Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bidang agama Islam, Modernisasi Agama mempengaruhi berbagai segi keilmuan
termasuk mengenai ilmu hadits. Apalagi sekarang ini banyak pemikir barat yang sengaja
mempelajari keilmuan Islam untuk mencari kelemahan Islam. Termasuk dalam bidang hadis,
ilmu mendapat perhatian khusus dari para permikir barat tersebut atau yang biasa disebut
kaum orientalis, mereka menyebar hasil pemikiran mereka yang melencong mengenai
keotentikan hadis-hadis Nabi.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini kami akan memaparkan sedikit mengenai
keotentikan hadis dan pendapat para tokoh mengenai keotentikan hadis-hadis Nabi.

BAB II PERMASALAHAN

Permasalahan yang sedang menimpa Islam sangatlah kompleks. Hal ini dapat kita
lihat pada adanya penyerangan besar-besaran terhadap Islam baik dari segi fisik maupun non-
fisik. Dari segi fisik misalnya perang yang melanda umat Islam di Palestina, sedangkan dari
segi non-fisik berupa perang pemikiran atau yang biasa disebut ghozul fikr yaitu adanya
penelitian-penelitian para pemikir barat tentang Islam yang bertujuan untuk mencari
kelemahan Islam. Terutama dalam bidang Ilmu Hadis, keilmuan ini mendapat perhatian
khusus oleh para orientalis setelah mereka tidak mampu mengungkap kelemahan-kelemahan
kitab suci Al-Quran.Para orientalis tertarik dengan keotentikan hadis-hadis Nabi apakah
benar-benar berasal dari Nabi atau hanyalah buatan umat Islam setelah Nabi wafat.

BAB III KEOTENTIKAN HADITS

1. Kaidah Kaidah Keotentikan hadits

Hal-hal yang berhubungan dengan hadis adalah sanad dan matan hadis.
Sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad SAW.
atau dalam definisi Mahmud al-Thahhan: ‫صلَةُ ِل ْل َمتْ ِن‬ ِ ُ‫ ِس ْل ِسلَة‬artinya, rangkaian perawi
ِ ‫الر َجا ِل اْل ُم َو‬
hadis yang mengantarkan matan hadis.
Menurut M. Abdurrahman, pentingnya kedudukan sanad dalam hadis terkait dengan
beberapa postulat berikut:
a) Sanad adalah ajaran agama
Postulat ini didasarkan pada pernyataan yang dia kutip dari Ibn Mubarak yang
menyatakan:‫اإلسناد من الدين ولو ال اإلسناد لقال من شاء ما شاء‬
Artinya: Sanad itu ajaran agama, seandainya tidak ada sanad, niscaya ada orang yang
berbicara semau-maunya.
Karena itu umat Islam dikenal sebagai umat yang sangat hati-hati dalam menisbahkan
sesuatu kepada Nabi, terutama jika berkaitan dengan agama. Dalam hal ini, Nabi juga sudah
mengingatkan bahwa berdusta atas namanya adalah dosa yang hukumannya adalah neraka.
b) Sanad adalah perantara
Maksudnya adalah bahwa sanad itu merupakan perantara antara satu generasi ke generasi
berikutnya. Sebuah riwayat hadis akan diterima jika memiliki sanad dan ditolak jika tidak
memiliki sanad.
c) Sanad adalah pangkal kebenaran
Prinsip ini menegaskan bahwa kutipan-kutipan ilmiah baru bisa dipercaya bila bersumber
dari orang-orang yang layak, sesuai dengan profesinya dan memiliki kredibilitas keilmuan
maupun moral. Orang yang meriwayatkan hadis tanpa sanad adalah seperti orang yang
memanjat tanpa tangga.
d) Sanad adalah standar ilmiah
Maksud postulat ini adalah bahwa bobot ilmiah suatu ilmu tidak hanya dilihat dari siapa
yang menyatakan tetapi juga terkait dengan transmisi yang dilakukan oleh pembawa berita
sehingga berita itu benar-benar sesuai dengan sumbernya. Karena itu Qarad Abu Nuh
sebagaimana dikutip M. Abdurrahman, mengatakan: “Setiap ilmu yang tidak ada perkataan
haddatsana (telah berkata kepada kami) atau akhbarna (telah memberi kabar kepada kami),
maka lemah dan tidak kuat.

