. Sedangkan karakteristik dari rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor yaitu
mulai serangan belasan tahun dekade ke 3 – 4. Pada rinitis alergi terdapat riwayat
terpapar allergen ( +), reaksi Ag - Ab terhadap rangsangan spesifik, gatal & bersin
yang menonjol, test kulit positif, pada sekret hidung peningkatan eosinophil. Pada
rinitis vasomotor riwayat terpapar allergen (-), reaksi neurovaskuler terhadap
beberapa rangsangan mekanis atau kimia, juga faktor psikologis, gatal tidak
menonjol, tes kulit negatif, pada sekret hidung eosinofil tidak meningkat.

37
Rinitis
Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
Medikamentosa
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4 Usia Muda
Riwayat terpapar Riwayat terpapar Riwayat menggunakan
allergen (+) allergen (-) obat vasokontriktor
topikal
Etiologi Reaksi Ag - Ab Reaksi neurovaskuler pemakaian obat
terhadap terhadap beberapa vasokonstriktor
rangsangan spesifik rangsangan mekanis
atau kimia, juga faktor topikal
psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif Negatif
Sekret hidung Peningkatan Eosinofil tidak Eosinofil tidak
eosinofil meningkat meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu Membantu
n. vidianus
Pemeriksaan - tampak mukosa -Edema mukosa hidung, -Obstruksi hidung
edema, basah, konka hipertrofi dan yang berkelanjutan
berwarna pucat berwarna merah gelap (kronik) tanpa
atau livid disertai atau merah tua pengeluaran sekret
adanya secret encer atau bersin
-Pada rongga hidung
yang banyak
terdapat sekret mukoid, -Ditemukan mukosa
biasanya sedikit hidung yang menebal

DAFTAR PUSTAKA

38
1. Lund, V. J. Acute and Chronic Nasal Disorders. Dalam: Snow Jr, J. B.,
Ballenger, J. J. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.
Sixteenth edition. William & Wilkins. 2003. p 741-750.
2. Lalwani, A. K. Nonallergic & Allergic Rhinitis: Introduction. Dalam:
Lalwani, A. K. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. Second edition. New York: Mc Graw Hill. 2003.
3. Ramey, J. T., Bailen, E., Lockey, R. F. Rhinitis Medicamentosa. Allergy
Clinical Immunology Journal, Volume 16 (3), 2006: 148-155.
4. Kushnir N. M., Kaliner M. A, eds. Rhinitis Medicamentosa [online]. 2015.
[cited 2016 January 20]. Available from URL: http://www.medscape.com.
5. Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R. S. Sumbatan Hidung.
Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar N., Bashiruddin, J., Rastuti, R. D
[Editor]. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 2010. p 118-122
6. Hilger, P. A. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: BOIES -
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997. p 173-189
7. Dhingra P. L., Dhingra S., eds. Diseases of Ear, Nose & Throat. Fifth
Edition. New Delhi: Elsevier, 2011. p. 180-184
8. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York: Elsevier;
2006. p. 32-36
9. Irawati, N., Poerbonegoro, N. L., Kasakeyan, E. Rinitis vasomotor. Dalam:
Soepardi, E. A., Iskandar N., Bashiruddin, J., Rastuti, R. D [Editor]. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI, 2010. p 135-138
10. Hilger, P. A. Penyakit Hidung. Dalam: BOIES - Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997. p 200-239

39

Anda mungkin juga menyukai