Anda di halaman 1dari 9

A.

PENGERTIAN
Menurut A.Aziz Alimul Hidayat, difteri merupakan penyakit infeksi yang dapat
menyerang pada saluran napas bagian atas disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae yang bersifat gram positif, polimorf, dan tidak membentuk spora. Penyakit ini
mudah menyerang anak-anak melalui udara atau pada alat yang terkontaminasi.
Sedangkan menurut Sumarmo 2002, difteri adalah suatu penyakit infeksi akut
yang sangat menular, yang disebabkan oleh Corynebacterium diptheriae dengan ditandai
pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.
Difteri adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal dari bahasa
Yunani, diphtera yang berarti leather hide. Penyakit ini disebut pertama kali oleh
Hyppocrates pada abad ke-5 SM dan epidemi pertama terjadi pada abad ke-6 oleh Aetius.
Bakteri ini ditemukan pertama kali pada membran penderita difteri tahun 1883 oleh Klebs.
Antitoksin ditemukan pertama kali pada akhir abad ke-19, sedangkan toksoid dibuat sekitar
tahun 1920. (Vivian, 2010)
B.KLASIFIKASI
Menurut Sumarmo 2002, klasifikasi difteri berdasarkan letaknya dibedakan menjadi 4
yaitu:
1. Difteri hidung
2. Difteri tonsil faring
3. Difteri laring
4. Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga

1. Difteri hidung
Difteri yang terjadi di hidung, pada awalnya menyerupai commond cold dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat
lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
2. Difteri tonsil faring
Difteri yang ditandai dengan anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat, berwarna putih kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau kebawah ke
laring dan trakea. Usaha melepaskan membrane akan mengakibatkan perdarahan.
3. Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala
toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain,
seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi
laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
4. Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga
Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan
tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat
membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dan sekret purulen dan berbau.

C.ETIOLOGI
Menurut Sumarmo 2002, penyebab difteri adalah bakteri Corynebacterium
diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk
spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat
ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam
susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf
cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam
media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa
manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis
basil yang dapat memproduksi toksin yaitu, gravis, intermediate, dan mitis.
a. Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit.
b. Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit.
c. Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
D.MANIFESTASI KLINIS
Tanda gejala dari difteri menurut Sumarmo 2002, yaitu tergantung pada lokasi
tempat infeksi, imunitas pasien, ada tidaknya toksin dalam sirkulasi darah.
Gejala klinis: Masa tunas antara 1-6 hari
Gejala umum:
1. Demam
2. Pilek
3. Sesak napas
4. Batuk
E.PATOFISIOLOGI
Bakteri C.diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limpa
dan pembuluh darah.efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul local dan menjalar dari laring, faring dan saluran nafas atas. Kelenjar
getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai
otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot
pernafasan bila mengenai jaringan syaraf. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat
dari pseudomembran pada laring dan trachea menyebabkan kondisi yang fatal.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membrane dan jaringan edematous dapat
menyumbat jalan napas. Gangguan pernapasan dapat terjadi dengan perluasan penyakit ke
dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin
difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak
menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis.
Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi sraf pada umumnya terjadi setelah
3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin
pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi
sel mononuclear pada serat otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik
dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bias disertai gejala hipoglikemia
kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

F.PATHWAY
G.PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan penderita difteri, menurut Sumarmo 2002 ialah untuk
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan menguasahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Penatalaksanaan umum:
a. Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui selama 2-3 minggu
b.Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu
c. Pemberian cairan dan diet yang adekuat.
Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak,
saring/cair, bila perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralysisis
palatum molle dan otot-otot faring).
d. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma,
laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
e. Berikan oksigen apabila ada tanda-tanda obstruksi jalan napas.
Penatalaksanaan khusus:
a. Antitoksin : Anti Diphtheriae Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin
pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1 %. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke 6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30 %.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit dan amat terlebih dahulu, oleh
karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan
larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS
dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi induraksi >10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit
dan mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI. Pemebrian ADS
intravena dalam larutan fisiologis atau 100 ml glukosa 5 % dalam 1-2 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness)
Dosis ADS menurut lokasi membrane dan lama sakit
Tipe difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian
Difteria hidung 20.000 Intramuscular
Difteria tonsil 40.000 Intramuscular atau intravena
Difteria faring 40.000 Intramuscular atau intravena
Difteria laring 40.000 Intramuscular atau intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Trelambat berobat (> 72 jam), 80.000-100.000 Intravena
lokasi dimana saja
b.Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri
dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/kgBB/hari selama
10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritrosmisin 40
mg/kgBB/hari.
c. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan
kortikosteroid diberikan pada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran
napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dapat
diberikan prednison 2 mg/kgbb/hari,selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara
bertahap.

