Dari informasi yang diperoleh dalam wawancara dengan informan kunci dan beberapa orang
warga, sejarah dan kultur Desa Adat Penglipuran dapat dirangkum sebagi berikut ini. Penglipuran
diperkirakan mulai berpenghuni semasa pemerintahan I Dewa Gedé Putu Tangkeban III, yang
menjadi Anak Agung (Raja) Bangli pada periode tahun 1833-1875, sehingga merupakan desa yang
sangat tua Sebagian besar penduduk desa ini meyakini bahwa mereka berasal dari perpindahan
sebagian penduduk sebuah desa yang terletak di sebelah utaranya yaitu Desa Adat Bayung Gede yang
terietak 25 KM di sebelah utara, di Kecamatan Kintamani. Desa Adat Bayung Gede dan demikian
pula desa-desa lainnya di sekitar Gunung dan Danau Batur merupakan desa-desa tua yang telah ada
sebelum pengaruh kerajaan Hindu Jawa masuk ke Bali sehingga sering disebut sebagai desa Bali Aga
atau Bali Mula (Goris, 1926).
Sesuai dengan informasi yang diberikan oleh Lurah, BenDesa Adat ataupun beberapa warga
masyarakat Desa Adat Penglipuran, diceriterakan bahwa: tenaga orang-orang Bayung Gede sangat
dihandalkan dalam kegiatan adat, agama atau pertahanan keamanan oleh raja-raja Bangli karena
umumnya orangnya bertenaga besar. Kemudian kelompok orang Bayung Gede yang sering dipanggil
ke Puri Raja Bangli ini diberikan tempat sementara di dekat pusat kerajaan (sekitar 5 KM) yamg
akhirnya berkembang menjadi Desa Adat Penglipuran sekarang.
Ada pula informasi lain yaitu dari Jro Bayan Nyoman salah seorang tetua adat Desa Adat
Penglipuran yang mengatakan bahwa Desa Adat Penglipuran semula merupakan pondokan atau kubu
(tempat tinggal sementara untuk menggarap lahan pertanian) dari orang-orang Desa Bayung Gede,
sehingga sampai sekarang kadang- kadang masih disebut sebagai Kubu Bayung.
Perlu diketahui bahwa Desa Adat di Bali selalu dibatasi oleh: teritorial tertentu (wewengkon
atau parimandala) dan jumlah KK tertentu sebagai penghuni (krama). Bila jumlah penduduk suatu
desa bertambah dari jumlah krama semula maka kelebihannya ini akan berusaha mencari lahan
pertanian di luar teritorial desanya semula (memondok/ngubu) yang kemudian berkembang menjadi
desa baru dengan tetap membawa adat kebiasaan dari desa asalnya semula. Hal ini terbukti dari
adanya beberapa desa di sekitar Desa Adat Bayung Gede yang secara tata ruang fisik permukiman,
bentuk rumah, tempat pemujaan, bahasa dan hubungan sosial memiliki kemiripan dengan Desa Adat
Bayung Gede.
Dalam penjelasan Data Dasar Profil Kelurahan Kubu disebutkan, penglipuran mempunyai arti
"pengeling pura yang berarti "ingat kepada tempat leluhur dalam hal ini Desa Bayung Gede. Namun
ada pula yang menyebutkan " penglipuran" berasal dari suku kata "lipur" dalam Bahasa Bali yang
berarti "hibur" (ingat pe-lipur lara) Jadi Desa Adat Penglipuran semula adalah tempat bagi keluarga
Kerajaan Bangli untuk menghibur diri karena tempatnya yang sejuk dan indah.
Yang penting diketahui dari tinjauan sejarah Desa Adat Penglipuran ini adalah bahwa:
Pertama, Desa Adat Penglipuran masih dapat digolongkan sebagai kelompok Desa Bali Aga yaitu
desa-desa yang telah berkembang sejak jaman Bali Kuna dimana ciri-ciri pengaruh kerajaan Hindu di
Jawa tidak begitu kuat dibandingkan dengan desa-desa Bali pesisir, Kedua, Desa Adat Penglipuran
adalalh pecahan atau perpindahan dari sebagian kelebihan penduduk desa lain yaitu Desa Adat
Bayung Gede.
Keunggulan pertama adalah Rumah Adat yang Unik dan keunggulan kedua adalah Penataan
Tata Ruang yang Seragam. Lokasi desa wisata Penglipuran memang didukung oleh kontur tanah yang
menarik, dimana kondisi bangunan dari awal masuk desa sampai pada bangunan Pura, terus
menanjak. Kultur tanah desa wisata ini, dilihat dari bawah seolah-olah kita berjalan dari dasar ke atas
sampai ke kepala yang terdapat bangunan Pura Penataran dan Pura Puseh. Di sepanjang jalan koridor
desa hanya digunakan untuk pejalan kaki.
Keunggulan kedua sisi kanan kiri jalan koridor menuju ke atas terdapat rumah-rumah dengan
bentuk bangunan dan bahan yang dipakai sama antara yang satu dengan yang lain. Semua rumah
dilengkapi dengan atribut struktur desa seperti : tembok penyengker, angkul-angkul (candi bentar
khas), dan telajakan yang seragam, serta atap dari bambu yang dibelah untuk seluruh bangunan desa.
