Anda di halaman 1dari 17

HUTANG PIUTANG DALAM AL-QURAN;

KAJIAN TAFSIR TEMATIK


".. dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, …"
(Titah Sang Maha Esa; 11:6)

Prolog

Adanya kecenderungan dalam melakukan interaksi sosial adalah salah bukti bahwa
manusia adalah makhluk lemah yang tidak akan sempurna dalam mempertahankan
kehidupan tanpa bantuan dan peranan orang lain dalam hidupnya. Tentunya hal
semacam ini berlaku dalam segala hal, termasuk dalam pemenuhan rezeki. Banyak
cara yang dilakukan Allah Swt. dalam menyampaikan rezeki pada hamba-Nya.
Diantaranya adalah melalui disyariatkannya praktik transaksi hutang piutang sebagai
salah satu aspek pemenuh hajat hidup via interaksi sosial. Sebuah transaksi yang sarat
akan keistimewaan dan keutamaan yang dijanjikan Allah bagi pelakunya (pemberi
hutang).

Praktik hutang piutang yang kita tahu, selain terdapat sisi positif melalui asas tolong
menolongnya, namun tak jarang juga menjadi titik mula perselisihan dan permusuhan
diantara manusia. Hal itu akan menjadi nyata mana kala dalam praktiknya, manusia
mengacuhkan beberapa prinsip fundamen yang menjadi rangka bangun dilegalkannya
praktik tolong menolong ini; yakni kejujuran. Seolah sudah menjadi tabiat manusia
jika bersinggungan dengan hal-hal yang bernuansa harta keduniawian mereka lupa
dan mudah terlena begitu saja hingga memunculkan sesal di kemudian hari.

Berkat ke Maha Tahu-an Allah akan hal ini, selain di legalkannya praktik hutang
piutang, Allah Swt. sekaligus membuat semacam seperangkat formulasi khusus yang
harus diperhatikan dan dijalankan oleh manusia guna menghindarkan mereka dari
perselisihan dan persengketaan yang timbul dikemudian hari. Lebih jauh, dengan
formulasi ini Allah Swt. ingin menghindarkan mereka dari mandeg-nya aktivitas
tolong-menolong diantara manusia akibat ketiadaan sifat amanah dan saling percaya
lagi antara satu dan yang lainnya.

Dengan sedikit abstraksi diatas, setidaknya dalam goresan makalah singkat ini penulis
ingin mengurai secara sederhana beberapa hal, berpegang dengan beberapa kitab
tafsir terkait pengertian hutang piutang berikut keutamaan yang dijanjikan oleh Allah
Swt. dalam surat al-Baqarah 245, yang kemudian dilanjutkan dengan sedikit
mengupas, beberapa ketentuan mendasar yang harus diperhatikan para pelaku
transaksi, yang diurai secara gamblang oleh Allah Swt. pada lanjutan ayat 282-283.

Beberapa ayat al-Quran yang membahas tentang hutang piutang:

 Al-Baqarah ayat 245

Allah Swt. berfirman:

1|Page
               

 

Artinya:

"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." (QS:Al-Baqarah
[02]:245).

 Al-Baqarah ayat 282:

Allah Swt. berfirman:

             

                

                  

               

             

                  

              

                 

            

Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia

2|Page
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika
tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu."(QS: AL-
Baqarah [02]:282).

 Al-Baqarah ayat 283:

Allah Swt. berfirman:

                

                 

 

Artinya:

"jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."(QS: Al-Baqarah [02]:283)

Tafsir Mufradat

 Al-Baqarah 245
3|Page
‫يمرض‬: Dalam bahasa arab kata tersebut merupakan bentuk derivasi dari kata ‫لزض‬
yang secara etimologi memiliki makna sama dengan kata ‫ لطع‬, yakni potongan.
Disebut demikian karena pada hakekatnya, orang yang memberikan hartanya untuk
dipinjamkan kepada orang lain, seolah-olah dia telah memberikan bagian dari harta
miliknya (memotong) yang untuk dikemudian hari akan dikembalikan lagi seperti
semula.1

‫لرضب حسنب‬: Pinjaman yang baik yaitu yang bersumber dari kepemilikan harta yang
diperoleh secara halal.2

‫فيُضبعفو‬: Menjadi banyak, berlipat ganda dan berulang-ulang. Sebagian ulama lain
seperti Ibnu Katsir membacanya dengan َُ‫ض ِعّف‬
َ ُ٘‫ ف‬dengan mentasydid (‫ )ع‬dan merafa'kan
huruf (‫)ف‬, sedangkan Ibnu Ya'qub dan Ibnu Amir membacanya dengan menatasydid
(‫ )ع‬dan menasabkan huruf (‫)ف‬.3

‫ًهللا يمجض ًيجسط‬: Adakalanya Allah Swt. menyempitkan rezeki seseorang (lewat
pensyariatkan hutang) dan adakalanya Allah juga melapangkan rezeki seseorang (bagi
mereka yang telah memberikan kemudahan bagi saudaranya yang membutuhkan
melalui hutang).4

‫ًاليو ترجعٌى‬: Allah Swt. tempat manusia kembali. Hal tersebut adalah merupakan
bagian dari prinsip janji dan ancaman (‫ )الْعذ ّالْع٘ذ‬dari Allah Swt.5

 Al-Baqarah 282

ٍْ‫فاكتب‬: tulislkanlah atau dokumentasikanlah transaksi non tunai kalian

‫ًليولل‬: mendikte atau mengikrarkan transaksinya bagi penghutang kepada notaris

‫اليجخس هنو‬: larangan untuk bertindak curang dengan mendiktekan nominal kurang dari
hutang yang sebenarnya.

‫ًال يأة‬: jangan menghindar

‫ال تسئوٌا‬: diktekanlah dan jangan bersikap enggan.