PENCEGAHAN
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak
menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak
yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibody terhadap toksin difteria
tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan
seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteria
ringan.
H.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut FKUI tahun 2007, dapat diketahui terkena difteria yaitu dengan
dilakukannya pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:
1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
tenggorok (nasofaringeal swab)
2. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan
sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa
dilakukan 2-3x seminggu.
7. Tes schick
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan
infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan
dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak
mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa
minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas
suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila
tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan
imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi
terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang
mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick
test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada
lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari
ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada
tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita
difteri). (Sumarmo: 2008)
I.PENGKAJIAN
Menurut Doengoes, E Marlynn 1999, pengkajian keperawatannya meliputi:
1. Anamnese
2. Keluhan utama
Anak dengan difteri keluhan utamanya biasanya sesak napas dan demam
3. Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4. Riwayat kesehatan dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas
dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pemeriksaan fisik
a. B1: Breathing (Respiratory System)
Pernapasan tidak efektif (Sesak nafas)
b. B2: Blood (Cardiovascular system)
Didapatkan tachicardi
c. B3: Brain (Nervous system)
Normal
d. B4: Bladder (Genitourinary system)
Normal
e. B5: Bowel (Gastrointestinal System)
Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi
f. B6: Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit jelek
J.DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan difteri menurut Aziz
Alimul Hidayat 2010 adalah sebagai berikut:
1. Ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat
pembengkakan.
Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal
Kriteria Hasil:
a. Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
b. Pernapasan tetap pada batas normal
No Intervensi Rasional
1. Monitor perubahan frekuensi napas, Mempengaruhi pilihan
kedalaman, dan tipe pernapasan keefektifan intervensi
2. Berikan oksigenasi sesuai dengan ketentuan Mempertahankan
kebutuhan oksigen yang
maksimal bagi pasien
3. Atur posisi dengan membaringkan setengah Memudahkan pernapasan
duduk (semi fowler) pasien
4. Kolaborasi dengan dokter pemberian ADS Menetralisir toksin
sehingga mengurangi
peradangan
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan menelan
dan anoreksia
Tujuan: Meningkatkan nafsu makan sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil:
a. Klien dapat meningkat berat badan sesuai tujuan
b. Klien tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi
No. Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien untuk Menentukan pilihan makanan yang
mengunyah, menelan tepat.

2. Berikan makan sedikit dan Meningkatkan asupan nutrisi


sering hingga jumlah asupan
nutrisi tercukupi
3. Berikan diet dalam bentuk Meningkatkan nafsu makan
hangat dan sediaan lunak/bubur
serta penyajian yang menarik
4. Pemasangan NGT Mempermudah masukan nutrisi
5. Kolaborasi dengan ahli gizi Memberikan asupan nutrisis yang
sesuai dengan kondisi anak
3. Nyeri berhubungan dengan proses patologis
Tujuan: memberikan kenyamanan pada anak sehingga anak mampu menoleransi nyeri hingga
batas toleransi nyeri.
Kriteria hasil:
a. Nyeri dapat berkurang
b. Klien dapat istirahat dengan nyaman
No Intervensi Rasional
1. Berikan mainan-mainan pada Mengalihkan perasaan nyeri yang
anak dialami
2. Monitor perubahan nyeri dan Mempengaruhi pilihan keefektifan
tanda vital intervensi
3. Latih tehnik relaksasi Mengurangi nyeri yang dialami
4. Libatkan orang tua dalam Memberikan kenyamanan pada anak
perawatan anak
5. Kolaborasi dengan dokter Menurunkan intensitas nyeri
pemberian pbat analgetik dan
antibiotik
4. Resiko terjadinya komplikasi yang disebakan oleh kuman difteri yang masuk ke dalam tubuh
Tujuan: mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut dengan cara memperbaiki dan
meningkatkan kekebalan tubuh anak
Kriteria hasil:
a. Tidak terjadi komplikasi
b. Kekebalan anak berangsur membaik
No Intervensi Rasional
1. Monitor adanya tanda komplikasi Mempengaruhi pilihan keefektifan
dan tanda vital intervensi dan mengetahui adakah
komplikasi
2. Berikan perawatan isolasi Memberikan kenyamanan pada
pasien
3. Kolaborasi dengan dokter dalam Meningkatkan penyembuhan pasien
pemberian ADS
4. Berikan istirahat total selama Meningkatkan penyembuhan pasien
kurang lebih 3 minggu
5. Kolaborasikan dalam tindakan Mengurangi resiko komplikasi
pengobatan khususnya pada
miokarditis, kelainan saraf dan
ginjal

Daftar Pustaka
Hidayat, A. Aziz Alimul.2010.Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.
Jakarta:Salemba Medika.
Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah
Monica Ester.Jakarta:EGC
Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta
Sumarmo.2002.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:FKUI
Vivian, Nanny Lia Dewi. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi, Anak dan Balita.

Anda mungkin juga menyukai