Disusun Oleh:
Arum Aditya Gayatri, S.Ked J510170031
Azka Aulia Rahman J510170088
Baiq Yunita Haptianingsih, S.Ked J510170044
Maharani Eka Saputri J510170080
Nurtika, S.Ked J510170032
Pembimbing:
0
REFERAT
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Program Profesi Dokter Stase Ilmu THT
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Diajukan Oleh :
Arum Aditya Gayatri, S.Ked J510170031
Azka Aulia Rahman J510170088
Baiq Yunita Haptianingsih, S.Ked J510170044
Maharani Eka Saputri J510170080
Nurtika, S.Ked J510170032
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari , tanggal
Pembimbing:
Dipresentasikan dihadapan :
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. 1
BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………………. 3
BAB II: ANATOMI DAN FISIOLOFI HIDUNG………………………….. 4
BAB III: RINITIS ALERGI, RINITIS MEDIKAMENTOSA, RINITIS
VASOMOTOR...........................................…………………………………… 12
BAB IV: PENUTUP………………………………………………………….. 37
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 38
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:5,6
1. Tulang hidung (os nasalis)
2. Prosesus frontalis os maksilla
3. Prosesus nasalis os frontalis
Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:5,6
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
4
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
3. Kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum
Prosesus
nasalis os
frontalis
5
Gambar 2.3 Dinding medial hidung8
Bagian depan hidung sisi lateral memiliki permukaan licin, yang disebut
agar nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar
dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka
superior, konka media, konka inferior dan konka suprema. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah
konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah
konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter.5,6
6
yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di anatara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.5,6
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus usinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior.5
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksilla dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.5
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yg merupakan cabang a. oftalmika (cabang dari a. karotid interna).
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris
interna, yaitu a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.5
7
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang
disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epitaksis, terutama anak-anak.5
Vena-vena hidung berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yg berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai
intrakranial.5
Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratorius). Mukosa pernapasan
terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated peudostratified
collumner epithelium) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu
terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga hidung bagaian
atas tersusun atas epitel berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified collumner
non ciliated epithelium) yang dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel, penunjang,
sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal
dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam
keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai
susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika
propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan
pendarahan pada anyaman kapiler perglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen
dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang
dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
8
sinusoid mempunyai otot sfingter. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang
mudah mengembangkan dan mengerut. Vasodilatasi dan vasosonstriksi pembuluh
darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.5,7,8
Sistem transpor mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan
kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari
cairan serosa sedangkan bagian permukaan banyak mengandung protein plasma
seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa
mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA
sekretorik (s-IgA).5
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan
lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan
mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen
saluran napas, sedangkan IgG beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi
inflamasi jika terpajang dengan antigen bakteri. Pada sinus maksila, sistem
transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial,
posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau
bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium, sekret akan lebih
kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan
atau mengubah transpor, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak terebut.
Tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami
defek.5
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan
spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posteror menuju area frontal.
9
Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada
sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau
gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya.5
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpror mukosilier. Rute
pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.
Sekret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya
berjalalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial
konka inferior menuju nasofaring melewati bagian antero inferior orifisium tuba
Eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa
pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan
proses menelan.5
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan
sphenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian
posterosuperior orifisium tuba Eustachius. Sekret yang berasal dari meatus
superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior
dari tuba Eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertikal ke arah bawah
terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba
Eustachius.5
10
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum
yang luas.5
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara
akan disaring di hidung oleh a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b)
silia, c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.5
2. Funsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.5
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti
perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang, atau coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.5
3. Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menebabkan resonansi berkurang
atau hilang sehinga terdengar suara sengau (rinolalia).5
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n,
ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk
aliran udara.5
4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merpakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskular dan pernapasan. Misalnya, iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.5
BAB III
RINITIS ALERGI
3.1 DEFINISI
11
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(5)
3.2 PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(5)
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
12
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(5)
13
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin
seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca
dan kelembapan udara yang tinggi.(5)
14
3.3 GAMBARAN HISTOLOGIK
15
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.(5)
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.(5)
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi
gejala asma bronkial dan rinitis alergi.(5)
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari : (5)
1. Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.(5)
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respons tertier.(5)
3. Respons tertier :
16
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.(5)
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberkulin (delayed hypersensitivity).(5)
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT
adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.(5)
17
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi(5):
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.(5)
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.(5)
3.5 DIAGNOSIS
18
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.(5)
2.Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).(5)
3.Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
19
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri. (5)
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.(5)
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge
Test”). (5)
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.
Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.(5)
20
3.6 PENATALAKSANAAN
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.(5)
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan
rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara per oral.(5)
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek
pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar
darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal
(non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore,
bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada
fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan
menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin
yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia
ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari
peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,
desloratadin, dan levosetirisin.(5)
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin
21
atau topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari
saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.(5)
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. (5)
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.(5)
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. (5)
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.(5)
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.(5)
22
3.7 KOMPLIKASI
RINITIS MEDIKAMENTOSA
3.1. Definisi
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor
topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa
hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).9,10
3.2. Epidemiologi
Angka kejadian pada kasus ini sama antara pria dan wanita tetapi lebih
sering pada usia dewasa muda dan pertengahan. Insidensi penyakit ini dilaporkan
sekitar 1-7%.3
3.3. Etiologi
Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat
vasokonstriktor topikal. Obat ini sebaiknya isotonik dengan sekret hidung yang
normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih dari satu
minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa hidung berupa:2,5,9,10
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membran basal menebal
23
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus
7. Lapisan submukosa dan periostium menebal
24
dan basophil dengan mengeluarkan histamine, triptase, kinin, prostaglandin, dan
leukotriene.3
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan
atau iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topikal vasokonstriktor. Obat
topikal vasokonstriktor dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus
nasi terganggu dan akan berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu
dihentikan.9
Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dan dalam waktu lama
akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah
vasokonstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini
menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut.
Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik yang tinggi di mukosa
hidung. Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensitivitas reseptor alfa-
adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti mukosa hidung)
menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan
ini disebut juga sebagai rebound congestion.9
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes
hidung dalam waktu lama ialah: 1) silia rusak, 2) sel goblet berubah ukurannya, 3)
membran basal menebal, 4) pembuluh darah melebar, 5) stroma tampak edema, 6)
hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung, 7) lapisan
submukosa menebal, dan 8) lapisan periosteum menebal.9
3.6. Gejala klinis
Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa
mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisik bagi rinitis
medikamentosa tidak jauh bedanya dengan infeksi atau rinitis alergi. Mukosa
hidung kelihatan kemerahan (beefy-red) dengan area bercak pendarahan dan
sekret yang minimal atau edema. Selain itu juga, mukosanya bisa tampak pucat
dan edema, juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan penggunaan
dekongestan hidung dalan jangka waktu yang lama seperti pada pasien rinitis
25
alergi, asma, dan sinusitis kronis. Gejala lainnya pasien mendengkur, bernafas
lewat mulut, insomnia, dan sakit tenggorokan.3,4,5,9,10
3.7. Diagnosis
Kriteria bagi diagnosis rinitis medikamentosa adalah:1,2 3,4,5
Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau
obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
Obstruksi hidung yang berkelanjutan (kronik) tanpa pengeluaran sekret
atau bersin.
Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisik.
Rinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis
lainnya yang menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk
menjalankan beberapa pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis
lainnya yang berpotensi untuk diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk
bagi pasien yang mempunyai riwayat rinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang
mempunyai trias ASA (rinosinusitis kronis, polip nasi, asma bronkial derajat
berat) dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi deviasi septum,
abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung.1,2 3,4,5
3.8. Penatalaksanaan
Untuk mengobati rinitis medikamentosa dapat dilakukan hal-hal berikut
ini:9
-
Dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaan obat tetes atau semprot
vasokonstriktor hidung. Pasien juga harus diberi edukasi mengenai
keluhan yang dialami dan diberikan pengobatan alternatif lainnya untuk
menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada
pasien.9
-
Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat
diberikan kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung. Dapat juga dengan
pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis
diturunkan secara bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis
26
sebanyak 5 mg setiap hari, (misalnya hari 1: 40 mg, hari 2: 35 mg dan
seterusnya).9
-
Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).9
Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien
sebaiknya ditindaklajuti dengan terapi kauterisasi (kyroterapi) dan pembedahan
(reseksi dan laser).9
3.9. Komplikasi
. Komplikasi yang dapat terjadi adalah hiperplasia menetap, perforasi
septum, rinitis atropi dan infeksi sinus.3
3.10. Prognosis
Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan
penggunaan obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang
sempurna. Bagi yang tetap menggunakan obat tersebut, fenomena rebound
congestion ini akan tetap berlangsung selagi pasien tidak menghentikan
pengobatan tersebut.3
RINITIS VASOMOTOR
3.1. Definisi
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa
hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini
termasuk dalam penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika. 9
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan
simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan
pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung
tersumbat, bersin dan ingus yang encer. 3
Rinitis vasomotor adalah kondisi dimana pembuluh darah yang terdapat di
hidung menjadi membengkak sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan
kelenjar mukus menjadi hipersekresi. 4
3.2. Epidemiologi
27
Mygind (1988), seperti yang dikutip oleh Sunaryo (1998), memperkirakan
sebanyak 30 – 60 % dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis
vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. 10
Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui. 2,5 Biasanya timbul pada
dekade ke 3 – 4.3 Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 –
21%.5
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon (1989)
dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non – alergi dan hanya 5%
dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari
kelompok non – alergi dijumpai pada dekade ke 3.5
Sibbald dan Rink (1991) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien,
menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rhinitis
vasomotor.5
Sunaryo, dkk (1998) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama
1 tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak
33 kasus (1,38 %) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor
sebanyak 240 kasus (10,07 %). 10
3.3. Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat
gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat
tertentu.1,2,5,11 Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1,3,12
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil
dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
3.4. Patofisiologi
28
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan
sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh
sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada
rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan
peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik
sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif,
keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema
dan kongesti.5,6,11
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari
sel-sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin,
prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak
hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi
juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi
hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak
diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi.11
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara,
perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).11
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis
vasomotor yaitu :4,11
1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. Mengurangi peptide vasoaktif
4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan.