Adapun kriteria hadits shahih itu adalah sebagai berikut :

 Sanad bersambung (‫)اتصال السند‬

Maksud dari sanadnya bersambung adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan
benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai
pada pembawa yang pertama.
Menurut Imam al-Bukhari, suatu sanad hadis dikatakan bersambung jika antara guru dan
murid atau antara rawi pertama dan rawi kedua bertemu langsung walaupun hanya satu kali.
Sedangkan menurut Imam Muslim, suatu sanad dikatakan bersambung jika ada kemungkinan
bertemu antara rawi pertama dan rawi kedua hidup dalam kurun waktu yang sama dan
bertempat tinggal dengan jarak tidak terlalu jauh walaupun keduanya tidak pernah bertemu
langsung.

 Rawi bersifat ‘adil (‫)عدالة الرواة‬

Adil disini menurut bahasa berarti condong, lurus, lawan dari dhalim, pertengahan, dan
lain-lain. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, ‘adil atau ‘adalah berarti sifat yang melekat
pada jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertakwa, menjaga
muru’ah (harga diri), menjauhi perbuatan dosa.

Sedangkan Imam al-Nawawi menyatakan bahwa rawi dinyatakan bersifat adil yaitu jika dia
adalah seorang muslim, berakal sehat, tidak terdapat tanda-tanda kefasikan, dan terhindar dari
hal-hal yang menjauhkan muru’ah. Imam al-Hakim menambahkan satu point agar seoarang
rawi dikatakan ‘adil yaitu rawi adalah seorang hafizh (penghafal).Dengan demikian tidaklah
sembarang muslim dapat meriwayatkan hadis. Tidak berlaku pula kaedah yang menyebutkan
bahwa seorang muslim pasti ‘adil.

Khusus untuk para sahabat, para ahli hadis sepakat bahwa mereka ‘adil semua. Hal ini
dapat kita lihat pada surat Ali Imran ayat 110

Terjemah :

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.

Juga terdapat pada surat al-Fath ayat 18:

Terjemah :

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon.
 Rawi bersifat dlobith (‫)ضابط الرواة‬

Dlobith secara bahasa berarti kuat, yang kokoh yang tepat dan sempurna hafalannya.

Rawi yang dlobithi adalah rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu,
tidak banyak salah, sehingga ia dapat mengingat dengan sempurna hadis-hadis yang
diterimanya.

 Tidak adanya syadz (‫) عدم الشذوذ‬

Syadz dalam bahasa berarti ganjil, yang terasing, yang menyalahi aturan atau yang
menyimpang. Maka, hadis syadz adalah hadis yang menyimpang dari aturan-aturan.

Menurut Imam al-Syafi’I dan Ulama al-Hijaz suatu hadis dinyatakan syadz jika hadis
tersebut diriwayatkan oleh seseorang yang tsiqah (terpercaya) namun isinya bertentangan
dengan periwayatan dari orang tsiqah yang banyak.

 Tidak terdapat ‘illat (‫)عدم العلة القادحة‬

‘Illat secara bahasa berarti penyakit, sebab, alasan, atau halangan.


Pengertian ‘Illat dalam ilmu hadis berarti sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas
hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang lahirnya kelihatan shahih menjadi tidak
shahih.

‘Illat dapat terjadi di matan, sanad, atau kedua-duanya. Tetapi yang terbanyak ‘Illat terjadi
pada sanad.Dengan demikian jelaslah criteria keotentikan hadis menurut para ahli hadis yaitu
suatu hadis harus memenuhi kelima criteria yang telah disebutkan diatas, jika salah satu saja
tidak terpenuhi, maka keotentikan hadis tersebut masih harus diteliti dan dikaji lagi.

2. Sejarah Kodifikasi Hadis


Menurut Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa
Azami tidak kurang dari 52 sahabat nabi saw. Memiliki tulisan-tulisan hadis yang mereka
tulis saat masa Nabi Muhammad saw. . Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib bahkan menyatakan
bahwa orang yang pertama kali menulis hadis di hadapan Rasulullah saw. Dan atas do’a restu
beliau adalh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dimana tulisannya kemudian dikenal dengan
judul al-shahifah al-shahiha (Buku yang benar).
Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.