‫السط‬: lebih adil

‫الٌم للشيبدح‬: lebih mantap dan lebih terpercaya

‫ادنى‬: lebih mendekati

‫فسٌق‬: keluar dari ketaatan menuju kemaksiatan

1
.Wizarah Auqaf wa al-Syu'un al-Islami, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyyah, el-Manarah el-
Azhariyyah, Kairo, tc, tt, jld.33, hlm.111.
2
. Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi, Tafsîr as-Sya‘râwî, AKhbar el-Youm, Kairo, tc, tt, jld.2, hlm 1041.
3
. Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur‘an al-Hakîm al-Masyhûr bi Tafsîr al-Manâr,
Dar el-Kotob Ilimyah, Beirut, cet.2, 2005, jld.2, hlm. 377.
4
. Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi, Op.Cit, 1041.
5
. Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi , Op.Cit, 1041.

4|Page
 Al-Baqarah 283

‫ًلن تجذ كبتت‬: jika tidak ditemukan seorang notaris, sebagian ulama membacanya
dengan ‫ ًلن تجذ كتبثب‬Ibnu Abbas yang artinya bilamana dalam kondisi tertentu tidak
didapati alat tulis untuk mendokumentasikan transaksi.

‫رىبى همجٌضخ‬: bentuk plural dari ‫ رُي‬yang bermakna gadai atau sesuatu yang
digadaikan untuk jaminan hutang.

‫فإى ثعضكن ثعضبهنأ‬: manakala terjalin rasa saling percaya sepenuhnya diantara kedua
belah pihak.

‫ًليتك هللا رثو‬: takutlah kepada Allah Swt. dengan tidak menyembunyikan kebenaran
dalam persaksianmu.

Asbabun Nuzul

 Al-Baqarah ayat 24567

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah
menceritakan kepada kami Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Bassam, telah menceritakan
kepada kami Abu Isma'il al-Muaddib, dari Isa Ibnu al-Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu
Umar mengatakan bahwasannnya tatkala Allah Swt. menurunkan surat Al-Baqarah
ayat 261 yang berbunyi:

                 

        

"perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang


menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha mengetahui."(QS:Al-Baqarah [02]:261).

Rasulullah Saw. Berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah untuk ummatku." Lalu


turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya:

.........       

 Al-Baqarah 282

6
. Al-Imam Abu Fida Ismail Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsîr Ibnu Katsîr, terjemahan Bahrun Abu
Bakar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, cet I, 2000, Jil 2, hal 649-650.
7
DR. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islâm wa Adillatuhu, Dar el-Fikr, Dimasyq, cet.2, 1985, jld.4,
hlm. 40.

5|Page
Dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai aktivitas kebiasaan
masyarakat kota Madinah yang terbiasa saling menghutangkan buah-buahan untuk
masa satu hingga dua tahun.Maka Rasulullah Saw. Bersabda, ‫(هي اسلف فل٘سلف فٖ ك٘ل‬
)‫ هعلْم الٔ اجل هعلْم‬barang siapa yang berutang maka hendaklah ia berhutang dalam
takaran yang diketahui dan dalam tempo yang diketahui. Tak selang berapa lama,
turunlah ayat ini.8

 Al-Baqarah 283

Penulis tidak menemukan asbab nuzul ayat ini.

Korelasi Dengan Ayat Sebelumnya

 Al-Baqarah 245

Guna berupaya mempertahankan eksistensinya sebagai agama baru ditengah-tengah


masyarakat Arab ketika itu, Islam dan kaum muslimin pada masa permulaan, tidak
henti-hentinya menerima hujatan dan serangan dari mereka yang membenci akan
keberadaan risalah suci ini.

Hal itulah kemudian yang melatar belakangi pensyariatan jihad atau perintah
mengangkat senjata terhadap kaum musyrik yang melakukan penganiayaan kepada
kaum muslim sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan kelompok kaum musyrik
yang tidak menginginkan Islam tumbuh dan berkembang di jazirah Arab kala itu.
Meskipun sebelumnya, dalam menghadapi perlakuan aniaya tersebut kaum muslimin
hanya dihimbau oleh Allah Swt. untuk bersifat pasif dan bersabar.

Adalah hal yang jamak diketahui bahwasannya dalam konteks perang, dibutuhkan dua
elemen yang sangat penting, pertama adalah pasukan dan yang kedua adalah pasokan,
baik itu berupa pasokan persenjataan maupun pasokan logistik.

Dari situ bisa diketahui bahwa perintah jihad sendiri bagi mujahid muslim saat itu
adalah merupakan beban yang sangat berat, karena selain mereka dituntut untuk
mengorbankan diri sendiri mereka juga membutuhkan perlengkapan kebutuhan
perang seperti kendaraan dan persenjataan.9

Jika yang dibutuhkan hanya nyawa, pastilah kaum muslimin dengan modal keimanan
sudah cukup membuatnya untuk turut andil dalam peperangan, tapi tidak demikian
dengan pengorbanan harta, karena tidak semua dari kalangan kaum muslimin saat itu
berasal dari kalangan berada.

Atas dasar inilah kemudian Allah Swt. menyandingkan ayat yang bermuatan perintah
memerangi kaum kafir pada surat al-Baqarah ayat 244:

8.
. Al-Imam Abu Fida Ismail Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsîr Ibnu Katsîr, terjemahan Bahrun Abu
Bakar, Op.Cit, hlm. 185.
9
Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi, Op.Cit, hlm. 1039.

6|Page
         
"dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui."(QS: Al-Baqarah
[02]:244)

dengan ayat anjuran untuk menginfakkan harta benda yang dimiliki kaum muslimin
dijalan Allah.10 sebagai penyeimbang dua elemen penting dalam peperangan
sebagaimana yang telah disebutkan.

