Anda di halaman 1dari 18

SEORANG PASIEN DENGAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Oleh:

Michelle Pricilia Boham 17014101048

Valdo Richard Solang 17014101098

Supervisor Pembimbing:

dr. A. Lucia Panda, SpPD, SpJP(K)

Residen Pembimbing:

dr. Mulyadi Saul

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Seminar Ilmiah dengan judul

SEORANG PASIEN DENGAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF


Telah dikoreksi, dibacakan dan disetujui pada tanggal, / /2018

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing,

dr. A. Lucia Panda, SpPD, SpJP(K)

Residen Pembimbing

dr. Mulyadi Saul


BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung menjadi masalah kesehatan utama secara global yang


diperkirakan memiliki prevalensi sekitar 26 juta orang. Di Asia Pasifik sendiri gagal
jantung berkaitan dengan hal-hal non medis seperti keterbatasan sosioekonomi,
penanganan di rumah sakit, kehilangan pekerjaan dan produktivitas dan kematian.
Pada negara-negara barat informasi yang tersedia sangat luas dan berdasarkan atas
data epidemiologi dan ketepatan penegakan diagnostik yang baik serta kepatuhan
terhadap guideline yang baik. Hal tersebut kontras dengan apa yang terjadi di regional
Asia-Pasifik.1
Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab nomor satu kematian di Amerika
Serikat. Hal tersebut menjadi pertimbangan sejak 50 tahun yang lalu untuk
mendefinisikan, mengidentifikasi dan memodifikasi faktor-faktor risiko terhadap
penyakit kardiovaskuler (hipertensi, dislipidemia, obesitas, diabetes melitus tipe 2,
merokok, dan inaktivitas fisik) dan untuk menentukan terapi seperti unit perawatan
koroner, intervensi koroner perkutan, dan pemberian penyekat beta. Hal tersebut
bertujuan untuk mengurangi angka mortalitas terhadap penyakit-penyakit
kardiovaskular. Untuk gagal jantung kongestif sendiri diperkirakan sekitar 2,3 juta
individu di Amerika Serikat dengan 400.000 kasus baru per tahun.2,3
Insidens dari gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh perbedaan etnik
dan ras yang juga merupakan faktor risiko gagal jantung kongestif. Namun, meskipun
telah dipaparkan bahwa keberadaan etnis tertentu seseorang dapat dijadikan sebagai
salah satu faktor risiko gagal jantung kongestif, efek langsung terhadap pengaruh
suatu etnis terhadap kejadian gagal jantung kongestif masih belum terbukti pada suatu
studi berbasis populasi. Sebagian besar data mengenai gagal jantung kongestif berasal
dari populasi kulit putih, dan oleh karena itu penting untuk menentukan insiden gagal
jantung kongestif di antara kelompok etnis lain dan memeriksa kecenderungan yang
sama pada kulit putih. Penelitian sebelumnya memperlihatkan mortalitas dan rawat
inap yang lebih tinggi pada turunan Afrika dengan gagal jantung kongestif dibanding

