Anda di halaman 1dari 12

Pengaruh Gender, Keahlian, dan Skeptisisme Profesional terhadap

Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan


(Studi pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Predikat negara Indonesia saat ini masih sebagai 5 (lima) besar negara terkorup di dunia dan begitu
juga di Asia Pasifik, Indonesia menduduki tingkat pertama sebagai negara terkorup menurut survei
yang dilakukan oleh Tranparency.org sebuah badan independen dari 146 negara (Kaskus, 14 Juni
2013).
Laporan keuangan yang berkualitas adalah laporan keuangan yang tidak mengandung risiko
informasi.
BPK RI sebagai auditor eksternal pemerintah bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan
negara memiliki peran penting dalam mengawal dan mengawasi pengelolaan keuangan negara.
Kemampuan mendeteksi kecurangan merupakan hal yang harus dimiliki oleh seorang auditor karena
menunjukkan sejauh mana kualitas audit yang dilakukan. Namun demikian, seringkali auditor tidak
mampu mendeteksi kecurangan. Dye (2007) menyebutkan kecurangan lebih mudah untuk dicegah
daripada dideteksi. Dalam praktik audit, antara kesalahan (error) dengan kecurangan seringkali sulit
untuk dibedakan. Diperlukan teknik audit khusus untuk memastikan bahwa salah saji material yang
terjadi adalah benar-benar merupakan akibat dari kecurangan dan bukan merupakan error.
Berbagai faktor diteliti untuk dapat menjelaskan penyebab ketidakmampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan. Menurut Beasley et al. (2013) salah satu penyebab kegagalan audit adalah
kurangnya skeptisisme profesional. Sebagian besar kasus kegagalan audit yang ditemukan
disebabkan oleh tingkat skeptisisme profesional yang tidak mencukupi.
Potensi kecurangan yang terjadi di sektor publik di Indonesia tergolong tinggi. Transparency
International (TI) tahun 2014 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat transparansi
rendah. Melalui Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis oleh TI, Indonesia berada pada peringkat 107
dari 175 negara. Oleh sebab itu, kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan menjadi
harapan masyarakat saat ini mengingat banyaknya kasus korupsi yang masih belum terselesaikan
serta isu mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi yang perlu dilakukan secara maksimal.
BPK RI sebagai auditor eksternal pemerintah bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan
negara memiliki peran penting dalam mengawal dan mengawasi pengelolaan keuangan negara.
Kemampuan mendeteksi kecurangan merupakan hal yang harus dimiliki oleh seorang auditor karena
menunjukkan sejauh mana kualitas audit yang dilakukan. Namun demikian, seringkali auditor tidak
mampu mendeteksi kecurangan. Dye (2007) menyebutkan kecurangan lebih mudah untuk dicegah
daripada dideteksi. Dalam praktik audit, antara kesalahan (error) dengan kecurangan seringkali sulit
untuk dibedakan. Diperlukan teknik audit khusus untuk memastikan bahwa salah saji material yang
terjadi adalah benar-benar merupakan akibat dari kecurangan dan bukan merupakan error. Berbagai
faktor diteliti untuk dapat menjelaskan penyebab ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan. Menurut Beasley et al. (2013) salah satu penyebab kegagalan audit adalah kurangnya
skeptisisme profesional. Sebagian besar kasus kegagalan audit yang ditemukan disebabkan oleh
tingkat skeptisisme profesional yang tidak mencukupi. Selain skeptisisme profesional, karakteristik
individu juga berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Keahlian
dan gender merupakan karakteristik individu yang dapat berpengaruh terhadap judment yang
dibuat oleh auditor Dalam pendeteksian kecurangan, keahlian atau kompetensi seorang auditor
sangat diperlukan. Seorang auditor dituntut untuk kreatif dan intuitif dalam merespon kecurangan,
sebagaimana mencari dan mengungkap tindakan kecurangan tersebut (Vona, 2008). Sumber daya
manusia atau personil yang melakukan audit merupakan aset yang paling penting dalam sebuah
kantor akuntan publik (PCAOB, 2013). Semakin berkualitas sumber daya yang dimiliki oleh kantor
akuntan publik maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin baik. Meskipun belum terdapat
kesepakatan mengenai keahlian dan kompetensi apakah yang paling berpengaruh, beberapa
penelitian menyebutkan penentu keahlian auditor adalah pengalaman (Bonner dan Lewis, 1990;
Hamilton dan Wright, 1982). Auditor yang memiliki keahlian, memiliki pengalaman yang lebih
banyak terkait dengan audit sehingga menjadi lebih skeptis (Sitanala, 2013; Anugerah dkk, 2012).
1. Rumusan Masalah

1.1. bagaimana pengaruh gender terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan?