 Al-Baqarah 282

Beberapa ayat sebelumnya Allah Swt. menjelaskan hukum bertransaksi dengan


memungut riba disertai dengan larangan dan ancaman bagi pelakunya. Maka dalam
ayat ini, Allah Swt. ingin mengajarkan beberapa ketentuan berkenaan dengan
transaksi hutang piutang yang berlaku pada transaksi jual beli non tunai dalam tempo
yang disepakati, yang terhidar dari praktik keburukan dan mampu memelihara
masing-masing harta pelakunya.11

 Al-Baqarah 283

Jika di dalam surat al-Baqarah ayat 282 menerangkan petunjuk Allah Swt. agar
berhati-hati manakala melakukan transaksi jual beli yang menggunakan sistem
pembayaran non tunai untuk menghadirkan notaris dan saksi, hal itu tampak mudah
diwujudkan dan dilakukan manakala terjadi dalam kondisi bermukim, atau di daerah
kawasan sendiri. Adapaun jika kita ingin melakukan transaski semacam itu dalam
kondisi yang lain sebagai misal dalam perjalanan. Pada kandungan ayat inilah Allah
Swt. memeberikan petunjuk kempada hambanya bagaimana harus berbuat.12

Kandungan Makna Universal

 Al-Baqarah 24513

Adalah suatu keniscayaan bilamana dalam sebuah aksi jihad sangat membutuhkan
dana yang besar. Dari situ, dengan turunnya ayat ini, Allah Swt. Allah menghimbau
kepada kaum muslimin untuk tidak hanya berjihad badaniyah atau mempertaruhkan
nyawa saja demi menegakkan kalimat Allah. Namun juga dihimbau untuk
menafkahkan sebagian harta yang dimiliki sebagai penopang dana selama
berlangsungnya aktivitas jihad.

Sebagai balasannya, pada ayat ini Allah Swt. menjanjikan kepada mereka yang rela
menginfakkan sebagian harta yang diperolehnya secara halal demi kemaslahatan

10
. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Op.Cit, hlm.372.
11
Syaikh Muhammad Ali al-Sayis, Tafsîr Âyâti al-ahkâm, Maktabh al-Shafa,Kairo, cet.1, 2001, jld.1,
hlm. 164.
12
. ibid, hlm.169.
13
. DR. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Wajîz, Dar el-Fikr, Dimasyq, tc, tt, hlm.40.

7|Page
bersama ini, dengan perlipat gandaan atas rezeki yang akan diterima di dunia. Tidak
hanya itu, Allah Swt. juga menjanjikan pahala yang besar kepada mereka kelak di
akhirat.

Dia-lah Zat yang maha berkehendak untuk menyempitkan dan melapangkan rezeki
hamba-hamba yang dikehendakinya. Dan kepada-Nya juga tempat kembali kelak di
hari kiamat.

 Al-Baqarah 28214

Wahai orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya; Muhammad
Saw.! apabila kakalian bermuamalah (berjual beli, hutang piutang, atau sewa
menyewa, dan sebagainya) tidak secara tunai dalam waktu tertentu, hendaklah kamu
menuliskannya untuk memelihara harta dan menghindari perselisihan. Hendaklah
seorang yang dapat dipercaya menuliskannya. Janganlah orang yang diajari Allah
dalam persoalan ini enggan untuk menuliskannya. Hendaklah orang yang berhutang
itu mendiktekan hutangnya. Hendaklah ia takut kepada Tuhannya dan jangan
mengurangi sedikit pun dari hutangnya. Apabila orang yang berhutang itu masih
dibawah perwalian karena suka melakukan pemborosan dan penghamburan, masih
kecil gila, dia tidak mampu berbicara karena bisu atau tidak mampu berbicara dengan
baik dan sempurna, kewajiban mendiktekan hutang berpindah kepada orang yang
ditugasi menjadi wakilnya. Mintalah saksi dua orang laki-laki muslim yang balig dan
berakal dari kalangan orang-orang adil (bersih dan terpercaya). Jika tidak ada dua
orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya.
Hendaklah saksi-saksi itu datang apabila mereka dipanggil untuk bersaksi. Dan
mereka harus memberikan persaksian ketika diminta. Janganlah kamu jemu untuk
menulis hutang, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu pembayarannya. Yang
demikian itu lebih adil dalam pandangan syariat, dan petunjuk Allah lebih membantu
dalam persaksian, dan lebih kuat menepis keraguan dalam jenis, kadar, dan tempo
pelunasan. Namun dalam transaksi tunai tidak diwajibkan penulisan. Sekalipun
demikian, dianjurkan ada saksi untuk menghindari perselisihan dan perpecahan.
Diwajibkan atas saksi dan penulis untuk melaksanakan persaksian dan penulisan
dengan cara yang benar dan sesuai perintah Allah. jangan sampai para saksi dan para
penulis mencelakakan orang yang berhutang dan yang member hutang. Jika kamu
melakukan apa yang dilarang. Sesungguhnya itu adalah tindakan yang menyimpang
dari perintah Allah dan kamu pantas mendapatkan akibatnya. Takutlah kepada Allah
dengan melaksanakan semua yang diperintahkan kepadamu dan menjauhi segala
larangannya. Allah mengajarimu semua yang baik bagi dunia dan akhiratmu. Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. Tidak ada satu pun dari urusanmu yang
tersembunyi bagi Allah. Dia akan membalas semua perbuatanmu.

 Al-Baqarah 28315
14
. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Tafshîl âyât al-Qur‘an al-Hakîm, 2012, Tafsir Tematis Ayat-Ayat Al-
Quran Al-Hakim, Terjemahan KH. Ahmad Sunarto, Halim Jaya, Surabaya, cet.1, jld.3, hlm. ?

8|Page
Wahai pelaku transaksi piutang, jika kalian dalam perjalanan atau halangan
sejenisnya, dan kalian tidak menemukan pencatat akad piutang, maka hendaknya
orang yang berhutang memberikan barang jaminan kepada pemberi hutang. Serah
terima jaminan merupakan syarat sahnya gadai menurut jumhur ulama, selain
madzhab Maliki yang mencukupkan ijab Kabul sebagai syaratsah gadai. Jika kalian
telah saling percaya dan pemberi hutang tidak mengambil jaminan hutang, penerima
hutang yang telah dipercayai tersebut mesti melunasi utangnya, tidak mengkhianati
amanat, dan tidak berpaling dari kebenaran sedikit pun. Wahai para saksi, janganlah
menyembunyikan kesaksian jika kalian diminta untuk bersaksi. Sebab, siapa saja yang
menyembunyikan persaksian berarti hatinya kotor dan pelaku maksiat. Karena itu,
Allah akan menghukumnya sebab telah mengabaikan hak pemberi hutang. Allah
maha mengetahui apa pun yang kalian kerjakan.