Artinya: "Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan
barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. "
(HR. Muslim).
Dan mereka berkata kepadanya, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi,
padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang
tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada
Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:

Artinya: "Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya.
tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
Orang yang pertama kali mempunyai ide untuk mengumpulkan hadis adalah khalifah
‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, dimana beliau mengirimkan surat kepada Abu Bakar bin
Muhammad al-Hazm. Khlaifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz juga memberikan tugas kepada Ibnu
Syihab al-Zuhri dan lain-lain untuk mengumpulkan dan menuliskan hadis. Khalifah ‘Umar
bin ‘Abd al-‘Aziz menugaskan kepada al-Zuhri untuk segera mengumpulkan dan menuliskan
hadis karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi dengan wafatnya para ulama baik
di kalangan sahabat atau tabi`in. Kemudian beliau mengintruksikan kepada para gubernur di
seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan
Hadis.
Para ahli sejarah dan ulama juga berkesimpulan bahwa Ibn al-Syihab al-Zuhri orang
pertama yang mengkodifikasikan Hadis pada awal tahun 100 H di bawah Khalifah Umar bin
Abd al-Aziz. Maksudnya di sini orang yang paling awal menghimpun Hadis dalam bentuk
formal atas intruksi seorang Khalifah dan ditulis secara menyeluruh, karena tentunya
penghimpunan telah dimulai sejak masa Rasulullah di kalangan para sahabat dan tab`in
namun belum menyeluruh, dan dalam bentuk catatan individu.
Ulama lain sebagai penghimpun Hadis pertama pada masa ini antara lain:
1. Ibn Juraij (w. 150 H) di Makkah
2. Al-Awza`i (w. 156 H) di Syria
3. Sufyan al-Tsawri ( w. 161 H) di Kufah
4. Imam Malik (w. 179 H) di Madinah
5. al-Rabi` bin Shabih (w. 160 H) di Bashrah
6. Husyaim al-Wasithi (w. 188 H) di Wasith
7. Ma`mar al-Azdi (w. 153 H.) di Yaman
8. Jarir al-Dhabi (w. 188 H) di Rei
9. Ibn Mubarak (w. 181 H) di Khurrasan
10. al-Layts bin Sa`ad (w. 175 H) di Mesir