Kondisi seperti ini, diibaratkan sebagai tata ruang Tri Mondal yaitu seperti tubuh manusia yang
memiliki kepala, badan dan kaki. Kepala (bagian atas) disebut sebagai Pertiangan yang berarti
memiliki hubungan dengan Tuhan. Badan (bagian tengah) disebut dengan Pawongan diartikan
sebagai hubungan antar manusia, sedangkan kaki (bagian bawah) disebut palemahan yang berarti
hubungan dengan lingkungan. Hubungan dengan lingkungan, dapat dipersepsikan bahwa manusia
tidak boleh semena-mena mengekploitsasi lingkungan, tanpa memikirkan pelestariannya. Manusia
hidup tidak dapat menyendiri, tetapi sebagai mahluk sosial tetap harus melakukan hubungan dengan
manusia lainnya. Demikian halnya dengan hubungan dengan Tuhan, manusia wajib menjaga
keseimbangan antara kepentingan di dunia dan kepentingan di alam setelah meninggal.
Keunggulan ketiga adalah hutan bambu. Hutan bambu ini mengelilingi seluruh desa wisata
yang di sela-sela jalan setapak dipergunakan untuk wisata sepeda yang disebut dengan Penglipuran
Village Tracking Tour dan aktivitas Penglipuran Rural Cycling Tour. Disamping itu, pohon bambu ini
dapat meneduhkan jalan yang digunakan oleh wisatawan yang mengelilingi desa, baik dengan jalan
kaki mapun menggunakan sepeda. Ditambah dengan udara yang sejuk, menjadikan desa ini sangat
nyaman untuk melakukan olah raga. Bambu ini dipergunakan untuk atap dan dinding rumah sebagai
suatu keharusan.
Gambar: Makam Kapten Anak Agung Gede Anom Mudita
Sumber: http://littlesparkies.blogspot.com/2016/05/ssstttada-kuburan-
dan-hutan-tersembunyi.html
Keunggulan keempat adalah Taman Makam Kapten Mudita. Pemakaman ini ditata dengan
baik, sehingga dapat digunakan sebagai daya tarik wisata sejarah.
Gambar: Pura Penataran Desa Penglipuran
Sumber: Dokumen Penulis
Keunggulan kelima adalah Keindahan Pura Penataran. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa
lokasi pura penataran ini ada di kontur tanah bagian atas yang disebut Pertiangan yang berarti
memiliki hubungan dengan Tuhan. Tim Peneliti mempersepsikan bahwa kehidupan manusia
berakhirnya adalah kembali kepangkuan Tuhan Yang maha Esa.
Gambar: Iluatrasi keindahan alam desa wisata Penglipuran
Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/desa-adat-penglipuran-
antara-pendidikan-tradisional-informal-dan-keharmonisan-alam/
Keunggulan keenam adalah Keindahan Alam Pedesaan yang Alami. Memasuki Desa wisata
Penglipuran ini seperti memasuki desa alami yang belum terjamah oleh tangan manusia. Masyarakat
yang memiliki tingkat sosial tinggi dan rendah, bersama-sama mematuhi ketentuan adat. Jalan koridor
yang disebutkan sebelumnya tidak memperlihatkan tingkatan sosial yang berbeda, semua bentuk
bangunan dan bahan bangunannya sama. Padahal dibalik itu, bangunan rumahnya sangat berbeda.
Baik luas bangunan maupun bentuk bangunannya, termasuk garasi mobil yang terletak di belakang
rumah. Sarana penginapan berupa guest house dan homestay berbagai tipe, sudah tersedia, sehingga
pengunjung dapat langsung berinteraksi dengan pemilik home stay, sekaligus berinteraksi dengan
kebudayaannya. Home stay tersebar di beberapa rumah warga memiliki berbagai tipe yaitu tipe A,
tipe B, tipe C, dan tipe C; seperti layaknya ukuran hotel berbintang. Jadi latar belakang
pengembangan Desa wisata Penglipuran ini adalah kombinasi antara potensi daya alam dan budaya
yang ada, serta kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan potensi itu untuk pelestarian lingkungan,
budaya, dan juga mendapatkan manfaat ekonomi.
Keunggulan ketujuh adalah Karang Memadu, Karang sendiri berarti tempat. Sedangkan
Memadu artinya poligami. Sehingga Karang Memadu adalah sebutan untuk tempat bagi orang yang
berpoligami. Karang Memadu adalah lahan kosong seluas 9 x 21 meter yang terletak di ujung selatan
Desa Penglipuran. Jika dilihat bentuknya, Karang Memadu tidak berbeda dengan lahan kosong pada
umumnya. Hanya, untuk menandai lahan ini dipasang sebuah papan bertuliskan Karang Memadu
yang tujuannya untuk membatasi lahan biasa dengan lahan khusus itu. Bagi masyarakat Desa
Penglipuran, Karang Memadu berstatus leteh (kotor).Karena hal itu, orang yang tinggal di sana juga
dianggap sama. Bahkan apa-apa yang tumbuh di atas lahan Karang Memadu dianggap sebagai sesuatu
yang tidak suci. Sehingga hasil bumi seperti palawija, sayur mayur, atau buah-buah dari tanah itu
tidak bisa dihaturkan sebagai bahan upakara (sesaji). Sampai saat ini, belum ada warga desa yang
menghuni Karang Memadu. Sehingga tempat itu hanya berisi semak-semak belukar.
Sumber: http://eprints.undip.ac.id/11655/1/2002MIL1733.pdf
http://www.binaprajajournal.com/ojs/index.php/jbp/article/download/29/28