Selayang Pandang Tentang Transaksi Hutang

Pada literatur-literatur fikih, istilah yang digunakan dalam pembahasan mengenai


transaksi hutang menggunakan istilah (‫ (عمذ المزض‬yang secara etimologi memiliki arti
memotong seperti yang sudah disinggung diatas. Sedang pengertiann secara istilah
kata (‫ )لزض‬adalah sebuah transaksi khusus yang berupa pemberian harta yang
dimiliki kepada orang yang ingin memanfatkannya, dan harus dikembalikan lagi
nantinya.16 Namun dalam bahasa arab, kata hutang piutang tidak hanya dikenmal
dengan istilah (‫ )لزض‬tapi juga disebut dengan kata ) ُ‫(دَٗي‬17, seperti yang disebutkan
dalam surat al-Baqarah ayat 282.

Meski demikian, tidak ada perbedaan mencolok mengenai perbedaan dari kedua kata
tersebut sebagai ejawantah dari kata hutang dalam bahasa Indonesia. Hanya saja
dalam ilmu gramatikal arab, perbedaan kedua kata tersebut hanya terletak pada
keumuman (‘amm) dan kekhususan (khash). Singkatnya, ) ُ‫ (دَٗي‬identik dengan
tanggungan yang ada pada seseorang, baik tanggungan itu diperoleh melalu prosesi
hutang ataupun yang lain. Adapun (‫ )لزض‬merupakan salah satu bagian daripada
aktivitas transaksi yang menjadikan seseorang (penghutang) memiliki tanggungan
yang mana tanggungan tersebut nantinya dikenal sebagai ) ُ‫(دَٗي‬.18

Pada klasifikasinya, transaksi hutang piutang ini masuk kedalam kategori akad
tabarru‘19 yang dalam pelaksanaannya adalah murni berlandaskan prinsip tolong
menolong. Berbeda dengan akad tijârah20 yang menggunkan prinsip profit. Inilah

15
. Ibid, hlm.?.
16
. Wizarah Auqaf wa al-Syu'un al-Islami, Op.Cit, hlm.111.
17
Kata ُ‫ دَٗي‬sendiri dalam kitab tafsir Ahkâm al-Qur‘an-nya, Ibnu al-Arabi diartikan sebagai ungkapan
dari segala bentuk transaksi yang mana dalam pertukaran harta atau benda pada salah satu pelaku
transaksi tersebut diserahkan secara tidak tunai. Baca: Ibnu al-Arabi, Ahkâm al-Qur‘an, Dar el-Kotoub
Ilmiyyah, Beirut, tc,tt, hlm. 327.
18
.http://www.ahlalhdeeth.com/vb/forum/‫ّالذٗي‬-‫المزض‬-‫ب٘ي‬-‫الفزق‬-993411/‫العام‬-ٖ‫الشزع‬-ٓ‫الوٌتذ‬, diakses pada
tanggal 13 Oktober 2014, pukul 20:00 WIB.
19
Akad tabarru‘ adalah akad yang yang berasaskan tolong menolong, seperti: Qardh, Hiwalah, Waqaf,
Rahn, dsb.
20
Akad tijârah adalah akad yang berorientasi pada profit, seperti: Jual beli, Sewa menyewa, dsb.

9|Page
salah satu faktor yang kemudian melatar belakangi dilarangnya pemberian syarat
maupun penerimaan keuntungan dalam transaksi ini.

Terdapat perbedaan mengenai dasar acuan legalitas praktik transaksi hutang piutang
ini, hal itu penulis dapatkan dari pengamatan penulis ketika mencarinya dalam
beberapa literatur kitab fikih yang membahas akad ini. Sebutlah seperti dalam
ensiklopedi fikih Kuwait,21 menggunakan surat al-Baqarah ayat 245 sebagai hujjah
pentasyri‘annya, sedangkan dalam kitab yang lain disebutkan surat al-Baqarah ayat
282, bahkan di kitab Fiqhu Al-Islam Wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah Zuhaili
memakai hadits Rasulullah Saw. sebagai dalil legalitas transaksi ini.22

Terlepas dari perbedaan mengenai dasar landasan nash syar‘i yang digunakan,
setidaknya, kesemuanya itu cukup untuk untuk memahamkan kita bahwa praktik
transaksi ini dibolehkan dalam agama Islam. Bahkan, merupakan sebuah akad yang
sangat dianjurkan terlebih janji Allah akan kemulian dan balasan yang besar bagi
mereka yang melakukannya (pemberi hutang).

Keistimewaan bagi mereka yang dengan suka rela memberikan bantuan hutang
kepada orang lain yang membutuhkan bisa di simak dalam beberapa hadis Rasulullah
Saw. berikut ini:

‫ "ها هي هسلن ٗمزض هسلوا لزضا هزت٘ي إال كاى كصذلتِا‬:‫ أى الٌبٖ صلٔ هللا علَ٘ ّسلن لال‬:‫عي ابي هسعْد‬
23
"‫هزة‬

Artinya: Dari Ibnu Mas‘ud r.a.: Bahwasannnya Rasulullah Saw. berkata, "Tidaklah
diantara kaum muslimin yang menghutangi saudaranya sebanyak dua kali, kecuali ia
mendapatkan pahala shadaqah sekali."