3.5. Patogenesis
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-
pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf
parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang
29
dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas
mukosa hidung yang non – spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh
beberapa faktor pemicu.10,11
1. Latar belakang 2,11
- adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan sistem
saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa
hidung vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung hidung
tersumbat dan rhinoroe.
- Disebut juga “ rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ) “
- Merupakan respon non - spesifik terhadap perubahan - perubahan
lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan respon
terhadap protein spesifik pada zat allergen nya.
- tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE
( IgE-mediated hypersensitivity )
2. Pemicu (triggers) : 2,11
- Alkohol
- Perubahan temperatur / kelembapan
- Makanan yang panas dan pedas
- Bau – bauan yang menyengat ( strong odor )
- Asap rokok atau polusi udara lainnya
- Faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas
- Penyakit – penyakit endokrin
- Obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral
30
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis
alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. 1,2,6,7 Gejala dapat
memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. 1
Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok
( post nasal drip ).11
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2
golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners /
sneezers). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.1
3.7. Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. 1 Biasanya penderita tidak
mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia
dewasa.1,6,11Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap
paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.3
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa
edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua
( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka
dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret
mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang
ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. 1,7,11 Pada rinoskopi
posterior dapat dijumpai post nasal drip. 11
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST,
serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga
eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering
menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.1,2,7,11
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan
mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.1
31
Tabel 2. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor 5
- Riwayat keluarga ( - )
32
Tabel 3. Perbedaan Karakteristik antara Rhinitis Alergi dan Rhinitis Vasomotor.11,12
3.9. Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan
hidung tersumbat. Contohnya: Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral)
serta Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-
bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator
vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum
33
dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat
pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior
turbinate ).
- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery ).
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection).
- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ).
- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.
Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang
hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi
dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi.
34
Gambar 3. Algoritme tatalaksana Rhinitis Vasomotor
35
Tabel 4. Terapi Operatif Terhadap Rhinitis Vasomotor 5
Simptom Jenis Terapi Prosedur
Obstruksi hidung Reduksi konka - Kauterisasi konka ( chemical atau
electrical )
turbinectomy )
3.10. Komplikasi11
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
2.11. Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat
membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang
diberikan.11
36
BAB IV
PENUTUP
37
Rinitis
Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
Medikamentosa
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4 Usia Muda
Riwayat terpapar Riwayat terpapar Riwayat menggunakan
allergen (+) allergen (-) obat vasokontriktor
topikal
Etiologi Reaksi Ag - Ab Reaksi neurovaskuler pemakaian obat
terhadap terhadap beberapa vasokonstriktor
rangsangan spesifik rangsangan mekanis
atau kimia, juga faktor topikal
psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif Negatif
Sekret hidung Peningkatan Eosinofil tidak Eosinofil tidak
eosinofil meningkat meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu Membantu
n. vidianus
Pemeriksaan - tampak mukosa -Edema mukosa hidung, -Obstruksi hidung
edema, basah, konka hipertrofi dan yang berkelanjutan
berwarna pucat berwarna merah gelap (kronik) tanpa
atau livid disertai atau merah tua pengeluaran sekret
adanya secret encer atau bersin
-Pada rongga hidung
yang banyak
terdapat sekret mukoid, -Ditemukan mukosa
biasanya sedikit hidung yang menebal
DAFTAR PUSTAKA
38
1. Lund, V. J. Acute and Chronic Nasal Disorders. Dalam: Snow Jr, J. B.,
Ballenger, J. J. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.
Sixteenth edition. William & Wilkins. 2003. p 741-750.
2. Lalwani, A. K. Nonallergic & Allergic Rhinitis: Introduction. Dalam:
Lalwani, A. K. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. Second edition. New York: Mc Graw Hill. 2003.
3. Ramey, J. T., Bailen, E., Lockey, R. F. Rhinitis Medicamentosa. Allergy
Clinical Immunology Journal, Volume 16 (3), 2006: 148-155.
4. Kushnir N. M., Kaliner M. A, eds. Rhinitis Medicamentosa [online]. 2015.
[cited 2016 January 20]. Available from URL: http://www.medscape.com.
5. Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R. S. Sumbatan Hidung.
Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar N., Bashiruddin, J., Rastuti, R. D
[Editor]. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 2010. p 118-122
6. Hilger, P. A. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: BOIES -
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997. p 173-189
7. Dhingra P. L., Dhingra S., eds. Diseases of Ear, Nose & Throat. Fifth
Edition. New Delhi: Elsevier, 2011. p. 180-184
8. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York: Elsevier;
2006. p. 32-36
9. Irawati, N., Poerbonegoro, N. L., Kasakeyan, E. Rinitis vasomotor. Dalam:
Soepardi, E. A., Iskandar N., Bashiruddin, J., Rastuti, R. D [Editor]. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI, 2010. p 135-138
10. Hilger, P. A. Penyakit Hidung. Dalam: BOIES - Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997. p 200-239
39