Teknik pembukuan Hadis pada masa ini si-pengarang menghimpun Hadis-Hadis


mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan bab-
bab lain yang berisi masalah yang lain dalam satu karangan. Namun, Hadis pada abad ini
masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad
sebelumnya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf) atau shahifah-shahifah
(lembaran-lembaran) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab
secara tertib. Materi Hadisnya dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para sahabat
sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari sahabat atau tabi`in.
Kitab-kitab Hadis pada masa itu tidak sampai kepada kita kecuali di antaranya al-Muwaththa’
yang ditulis oleh Imam Malik dan Musnad Imam al-Syafi`î.
Teknik pembukuannya mushannaf, muwaththa’, musnad, dan al-jami`. Mushannaf
dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun, Muwaththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu
yang dimudahkan. Dalam istilah keduanya diartikan sama, yaitu teknik pembukuan Hadis
yang didasarkan pada klasifikasi hukum fikih dan di dalamnya mencantumkan Hadis marfu`,
mawqûf, dan maqthû`. Misalnya, Muwaththa’ Imam Malik (w. 179 H), Muwaththa’ Ibn
Dzi’ib al-Marwazî (w. 158 H), Mushannaf Hammad bin Salamah (w. 167), dan lain-lain.
Pembukuan Musnad adalah pembukuan Hadis yang didasarkan pada nama para sahabat yang
meriwayatakan Hadis tersebut, seperti Musnad al-Syâfi`î. Sedang tekni pembukuan al-jami`
dalam bahasa diartikan menghimpun, mengumpulkan, dan mencakup. Arti istilah di sini
dimaksudkan kitab yang penyusunannya mencakup segala topik permasalahan, seperti kitab
al-Jâmi` li al-Imam `Abd al-Razzâq bin Hammâm al-Shan`ânî (w. 211 H).
3. Sikap Nabi Muhammad saw. Terhadap Penulisan Hadis
Tokoh yang paling banyak melakukan kajian terhadap penulisan hadis pada masa
Rasulullah adalah al-Khatib al-Baghdadi (wafat: 463 H) dalam buku beliau yang berjudul
Taqyid al-‘Ilm (Penulisan Hadis). Al-Baghdadi menuturkan bahwa ada tiga buah hadis yang
melarang penulisan hadis, masing-masing diriwayatkan oleh:
1. Abu Sa’id al-Khudri
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan dari dua jalur yaitu yang pertama adalah sebagai
berikut:
Artinya: “Dari Hadab bin Khalid, dari Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atho’ bin Yasar,
dari Abi Sa’id al-Khudri: sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: janganlah kalian menulis
dariku (ucapanku), barang siapa menulis dariku (ucapanku) selain Al-Quran maka hapuslah.
Dan barang siapa mendustakan diriku—kata Hammam, saya kira Nabi lalu bersabda dengan
sengaja, maka bersiap-siaplah untuk masuk neraka.”
Kemudian jalur yang kedua yaitu: melalui ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya,
dari Ata bin yasar, dari Abu Said Al-Khudri, katanya, “kami pernah minta izin Nabi saw
untuk menulis hadis-hadis beliau, tetapi beliau tidak mengizinkannya.”
Menurut para ‘Ulama hadis jalur yang kedua dho’if / lemah karena Abd al-Rahman adalah
rawi yang lemah.
2. Abu Hurairah
Hadis Abu Hurairah ini diriwayatkan melalui ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam, dari
ayahnya, dari ‘Ata bin Yasar, dari Abu Hurairah. Kata Abu Hurairah, Rasulullah saw
diberitahukan bahwa orang-orang banyak menulis hadis. Maka beliau lalu naik ke mimbar
dan setelah membaca hamdalah beliau bersasbda, “Apa maksud kalian menulis kitab-kitab
itu? Saya hanyalah manusia. Siapa yang mempunyai tulisan-tulisan harap dibawa kemari.”
Kata Abu Hurairah selanjutnya, “Kemudian kami mengumpulkan tulisan-tulisan itu, lalu
dikeluarkan. Lalu kami bertanya Rasulullah saw, “Apakah kami boleh meriwayatkan hadis
dari padamu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ya, boleh, riwayatkanlahhadis-
hadis dari padaku, tidak apa-apa. Dan barang siapa mendustakan diriku dengan sengaja, maka
siap-siaplah ia masuk neraka.”
Menurut al-Dzahabi, riwayat ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam tidak dapat diterima
karena munkar (rawinya sangat lemah). Oleh karena itu riwayat ini gugur, tidak dapat
diterima.
3. Zaid bin Tsabit
Hadis Zaid bin Tsabit diriwayatkan melalui dua jalur, yaitu:
Pertama, berasal dari al-Mutallib bin ‘Abdullah bin Hantab. Kata al-Muttalib, Zaid bin Tsabit
datang kepada Mu’awiyah, lalu Mu’awiyah menanyainya tentang suatu hadis. Mu’awiyah
juga menyuruh pembantunya untuk menulis hadis tersebut. Kepada Mu’awiyah, Zaid lalu
mengatakan bahwa Rasulullah saw melarang merekan menulis hadis.
Riwayat ini lemah, sebab al-Muttalib tidak pernah mendengar langsung dari Zaid.
Kedua, berasal dari al-Sya’bi. Marwan menyuruh orang agar duduk bersama Zaid bin Tsabit
dibalik kelambu. Setelah itu Marwan lalu menanyainya tentang sesuatu, kemudian mereka
menulis hal tiu. Ketika peristiwa ini diketahui Zaid, ia berkata, “Wahai Marwan, maaf, yang
saya ucapkan itu hanyalah pendapatku sendiri”.
Kemudian dari riwayat-riwayat diatas, maka hanyalah hadis yang pertama yang dapat kita
terima yaitu riwayat Abu Sa’id al-Khudri. Namun, terjadi perbedaan pendapat diantara para
ulama mengenai makna dari hadis tersebut:
1. Hadis yang melarang penulisan ini dibatalkan (di-naskh) dengan hadis-hadis lain yang
membolehkannya.
2. Larangan tersebut hanyalah khusus penulisan hadis bersamaan al-Quran dalam satu
naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi pencampuran antara hadis dan al-Quran

BAB IV PEMALSUAN HADITS

Pada zaman rasul tidak ada sedikitpun celah untuk ditemukannya hadits palsu, karena
posisi rasul yang senantiasa biasa dijadikan tempat para sahabt untuk mengkonfirmasi apa
yang diperolehnya, selain itu keadaan para sahabat yang juga tidak pernah berbohong
menguatkan fakta bahwa semasa rasul hidup tidak mungkin ditemukan hadits palsu.