‫ "رأٗﺖ ل٘لت أسزٕ بٖ علٔ باﺏ‬:‫ لال رسْل اللَ صلٔ اللَ علَ٘ ّسلن‬:‫عي أًﺲ بي هالﻚ رضٖ اللَ عٌَ لال‬
,‫ ها بال المزض افضل هي الصذلت‬:‫ فملﺖ لﺠبزٗل‬,‫ ّالمزض بﺜواً٘ت عشز‬,‫ الصذلت بعشز أهﺜالِا‬:‫الﺠٌت هﻜتْبا‬
24
"‫ ألى السائل ٗسؤل ّعٌذٍ ّالوستمزض ال ٗستمزض إال هي حاجت‬:‫لال‬

Artinya: Dari Anas bin Malik r.a berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam.
bersabda, “Aku melihat pada malam aku diisro'kan, di atas pintu surga tertulis Satu
sedekah dilipatkan 10 kalinya, dan meminjami hutang dilipatkan 18 kalinya". Lantas
akupun bertanya kepada Jibril, "Wahai Jibril, apa yang membuat menghutangi lebih
utama daripada bersedekah" Jibril a.s. menjawab, "Karena peminta-minta, ia
meminta sedekah disaat ia memiliki sesuatu, sedangkan orang yang berhutang, ia
tidak akan berhutang kecuali ia dalam kondisi membutuhkan."

Sungguh luar biasa balasan bagi mereka yang dengan suka rela menghutangi
saudaranya. Lebih dari itu Allah Swt. dalam firman-Nya pada surat al-Baqarah ayat

21
. Wizarah Auqaf wa al-Syu'un al-Islami, Op.Cit, hlm.111.
22
. DR. Wahbah Zuhaili, Op.Cit, hlm.720.
23
.Wizarah Auqaf wa al-Syu'un al-Islami, Op.Cit, hlm. 112.
24
. Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari AlQurthubi, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur‘an, tp, tk,
tt, tc, jld.2, hlm. 240.

10 | P a g e
245 menjanjikan kepada para pemberi hutang dengan pembayaran yang berlipat
ganda dan terus menerus tanpa batas (‫) فُ٘ضاعفَ لَ اضعافا كﺜ٘زة‬.

Memberikan hutang kepada mereka yang membutuhkan bukanlah perkara yang


mudah, malah lebih berat dibandingkan dengan bersedekah. Sekilas kalimat ini
terkesan janggal. Mari kita perhatikan bagaimana mungkin "menghutangi" yang
notabenenya uang yang akan diberikannya kepada orang lain dan akan dikembalikan
lagi ketika jatuh tempo itu lebih berat dan penuh keistimewaan dibandingkan dengan
sedekah yang tidak mendapatkan pengembalian harta secara nalar matematis manusia.

Karena Allah lebih tau dengan apa-apa yang ada dihati manusia ketika melakukan
suatu interaksi sosial. Setidaknya hal ini yang bisa penulis tangkap ketika mencoba
memahami uraian panjang mengenai hikmah member hutang dari kitab tafsir karya
syaikh Al-Sya'rawi.25

Setidaknya, dalam memberikan sedekah, seringkali kita sedang dalam kondisi


berkelapangan ditinjau baik dari sisi psikologis maupun harta, selain itu kita juga
bebas memberikannya kepada siapapun secara acak kepada mereka yang kita
inginkan tanpa ada rasa keterpaksaan, lebih jauh kita juga tidak direpotkan dengan
pengharapan lebih atas pengembalian uang tersebut di dunia ini kecuali menyerahkan
balasan sepenuhnya kepada Allah Swt.

Berbeda dengan memberi hutang. Seringkali mereka (penghutang) datang disaat yang
tiba-tiba. Bahkan terkadang mereka yang datang adalah orang yang memang kita
kenal tapi terasa berat untuk mempercayainya. Belum lagi beban pikiran yang harus
kita rasakan selama periode tenggang waktu peminjaman hingga penangguhan ulang
bilamana nantinya tidak bisa dikembalikan sesuai tempo kesepakatan.

Titik terberat inilah yang kemudian oleh al-Sya‘rawi dalam tafsirnya coba
menyingkap rahasia kenapa Allah Swt. menggunakan kalimat "memberikan
pinjaman kepada Allah", bukan "memberikan pinjaman kepada manusia" secara
langsung. Hingga terkesan seolah Allah sendiri yang ingin langsung turun tangan
untuk mengingatkan dan menghimbau kepada hamba-hambanya yang berkecukupan
untuk berkenan menolong mereka yang membutuhkan.

Singkatnya, selain karena ke Maha Tahu-an Allah Swt. akan tabiat manusia. Juga
dengan alasan, ketika dalam kondisi terpepet manusia akan memohon rezeki kepada
Allah, dan saat si pemberi hutang menyerahkan hartanya kepada si penghutang,
disinilah cara Allah menurunkan rezeki kepada orang yang berdoa tadi, sehingga
tercipta seolah Allah yang berhutang kepada si pemberi hutang tadi untuk
memberikan jatah rezeki yang akan deberikan kepada orang yang berdoa dan
penghutang tersebut.26

25
. Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi, Op.Cit, 1040.
26
. Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi , Op.Cit, 1040

11 | P a g e
Terakhir, rahasia Allah Swt. menggunakan lafadz "memberikan pinjaman" untuk
menghimpun nafkah peperangan kepada para kaum muslimin, untuk melawan tindak
kelaliman pada surat al-Baqarah ayat 245 adalah semacam jaminan, bahwa uang atau
harta milik mereka yang mereka keluarkan untuk nafkah perang tidak akan menjadi
sia-sia. Karena kesemuanya itu Allah yang meminjamnya, dan akan Allah bayar
dengan ganti yang luar biasa berlipat, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Wallahu
a‘lam bi al-shawab.

Ketentuan Transaksi Hutang Dalam Al-Qur'an

Setelah pada ayat 245 Allah Swt. menjelaskan keistimewaan dan faedah memberikan
hutang, maka berikutnya pada surat al-Baqarah ayat 282 Allah ingin menjelaskan
kepada manusia etika atau tata cara melakukan praktik transaksi ini. Hal itu tak lain
sebagai upaya Allah untuk menjadikan hambanya yang sedang bertransaksi ini
terhindar dari segala bentuk perselisihan yang timbul dikemudian hari.