1.2. Bagaimana pengaruh keahlian terhadap kemampuan auditor mendeteksi
kecurangan?
1.3. Bagaimana pengaruh skeeptisisme professional terhadap kemampuan
auditor mendeteksi kecurangan?

1.2 Manfaat
1.2.1 untuk mengetahui pengaruh gender terhadap kemampuan auditor
mendeteksi kecurangan
1.2.2 untuk mengetahui pengaruh keahlian terhadap kemampuan auditor
mendeteksi kecurangan
1.2.3 untuk mengetahui pengaruh skeptisisme professional terhadap kemampuan
auditor mendeteksi kecurangan
BAB 2
PEMBAHASAN

2. Tinjauan pustaka
2.1. Teori – Teori yang Melandasi

2.1.1. Teori Auditing

2.1.1.1. Definisi

Menurut Mulyadi (2010) auditing adalah pemeriksaan (examination) secara objektif atas
laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain, dengan tujuan untuk menentukan apakah
laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi
keuangan, dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.

2.1.2. Kecurangan

2.1.2.1. Definisi

Kecurangan (fraud) adalah perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan, niat,

menguntungkan diri sendiri atau orang lain, penipuan, penyembunyian atau penggelapan, dan

penyalahgunaan kepercayaan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah

yang dapat berupa uang, barang/harta, jasa, dan tidak membayar jasa, yang dilakukan oleh

satu individu atau lebih dari pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, pegawai, atau

pihak ketiga (SKPN No 1 Tahun 2017). Menurut Theodorus Tuanakotta (2013:351)

kemampuan auditor dalam pendeteksian kecurangan berkaitan dengan teknik-teknik yang

dikuasai auditor sebagai bekal dalam menjalankan tugasnya. Teknik yang dimaksud dapat

berupa teknik dalam mengaudit laporan keuangan, kemampuan audit investigatif untuk

kejahatan terorganisir dan penyelundupan pajak penghasilan, kemampuan audit investigatif

dalam pengungkapan kecurangan pengadaan barang dan jasa.


2.1.3. Teori Atribusi
2.1.3.1. Definisi
Dalam penelitian ini pada dasarnya menjelaskan kesimpulan atau judgement yang dibuat
auditor.Teori atribusi ini pada dasarnya ingin menjelaskan mengenai penyebab perilaku orang
lain.Apakah disebabkan disposi internal atau eksternal.Disposi internal merupakan berasal dari
individu,sedangkan eksternal berasal dari lingkungan.
2.1.3.2. Konteks Audit
Mendukung atau menambah kejelasan makna teori atribusi banyak digunakan peneliti untuk
menjelaskan mengenai penilaian auditor,penilaian kinerja dan pembuatan keputusan
auditor.Kemampuan auditor dalam mendetekri kecurangan banyak ditentukan oeh atribusi internal
dan kemampuan dapat dibentuk melalui usaha seseorang misalnya dengan pencarian pengetahuan,
mempertahankan indepensi dan meningkatkan sikap skeptitisme profesional.
Kelley (1973)menyebutka bahwa teori atribusi daat menjawab pertanyaan mengenai persepsi
social namun juga sekaigus berhubungan dengan persepsi diri.Ketika auditor menemukan red flags
pada saat melakukan audit ,maka auditor tesebut akan mencari penyebab dan kesimpulan tentang
red flags tersebut.Persepsi diri seorang auditor berperan penting apakah red flags tersebut
mengarah ke gejala kecurang atau hanya kesalahan (error)
2.2.3. Teori Disonansi Kognitif
2.2.3.1. Definisi
Pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung mengambil sikap-sikap yang tidak
bertentangan satu sama lain, serta menghindari melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
sikapnya. Namun demikian, dalam kenyataannya manusia seringkali terpaksa harus melakukan
perilaku yang tidak sesuai dengan sikapnya (Noviyanti, 2008). Festinger (1957) dalam Noviyanti
(2008) menyatakan hipotesis dasar dari teori disonansi kognitif yaitu bahwa adanya disonansi akan
menimbulkan ketidaknyamanan psikologis, hal ini akan memotivasi seseorang untuk mengurangi
disonansi tersebut dan mencapai konsonansi. Arti disonansi adalah adanya suatu inkonsistensi dan
perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan untuk keluar dari
ketidaknyamanan tersebut dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Disonansi terjadi
apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang akibat penyangkalan dari satu elemen kognitif
terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri inidividu. Disonansi kognitif
mengacu pada inkonsistensi dari dua atau lebih sikap-sikap individu, atau inkonsistensi antara
perilaku dan sikap. Dalam teori ini, unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini, atau apa saja
yang dipercayai orang mengenai lingkungan, diri sendiri atau perilakunya. Menurut Noviyanti, (2008)
teori ini mampu membantu untuk meprediksi kecenderungan individu dalam merubah sikap dan
perilaku dalam rangka untuk mengurangi disonansi yang terjadi. Teori disonansi kognitif dalam
penelitian ini digunakan untuk menjelaskan pengaruh interaksi antara skeptisme profesional auditor
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Persyaratan profesional auditor memiliki sikap
skeptisisme profesional, sehingga dapat mengumpulkan bukti audit yang memadai dan tidak dengan
mudah menerima penjelasan dari klien. Disonansi kognitif terjadi apabila auditor mempunyai
kepercayaan tinggi terhadap klien, sehingga menyebabkan sikap skeptisisme profesionalnya berada
pada tingkat rendah, padahal standar profesional akuntan publik menghendaki agar auditor bersikap
skeptis. Kejadian situasional seperti ditemukannya adanya kecurangan pada laporan keuangan atau
situasi seperti masalah komunikasi antara auditor lama dengan auditor baru yang mengaudit suatu
perusahaan. Menanggapi kesulitan berkomunikasi tersebut juga akan berbeda antara pria dan
wanita. Perbedaan itu menyangkut pola pikir mereka sebagai individu yang berkehendak untuk
mengurangi disonansi atau inkonsistensi dalam melakukan proses audit (Sabrina, 2012).