Problematika yang serius mengenai penafsiran hadits mulai muncul setelah rasul
wafat. Dengan kepergian rasul, para sahabat bukan hanya kehilangan sosok rasul sekaligus
pemimpin, namun juga kehilangan sosok yang senantiasa dijadikan rujukan dan referensi
utama mereka dalam setiap permasalahan. Akibatnya para sahabat hanya bisa mengandalkan
potensi akal mereka untuk memahami serta menafsirkan setiap masalah yang mereka alami,
entah itu masalah kemasyarakatan maupun masalah agama (menafsirkan Al Quran).

Dari sinilah muncul banyak peluang bagi setiap penyelewengan terhadap hadits nabi.
Setelah nabi wafat hadits hadits palsu kian menjamur, sehingga membuat posisi hadits nabi
yang asli terkontaminasi dengan keberadaan hadits palsu yang secara lancang disandarkan
pada nabi. Fenomena ini tentu saja merupakan hal yang sangat meresahkan sekaligus
merugikan kaum muslimin, keberadaan hadits palsu ini sejatinya juga mengancam eksistensi
hadits nabi yang asli yang mungkin sebagian besar masyarakat mensenyalir bahwa ada hadits
nabi yang memang tidak bersih dari hadits palsu.

Wafatnya rasulullah menjadi awal embrionisasi munculnya hadits hadits palsu.


Keadaan ini diperburuk juga dengan maraknya oientalis barat yang dengan ramai ramai
mereka mempelajari Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari tubuh Islam itu
sendiri, yang salah satunya dengan membuat hadits palsu.

1. Upaya Penyelamatan Hadits Dari Pemalsuan

Mengingat pemalsuan hadits ini merupakan masalh yang risjkan bagi umat muslim,
para ulama melakukan banyak upaya untuk membendung pemalsuan hadits ini, atau paling
tidak para ulama berupaya agar kaum muslim tidak tertipu dengan keberadaa hadits palsu ini.
Salah satunya dengan menyebutkan oknum oknum /golongan golongan yang memalsukan
hadits juga redaksi hadits yang mereka buat untuk menyesatkan umatr islam.

Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-
hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :

1. Kitab oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H)


2. Kitab oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H).

Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta
menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu. Ciri-ciri
yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:

1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas
rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis yang artinya:
“Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku.”

1. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis yang artinya :”Buah
terong itu menyembuhkan segala macam penyakit. “
2. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti
hadist yang artinya:

“Anak zina itu tidak akan masuk surga. ”

Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :

“Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18)

BAB V METODE MEMBUKTIKAN KEOTENTIKAN HADITS

Gugatan orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 M. Adalah
Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Ia mengklaim
bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).
Sementara itu Ignaz Goldziher berpendapat bahwa dari sekian banyak hadits nabi yang ada,
sebagian besarnya tidak dapat dijamin keasliannya alias palsu. Teori Ignaz Goldziher ini
kemudian dilanjutkan oleh J. Schacht, orientalis Jerman yang juga keturunan Yahudi. Dalam
bukunya, Schacht menyatakan bahwa tidak ada hadits yang benar-benar asli dari Nabi saw,
dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan, maka jumlahnya sangat sedikit sekali.

M.M Azami, Guru besar ilmu hadits Universitas King Saud, Riyadh, Arab Saudi
sekaligus spesialis penakluk tesis kaum orientalis. Otentisitas hadits itu sampai sekarang tetap
dapat dibuktikan secara ilmiah dan historis. Kehidupan Nabi merupakan model yang harus di
ikuti oleh kaum muslimin tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Karena alasan ini, maka para
sahabat bahkan sejak beliau masih hidup telah mulai menyebarluaskan pengetahuan tentang
sunnah dan Nabi sendiri juga memerintahkan mereka melakukan hal itu.