Diksi yang digunakan oleh Swt. disini tidak lagi menggunakan kata (‫ )لزض‬seperti
ayat pertama, tapi menggunakan ) ُ‫(دَٗي‬. Ini artinya, pemberlakuan etika dan tata cara
yang diuraikan oleh Allah Swt. dalam ayat ini tidak hanya terbatas pada transaksi
hutang. Lebih jauh dari itu, berlaku pada segala macam transaksi yang
berkonsekwensi timbulnya tanggungan yang ada pada pihak yang saling bertransaksi.
Ini sekaligus sebagai penegasan bahwa kata ) ُ‫ (دَٗي‬lebih umum dari pada kata (‫)لزض‬.

Dalam ayat tersebut, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh para
pelaku transaksi ini ketika akan melakukannya, sebagai berikut:

 Penentuan tempo

Dalam kasus-kasus besar mungkin hal semacam ini bukan menjadi masalah, terlebih
jika praktik transaksi ini terjadi pada lingkup professional seperti yang terjadi pada
lembaga-lembaga, atau institusi misalnya. Namun dalam tataran masyarakat biasa,
acapkali justru poin penting ini terlampau diabaikan. Tanpa bermaksud menjustifikasi
ketidak tahuan mereka atas pentingnya poin ini. Mereka sangat tahu. Namun sering
kali rasa segan di hati mereka lah yang kerap menjadi halangan untuk saling
bersepakat dalam penentuan tempo pengembalian hutang.

Dari sudut si pemberi hutang, dia berkeyakinan akan dikembalikannya hutang


tersebut ketika orang yang berhutang sudah memiliki atau sudah sanggup
membayarnya. Begitupula orang yang berhutang, dia menganggap bahwa tenggat
waktu yang diberikan kepadanya adalah tak terbatas, alias semampunya. Berawal dari
keyakinan yang absurd ini lah yang kerapkali menumbuhkan bibit-bibit perselisihan
diantara manusia. Oleh karena itulah Allah Swt. dalam ayat ini menjelaskan akan

12 | P a g e
pentingnya menentukan tempo kesepakatan supaya manusia terhindar dari
perselisihan dan permusuhan.27

 Mendokumentasikan transaksi,

Perintah tersebut tertera pada kata )‫ )فبكتجٌاه‬yang bermakna catatkanlah, secara ilmu
gramatikal arab, perintah Allah Swt. dalam ayat tersebut bersifat wajib. Karena
menggunakan redaksi amar atau perintah. Dan akan tetap berada dalam bentuk
hukum wajibnya selama tidak didapati dalil lain yang bisa membelokkannya dari
makna wajib kepada hukum lain, seperti mubah, sunnah, dll. Atau terjadi pe-nasakh-
an atas keberlakuan ketentuan hukum tersebut.

Disinilah kemudian ulama berbeda pendapat menanggapi hukum dari pencatatan atau
pendokumentasian transaksi non tunai. Ringkasnya, Jumhur ulama, seperti: Imam
Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan
bahwa pendokumentasian dalam transaksi ini hukumnya sunah. Sedangkan sebagian
ulam ayang lain seperti: Ibnu Juraij, al-Sya‘bi, al-Nakha‘I, Abu Dawud Al-Dhahiri
hingga al-Thabari berpendapat wajibnya mencatat ( ُ‫ )دَٗي‬baik itu yang diperoleh
melalui proses hutang piutang maupun jual beli non tunai.28

Adapun al-Sya‘bi mengatakan bahwa ayat atau dalil yang menunjukkan wajibnya
pencatatan telah di nasakh oleh penjelasan pada ayat setelahnya.29 Namun pendapat
atas pe-nasakh-an ini dibantah oleh Ibnu Abbas bahwa tidak ada penasakhan pada
ayat ini, bahkan beliau bersumpah untuk menegaskan bahwa ayat ini masuk dalam
kategori ayat muhkamat.30

Jika kita amati bersama. Tujuan dari pada Allah Swt. dengan perintah
pendokumentasian sgala macam transaksi non tunai ini tidak lain adalah sebagai al-
tautsîq lil huqûq atau sejenis dokumen bukti transaksi. Yang mana hal ini dibutuhkan
oleh kedua belah pihak untuk menghindarkan mereka dari praktik penyimpangan
maupun persengketaan yang berujung pada permusuhan.

Terlebih jika kita amati bersama bahwa dewasa ini berapa banyak kasus percekcokan
disekitar kita yang kesemuanya itu bermula dari ketidak jujuran seseorang yang
semakin hari semakin langka. Dari titik ini penulis berpendapat bahwa hukum dari
pendokumentasian transaksi non tunai ini hukumnya wajib. Ditinjau dari segi
maqâshid al-syarî‘ah. Setidaknya dua poin penting yang bisa kita ambil manakala

27
. Dalam menjelaskan pentingnya penentuan tempo ini Imam Qurtubi mengajukan hadis nabi yang
berbunyi "barang siapa yang melakukan akad salaf pada kurma, hendaknya bersalaf dengan takaran
yang pasti dan pembayaran dengan tempo yang pasti" .
Baca: Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari AlQurthubi, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur‘an, tp,
tk, tt, tc, jld.2, hlm. 378.
28
. Ismail al-Hasani, ,Nadzariyat al-Maqâshidi ‘inda al-Imâm Muhammad al-Tâhir bin ‘Âsyûr, The
International Institute of Islamic Thought, Virginia, 2005, cet.2, hlm. 220.
29
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari AlQurthubi, Op.Cit, hlm. 383.
30
Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Razi, Ahkâm al-Qur‘an li al-Jashâsh, Maktabah Shameela Online,
Jld.2, hlm.205. http://shamela.ws/browse.php/book-23579#page-603, diakses pada tanggal 15 Oktober
2014, pukul 01:45 PM.