3
dengan kulit putih, namun belum dapat menjelaskan penyebabnya. Perbedaan yang
lebih signifikan didapatkan pada orang kulit hitam dan kulit putih yang sudah
menderita penyakit lain seperti hipertensi dan diabetes melitus.4,5
Sebuah tinjauan pustaka baru-baru ini menunjukkan prevalensi gagal jantung
yang lebih rendah di Jepang dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya di
Eropa. Meskipun begitu ada suatu laporan mengenai jumlah pasien rawat jalan di
Jepang dengan disfungsi ventrikel kiri sebesar 979.000 pada tahun 2005 yang mana
diproyeksikan akan meningkat mencapai 1,3 juta jiwa pada 2030.6
Di Indonesia sendiri belum ada angka pasti prevalensi penyakit gagal jantung.
Pada tahun 2004 di RS Jantung Harapan Kita setiap hari ada sekitar 400-500 pasien
berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. Pada tahun 2005 di Jawa
Tengah terdapat 520 penderita gagal jantung kongestif yang pada umunya adalah
lansia. Sebagian besar lansia yang didiagnosis dengan gagal jantung kongestif tidak
dapat hidup lebih dari 5 tahun. Berdasarkan data rekam medis RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo, jumlah pasien baru rawat inap dengan gagal jantung kongestif
mengalami peningkatan selama tiga tahun yaitu 238 pasien pada 2008, 248 pasien
pada tahun 2009, dan 295 pasien pada 2010. 7,8 Membandingkan dengan data dari riset
kesehatan dasar tahun 2013, jumlah penderita gagal jantung di Indonesia sekitar
229.696 orang dengan populasi terbanyak di Provinsi Jawa Timur sebesar 54.826
orang, sedangkan yang terendah di Maluku Utara sekitar 54.826 orang. Provinsi
Sulawesi Utara sendiri memilki prevalensi gagal jantung kronik sebesar 2.378 orang.9
Prevalensi gagal jantung kongestif yang tinggi serta morbiditas dan mortalitas
yang tinggi bila tidak ditangani dengan tepat, maka perlu pemahaman yang baik
tentang diagnosis dan tatalaksana gagal jantung kongestif sesuai panduan. Berikut ini
adalah laporan kasus pada pasien dengan gagal jantung kongestif.

BAB II

4
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki umur 76 tahun, tidak bekerja, tinggal di Tikala Ares datang
dengan keluhan utama sesak napas. Sesak napas dirasakan sejak 2 bulan SMRS,
hilang timbul bila beraktivitas dan dirasakan memberat dalam 1 minggu terakhir.
Pasien mengaku menjadi cepat lelah dan sesak bahkan saat berjalan ± 10 meter. Saat
tidur pada malam hari, pasien sering terbangun tiba-tiba akibat sesak. Pasien juga
tidur dengan 2 bantal yang disusun. Pasien juga mengeluhkan adanya demam yang
hilang timbul dan batuk berdahak berwarna putih. Mual muntah tidak dirasakan oleh
pasien. Pasien tidak ada keluhan gangguan buang air besar dan buang air kecil.
Riwayat penyakit dahulu, pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi selama ± 5
tahun. Riwayat pengobatan hipertensi, pasien mengkonsumsi Amlodipine 10 mg
namun tidak teratur. Riwayat penyakit keluarga, ibu pasien meninggal karena
serangan jantung pada usia ± 70 tahun. Riwayat merokok sejak usia ± 20 tahun, rata-
rata 1 bungkus per hari dan sudah berhenti sejak 5 tahun yang lalu.
Pada hasil pemeriksaan fisik saat masuk rumah sakit didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis. Pada pemeriksaan
tanda vital, tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 82x/m, regular, respirasi 26x/m, suhu
badan 37°C. Pasien memiliki berat badan 72 kg, tinggi badan 167 cm, IMT 25,8
kg/m2. Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan konjungtiva anemis, sklera tidak
tampak ikterik, pupil bulat isokor, refleks cahaya ada dan normal. Faring tidak
hiperemis. Pada leher tekanan vena jugularis 5+2 cmH2O, trakea letak tengah, dan
tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan dada dari inspeksi
statis didapatkan simetris kanan dan kiri, pemeriksaan paru dari inspeksi dinamis
didapatkan pergerakan kiri sama dengan kanan. Palpasi didapatkan stem fremitus kiri
sama dengan kanan. Perkusi terdengar sonor kiri sama dengan kanan. Suara
pernafasan vesikuler pada auskultasi, terdapat ronkhi basah halus di bagian basal
kedua lapang paru dan tidak terdapat wheezing. Pada pemeriksaan jantung, iktus
kordis tidak tampak dan tidak teraba. Batas jantung kiri pada ICS VI linea aksilaris
anterior sinistra, batas jantung kanan pada ICS V linea parasternal dextra. Pada

5
auskultasi, terdengar suara jantung pertama dan kedua normal dan regular, tidak
terdengar bising. Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi cembung, bising usus
terdengar dalam batas normal, teraba lemas, tidak ada nyeri tekan epigastrium, tidak
ada nyeri tekan suprapubik, tidak terdapat asites, hepar dan lien tidak teraba. Pada
ekstremitas akral hangat, tidak terdapat edema tungkai.
Hasil pemeriksaan lab saat masuk tanggal 30 Agustus 2018, leukosit 6.100
/uL; eritrosit 4,51x10^6/uL; hemoglobin 14,6g/dL; hematokrit 45,3%; trombosit
274x10^3/uL; MCH 32.4 pg; MCHC 32.2 g/dl; MCV 100,6 fL; ureum darah 25
mg/dL; kreatinin darah 0,8 mg/dL; klorida darah 109 mEq/L; kalium darah 3,3
mEq/L; natrium darah 139 mEq/dL, CK 50 U/L, CKMB 14 U/L. Pada pemeriksaan
foto thoraks didapatkan kalsifikasi aorta dan kardiomegali dengan cardiothoracic
ratio >50%. Dilakukan juga pemeriksaan EKG dengan kesan irama sinus, heart rate
75 x/m, normoaxis, LVH.

Berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka


pasien ini di diagnosis dengan CHF fc III ec HHD, hipertensi stage 1, hipokalemia.
Terapi awal yang diberikan pada pasien yaitu Spironolakton 1x25 mg, Candesartan
1x8 mg, Bisoprolol 1x2,5 mg, KSR 3x600 mg, N-asetilsistein 3x200 mg.
Pada perawatan hari ke 1, sesak napas (+), batuk (+), keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Pada pemeriksaan tanda vital,
tekanan darah 140/90mmHg, nadi 78x/menit, respirasi 24x/menit, suhu badan 36.7°C.
Pada pemeriksaan fisik terdapat ronkhi basah halus di bagian basal kedua lapang
paru. Pasien di diagnosis dengan CHF fc III ec HHD, hipertensi stage 1, hipokalemia.
Pengobatan dengan O2 3 L/m, Spironolakton 1x25 mg, Candesartan 1x8 mg,
Bisoprolol 1x2,5 mg, KSR 3x600 mg, N-asetilsistein 3x200 mg. Rencana
ekokardiografi besok.
Pada perawatan hari ke 2, sesak napas dan batuk berkurang, keadaan umum
pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 100/70
mm/Hg, nadi 75x/menit, respirasi 24x/menit, suhu badan 36.3°C. Pada pemeriksaan
fisik, ronkhi basah halus di bagian basal kedua lapang paru berkurang. Hasil

6
pemeriksaan lab, klorida darah 106 mEq/L, kalium darah 3.7 mEq/L dan natrium
darah 140 mEq/L. Hasil pemeriksaan ekokardiografi didapatkan fraksi ejeksi 20-35%,
disfungsi diastolik dan penurunan fungsi ventrikel kanan. Pasien didiagnosis dengan
CHF fc III ec HHD, hipertensi terkontrol. Pengobatan dengan Furosemide 1x120 mg,
Spironolakton 1x25 mg, Candesartan 1x8 mg, Bisoprolol 1x2,5 mg, KSR 3x600 mg,
N-asetilsistein 3x200 mg.
Pada perawatan hari ke 3, sesak napas dan batuk berkurang, keadaan umum
pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 100/70
mm/Hg, nadi 84x/menit, respirasi 22x/menit, suhu badan 36.7°C. Pada pemeriksaan
fisik, ronkhi basah halus di bagian basal kedua lapang paru berkurang. Pasien
didiagnosis dengan CHF fc III ec HHD, hipertensi terkontrol. Pengobatan dengan
Furosemide 1x120 mg, Spironolakton 1x25 mg, Candesartan 1x8 mg, Bisoprolol
1x2,5 mg, KSR 3x600 mg, N-asetilsistein 3x200 mg.
Pada perawatan hari ke 4, sesak minimal dan batuk (-), keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 110/80mm/Hg, nadi
68x/menit, respirasi 22x/menit, suhu badan 36.5°C. Pada pemeriksaan fisik, ronkhi
basah halus di bagian basal kedua lapang paru minimal. Pasien didiagnosis dengan
CHF fc III ec HHD, hipertensi terkontrol. Pengobatan dengan Furosemide 1x120 mg,
Spironolakton 1x25 mg, Candesartan 1x8 mg, Bisoprolol 1x2,5 mg, KSR 3x600 mg,
N-asetilsistein 3x200 mg. Rencana rawat jalan besok.
Pada perawatan hari ke 5, sesak (-), keadaan umum pasien tampak sakit
ringan, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 130/70mm/Hg, nadi 82x/menit,
respirasi 20x/menit, suhu badan 36.4°C. Pada pemeriksaan fisik, ronkhi -/-. Pasien
didiagnosis dengan CHF fc III ec HHD, hipertensi terkontrol. Pengobatan dengan
Furosemide 1x120 mg, Spironolakton 1x25 mg, Candesartan 1x8 mg, Bisoprolol
1x2,5 mg dan KSR 3x600 mg. Pasien direncanakan untuk rawat jalan. Pasien
diinstruksikan untuk kontrol di poliklinik jantung 3 hari kemudian, diet rendah garam
dan lemak, tidak merokok, menghindari aktivitas berat, kontrol rutin dan minum obat
teratur. Jika gejala muncul kembali segera kembali ke rumah sakit.

7
BAB III

PEMBAHASAN

8
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat
istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat.10

Sumber: Pedoman tatalaksana gagal jantung

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor


atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor kriteria framingham, ditambah dengan
pemeriksaan penunjang. Kriteria framingham terbagi menjadi kriteria mayor dan
kriteria minor. Yang termasuk kriteria mayor yakni: dispneu nokturnal paroksismal
atau orthopneu, peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah tidak nyaring,
kardiomegali, edema paru akut, irama gallop S3, peningkatan tekanan vena jugularis
dan refluks hepatojugular. Sedangkan yang termasuk kriteria minor yakni : edema
pergelangan kaki, batuk pada malam hari, dispneu d’effort, hepatomegali, efusi
pleura, kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum dan takikardi
(>120x/menit).

Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau


berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA (New York
Heart Association).10

9
Sumber: Pedoman tatalaksana gagal jantung

Akibat adanya gangguan struktural atau fungsional pada jantung menyebabkan


terjadinya ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan
tubuh secara adekuat. Hal tersebut membawa pasien datang dengan gejala-gejala
berupa sesak napas yang spesifik pada saat beristirahat atau saat beraktivitas, rasa
lemah, tidak bertenaga dan pembengkakan pergelangan kaki. Keluhan dan gejala bisa
berbeda pada setiap individu, ada sesak napas belum tentu ada edema perifer dan
sebagainya. Pada kasus ini, dari hasil anamnesis didapatkan adanya sesak napas,
sesak dipengaruhi oleh aktivitas dan membaik saat istirahat, pasien juga sering
terbangun pada malam hari karena sesak, selain itu pasien juga lebih nyaman jika
tidur menggunakan dua bantal yang disusun. Selain itu, pasien juga mengeluh sering
merasa cepat lelah dan sesak bahkan saat berjalan ± 10 meter.

10
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan gagal jantung dapat ditemukan nadi
lemah dan cepat, edema perifer, ronkhi basah di basal paru, efusi pleura (suara pekak
di basal paru saat perkusi), ascites, distensi vena leher, kardiomegali (apex jantung
bergeser ke lateral), suara jantung ketiga (gallop S3), peninggian tekanan vena
jugularis, refluks hepatojugular dan hepatomegali. Pada kasus terdapat ronkhi basah
di basal kedua lapang paru yang menandakan terjadinya kongesti paru dan batas
jantung kiri pada ICS VI linea aksilaris anterior sinistra, batas jantung kanan pada
ICS V linea parasternal dextra yang menandakan adanya pembesaran jantung.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, dapat disimpulkan


bahwa pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif, karena
sudah memenuhi kriteria Framingham dimana terdapat kriteria mayor yaitu dispneu
nokturnal paroksismal, orthopneu, kongesti paru dan kardiomegali serta kriteria
minor dispneu d’effort dan batuk. Berdasarkan kapasitas fungsional NYHA, pasien
ini termasuk dalam kelas III karena terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak
terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan
dan sesak napas.

Untuk pemeriksaan penunjang pada kasus gagal jantung dapat dilakukan


dilakukan pemeriksaan laboratorium, foto thoraks, EKG dan ekokardiografi.
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal
jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas EKG
memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG
normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<
10%). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien
dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi
ejeksi ventrikel kiri (normal > 45-50%). Pada kasus dilakukan pemeriksaan
laboratorium dan didapatkan hasil darah lengkap hipokalemia (3,3) dan enzim
jantung (CK, CK-MB) normal. Pada pemeriksaan foto thoraks didapatkan kalsifikasi

11
aorta dan kardiomegali dengan cardiothoracic ratio >50%. Dilakukan juga
pemeriksaan EKG dengan kesan irama sinus, heart rate 75 x/m, normoaxis, LVH.
Hasil pemeriksaan ekokardiografi didapatkan fraksi ejeksi 20-35%, disfungsi
diastolik dan penurunan fungsi ventrikel kanan.

Adapun faktor risiko dari gagal jantung kongestif, antara lain, usia, laki-laki >
perempuan penyakit arteri koroner, DM, dislipidemia, hipertensi, penyakit jantung
katup, aritmia, perokok, genetik. Pada pasien ini didapatkan adanya riwayat
hipertensi ± 5 tahun, perokok, serta ibu pasien juga meninggal karena serangan
jantung. Menurut epidemiologinya, laki-laki lebih sering terserang gagal jantung
dibandingkan dengan perempuan dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan
rata-rata usia 74 tahun.10

Rekomendasi terapi farmakologis untuk semua pasien gagal jantung


simtomatik adalah berupa pemberian obat golongan diuretik, ACE inhibitor
(angiotensin converting enzyme inhibitor)/ARB (angiotensin receptor blocker),
penyekat beta, antagonis aldosteron. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk
mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin,
yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
reistensi. Pemberian diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Terapi
dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. Tujuan utama ARB adalah
sebagai vasodilator untuk menurunkan tekanan darah. Penyekat beta juga
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Tujuan
utama penyekat beta adalah untuk menurunkan laju denyut jantung sehingga
kebutuhan oksigen miokard berkurang. Antagonis aldosteron dipakai untuk
memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia dan ada beberapa
studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian obat jenis ini. Pada
kasus, terapi yang diberikan kepada pasien adalah oksigenasi 3 liter per menit,

12
pemberian oksigen untuk pencegahan hipoksia serta mengurangi beban jantung pada
pasien yang mengalami sesak napas. Furosemide diberikan sebagai diuretik kuat.
Spironolakton diberikan pada pasien sebagai antagonis aldosteron. Pasien juga
diberikan terapi ARB berupa Candesartan dan penyekat beta berupa Bisoprolol.
Karena terjadi hipokalemia pada pasien, maka diberikan KSR. N-asetilsistein
diberikan untuk mengencerkan sekret saluran napas dengan cara memecah benang-
benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.11-13

BAB IV

KESIMPULAN

Gagal jantung kongestif adalah kelaianan pada jantung dengan gejala sesak napas,
kongesti paru, mudah merasa lelah dan pengaruh terhadap penurunan aktivitas

13
tergantung dari progresivitas gagal jantung yang dialami oleh pasien. Gagal jantung
dapat disebabkan oleh berbagai macam gangguan organik baik kardiak maupun non
kardiak. Sehingga penanganan yang holisitik sangat diperlukan untuk pasien-pasien
dengan gagal jantung beserta penyulit-penyulit lainnya.

Faktor risiko seperti hipertensi lama, penyakit ginjal kronik, diabetes tak
terkontrol dan kebiasaan buruk yang dapat mempengaruhi proses metabolism dapat
menginisiasi proses perjalanan penyakit dari CHF maupun jenis gagal jantung
lainnya.
Telah dilaporkan sebuah kasus, pasien laki-laki umur 76 tahun dengan diagnosis
CHF fc III ec HHD, hipertensi tidak terkontrol, hipokalemia. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Telah diberikan terapi baik
farmakologi dan nonfarmakologi dan pasien sudah rawat jalan dan kontrol di
poliklinik jantung.
Pengobatan bertujuan untuk memperpanjang hidup dan memperbaiki kualitas
hidup baik secara medikamentosa maupun non medikamentosa. Pencegahan terhadap
faktor risiko terjadinya gagal jantung lebih penting dilakukan dan sebaiknya dimulai
pada usia muda seperti menghindarkan kegemukan, menghindari stres, diet rendah
lemak, garam dan gula, aktivitas fisik yang tidak berlebihan dan tidak merokok.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rajadural J, Tse HF, Wang CH, Yang NI, Zhou J, Sim D. Understanding the
Epidemiology of Heart Failure to improve Management Practise: An Asia-
Pasific Perspective. Journl of cardiac failure. 2017; 423: p. 327-40.

14
2. Feero GW, Guttmacher AE. Genomics of Cardiovasculer Disease. New
England Journal of medicine. 2011; 365: p. 2098-109.
3. Seni M, Tribouilloy CM, Rodeheffer RJ, Jacobsen SJ, Evans JM, Bailey KR,
Redfield MM. Congestive heart failure in communtity. American Medical
Asssociation. 1999; 159: p. 29-34.
4. Bahrami H, Richard K, Bluembe DA, Olson J, Shea S, Liu Kiang, Burke GL,
Lima JAC. DIffrence in the incidence of congestive heart failure by ethnicity.
American Medical Asociation: 2008; p. 2138-145.
5. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran. 2005; 147: 6-9
6. Harnett JD, Folley RN, Kent GM, Barre PE, Murray D, Parvey PS.
Congestive heart failure in dialysis patients: Prevalence, incidence, prognosis
and risk factors. International society of nephrology. 1994; 47: p. 884-90.
7. Sari PR, Rampengan SH, Panda AL. Hubungan kelas NYHA dengan fraksi
ejeksi pada pasien gagal jantung kronik di BLU/RSUP Prof. dr. R D Kandou.
2013; journal e-Clinic: p. 36-41.
8. Rachma LN. Patomekanisme penyakit gagal jantung kongestif. El-Hayah (4).
2014; h.81-90.
9. Harikatang AD, Rampengan SH, Jim EL. Hubungan anatara jarak tempuh tes
jalan 6 menit dan fraksi ejeksi pada pasien gagal jantung kronik terhadap
kejadian kardiovaskuler. 2016; journal e-Clinic (1): p. 249-56.
10. McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task
Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration with
the Heart. Eur Heart J [Internet] 2013;32:e1–641
11. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Oleh Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia tahun 2015.
12. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL. Panduan Praktik
Klinis di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing; 2015.
13. Pangabean MM. Gagal Jantung dalam Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I;
Interna Publishing: 2014

15
Lampiran

Hasil pemeriksaan EKG

16
Hasil Pemeriksaan Foto Thorax

17
18

Anda mungkin juga menyukai