Anda di halaman 1dari 16

Uji Acak Tertutup Dua Arah Terkontrol Plasebo Tablet Hisap Fluriboprofen 8.

75 mg pada
Pasien Dengan atau Tanpa Infeksi Tenggorok Streptococcus Kelompok A atau Kelompok
C, dengan Penilaian dari Prediksi Klinisi Infeksi Tenggorok

A. Shephard1, G. Smith1, S. Aspley1, B. P. Schachtel2,3


1
Reckitt Benckiser Healthcare International Ltd, Slough, Berkshire, UK
2
Departemen Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Yale, New
Haven, USA
3
Schachtel Research Company, Jupiter, Florida, USA

Disadur oleh: Bagus Aditya Ansharullah

Ringkasan

Latar Belakang: Mendiagnosis infeksi tenggorok Streptococcus kelompok A (Strep A) dari


pemeriksaan klinis tergolong sulit, dan salah diagnosis dapat menyebabkan ke kesalahan
penggunaan antibiotik. Sebagian besar pasien dengan sakit tenggorok lebih mencari penghilang
gejala daripada antibiotik, jadi, terapi yang meredakan gejala harusnya dianjurkan ke pasien.
Kami melaporkan dua uji klinik efikasi dan keamanan dari tablet hisap fluriboprofen 8.75 mg
pada pasien dengan atau tanpa infeksi Streptococcus pada tenggorok. Metode: Penelitian ini
menyertakan pasien dewasa dengan gejala tenggorok sedang sampai berat (nyeri tenggorok, sulit
menelan, dan bengkak tenggorok) dan terdiagnosis faringitis. Praktisi kemudian menilai
kemungkinan dari infeksi Strep A berdasarkan dari temuan klinis dan riwayat pasien. Pasien
kemudian diacak untuk mendapatkan tablet hisap fluriboprofen 8.75 mg atau tablet hisap placebo
dibawah kondisi tertutup dua arah, dan melaporkan ketiga keluhan tenggoroknya saat awal dan
tiap 24 jam. Hasil: Sebanyak 402 pasien yang mendapat obat dari penelitian (n= 203
fluriboprofen dan n= 199 placebo). Kultur tenggorok mengidentifikasi infeksi Strep A pada
10,0% pasien dan infeksi Strep C pada 14,0% pasien. Praktisi menilai secara benar dalam 11/40
kasus Strep A (sensitifitas 27,5% dan spesifisitas 79,7%). Satu tablet hisap fluriboprofen
menghasilkan hasil yang signifikan dalam melegakan gejala daripada placebo untuk semua
ketiga gejala tenggorok, selama 3-4 jam untuk pasien dengan atau tanpa infeksi Strep A/C. Dosis
berulang dari tablet hisap flurbiprofen selama 24 jam juga menghasilkan penghilang gejala,
walaupun tidak signifikan secara stastistik pada infeksi strep A/C. Tidak ada efek samping serius
selama penelitian. Kesimpulan: Hasil penelitian menyorot tantangan dalam mengidentifikasi
strep A berdasarkan gejala klinis. Masalah yang semakin besar pada resistansi antibiotik,
pengobatan non-antibiotik dapat dipertimbangkan. Seperti diperlihatkan di penelitian ini,
fluriboprofen 8.75 mg termasuk pilihan terapi yang efektif, memberikan penghilang gejala yang
cepat dengan durasi lama pada pasien dengan dan tanpa infeksi Strep A/C.
Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) adalah salah satu dari penyebab tersering
kunjungan ke dokter umum. Di Inggris, penyakit ISPA menyebabkan sekitar 5,5 juta kunjungan
ke dokter umum setiap tahun. Sakit tenggorok akut yang disebabkan oleh faringitis adalah gejala
tersering dari ISPA. Pada Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 15 juta orang mengunjungi
dokter tiap tahun karena sakit tenggorok. Kebutuhan untuk diagnosis, penghilang nyeri
tenggorok dan mencari tahu tentang arah perjalanan penyakit adalah alasan utama pasien
menemui dokter untuk sakit tenggorok. Bagaimanapun, untuk mendiagnosis bersifat sulit dan
kesalahan diagnosis dapat menyebabkan ke peresepan antibiotik yang salah, jadi hal ini mungkin
menyebabkan kecondongan untuk fokus ke keperluan pasien terhadap penghilang nyeri dan
gejala dan menyimpan antibiotik untuk yang benar – benar memerlukan.

Kebanyakan sakit tenggorok ( 85-95% dari kasus pada dewasa) disebabakan oleh infeksi
virus ISPA tetapi pada sebagian kecil kasus disebabkan oleh infeksi bakteri. Kelompok A
Streptococcus beta-hemolitik (Strep A) merupakan penyebab infeksi dalam 5-15% kasus sakit
tenggorok pada dewasa. Strep A merupakan penyebab paling sering satu – satunya dalam infeksi
bakteri tenggorok yang diasosiasikan dalam resiko dari komplikasi supuratif dan nonsupuratif,
dimana pengobatan antibiotik mungkin dibutuhkan. Streptococcus lainnya (Kelompok C dan G)
juga dihubungkan dengan etiologi dari sakit tenggorok pada sekitar 3-9% kasus. Walaupun tidak
terdapat cukup bukti bahwa infeksi tersebut menimbulkan komplikasi, pasien dengan infeksi
Strep C juga seringkali diterapi dengan antibiotik.