13 | P a g e
pendokumentasian ini diwajibkan adalah seperti yang dikatan oleh Ibnu Asyur dalam
tafsirnya pertama menghindarkan pelaku dari kecerobohan yang akan disesalinya
suatu saat nanti, kedua memutus penyebab persengketaan yang mengakibatkan
perselisihan.31

 Pihak pencatat atau notaris

Setelah Allah Swt. memerintahkan kepada para pelaku transaksi untuk mencatatkan
atau mendokumentasikan transaksinya, maka timbul pertanyaan, siapakah yang
berhak untuk mendokumentasikan hal itu. Allah Swt menjawab, (  

) jawabannya bukan pihak penghutang begitu juga pihak pemberi hutang,
namun Allah menjelaskan adanya pihak lain yang netral diantara mereka berdua
untuk mendokumentasikan transaksi tersebut.32 Dalam masa sekarang pihak tersebut
bisa jadi yang dikenal sebagai notaris. Namun bukan berarti kemudian jika kita
berhutang diwajibkan untuk mencari notaris, tidak. Disini penulis hanya
mencontohkan bahwa kegiatan pendokumentasian ini lumrah dilakukan oleh seorang
notaris. Adapun yang berhak atau boleh mencatatkan hutang ini adalah siapapun
mereka yang memiliki kecakapan dalam tulis menulis agar berkenan dan tidak
menolak ketika diminta untuk mendokumentasikan transaksi tersebut dengan baik dan
benar (‫)ّال ٗآﺏ كاتب اى ٗﻜتب كوا علوَ هللا‬.
Adapun yang nantinya akan ditulis oleh seorang notaris adalah apa-apa yang
didiktekan oleh penghutang. Sebagaimana firman Allah ّ)‫)فل٘ﻜتب ل٘ولل الذٓ علَ٘ الحك‬.
Mengapa pihak penghutang? Bukan pihak yang menghutangi yang dalam hal ini
dipertaruhkan hartanya?

Al-Sya‘rawi mencoba mendedahkan hal ini dalam tafsirnya, bahwa dalam kondisi ini,
pihak yang lemah adalah si penghutang. Oleh karena dia lah yang membutuhkan
uluran tangan. Sedang si pemberi hutang, dia adalah pihak kuat yang secara naluri
kemanusiaan bisa bertindak sewenang-wenang terhadap yang lemah. Seperti menulis
besaran hutang tidak sebagaimana mestinya atau mempercepat pelunasan hutang tidak
sesuai kesepakatan andaikata kewenangan tersebut diberikan kepadanya.33 Akan
tetapi Allah juga berlaku adil terhadap pihak pemberi hutang, dengan memberikan
ancaman kepada pihak penghutang untuk tidak sewenang-wenang memanfaatkan
kelemahannya untuk mengelabui penolongnya dengan kalimat ( ٌَ‫ّال٘تك هللا ربَ ّال ٗبخﺲ ه‬
‫)ش٘آ‬.

 Dua orang saksi laki atau satu laki-laki dan dua orang perempuan

Untuk menjauhkan persengketaan yang berujung permusuhan kedua belah pihak


dalam transaksi ini, Allah Swt. tidak hanya memerintahkan kita untuk menghadirkan
seorang notaris untuk mendokumentasikan aktivitas transaksi kita saja. Untuk lebih
memantapkannya Allah Swt. juga meminta kepada pihak yang bertransaksi untuk

31
. Ibid.hlm.221.
32
. Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi , Op.Cit, hlm.1214.
33
. Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi , Op.Cit hlm.1215.

14 | P a g e
menghadirkan dua orang saksi yang terdiri dari dua orang laki-laki atau jika tidak
didapati pada saat itu, bisa menggunakan satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan.

Beberapa catatan yang menarik dalam hal ini adalah: Pertama, ketika Allah Swt.
menginginkan hadirnya dua orang saksi, Allah Swt. menegaskan dengan kalimat
(‫ )شِ٘ذٗي‬bukan (‫ )شاُذاى‬sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw. ketika menjelaskan
keabsahan sebuah ikatan pernikahan, ‫( الًﻜاح اال بْلٖ ّشبىذي عذل‬tidak –sah- sebuah
pernikahan yang tanpa dihadiri oleh pihak wali perempuan dan dua orang saksi).
Jawabannya adalah tidak menggunakan adalah kata (‫ )شاُذ‬secara mutlak, oleh karena
terkadang seseorang yang dijadikan saksi bisa saja dia berbuat curang atau bohong.
Sedangkan kata (‫ )شِ٘ذ‬adalah bentuk hiperbola (mubalaghah) yang bermakna seolah-
olah kesaksian orang yang dijadikan saksi (‫ )شاُذ‬tersebut terkenal diantara manusia
hingga mencapai derajat (‫)شِ٘ذ‬.

Kedua jika kemudian tidak ditemukan dua orang laki-laki, maka satu orang laki-laki
dan dua orang perempuan. Mengapa harus dua orang perempuan sebagai pembanding
satu orang laki-laki. Allah Swt. menjawab ( ٓ‫ )أى تضل إحذاُوا فتذكز إحذاُوا األخز‬yakni
supa saling mengingatkan bilamana terjadi kekhilafan salah satu diantara mereka
berdua. Karena hakikat persaksian menurut al-Sya‘rawi adalah kerumunan
masyarakat yang berkumpul untuk menyaksikan sesuatu dan mengetahui apa yang
sedang terjadi. Sedang pada umumnya, perempuan jarang ikut campur dalam hal
semacam ini.34

Agaknya, jika diperhatikan runutan ketentuan-ketentuan transaksi non tunai yang


diajarkan oleh Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 282, meskipun mampu
menghindarkan manusia dalam kubang perselisihan dan permusuhan sebagai dari
ketidak jujuran yang dilakukan oleh salah satu pihak. Namun jika kita cermat, akan
kita dapati bahwa aturan-aturan tersebut seolah berpihak hanya pada si penghutang.