2.3 Hipotesis

2.3.1. H1: Gender berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi


kecurangan

Pengaruh Gender terhadap Kemampuan Mendeteksi Kecurangan Konsep gender berbeda


dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (sex) bermakna perbedaan secara biologis antara laki-
laki dan perempuan secara kodrati sebagai pemberian Tuhan yang tidak dapat
dipertukarkan. Sedangkan gender merupakan perbedaan yang dibentuk secara sosial.
Konsep gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural (Handayani dan Sugiarti, 2001). Berdasarkan teori atribusi, gender
merupakan karakteristik individu yang berasal dari dalam diri seseorang yang membawa
serta persepsi diri. Persepsi diri yang dimiliki berdasarkan gender kemudian berpengaruh
dalam pembentukan judgment. Auditor dengan gender androgini lebih fleksibel dalam
menempatkan diri. Individu androgini terbebas dari pembatasan gender dan lebih leluasa
memadukan perilaku maskulin dan feminin dalam situasi sosial yang berbeda-beda
(Richmond dan Abbot dalam Setyaningsih, 2009). Peran gender yang seimbang membawa
persepsi diri yang lebih baik, sehingga lebih tepat dalam membuat kesimpulan terhadap
kejadian disekitarnya, termasuk mengenali gejala-gejala kecurangan berupa red flags
2.3.2. H2: Keahlian berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi
kecurangan

Keahlian (expertise) berkaitan dengan pengalaman khusus dan pelatihan yang menciptakan
pengetahuan, dan pengetahuan dikombinasikan dengan kemampuan auditor untuk
melakukan tugas audit yang spesifik (Bonner dan Lewis, 1990). Fullerton dan Durtschi (2004)
menemukan bahwa auditor yang memiliki tingkat skeptisisme yang tinggi memiliki sertifikasi
keahlian dan pengalaman terhadap kecurangan sepanjang masa masa karirnya. Charron dan
Lowe (2008) juga menemukan hal yang sama bahwa auditor yang memiliki sertifikat keahlian
seperti CMA, CPA, maupun keduanya memiliki tingkat skeptisisme yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak memiliki sertifikasi. Berdasarkan teori atribusi, keahlian
merupakan bagian atribusi internal yang keberadaannya sangat ditentukan oleh faktor-
faktor dari dalam diri individu meliputi kemampuan (ability) dan usaha (effort). Individu yang
berusaha dengan seluruh kemampuannya untuk meningkatkan keahliannya akan memiliki
pengetahuan yang lebih baik sehingga dalam menjawab persepsi sosial di sekitarnya juga
akan lebih baik. Auditor yang memiliki keahlian yang lebih banyak akan semakin baik dalam
memahami tanda-tanda kecurangan (red flags) yang terjadi di sekitarnya.

2.3.3. H3: Skeptisisme professional berpengaruh positif terhadap kemampuan


auditor mendeteksi kecurangan.

Dalam teori atribusi sikap skeptis berasal dari internal individu yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuan (ability) dan dapat diusahakan melalui serangkaian effort. Seorang auditor yang
memiliki kemampuan mendeteksi kecurangan akan lebih skeptis ketika dihadapkan dengan
tanda-tanda kecurangan yang terjadi di sekitarnya. Auditor yang skeptis akan lebih baik
mengenali serangkaian red flags yang ada. Hal ini berarti semakin tinggi sikap skeptis yang
dimiliki oleh auditor maka akan semakin peka terhadap red flags sehingga kemampuan
mendeteksi kecurangan juga semakin baik.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3..1. Variabel yang diteliti


3.1.1 Variabel Dependen : Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan
Kemampuan mendeteksi kecurangan auditor dapat diukur melalui pertanyaan seputar red
flags yang dilakukan selama proses audit.Semakin banyak keinginan tahuan auditor mengenai red
flags maka semakin besar peluang mendeteksi kecurangan.
Pengukuran kemampuan mendeteksi kecurangan dalam penelitian ini merujuk pada
Fullerton dan Durtschi (2004). Terdapat sepuluh dimensi kemampuan mendeteksi kecurangan
meliputi highfraud corporate cultures (HFCC), questionable relations with outside parties (QROP),
fraud opportunities (FO), personal symptoms (PO), personal rationalizations (PR), demographic
indicators (DI), accounting practice indicators (API), financial statement indicators (FSI), dan neutral
fraud situation (NFS). Masing-masing dimensi tersebut dijelaskan oleh beberapa indikator ABILITY
(ABLTY) dimulai dari ABLTY 1 hingga ABLTY 28. Skala pengukuran menggunakan skala likert 1
hingga 6. Skala dimulai dari 1 untuk sangat tidak ingin mencari informasi, sampai dengan skala 6
untuk sangat ingin mencari informasi.
3.1.2 Variabel Independen : Gender,Keahlian,dan Skeptitisme Profesional Gender
Gender
Gender berhubungan dengan perbedaan peran antara pria dan wanita . Sifar pria identik
dengan citra maskulin, sedangkan wanita identik dengan citra feminim.dalam peneitian dilakuan
,variabel gender diukur menggunakan Bem’s Role Inventory (BSRI) terdiri 60 pertanyaan ,antara lain
20 pertanyaan yang sesuai dengan karakteristik feminim,20 pertanyaan dengan karakteristik
maskulin dan 20 pertanyaan emnunjukan gender netral.skala pengukuran menggunakan skala likert
1 sampai 7 , dimana 1 = tidak pernah terjadi sampai 7 =selalu terjadi.
Penghitungan skor BSRI adalah dengan membagi total skor masing-masing karakteristik feminin,
maskulin, dan netral dengan jumlah item masing-masing karakteristik tersebut (20 item). Skor
feminin selanjutnya dikurangkan dengan skor maskulin untuk mendapatkan selisih. Hasil selisih
antara skor feminin dan maskulin tersebut disebut dengan skor Bem’s Sex Role Inventory (BSRI).
Sabrina (2012) menyatakan bahwa Gender menjadi salah satu indikator untuk mengukur skeptisisme
profesional auditor karena perbedaan kinerja diantara wanita dan pria memiliki karakteristik yang
berbeda. Profesi yang menuntut tingginya mutu audit ini, tidak hanya digeluti oleh pria, banyak
auditor bahkan sampai level auditor senior diduduki oleh wanita.

Tabel 1
Ringkasan menurut Bem’s Role Inventory (BSRI)
Kategori Gender Keterangan
Feminin Skor feminin tinggi, skor maskulin rendah.
Maskulin Skor maskulin tinggi, skor feminin rendah.
Androgini Skor maskulin tinggi, skor feminin tinggi.
Undifferentiated Skor feminin rendah, skor maskulin rendah.

Intepretasi skor BSRI terbagi kedalam empat kategori yaitu feminin, maskulin, androgini, dan
undifferentiated. Setelah diperoleh skor BSRI selanjutnya menentukan median untuk masing-masing
karakteristik feminin, maskulin, dan netral. Skor BSRI yang berada di bawah median karakteristiknya
digolongkan pada karakteristik rendah, sedangkankan skor BSRI di atas median masuk dalam
kategori karakteristik tinggi.

Tabel 2
Intepretasi Skor Bem Sex Role Inventory
Kode
No. Maskulin Feminim Kode Akhir Peran gender

1. 2 2 4 Androgini

2. 2 1 3 Maskulin

3. 1 2 2 Feminin

4. 1 1 1 Undifferentiated
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini bertujuan untuk menguji variable independen yaitu gender (X1),keahlian (X2) dan
professional skeptisme (X3) terhadap variable dependen yaitu kemampuan auditor mendeteksi
kecurangan (Y)

GENDER
(X1)

Kemampuan auditor
KEAHLIAN
mendeteksi kecurangan
(X2)

PROFESSIONAL
SKEPTISMPE (X3)
Keahlian
Keahlian dalam penelitian ini dihitung melalui tiga indikator : jumlah sertifikasi keahlian
yang dimiliki, sertifikasi peran pemeriksa yang terakhir diikuti, dan skor keahlian auditor berdasarkan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Jumlah sertifikasi keahlian diukur menggunakan
skala nominal, berupa banyaknya sertifikasi keahlian yang dimiliki (pendidikan profesi, gelar Ak, CA,
CPA, CFE, CMA, dan lainnya).
Sertifikasi peran pemeriksa diukur menggunakan skala interval 1 hingga 5, mulai dari
Anggota Tim Yunior (ATY), Anggota Tim Senior (ATS), Ketua Tim Yunior (KTY), Ketua Tim Senior (KTS),
dan Pengendali Teknis (PT). Sedangkan skor keahlian auditor berdasarkan persyaratan keahlian
dalam SPKN diukur melalui delapan pernyataan dalam kuesioner. Pertanyaan tersebut maka akan
dijadikan sebagai skor dengan membagi total skor seluruh pernyataan dengan jumlah item
pernyataan. Skor maksimum untuk persyaratan keahlian ini adalah 6.

Skeptisisme Profesional
Pengukuran Skeptisisme ini menggunakan model pengukuran profesional Hurrt, Eining, dan
Plumlee (HEP) (2003). Model pengukuran skeptisisme HEP meliputi enam dimensi meliputi pikiran
yang selalu mempertanyakan (questioning mind/ QM), menunda dalampengambilan keputusan
(suspension of judgement/ SJ), mencari pengetahuan (search for knowledge/SK), pemahaman
pribadi (interpersonal understanding/ IU), kepercayaan diri (self confidence/ SC),dan keyakinan diri
(self determination/ SD). Skala pengukuran menggunakan likert 1 sampai 6. Skor dimulai dari likert 1
tidak setuju sama likert 6 sangat setuju. Semakin tinggi skor yang diberikan responden maka
menunjuakan tingkat skeptitisme yang tinggi.
Skala pengukuran menggunakan skala likert 1 hingga 6. Skala dimulai dari 1 untuk sangat tidak
setuju, sampai dengan skala 6 untuk sangat setuju. Semakin tinggi skor yang diberikan responden
menunjukkan tingkat skeptisisme profesional yang semakin tinggi.
Menurut Arens (2011 : 109) mendefenisikan skeptisisme profesional sebagai suatu perilaku
pemikiran yang secara 7 kritis atas bahan bukti audit. Auditor tidak harus menganggap bahwa
manajemen telah berlaku tidak jujur, namun kemungkinan bahwa adanya ketidakjujuran harus
dipertimbangkan. Pada saat yang sama, auditor juga harus menganggap bahwa manajemen telah
berlaku jujur.
International Standards on Auditing menjelaskan bahwa skeptisisme profesional auditor adalah
penting untuk penilaian yang kritis (critical assessment) terhadap bukti-bukti audit, yaitu auditor
harus memiliki pikiran yang selalu mempertanyakan kehandalan dokumen-dokumen yang diperoleh
dari pihak manajemen dan juga mempertimbangkan kecukupan dan kesesuaian bukti yang
diperoleh.

Daftar Pustaka
http://lib.ibs.ac.id/materi/Prosiding/SNA%20XIX%20(19)%20Lampung%202016/makalah/131.pdf
http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/akt/article/viewFile/2594/2090
https://media.neliti.com/media/publications/191586-ID-pengaruh-skeptisisme-profesional-
pengala.pdf
http://jurnal.uny.ac.id/index.php/nominal/article/2697

Anda mungkin juga menyukai