Untuk memperoleh otentitas hadits, menurut M M Azami, maka seseorang harus


melakukan kritik hadits. Menurutnya, kritik hadits sejauh menyangkut nash atau dokumen
terdapat beberapa metode. Namun hampir semua metode tersebut dapat dimasukkan dalam
kategori perbandingan atau cross reference. Dengan mengumpulkan semua bahan yang
berkaitan atau katakanlah semua hadits yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat
satu sama lain, orang akan menilai keakuratan para Ulama.
Masih menurut M. M. Azami, untuk mengetahui otentitas hadits, maka seseorang
harus melakukan kritik hadits baik itu menyangkut sanad hadits maupun matannya. Adapun
rumusan metodologis yang ditawarkan untuk membuktikan keotentikan hadits nabi
diantaranya:
1. Memperbandingkan hadits-hadits dari berbagai murid seorang guru.
2.Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari para ulama dari beberapa waktu yang
berbeda.
3.Memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.
4.Memperbandingkan hadits-hadits dengan Ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Sebenarnya dalam dunia Islam terdapat banyak pakar Hadits masa kini yang sangat
mumpuni. Yang mana mereka mendapat julukan sebagai pembela eksistensi Hadits
kontemporer, di antaranya adalah Mustafa al-Siba'i dengan karyanya
al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islamy
dan juga Nashirudin al-Bani. Namun demikian, bila dibanding dua tokoh yang disebut
terakhir ini, M.M Azami mempunyai keunikan tersendiri. Yaitu :

1.Sumber rujukan dalam Meneliti keautentikan Hadits (kritik sanad)

1. M. M. Azami Naskah abad 2 (lembaran shahifah)


2. Nashirudin al-Bani Kitab Bukhari dan Muslim
3. Orientalis (Goldziher, Schacht, dll. Kecuali Nabia abott) Kitab al-Muwattha‟ ar
-Risalah dan al-Umm.

2. Perpaduan Metode kritik hadits dari Islam dan Barat

M M. Azami mungkin sosok yang langka, karena beliau merupakan ilmuwan hadits
yang memadukan metodologi barat (kritik sejarah) dan metodologi kritik hadits/sanad yang
dikembangkan oleh ulama di masa lampau yang sudah mapan.

BAB VI PENUTUP

Kesimpulan
1. mengenai standarisasi keotentikan hadis, metodologi para ahli hadis llebih akurat daripada
metodologi kaum sufi. Metodologi yang digunakan ahli hadis dalam menilai keotentikan
sebuah hadis yaitu hadis tersebut harus memenuhi kelima persayaratan sebagai berikut:
sanadnya bersambung, rawi yang ‘adil, rawi yang ‘dlobith, tidak adanya syadz (keraguan),
dan tidak adanya ‘illat (kerusakan).

2. Diantara upaya para ulama untuk menyelamatkan hadits nai yang telahterlanjur banyak
dipalsukan adalah dengan menyebutkan oknum oknum yang memalsukan hadits nabi.
Diantara ciri ciri hadits palsu ialah :

 Susunan lafadz maupun maksna nya janggal


 Isi hadits tersebut bertentangan dengan akal.
 Isi hadits tersebut bertentangan dengan al Quran.

3. Otentisitas hadits sesungguhnya dapat dibuktikan secara ilmiah melalui metodologi kritik
hadits, antara lain dengan: 1) membandingkan haditsdis-hadits dari berbagai murid seorang
syeikh (guru); 2) memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seora
ng ulama‟ yang dikeluarkan pada waktu
-waktu yang berlainan 3) memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis 4)
memperbandingkan hadits-hadits dengan ayat al-Quran yang berkaitan dengannya.
DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku:
Al-Thahan, Mahmud, Dr. Taysir Mushtholah al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr.
Azami, Muhammad Musthafa, Prof. Dr. 2006. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya.
Jakarta: Pustaka Firdaus. (diterjemahkan oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub).
Khon, Majid, dkk. 2005. Ulumul Hadis. Jakarta : PSW UIN Jakarta.
Sya’roni, Usman. 2008. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Yaqub, Ali Mustafa, Prof. Dr. 2008. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

PROBLEMATIKA DAN SOLUSI MASA DEPAN HADITS DAN ULUMUL HADITS

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8
&ved=2ahUKEwiSqvX39LzfAhUIuI8KHWKdAvEQFjAJegQIABAC&url=http%3A%2F%
2Fjournal.uin-
alauddin.ac.id%2Findex.php%2Falfikr%2Farticle%2Fdownload%2F2272%2F2205&usg=A
OvVaw1gebARH9qGgK-dnteU-ZyJ

Referensi website:
www.cybermq.com
MAKALAH ULUMUL QUR’AN DAN
ULUMUL HADITS

KEOTENTIKAN HADITS

1. MUHAMMAD (180203116)
2. KHAIRUL FAJRI (180203126)
3. MUHARRAL (180203115)
4. IZZAH GUNADUMNA (180203124)
5. PUTRI MAGHFIRAH (180203135)

Dosen Pembimbing :
Syarifuddin S,Ag. M.Hum

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH

2018

Anda mungkin juga menyukai