Infeksi virus atau bakteri, kebanyakan sakit tenggorok akut membaik dalam 3-7 hari
dengan sebagian kecil pasien memerlukan antibiotik, Tetapi, dalam praktiknya diseluruh dunia,
kelebihan dan ketidaktepatan peresepan antibiotik merupakan hal yang sering dalam penanganan
ISPA. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan penderitaan pasien yang tidak
perlu disebabkan oleh efek samping dari antibiotik dan berkontribusi ke resistansi antibiotik yang
merupakan masalah global yang mengancam dunia untuk kembali ke era sebelum antibiotik.
Resistensi antibiotik dipandang sangat serius di Inggris dimana Kepala Bagian Medik telah
merekomendasikan masalah ini untuk ditambahkan ke masalah resiko negara, menjadikan
masalah ini setara dengan serangan teroris. Karena infeksi Strep A hanya terjadi pada 5-15%
pasien faringitis, antibiotik merupakan hal yang tidak tepat untuk diresepkan pada kebanyakan
pasien sakit tenggorok akut. Antibiotik hanya mempunyai efek sedang pada keluhan tenggorok,
mempersingkat durasi dari keluhan tenggorok sekitar 16 jam, jadi terapi yang menawarkan
penghilang gejala secara efektif adalah pilihan pertama terapi pada kebanyakan pasien.
Meskipun begitu, peresepan antibiotik pada ISPA tetap tinggi. Tekanan langsung dari pasien dan
persepsi praktisi dari tekanan pasien adalah faktor terbanyak dalam penggunaan antibiotik yang
berlebih, peningkatan komunikasi praktisi pelayanan kesehatan dapat mengurangi celah antara
ekspektasi pasien dan dokter dan mengurangi kesalahan praktik.
Identifikasi klinis pada pasien dengan infeksi Strep A masih menjadi tantangan karena
ketidaktepatan antara tanda dan gejala dari infeksi bakteri dan virus pada ISPA. Panduan
internasional dan nasional telah dikembangkan untuk membantu dalam diagnosis dan
manajemen pasien dengan infeksi Strep A; tetapi, rekomendasi yang ada sangat bervariasi dan
tidak ada konsensus global. Beberapa panduan menyarankan kultur tenggorok tetapi
pemeriksaan tersebut memerlukan 18-48 jam untuk menghasilkan hasil dan tes imunologi cepat
tidak tersedia secara luas. Tes Cepat Streptococcus mempunyai spesifitas tinggi sekitar 95%
tetapi sensitifitasnya berkisar antara 70-90%.

Dalam kondisi tidak adanya kultur tenggorok atau tes diagnosis lain, praktisi seringkali
bergantung pada temuan klinis untuk menegakkan diagnosis. Banyak panduan (Contoh: pada
Perkumpulan untuk Mikrobiologi Klinik dan Penyakit Infeksi Eropa (PMKPIE))
merekomendasikan pendekatan ini dan tidak menyarankan penggunaan rutin dari tes
mikrobiologi. Sistem skor klinisi telah dikembangkan untuk membantu dokter menentukan
infeksi Strep A. Salah satu yang paling sering dipakai adalah Skor Centor, yang pertama
diusulkan tahun 1981. Empat tanda klinis yang menggambarkan infeksi strep A telah
teridentifikasi [temperatur >38 C, tidak ditemukan batuk, tonsil yang membengkak dan eksudat,
serta pembesaran kelenjar getah bening leher anterior] mempunyai nilai 4 pada Skor Centor.
Pada suatu penelitian sistematis ditemukan sensitifitas 49% dan spesifitas 82%. Alternatif dari
Skor Centor, yang menilai umur pasien sebagai faktor yang diperhitungkan telah dikembangkan:
Skor Centor Termodifikasi dan Skor McIsaac. Sistem ini tidak didesain untuk menjadi definitif,
walaupun Skor Centor Termodifikasi memiliki spesifitas 76,7% dengan spesifitas 43,8%, dan
kemungkinan infeksi Strep A pada 4 skor McIsaac dilaporkan mencapai 57%.

Dilihat dari perhatian global tentang resistensi antibiotik, pelayan kesehatan harusnya
mengadopsi langkah untuk mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak tepat terutama untuk
penyakit yang dapat sembuh spontan seperti sakit tenggorok karena tonsilfaringitis. Salah satu
pendekatan adalah mendorong untuk pengobatan gejala berbasis bukti pada sakit tenggorok.
Penelitian klinis sebelumnya telah mendemonstrasikan keefektifan dari tablet hisap fluriboprofen
8,75 mg untuk meredakan gejala sakit tenggorok , kesulitan menelan dan perasaan bengkak
tenggorok pada pasien dengan tonsilfaringitis. Tetapi, efikasi tablet hisap flurbiprofen pada
pasien dengan infeksi Streptococcus belum pernah didokumentasikan. Dalam penelitian ini, kami
melaporkan untuk pertama kali keamanan dan efikasi dari tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg pada
pasien dengan dan tanpa infeksi Streptococcus yang terbukti secara kultur. Kami juga
menyediakan sensitifitas dan spesifitas dari penilaian dasar yang digunakan untuk mendiagnosis
Strep A, untuk menyertakan penilaian mendalam kepada keandalan dari berbagai metode
diagnosis yang berbeda.
Metode

Desain Penelitian

Data dianalisis dari dua penelitian uji acak tertutup dua arah terkontrol placebo pada
efikasi dari tablet hisap fluriboprofen 8,75 mg pada pasien dewasa dengan sakit tenggorok akut.
Kedua penelitian dilakukan di Amerika Serikat; penelitian pertama merupakan penelitian
terpusat dan penelitian kedua dilakukan di empat tempat berbeda. Penelitian ini mengikuti
pedoman dari Konferensi Internasional tentang Harmonisasi Praktik Klinik yang Baik dan
prinsip etik yang terkandung dalam Deklarasi Helsinki, dan sesuai dengan kode dari regulasi
federal Badan Administrasi Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat. Persetujuan etik
didapatkan dari komisi etik institusi peneliti dan pasien diberikan persetujuan tertulis sebelum
diikutkan ke penelitian dari tanggal 2 November 2009 sampai pasien terakhir pada 3 Maret 2011,
sedangkan pada penelitian kedua pasien diikutkan pertama kali pada tanggal 12 November 2009
dan pasien terakhir pada tanggal 21 Maret 2011.

Populasi Penelitian

Penelitian ini memasukkan orang dewasa (> 18 tahun) dengan keluhan baru (< 4 hari)
sakit tenggorok. Diagnosis faringitis ditegakkan dari skor Penilaian Tonsil Faring (PTF) >5,
jumlah total poin (dari skala 0-3) dari tiap tujuh temuan gejala; suhu mulut, warna orofaring,
ukuran tonsil, jumlah ruam orofaring, jumlah kelenjar getah bening leher anterior, dan ukuran
maksimal dan nyeri tekan maksimal dari kelenjar getah bening leher anterior. Kriteria inklusi
lainnya termasuk nyeri sedang atau berat pada Skala Nyeri Tenggorok (empat poin skala
intensitas nyeri: tidak ada nyeri, nyeri minimal, nyeri sedang, dan nyeri berat), minimal satu
gejala dari ISPA dari kuisioner ISPA, dan tiga gejala umum dari sakit tenggorok, tiap gejala
dinilai dari skala 100-mm visual analog tervalidasi: nyeri tenggorok [>66 mm pada Skala
Intensitas Nyeri Tenggorok (SINT)], kesulitan menelan [ >50 mm pada Skala Kesulitan
Menelan (SKM)] dan sensasi dari Tenggorok bengkak [> 33 mm pada Skala Tenggorok
Bengkak (STB)].

Kriteria eksklusi meliputi alergi yang diketahui atau hipersensitifitas kepada Obat Anti
Inflamasi Non Steroid (OAINS), penggunaan tablet hisap tenggorok apapun, obat semprot
tenggorok, tetes batuk, atau produk berisi mentol dalam satu jam sebelum pemberian obat
penelitian, penggunaan obat flu dan pilek dalam bentuk apapun, atau penggunaan
analgesik/antipiretik kerja cepat dalam 4 jam (atau semua antipiretik/analgesik kerja berjangka
dalam 12 jam) sebelum pemberian obat penelitian, penggunaan antibiotik untuk penyakit akut
dalam 24 jam sebelum randomisasi, temuan dari batuk atau nafas dari mulut yang menyebabkan
ketidak nyamanan pada tenggorok, semua penyakit aktif fisik yang dapat menyebabkan
kompromi pada fungsi respirasi atau semua kondisi penyakit berat yang dapat mempengaruhi
partisipasi penelitian atau hasil penelitian.
Medikasi Penelitian

Pasien ditempatkan secara acak (dalam 1:1 rasio) untuk menggunakan tablet hisap
flurbiprofen 8,75 mg dengan perasa gula, dengan tablet hisap placebo sesuai dengan daftar acak
komputer terandomisasi. Semua pasien dan personel penelitian tidak diberi tahu jenis obat yang
diberikan. Perawat peneliti menginstruksikan pasien untuk menghisap satu dosis tablet hisap
yang didapatkan (flurbiprofen 8,75 mg atau plasebo). Setelah semua tablet larut, pasien tidak
diperbolehkan untuk memasukkan sesuatu ke mulut selama 2 jam berikut. Pasien kemudian
dipulangkan dari klinik dan diberikan obat sesuai seperti pemberian sebelumnya dan digunakan
tiap 3-6 jam jika dibutuhkan, maksimal lima tablet hisap dalam 24 jam. Pasien dapat meminum
obat sampai maksimal 7 hari. Evaluasi dilakukan sekitar 24 jam dan 1 minggu setelah dosis
pertama.

Obat penyelamat (parasetamol 650 mg setiap 5-6 jam, maksimal 5 kali dalam 24 jam)
diperbolehkan, tetapi pasien diminta untuk sedapat mungkin menghindari meminum obat
penyelamat minimal dua jam setelah meminum obat penelitian. Sekitar 48 jam, antibiotik
diberikan kepada pasien dengan infeksi tenggorok Strep A yang terkonfirmasi laboratorium dan
sesuai keputusan dokter, pasien dengan infeksi Strep C yang terkonfirmasi laboratorium yang
masih menimbulkan gejala.

Penilaian Penelitian

Praktisi membuat beberapa evaluasi pada garis dasar setelah mendapatkan rekam medik
pasien dan tanda – tanda vital. Mereka mendokumentasikan temuan faring pada PTF dan
menyediakan Penilaian Inflamasi Praktisi (PIP; skala kategori yang mengindikasikan keberatan
dari inflamasi faring: tidak ada, rendah, sedang, berat). Setelah ulasan dari rekam pasien, temuan
dan gejala, praktisi menyediakan Penilaian Klinis dari Nyeri Tenggorok (PKNT; skala kategori
yang mengindikasikan kemungkinan dari infeksi Strep A: tidak, tidak yakin, sepertinya, dan
sangat mungkin). Usap tenggorok dilakukan untuk menyediakan bahan untuk Tes Cepat Strep
untuk mendeteksi kelompok A Streptococcus dan juga untuk menyiapkan kultur tenggorok untuk
membuat diagnosis pasti dari infeksi Streptococcus. Kedua tes dilaporkan setelah 48 jam untuk
tidak mempengaruhi penilaian pasien atau praktisi, tetapi tepat waktu untuk inisiasi dari terapi
antibiotik jika diindikasikan.

Pasien juga membuat beberapa penilaian pada garis dasar. Mereka mengisi kuisioner
ISPA, dimana mereka diminta untuk mengidentifikasi gejalanya termasuk nyeri tenggorok,
hidung tersumbat, pilek dan batuk. Pada penelitian satu, pasien juga melengkapi kuisioner ISPA
dua jam setelah terapi awal. Pasien menilai nyeri tenggorok, kesulitan menelan, dan sensasi dari
Tenggorok bengkak saat di garis dasar. Setelah meminum dosis awal, pasien melanjutkan
menilai gejala tiap jam (saat terbangun) selama 24 jam. Setiap efek samping terapi didata
menggunakan kamus Medis untuk Regulasi Aktivitas versi 14,0.
Analisis Statitiska

Semua data dirangkum menggunkana statistik deskriptif (frekuensi dan persentase dari
pasien dalam tiap kategori untuk pengukuran ordinal dan kategori, dan rata – rata, standar
deviasi, median, dan jangkauan untuk pengukuran bersambung). Semua tes statistik terdiri dari
dua sisi dan signifikansi statistik dites dalam tingkatan 5%. Semua analisa statistik dilakukan
menggunakan SAS versi 9,2.

Pengukuran hasil primer untuk kedua penelitian adalah jumlah dari perbedaan waktu
tertimbang dalam SINT dari garis dasar sampai 24 jam kemudian (Jumlah Perbedaan Intensitas
Nyeri selama 24 jam atau JPIN24); hasil ini telah dilaporkan sebelumnya untuk jumlah total
populasi penelitian. Ukuran sampel untuk tiap penelitian didasarkan kepada ekspektasi hasil
primer, yang diekstrapolasi dari penelitian sebelumnya. Untuk mendemonstrasikan 20% efek
dari tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg dengan 80% kekuatan, 100 pasien dibutuhkan dalam setiap
kelompok perlakuan.

Hasil dari dua penelitian sebelumnya digabungkan karena rendahnya insidensidari infeksi
Streptococcus pada populasi dewasa. [Efikasi dari tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg untuk hasil
tiga pasien yang dilaporkan telah didemonstrasikan untuk jumlah total populasi penelitian untuk
kedua penelitian]. Akurasi diagnostik dari PKNT dan Tes Cepat Strep dievaluasi dengan cara
menghitung sensitivitas dan spesifitas untuk tiap instrumen. Untuk mengidentifikasi tanda klinis
yang menandakan infeksi Kelompok A Streptococcus digunakan Uji Kai Kuadrat untuk
membandingkan adanya kultur Kelompok A Streptococcus pada pasien berdasarkan pada
beratnya gejala yang ditemukan pada faring dan ada atau tidaknya batuk.

Efikasi dari tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg dievaluasi pada smeua pasien, pada pasien
dengan infeksi Kelompok A atau Kelompok C Streptococcus dan pasien tanpa infeksi
Kelompok A atau Kelompok C Streptococcus dengan menilai perubahan pada hasil yang
dilaporkan pasien tersebut: nyeri tenggorok, kesulitan menelan, dan bengkak pada tenggorok.
Efektifitas dari dosis tunggal tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg ditentukan dengan menganalisa
perubahan dari garis dasar pada skor SINT, SKM, dan STB selama 6 jam setelah dosis awal.
Untuk pasien yang menerima dosis tambahan dari obat penelitian atau obat penyelamat, semua
perubahan pada skor SINT, SKM, dan STB selama 6 jam dikembalikan ke nol sesuai konvensi
Observasi Dasar Ke Depan (ODKD). Efektifitas dari dosis berulang tablet hisap flurbiprofen
8,75 mg selama 24 jam dinilai dengan cara menghitung jumlah perubahan waktu tertimbang
dalam SINT, SKM, dan STB dari garis dasar sampai 24 jam. Jika pasien mengambil obat
penyelamat, setiap nilai SINT, SKM, dan STB setelah meminum obat dalam interval 24 jam
ditetapkan pada nilai dasar. Skor yang tidak lengkap diperhitungkan menggunakan interpolasi
linear. Efikasi dari tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg dibandingkan dengan plasebo dihitung
menggunakan metode rata rata kuadrat terkecil dari analisis variasi model campuran, dengan
perlakuan sebagai efek tetap dan garis dasar relevan sebagai kovarian. Model terpisah digunakan
untuk tiap subkelompok (Strep A atau C/non Strep A atau C/semua pasien). Untuk menilai efek
perbedaan perlakuan antara pasien Strep dan non Strep, model tambahan juga digunakan
termasuk semua pasien dengan faktor tambahan untuk strep A atau C/ non strep A atau C dan
juga interaksi untuk pengobatan dengan diagnosis Strep.

Efek samping antar kelompok perlakuan dibandingkan menggunakan tes ᵡ2 atau tes tepat
Fisher.

Hasil

Populasi Penelitian

Untuk dua penelitian yang digabungkan, total 402 pasien diacak ke perlakuan dengan
tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg (n=203) atau plasebo (n=199). Semua 402 pasien diberikan
dosis awal dari obat penelitian dan dimasukkan ke dalam analisis efikasi dan keamanan. Empat
pasien mengundurkan diri sebelum penilaian 24 jam ( satu pasien flurbiprofen 8,75 mg
kelompok mengundurkan diri karena penyakit sekarang, satu pada kelompok plasebo muncul
efek samping [muntah], dan dua dari kelompok plasebo menarik persetujuan untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini).

Kelompok perlakuan dinilai seimbang dalam hal demografi dan karasteristik garis dasar
klinis. Rata rata umur subjek adalah 26,7 tahun (jangkauan 18,0 – 61,0 tahun), 41% pasien
mempunyai batuk (dilihat dari kuisioner ISPA), 46,5% pasien melaporkan tonsil yang membesar,
44,8% mempunyai nyeri tekan kelenjar getah bening Leher anterior, dan 63,3% pasien
mempunyai bukti dari inflamasi sedang atau berat pada faring. Garis dasar demografi dan
karasteristik klinis dapat dibandingkan antara kelompok perlakuan untuk pasien dengan infeksi
Strep A atau C dan pasien tanpa infeksi Strep A atau C (semua p>0,05).

Diagnosis dari Sakit Tenggorok karena Infeksi Streptococcus

Pada garis dasar, 401 pasien menjalankan penilaian klinis (CAST) untuk menentukan
kemungkinan dari infeksi Strep A berdasar pada riwayat, tanda dan gejala klinis. Praktisi tidak
yakin dalam diagnosis pada 183/401 pasien (45,6%). Hasil kultur tenggorok menunjukkan
diagnosis pasti karena infeksi Streptococcus: pada 401 pasien yang dikultur, 40/401 (10%)
positif Strep A dan 56/401 (14%) positif Strep C, tidak ada pasien yang memiliki infeksi Strep A
dan Strep C. Antibiotik diberikan setelah hasil kultur dibaca, sekitar 48 jam setelah presentasi
klinis, untuk semua 40 pasien positif Strep A dan 11/56 (19,6%) pasien positif Strep C (karena
masih ada gejala atau peningkatan gejala setelah hasil tes keluar). Tidak ada dari 96 pasien
positif untuk masing Strep A atau Strep C, mempunyai sekuel klinis dari infeksi Streptococcus.

Berdasarkan penilaian klinis, praktisi mempertimbangkan infeksi strep A pada 85/401


(21,2%) pada pasien. Dari 85 pasien, 84 dilakukan kultur dan 11/84 (13,1%) dinyatakan positif
untuk Strep A. Jadi, penilaian klinis mempunyai nilai 86,9% positif palsu untuk infeksi Strep A:
73 dari 84 pasien akan menerima antibiotik yang tidak perlu jika diagnosis berdasar penilaian
klinis saja. Pada 40 pasien yang mempunyai kultur positif pada Strep A, 11 diantaranya
didiagnosis dengan benar oleh penilaian klinis (sensitivitas 27,5%). Dari 361 pasien negatif Strep
A, 360 pasien dinilai menggunakan penilaian klinis; praktisi tidak yakin akan etiologi Strep A
atau mempertimbangkan kemungkinan tidak terinfeksi pada 287/360 pasien, yang tidak akan
diberikan antibiotik dengan basis penilaian klinis (spesifitas 79,7%).

Dari 389 pasien yang melakukan Tes Cepat Strep pada garis dasar, Strep A teridentifikasi
(pada kultur tenggorok) dalam 35 dari 46 pasien yang memiliki hasil positif pada Tes Cepat
Strep (sensitivitas 87,5%). Tidak ditemukannya Kelompok A Streptococcus (pada kultur
tenggorok) dikonfirmasi pada 338 pasien yang memiliki hasil negatif pada Tes Cepat Strep dan
dalam 11 pasien yang memiliki hasil positif pada Tes Cepat Strep (spesifitas 96,8%). Jika
diagnosis sakit tenggorok karena infeksi Streptococcus kelompok A didasarkan pada hasil Tes
Cepat Strep, 11/46 (23,9%) dari pasien akan menerima antibiotik yang tidak perlu.

15,5% pasien dengan pembesaran tonsil memiliki infeksi Strep A daripada pasien dengan
tonsil normal atau sedikit membesar (5,1%; p<0,001), dan 13,9% pasien dengan nyeri tekan
kelenjar getah bening Leher anterior memiliki infeksi Strep A daripada pasien dengan kelenjar
getah bening Leher anterior yang keras atau sedikit melunak (6,8%; p<0,05). Sensitivitas dan
spesifitas dari diagnosis infeksi Strep A adalah 72,5% dan 56,4 % jika didasarkan pada ukuran
tonsil, 62,5% dan 57,2% jika didasarkan pada nyeri tekan dari kelenjar getah bening Leher
anterior. Tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kemungkinan infeksi Strep A didasarkan
pada temperatur oral > 99oF (13,8% dan 8,5; p=0,1195). Sebelas (6,7%) dari 165 pasien dengan
batuk dan nyeri tenggorok memiliki infeksi Strep A, dibandingkan dengan 29 (12,2%) dari 237
pasien tanpa batuk (p=0,0665).

Efikasi dari Tablet Hisap Flurbiprofen 8,75 mg Dosis Tunggal

Dosis tunggal dari Tablet Hisap Flurbiprofen 8,75 mg memberikan pengurangan yang
lebih besar pada rasa nyeri tenggorok (pada SINT) daripada plasebo untuk semua pasien pada
semua diagnosis, untuk pasien dengan infeksi Strep A atau C dan untuk pasien tanpa infeksi
Strep A atau C. Pengurangan dari nyeri secara signifikan dengan tablet hisap Flurbiprofen 8,75
mg dibandingkan dengan plasebo diamati pada 1, 2 dan 3 jam ( semua p < 0,0001) dan 4 jam (p
< 0,01) untuk semua populasi dan untuk pasien tanpa infeksi Strep A atau C, dan pada 2 dan 3
jam untuk pasien dengan infeksi Strep A atau C (kedua p<0,05). Tidak ada perbedaan pada efek
perlakuan antara infeksi Strep A atau C dibandingkan dengan tanpa infeksi Strep A atau C (p>
0,2 untuk seluruh poin waktu yang dinilai diatas 6 jam).

Sebuah tablet hisap Flurbiprofen 8,75 mg juga memberikan pengurangan yang signifikan
pada kesulitan menelan (pada SKM) dan bengkak tenggorok (pada STB) dibandingkan dengan
plasebo. Kesulitan menelan berkurang setelah pemberian sebuah tablet hisap Flurbiprofen 8,75
mg pada 1, 2 dan 3 jam ( semua p<0,0001) dan pada 4 jam (4<0,01) untuk semua populasi dan
pasien tanpa infeksi Strep A atau C, dan pada 3 jam untuk pasien dengan infeksi strep A atau C
(p<0,05). Berkurangnya sensasi bengkak tenggorok setelah pemberian tablet hisap Flurbiprofen
8,75 mg dilaporkan terjadi pada 1, 2, dan 3 jam pemberian (semua p<0,0001) untuk semua
populasi dan untuk pasien tanpa infeksi Strep A atau C, dan pada 1, 2, dan 3 jam untuk pasien
dengan Strep A atau C (p<0,05). Tidak ada perbedaan pada efek perlakuan pada kelompok
infeksi Strep A atau C dibandingkan dengan kelompok tanpa infeksi Strep A atau C untuk
kesulitan menelan atau bengkak tenggorok (p>0,1 untuk semua poin waktu yang dinilai sampai
maksimal 6 jam).

Efikasi dari Tablet Hisap Flurbiprofen 8,75 mg Dosis ganda

Untuk ukuran tradisional dari jumlah perbedaan waktu tertimbang pada nyeri tenggorok
dalam SINT selama 24 jam, perbedaan yang tampak lebih besar untuk kelompok tablet hisap
Flurbiprofen 8,75 mg daripada plasebo untuk seluruh populasi (52,1% lebih meredakan;
p<0,001), pada pasien dengan infeksi Strep A atau C (33,1% lebih meredakan; p = 0,1044), dan
pada pasien tanpa infeksi Strep A atau C (53,7% lebih meredakan; p<0,001). Tidak ada
perbedaan pada efek perlakuan dalam kelompok infeksi Strep A atau C dibandingkan dengan
kelompok tanpa infeksi Strep A atau C (p = 0,9396).

Hasil yang sama untuk dua laporan hasil pasien lainnya. Tablet hisap Flurbiprofen 8,75
mg memberikan 48,9% lebih besar dalam meredakan gejala kesulitan menelan daripada plasebo
pada seluruh populasi (p<0,0001), 19,3% lebih besar dalam meghilangkan kesulitan menelan
pada pasien dengan infeksi Strep A atau C (p = 0,1991) dan 57,1 % lebih besar dalam meredakan
gejala kesulitan menelan pada pasien tanpa infeksi Strep A atau C (p<0,001). Pengurangan pada
bengkak tenggorok leih besar pada pasien yang diberikan tablet hisap Flurbiprofen 8,75 mg
daripada plasebo pada seluruh populasi (40,5% lebih meredakan bengkak tenggorok; p < 0,001),
untuk pasien dengan infeksi Strep A atau C (31,8% lebih meredakan bengkak tenggorok; p =
0,0986), dan untuk pasien tanpa infeksi Strep A atau C (40,5% lebih meredakan bengkak
tenggorok; p<0,01). Tidak ada perbedaan pada efek perlakuan pada kelompok dengan infeksi
Strep A atau C dibandingkan dengan kelompok tanpa infeksi Strep A atau C pada kesulitan
menelan (p = 0,4712) atau bengkak tenggorok (p = 0,9003).

Keamanan

Persentase pasien dengan Efek Samping apapun selama periode pengamatan 24 jam
adalah serupa antara flurbiprofen 8,75 mg dan kelompok plasebo (24,1% vs 22,1%; p = 0,6298),
dengan Efek Samping yang paling umum adalah sakit kepala (3,0% vs 5,0%; p = 0,2886), iritasi
tenggorok (5,9% vs 0%; p <0,001), mual (1,5% vs 2,5%; p = 0,4577), parestesia (3,9% vs 0%; p
<0,01) dan keluhan pencernaan (7,9% vs 8,5%; p = 0,8093). Persentase pasien dengan efek
samping apa pun juga serupa antara flurbiprofen 8,75 mg dan kelompok plasebo pada pasien
dengan Strep A atau C (26,4% vs 25,6%; p = 0,9263) dan pada pasien tanpa Strep A atau C
(23,3% dan 21,2%; p = 0,6466).

Diskusi
Analisis gabungan dari dua uji coba acak tertutup dua arah dan terkontrol plasebo ini
menyoroti kesulitan yang dihadapi dokter ketika mencoba untuk mendiagnosis secara klinis
infeksi Strep A pada Tenggorok. Meskipun dilakukan pemeriksaan menyeluruh dari riwayat
setiap pasien, gejala dan temuan faring dengan relevansi infeksi streptokokus dan penggunaan
skala 4-kategori untuk menilai kemungkinan infeksi Strep A, sensitivitas PKNT seperti yang
digunakan oleh para praktisi ini rendah (27,5%), begitu juga akurasinya: 73 dari 84 (86,9%)
pasien akan mendapat antibiotik yang tidak perlu jika diagnosis didasarkan pada fitur klinis.
Dan, dari 316 pasien dengan diagnosis Strep A yang para praktisi tidak yakin atau dianggap tidak
mungkin, 29 pasien dengan faringitis Strep A yang terbukti oleh kultur (9,2%) tidak akan diobati
dengan antibiotik, lebih lanjut menyoroti keterbatasan penilaian klinis prediktif.

Meskipun sistem penilaian lainnya telah dilaporkan menghasilkan hasil klinis yang lebih
baik (yaitu, diagnosis yang akurat mengarah pada penggunaan yang lebih tepat dan penggunaan
antibiotik yang kurang tepat), tidak ada yang memberikan jaminan lebih besar daripada yang
diperoleh dari kultur. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian baru-baru ini pasien berusia ≥ 15
tahun yang memiliki keempat kriteria Centor [suhu> 100,4 ° F (> 38 ° C), pembengkakan dan
eksudat tonsil, kelenjar getah bening Leher anterior yang lunak dan tidak adanya batuk] memiliki
hanya 57% kemungkinan kultur tenggorok positif untuk Strep A. Studi terbaru lainnya
melaporkan bahwa hanya dua kriteria Centor (limfadenopati Leher dan tidak ada batuk) yang
secara signifikan terkait dengan hasil tes cepat Strep yang positif (rasio kemungkinan dari 2,27
dan 2,43, masing-masing; kedua nilai-p dilaporkan sebagai tidak signifikan). Dalam penelitian
kami, kami menemukan bahwa fitur klinis yang paling sering dikaitkan dengan infeksi Strep A
adalah pembesaran amandel dan nyeri tekan yang lebih besar pada kelenjar getah bening Leher
anterior. Tidak ada kemungkinan yang besar, bahwa pasien dengan dua kriteria Centor lainnya
mempunyai infeksi faringitis Strep A.

Tes cepat Strep terbukti lebih dapat diandalkan daripada penilaian klinis, dengan
sensitivitas 87,5%. Meski begitu, metode ini akan menyebabkan 23,9% pasien tidak perlu diberi
antibiotik. Kultur tenggorok, di sisi lain, adalah tes definitif untuk mendiagnosis Strep A, dengan
sensitivitas yang dilaporkan 90-95% jika dilakukan dengan benar. Namun, proses keseluruhan
dapat memakan waktu 18-48 jam sebelum pasien diresepkan antibiotik, jika diindikasikan.

Selain merujuk pada tidak dapat diandalkannya algoritma diagnosis klinis untuk infeksi
Strep A, para ahli dalam penyakit infeksi, kedokteran, keperawatan, farmasi, epidemiologi dan
kesehatan masyarakat belum mencapai konsensus global mengenai diagnosis dan perawatan
sakit Tenggorok akibat infeksi Strep A. Banyak pedoman dan inisiatif [mis., dari Inggris,
Belanda, Belgia, ESCMID, Kemitraan Infeksi Saluran Pernafasan Global (KISPG)] memandang
nyeri tenggorok sebagai kondisi jinak, terbatas pada diri sendiri dan merekomendasikan bahwa
antibiotik disediakan untuk kasus serius atau untuk pasien yang berisiko tinggi mengalami
komplikasi. Hal ini adalah strategi yang bijaksana, mengingat bahwa komplikasi nyeri tenggorok
jarang terjadi di sebagian besar negara, bahwa penggunaan antibiotik secara berlebihan
berkontribusi terhadap resistensi antibiotik, dan bahwa pasien tidak perlu menuntut praktisi
untuk memberikan antibiotik untuk mengobati nyeri tenggorok mereka (Bahkan, dalam survei
pasien dengan sakit Tenggorok di Belgia, keinginan untuk mendapatkan antibiotik untuk nyeri
tenggorok menduduki peringkat ke-11 dari 13 alasan untuk mencari evaluasi medis, sedangkan
keinginan untuk meredakakan rasa sakit berada di peringkat kedua). Oleh karena itu, alih-alih
berfokus pada cara mendiagnosis infeksi Strep A, pendekatan alternatif adalah
merekomendasikan atau meresepkan perawatan yang memberikan bantuan dari nyeri tenggorok
dan gejala lain yang berhubungan dengan tenggoro, terlepas dari penyebab nyeri tenggorok.
Pendekatan ini menentukan pemberian antibiotik hanya untuk pasien yang berisiko tinggi
mengalami komplikasi (misalnya, lansia, populasi yang terganggu sistem kekebalannya atau
populasi tertentu) atau mereka yang menunjukkan gejala serius (misalnya, gejala yang
memburuk secara progresif, batuk berdarah). Peresepan antibiotik yang tertunda adalah
pendekatan lain yang direkomendasikan dalam beberapa pedoman, yang memungkinkan pasien
yang penyakitnya sembuh secara alami dibedakan dari mereka yang gejalanya memburuk atau
tidak sembuh dalam waktu seminggu. Pengobatan selain antibiotik yang direkomendasikan oleh
pedoman sebagai pengobatan lini pertama untuk meredakan gejala sakit tenggorok akut termasuk
analgesik sistemik seperti ibuprofen atau parasetamol; Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit AS juga menganjurkan penggunaan pelega tenggorok dan semprotan tenggorok yang
digunakan secara lokal.

Obat tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg dikembangkan untuk memenuhi tujuan terapi ini,
memberikan efek analgesik dan antiinflamasi yang diberikan secara topikal dalam tablet hisap
berbahan dasar gula. Ketika efek dosis tunggal tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg tablet
dievaluasi, pasien tanpa infeksi Strep A atau C mengalami pengurangan dari gejala-gejala
Tenggorok yang menyakitkan dan fungsional hingga 4 jam dan pasien-pasien dengan infeksi
Strep A atau C hingga 3 jam. Walaupun durasi aksi flurbiprofen lebih pendek pada pasien
dengan infeksi Strep A atau C, hasilnya mendukung efikasi pengobatan ini pada kedua pasien
dengan dan tanpa infeksi Streptococcus. Hasil ini meyakinkan karena, dengan efek dosis tunggal
yang bertahan selama 3-4 jam, meredakan gejala nyeri tenggorok karena infeksi Streptococcus
tidak mungkin; seperti yang diamati dalam percobaan ini, gejala infeksi Streptococcus kambuh
setelah efek obat mereda, mendorong pasien untuk kembali mengobati gejala yang timbul (lebih
dari 24 jam, pasien menggunakan rata-rata 4,8 tablet pelega Tenggorok untuk gejala yang
menetap). Seperti yang diamati di sini, pasien dengan gejala persisten, parah atau memburuk
(seperti 11 dari 56 pasien dengan infeksi Strep C dan 40 pasien dengan infeksi Strep A yang
dibuktikan oleh hasil kultur) juga diresepkan antibiotik oleh praktisi dalam waktu 48 jam.
Selanjutnya, dalam kasus infeksi Strep A, pengobatan antibiotik dapat ditunda hingga maksimal
4 hari tanpa meningkatkan risiko komplikasi [dan hingga 9 hari untuk mencegah demam
rematik], memungkinkan pasien yang memburuk untuk mencari saran lebih lanjut.

Dosis ganda lebih dari 24 jam juga memberikan rasa lega dari nyeri tenggorok, kesulitan
menelan dan bengkak tenggorok pada pasien tanpa infeksi Streptococcus (p <0,001) dan pada
pasien dengan infeksi Strep A atau C yang dikonfirmasi secara kultur (walaupun tanpa statistik
yang signifikan, mungkin karena adanya sejumlah kecil pasien Strep A dan C atau perbaikan
alami gejala tenggorok dari waktu ke waktu).

Yang menarik adalah kami juga mengamati efek terapi dari flurbiprofen 8,75 mg pada
batuk dalam satu penelitian di mana batuk diukur baik sebelum dan sesudah pengobatan. Ada 53
pasien dalam penelitian ini yang menderita nyeri tenggorok dan batuk; 2 jam setelah pemberian
tablet hisap tunggal flurbiprofen atau tablet hisap plasebo berbahan dasar gula, batuk tidak ada
pada 14/28 (50,0%) pasien yang diobati dengan flurbiprofen dibandingkan dengan 1/25 (4,0%)
pasien yang diobati dengan plasebo (p <0,001) . Hasil ini menunjukkan bahwa flurbiprofen 8,75
mg memberikan efek pengurangan batuk lebih besar dari dari plasebo pada batuk. Penelitian
lebih lanjut telah dimulai untuk menyelidiki temuan ini.

Kami percaya bahwa dua studi yang dijelaskan dalam laporan ini kuat dalam desain dan
mengambarkan kelompok pasien yang representatif dengan gejala sakit tenggorok sedang hingga
berat dan diagnosis dari faringitis telah terkonfirmasi (dalam PTP). Meskipun telah
menggabungkan dua penelitian, analisis dibatasi oleh rendahnya insidensi dari infeksi Strep A
atau C. Penelitian lain sedang direncanakan untuk meningkatkan jumlah pasien yang dievaluasi
dengan faringitis Streptococcus. Keterbatasan lebih lanjut dari analisis ini adalah bahwa efikasi
didasarkan pada perbedaan yang signifikan secara statistik antara tablet hisap flurbiprofen dan
plasebo, namun, mungkin lebih relevan untuk mengevaluasi efikasi sesuai dengan pengurangan
gejala yang secara klinis bermakna bagi masing-masing pasien.

Kesimpulan

Penegakan diagnosis dari faringitis Streptococcus berdasarkan temuan klinis tidak dapat
diandalkan. Mengingat konsekuensi dari penggunaan antibiotik yang tidak tepat, pengobatan
selain antibiotik yang aman harus dipertimbangkan untuk memberikan bantuan gejala yang
dicari pasien dari dokter. Berdasarkan temuan yang dilaporkan di sini untuk pasien dengan dan
tanpa infeksi Streptococcus, pengobatan dengan tablet hisap flurbiprofen 8,75 mg secara efektif
meredakan nyeri tenggorok, bengkak tenggorok dan sulit menelan. Oleh karena itu, masuk akal
jika secara klinis (dan kesehatan masyarakat) untuk mempertimbangkan pemberian tablet hisap
flurbiprofen 8,75 mg sebagai pilihan terapi lini pertama untuk pasien dengan gejala sakit
Tenggorok akut tanpa komplikasi, termasuk pengobatan gejala sebelum keluar hasil dari tes
diagnostik yang pasti. Sementara waktu dan sistem kekebalan tubuh akan menyelesaikan
sebagian besar infeksi ini, antibiotik dengan demikian dapat diberikan hanya untuk pasien
faringitis dengan gejala berat dan untuk pasien dengan risiko komplikasi yang meningkat.

Penghargaan

Dua penelitian yang dilaporkan dalam artikel ini disponsori oleh Reckitt Benckiser
Healthcare International Ltd. Bantuan penulisan medis disediakan oleh Papia Das (Elements
Communications Ltd) dan didanai oleh Reckitt Benckiser Healthcare International Ltd.
Kontribusi Peneliti

AS, SA dan BPS berkontribusi pada konsep dan desain studi, GS melakukan analisis
statistik, dan BPS terlibat dalam pelaksanaan studi dan akuisisi data. Semua penulis
berkontribusi pada interpretasi hasil, dan telah meninjau dan menyetujui naskah ini.
Tabel dan Figur
Tabel 1 Penilaian Tonsil-Faringitis (PTF)

Daftar 0 poin 1 poin 2 poin 3 poin

Temperatur Oral ≤ 98.6 °F 98.7–98.9 °F 99.0–99.9 °F ≥ 100.0 °F

Warna Orofaring Normal Sedikit Merah Merah Merah Sekali

Ukuran Tonsil Normal/absen Agak Besar Besar Sangat Besar

Ada Tidaknya Sekret Orofaring Tidak ada Sedikit Beberapa Banyak

Jumlah Kelenjar Getah Bening Leher Anterior Normal Sedikit meningkat Meningkat Meningkat Besar

Ukuran Terbesar Kelenjar Getah Bening Leher Anterior Normal Sedikit Besar Besar Sangat Besar

Nyeri Maksimal Kelenjar Getah Bening Leher Anterior Tidak Nyeri Agak Nyeri Nyeri Sedang Sangat Nyeri

Tabel 2 Garis Dasar Demografi dan Karasteristik

Flurbiprofen 8.75 mg (n = 203) Plasebo (n = 199) Semua (N = 402)

Umur, tahun
Rerata (SD) 26.6 (10.4) 26.8 (10.7) 26.7 (10.5)
Jangkauan 18.0–61.0 18.0–58.0 18.0–61.0
Wanita, % 56.7 60.8 58.7
Nilai SINT, rerata (SD), mm 78.9 (8.3) 79.8 (8.2) 79.4 (8.2)
Nilai SKM, rerata (SD), mm 77.4 (11.5) 77.2 (10.8) 77.3 (11.1)
Nilai SKB, rerata (SD), mm 76.3 (13.4) 77.6 (12.5) 76.9 (13.0)
Nilai PTF, rerata (SD) 8.8 (2.6) 9.1 (2.9) 9.0 (2.8)
PTF – ukuran tonsil, %
Normal 17.2 18.1 17.7
Sedikit besar 37.9 33.7 35.8
Besar 33.5 34.2 33.8
Sangat Besar 11.3 14.1 12.7
PTF – nyeri maksimal pada kelenjar getah bening leher, %
Tidak Nyeri 11.3 7.5 9.5
Agak Nyeri 43.8 47.7 45.8
Nyeri 37.4 36.2 36.8
Sangat Nyeri 7.4 8.5 8.0
PIP, %
Tidak ada inflamasi 0.0 0.5* 0.2*
Inflamasi Ringan 36.9 35.9* 36.4*
Inflamasi Sedang 54.2 53.5* 53.9*
Inflamasi Berat 8.9 10.1* 9.5*
Ada Tidaknya Batuk, % 40.4 41.7 41.0
PKNT, %
Tidak 34.0 32.3* 33.2*
Tidak Yakin 47.3 43.9* 45.6*
Kemungkinan 16.7 22.2* 19.5*
Besar Kemungkinan 2.0 1.5* 1.7*
Tabel 3 Penilaian Praktisi Terhadap Strep A (dalam PKNT) dan Diagnosis Laboratorium (dengan Kultur Tenggorok)

Hasil PKNT
Besar
Hasil Kultur Tidak Tidak Yakin Kemungkinan Kemungkinan Jumlah

Positif Strep A 5 24 10 1 40
Negatif Strep A 88 102 52 4 246
Positif Strep C 10 35 10 1 56
Lainnya 30 22 5 1 58
Tidak Diperiksa – – 1 – 1
Jumlah 133 183 78 7 401

*Normal flora (41); nongrup A streptococcus (5); grup B streptococcus (5); grup G streptococcus (3); grup B streptococcus
dan grup G streptococcus (1); Staphylococcus aureus (2); tes dilakukan dengan salah (2). Strep A, grup A streptococcus;
Strep C, grup C streptococcus.

Tabel 4 Diagnosis Laboratorium (Tes Cepat Strep dan Hasil Kultur Tenggorok)

Hasil Tes Cepat Strep


Hasil Kultur Positif Negatif Lainnya
Strep A Strep A

Positif Strep A 35 5 40
Negatif Strep A 10 226 236
Positif Strep C 1 55 56
Lainnya* 0 57 57
Tidak Diperiksa 46 343 389

*Normal flora (41); nongrup A streptococcus (5); grup B streptococcus (5); grup G streptococcus (3); grup B streptococcus dan grup G streptococcus (1);
Staphylococcus aureus (2); tes dilakukan dengan salah (2). Strep A, grup A streptococcus; Strep C, grup C streptococcus.
Figur 1 Perubahan pada bengkak tenggorok setelah Figur 2 Perubahan pada nyeri tenggorok Figur 3 Perubahan pada kesulitan
mendapatkan dosis tunggal dari obat penelitian. (A) setelah mendapatkan dosis tunggal dari menelan setelah mendapatkan dosis
Semua pasien, (B) pasien dengan grup A atau C obat penelitian. (A) Semua pasien, (B) tunggal dari obat penelitian. (A)
streptococcus dan (C) pasien tanpa infeksi grup A pasien dengan grup A atau C Semua pasien, (B) pasien dengan
atau C streptococcus. streptococcus dan (C) pasien tanpa grup A atau C streptococcus dan (C)
infeksi grup A atau C streptococcus pasien tanpa infeksi grup A atau C
streptococcus.

Anda mungkin juga menyukai