Memang benar, jika diberikan alasan bahwa hal itu sekali disebabkan oleh posisi
lemah pihak penghutang saat transaksi (karena saking butuhnya). Akan tetapi timbul
pertanyaan lagi,bagaimana jika ingin bertransaksi sedangkan lingkungan sekitar sepi
karena sedang berkecamuk perang, atau bisa jadi kita dalam posisi safar sehingga
tidak ditemukan seseorang pun yang bisa dijadikan notaris untuk mendokumentasikan
transaksi non tunai kita tersebut.35

Tanpa ingin berpanjang lebar dengan dalil baik itu yang menerangkan keutamaan
bersabar dalam menanti pembayaran, dosa pihak penghutang yang sudah mampu
membayar namun tidak disegerakan, maupun rayuan Allah agar bersedia

34
. Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi , Op.Cit , hlm.1216.
35
Imam Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa safar bukanlah salah satunya motif untuk bisa
melakukan (‫)رُاى همبْضت‬. Adapun penyebutannya dalam ayat, menurut beliau adalah untuk
menerangkan kondisi pada umumnya terjadinya kesulitan dalam mencari saksi. Selengkapnya baca: 35.
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari AlQurthubi, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur‘an, tp, tk, tt,
tc, jld.2, hlm. 406-407.

15 | P a g e
mengikhlaskan harta kita yang dihutang orang lain. Secara singkat, penulis ingin
mengatakan bahwa untuk mengantisipasi hal hal-hal yang tidak diinginkan sedangkan
terjadinya transaksi adalah sangat mendesak, Allah Swt. memberikan solusi kepada
para pemberi hutang dalam lanjutan ayat, yakni surat al-Baqarah ayat 283, untuk
meminta jaminan (‫ )رُاى همبْضت‬dari pihak penghutang.36

Tapi perlu di ingat bahwa ini adalah sifatnya opsional dan sekedar solusi dari Allah
Swt., yang artinya boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan. Terlebih jika dia
yakin dan percaya penuh terhadap pihak penghutang.

Bagian terakhir ayat, Allah mengingatkan kembali kepada pihak penghutang untuk
tidak sekali-kali mengecewakan amanah yang diberikan. Hendaknya ia menunaikan
kewajibannya sebagaimana mestinya. Peringatan juga ditujukan kepada mereka para
saksi-saksi untuk tidak menyembunyikan apa-apa yang telah diketahuinya.
Kesemuanya itu tidak lain hanyalah untuk menegakkan kemashlahatan bagi umat
manusia seluruhnya. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Penutup

Dalam diskurusus Ilmu maqashid syariah terdapat jargon Inna al-Syarî‘ata Wudhi‘a
Li Mashalihi al-Nâs, sederhanya bahwa Allah Swt. ketika menerapkan seperangkat
aturan bagi umat manusia, tak lain itu semua adalah untuk kemaslahatan manusia itu
sendiri, baik di masa sekarang maupun mendatang.

Begitu juga dalam pensyariatan aturan mengenai transaksi non tunai yang disebutkan
dalam surat al-Baqarah 282. Sekilas jika diperhartikan, memang banyak aturan-aturan
yang terasa meribetkan bahkan memberatkan bagi pelakunya. Namun jika ditilik
dengan kacamata kemanusiaan, tentunya hal tersebut jika diterapkan akan banyak
sekali manfaat yang bisa kita peroleh, terlebih jika diterapkan pada kondisi
masyarakat sekarang yang mana nilai kejujuran dan amanah kian lama kian tergerus
oleh waktu.

Betapapun hal semacam ini telah dibahas oleh ulama pendahulu dan bahkan
mayoritas menyatakan atas ketiadaan perintah wajib akan pendokumentasian dalam
transaksi piutang ini. Namun posisi penulis disini, tentunya berawal dari kesadaran
sebagai insan yang hidup di zaman yang jauh dari nilai-nilai kejujuran, tanggung
jawab serta amanah. Menjadikan penulis untuk mengunggulkan pendapat yang
menyatakan wajibnya pendokumentasian akan segala praktik transaksi non tunai, baik
itu yang di dapat melalui proses hutang piutang maupun yang lainnya. Wallahu
a‘lamu bi al-Shawab.

36
. Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari AlQurthubi, Op.Cit, hlm. 240. 406-407

16 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari AlQurthubi,Abu, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-


Qur‘an, tp, tk, tt, tc, jld.2.

Abu Fida Ismail Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Al-Imam. Tafsîr Ibnu Katsîr, terjemahan
Bahrun Abu Bakar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, cet I, 2000.

al-Zuhaili, DR. Wahbah, al-Fiqhu al-Islâm wa Adillatuhu, Dar el-Fikr, Dimasyq,


cet.2, 1985, jld.4.

___________________, al-Tafsîr al-Wajîz, Dar el-Fikr, Dimasyq, tc, tt.

Fuad Abdul Baqi, Muhammad ,Tafshîl âyât al-Qur‘an al-Hakîm, 2012, Tafsir
Tematis Ayat-Ayat Al-Qur an Al-Hakim, Terjemahan KH. Ahmad Sunarto, Halim
Jaya, Surabaya, cet.1.

al-Hasani, Ismail ,Nadzariyat al-Maqâshidi ‘inda al-Imâm Muhammad al-Tâhir bin


‘Âsyûr, The International Institute of Islamic Thought, Virginia, 2005, cet.2.

as-Sya'rawi, Syaikh Mutawalli, Tafsîr as-Sya‘râwî, AKhbar el-Youm, Kairo, tc, tt,
jld.2, hlm 1041

Imam Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid, Tafsîr al-Qur‘an al-Hakîm al-Masyhûr bi


Tafsîr al-Manâr, Dar el-Kotob Ilimyah, Beirut, cet.2, 2005, jld.2.

Muhammad Ali al-Sayis, Syaikh, Tafsîr Âyâti al-ahkâm, Maktabh al-Shafa,Kairo,


cet.1, 2001, jld.1.

Wizarah Auqaf wa al-Syu'un al-Islami, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyyah, el-


Manarah el-Azhariyyah, Kairo, tc, tt, jld.33.

http://www.ahlalhdeeth.com/vb/forum/‫ّالذٗي‬-‫المزض‬-‫ب٘ي‬-‫الفزق‬-993411/‫العام‬-ٖ‫الشزع‬-ٓ‫الوٌتذ‬,

Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Razi, Ahkâm al-Qur‘an li al-Jashâsh, Maktabah
Shameela Online, Jld.2, hlm.205. http://shamela.ws/browse.php/book-23579#page-
603.

17 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai