PENDAHULUAN
Pada hari Selasa 11 September 2001 satu rangkaian serangan teror yang
terorganisir menyerang Amerika Serikat, serangan ini lebih dikenal dengan istilah
atau kode nine eleven (9/11). Pagi itu sembilan belas orang yang diduga pengikut Al-
pesawat tersebut ke beberapa sasaran objek vital Amerika Serikat. Dua pesawat
ditabrakkan ke menara kembar (twin towers) gedung World Trade Center (WTC),
dan satu pesawat yang tersisa jatuh di daerah Somerset pedesaaan Pennsylvania.
tersebut saat mengisi bahan bakar untuk penerbangan menuju California. Dengan
kapasitas masing-masing pesawat 24.000 gallon atau setara 91.000 liter setiap
pesawat dapat diandaikan sebagai senjata rudal dengan panduan yang akurat. Masing-
1
September, 11 2001 attacks, http://en.wikipedia.org/wiki/September_11,_2001_attacks, diakses
tanggal 30 Juli 2006.
2
Ibid.
3. Pesawat American Airlines Flight 77, yang ditabrakkan oleh pembajaknya ke
4. Pesawat American Airlines Flight 93, yang jatuh di lapangan barat daya
Pennsylvania berdekatan Shanksvile kurang lebih 150 mil atau 240 kilometer
Kerugian Amerika Serikat akibat serangan ini adalah korban tewas dari
penumpang dan awak empat pesawat tersebut sebanyak 246 jiwa, 2976 orang tewas
tertimpa reruntuhan bangunan, 2605 korban tewas di gedung WTC New York
samping kedua gedung WTC dan sebagian gedung Pentagon beberapa gedung juga
mengalami kerusakan antara lain 7 gedung bursa efek, hotel Marriott, stasiun kereta
New York, gedung Deutsche Bank, dan masih banyak lagi bangunan yang hancur
Manhattan New York tersebut, George Walker Bush Jr menyatakan perang terhadap
setiap aksi terorisme dengan target utama adalah kelompok Al-Qaeda pimpinan
Osama bin Laden yang dianggap sebagai dalang dari serangan ke gedung WTC
tersebut. Amerika Serikat di bawah pimpinan George Walker Bush Jr merasa terpukul
konsisten dengan misi Al-Qaeda. Seperti yang disampaikan oleh pimpinan Al-Qaeda
Osama bin Laden dalam suatu fatwa pada tahun 1998 yang menyatakan perang suci
3
Ibid.
melawan Amerika Serikat dan menyatakan bahwa serangan terhadap warga negara
Amerika Serikat dibenarkan. Pernyataan ini juga didukung oleh para petinggi Al-
Qaeda yang lain seperti Ayman al-Zawahiri, Abu-Yasir Rifa'i Ahmad Taha, Shaykh
Mir Hamzah, dan Fazlur Rahman, amir (pemimpin) Pergerakan Jihad di Banglades.
Inti dari fatwa tersebut adalah mendaftar tiga kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh
orang Amerika yaitu bahwa Amerika Serikat mendukung Israel, Amerika Serikat
terhadap Iraq.4
Untuk meredam aksi teroris yang dirasa akan berlanjut maka Amerika Serikat
mulai menggunakan segala cara untuk melindungi kepentingan dan keamanan dalam
negerinya dengan berbagai macam cara seperti melakukan pemeriksaan imigrasi dan
visa yang ketat terhadap setiap orang yang akan datang berkunjung ke Amerika
Serikat, juga larangan untuk berkunjung (travel warning) bagi warga negaranya yang
ada kemungkinan bahwa negara terancam suatu bahaya. Doktrin ini kemudian
dikenal dengan Doktrin Bush atau lebih sering dunia internasional menyebutnya
Doktrin ini mengacu pada suatu peraturan kebijakan luar negeri yang pertama
dan dinyatakan terbuka oleh George W. Bush di dalam pidato di hadapan lulusan
Akademi Militer West Point pada tanggal 1 Juni 2002. George W. Bush dalam
4
Ibid.
5
Bush Doctrine, http://en.wikipedia.org/wiki/Bush_Doctrine, diakses tanggal 30 Juli 2006.
pidatonya mengatakan, “Our security will require all Americans to be forward
looking and resolute, to be ready for pre-emptive strike action when necessary to
Isi dari Doktrin Bush adalah United States will make no distinction between
individual terrorists and states who harbor them, and that the security of the United
States is best maintained through the spread of democracy in the Middle East.
tersebut di atas adalah bahwa Amerika Serikat tidak akan membedakan antara teroris
individu dan negara yang melindunginya, serta bahwa keamanan Amerika Serikat
bagi Afghanistan dengan pemerintahan Taliban dan Iraq). Lebih lanjut kebijakan ini
disusun sebagai suatu dokumen yang bergelar Strategi Keamanan Nasional Amerika
Serikat (The National Security Strategy of the United States of America), yang
pernyataan George W. Bush atau Doktrin Bush (Doktrin Pre-emptive Strike) sebagai
berikut: 8
1. Hak menyerang atau mencegah lebih dulu (Pre-emption), adalah suatu kebijakan
tentang peperangan pencegahan, perlu tidaknya Amerika Serikat melakukan
tindakan pencegahan apabila ada ancaman dari teroris atau oleh negara musuh
yang memproduksi senjata pemusnah massal. Hak kebenaran bela diri harus
6
Briefing, http://www.iraqpeaceteam.org/pagesiptbriefing_2html, diakses tanggal 27 Maret 2005.
7
United States Presidential doctrines, http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Presidential_doctrines, diakses
tanggal 27 Maret 2005.
Afghanistan pada 7 Oktober 2001 dalam rangka menangkap Osama bin Laden yang
dicurigai bersembunyi di Afghanistan. Dalam agresi ini tidak sedikit penduduk sipil
pemusnah massal. George W. Bush menyatakan bahwa Irak, Iran, dan Korea Utara
merupakan anggota poros kejahatan (the axis of evil) yang perlu untuk diawasi oleh
pihak barat.10
Doktrin pre-emptive strike ini sendiri menuai kecaman baik dari masyarakat
Amerika Serikat maupun dunia internasional, hal ini dikarenakan doktrin ini
pelaksanaannya cenderung subjektif, selain itu doktrin ini juga bertentangan dengan
9
Operation Enduring Freedom,http://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Enduring_Freedom, diakses
tanggal 30 Juli 2006.
10
Criticisms of the Bush Doctrine, http://en.wikipedia.org/wiki/Bush_Doctrine, diakses tanggal 30 Juli
2006.
teori perang yang adil (the just war theory).11 Amerika Serikat sendiri tetap
bersikukuh bahwa penggunaan doktrin ini adalah sebagai alasan yang tepat dan logis
untuk melindungi negara dan warga negaranya serta membela diri dari setiap
Doktrin pre-emptive strike Amerika Serikat untuk membela diri dari ancaman
terorisme sebenarnya bertentangan dengan hak untuk membela diri (the right to self-
defence) yang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. 12 Menurut Atip Latifulhayat,
Piagam PBB tersebut maka penggunaan hak untuk membela diri (the right of self-
defence) pertama-tama harus didasarkan pada kriteria ada atau tidaknya suatu
pada masa sekarang kurang berkembang karena pada praktek hubungan antarnegara
doktrin sebagai sumber hukum internasional ternyata tidak mudah karena belum ada
kepastian siapa saja ahli-ahli hukum yang dianggap mempunyai kecakapan tinggi
yang dapat merumuskan sebuah doktrin serta bagaimana kekuatan mengikat doktrin
11
Ibid
12
Pasal 51 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: “Nothing in the present chapter shall impair the
inherent of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of United
Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and
security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self defence shall be immidiately
reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the
Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order
to maintain or restore international peace and security”.
13
Atip Latifulhayat, Perang Irak dan Hukum Internasional, Journal of International Law UNPAD, Vol.
3 No. 1 – April 2004. hal. 72.
karena doktrin hanya mempunyai kekuatan mengikat apabila telah diadopsi menjadi
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas dapat ditarik suatu permasalahan yakni
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
internasional.
pemerintah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sumber hukum internasional oleh para sarjana hukum, yang kemudian disebut
masukan kepada para pelaku hukum internasional sehingga ide-ide dalam doktrin
14
F. A. Whisnu Situni, Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, CV.
Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 10.
15
Ibid, hal. 10-12.
Sumber hukum material diartikan sebagai sumber hukum yang menentukan
isi hukum, dalam praktek sumber hukum material ini harus dipergunakan
internasional yang berlaku. Prinsip itu disebut “ius cogens”, misalnya bahwa
perjanjian harus ditepati oleh para pihak dalam perjanjian tersebut (pacta sunt
servanda).16
sebagai berikut: 18
1. Kebiasaan.
2. Traktat- traktat.
arbitrasi.
4. Karya-karya hukum.
tentang sumber hukum dalam arti formal, meskipun Statuta itu sendiri tidak secara
eksplisit menyatakan Pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum dalam arti formal. 19
Article 38
(1) The Court, whose function is to decide in accordance with international law
such dispute as are submitted to it shall apply:
a. international conventions, whether general or particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states;
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. the general principles of law recognized by civilized nations;
d. subject to the provisions of Article 59, judical decisions and the teachings
of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary
means for the determination of rules of law
(2) This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex
aequo et bono, if the parties agree there to.
Adapun yang dimaksud dari Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional ini adalah
sebagai berikut:
Pasal 38
(1) Mahkamah yang berfungsi memutuskan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya, berdasarkan hukum internasional, akan menerapkan:
a. Konvensi internasional, yang bersifat umum atau khusus, aturan yang
mengandung ketentuan hukum yang secara tegas diakui oleh negara-
negara yang bersengketa;
b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari praktek umum yang diterima
sebagai hukum;
c. Azas-azas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
d. Sesuai dengan ketentuan pasal 59, keputusan pengadilan dan ajaran dari
ahli-ahli yang sangat terkenal dari berbagai bangsa, sebagai sumber
tambahan untuk menentukan aturan hukum.
(2) Ketentuan ini tidak mengurangi kekuasaan Mahkamah untuk memutuskan
perkara secara ex aequo et bono, apabila pihak-pihak yang bersangkutan
menyetujuinya.
19
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1990,
hal. 150.
a. Pengertian Doktrin
buku pelajaran.20 Menurut F.A. Whisnu Situni, doktrin adalah ajaran hukum
legal principle that is widely adhered to. Yang artinya bahwa doktrin adalah
Doktrin, dalam bahasa Perancis ‘la doctrine’ diartikan oleh para ahli
hukum internasional sebagai ajaran dari para ahli hukum ternama (the
ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan the most highly
20
N.E. Algra dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Bina Cipta, Bandung, 1983, hal. 99.
21
F. A. Whisnu Situni, op.cit, hal. 91.
22
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, 7’th Edition, Book I, West Group, St. Paul, 1999. hal
497.
23
F. A. Whisnu Situni, op. cit, hal. 90.
qualified publicist sehingga kriteria ini menjadi kabur. Kekaburan ini menjadi
semakin nyata dengan timbulnya pernyataan seperti syarat apa sajakah agar
difficult to decide who ‘the most highly qualified publicist’s are as it is to say
what a peace-loving nation within the meaning of the Charter of the United
beberapa contoh ajaran hukum yang dianggap sebagai doktrin, seperti naskah
artikel yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional dan naskah Penelitian
mencantumkan secara tertulis sumber hukum dalam arti formal yakni Pasal 7
Desember 1920 yang kini tercantum dalam Pasal 38 Piagam atau Statuta
24
Ibid, hal. 90-91.
25
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni,
Bandung, 2003. hal. 114.
Dari kedua dokumen tertulis tersebut hanya Pasal 38 Statuta Mahkamah
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari
hukum.
mendasarkan pada urutan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 38 ayat (1)
yang akhir-akhir ini merupakan sumber hukum yang semakin penting. Pasal
hukum umum sebagai sumber hukum oleh perumus Statuta ini adalah sebagai
masing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal karena soal ini sama
sekali tidak diatur oleh Pasal 38 itu sendiri. Satu-satunya klasifikasi menurut
Mochtar Kusumaatmadja ialah bahwa sumber hukum formal itu dibagi atas
1. Sumber hukum utama atau primer, yang meliputi ketiga golongan sumber
berbagai negara.
27
Ibid. hal 115.
28
Ibid. hal 115-116.
yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan
hukum;
hukum atau seperti dikatakan dalam bahasa latin “opinio juris sive
necessitatis”.30
Yang dimaksud dengan prinsip atau azas hukum umum ialah azas hukum
sistem hukum modern adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas
azas dan lembaga hukum negara Barat yang untuk sebagian besar
didasarkan atas azas dan lembaga hukum Romawi. Contoh dari azas
hukum umum ini adalah azas pacta sunt servanda (perjanjian harus ditaati
oleh para pihak dalam perjanjian itu), azas bona fides (itikad baik), serta
azas adimplendi non est adiplendum (tidak mengurangi hak peserta yang
29
Ibid. hal 117.
30
Ibid. hal 144-145.
31
Ibid. hal 115.
dirugikan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian dengan didasarkan
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari
hukum.33
Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat,
tidak dikenal azas keputusan yang mengikat (rule of binding precedent) jelas
The decision of the court has no binding force except between the parties
kekuatan mengikat kecuali antara para pihak dan menyangkut kasus yang
tertentu.35
32
Ibid. hal 148-149.
33
Ibid. hal 150.
34
Ibid. hal 150-151.
35
Ibid. hal 151.
Jika keputusan Mahkamah Internasional sendiri tidak mengikat selain
pengadilan dalam Pasal 38 ayat 1 sub d ialah pengadilan dalam arti luas dan
internasional penting sebagai bukti dari apa yang telah diterima sebagai
hukum internasional oleh pengadilan nasional negara itu. Selain itu keputusan
mempunyai akibat kumulatif yang tidak dapat diabaikan sebagai bukti apa
yang telah diterima sebagai hukum. Hal ini tidak sedikit pengaruhnya dalam
bersangkutan.37
36
Ibid.
37
Ibid. Hal 151-152.
Sumber hukum tambahan yang kedua yaitu ajaran para sarjana hukum
terkemuka dapat dikatakan bahwa penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh
para sarjana terkemuka sering dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk
sarjana itu sendiri tidak menimbulkan akibat hukum. Fungsi ajaran atau
internasional sangat terasa pada abad-abad awal sebelum abad XX. Seperti
perkembangan hukum internasional pada abad itu. Pada saat ini doktrin sudah
yang penting, hal ini ditekankan oleh S.K. Kapoor sebagai berikut:39
law, yet the view of the jurist may help in the development of law.
38
Ibid. Hal 152
39
F. A. Whisnu Situni, op. cit. hal. 91-92.
Sedangkan Starke lebih menjelaskan arti penting dari doktrin dengan
menyatakan:40
The persuasive value of the very best legal writing nevertheles remains a
maka yang dulunya hanya merupakan ajaran hukum berubah menjadi sumber
hukum. Hal ini dikatakan pula oleh Mr. Justice Gray sebagai berikut:42
Speculations concerning what the law ought to be, for the writings may
help to create opinion which may influence the conduct of states and thus
Oleh karena itu doktrin sering kali disebut sebagai sumber hukum tidak
40
Ibid. hal. 92.
41
Ibid.
42
Ibid. hal. 92-93.
43
Ibid. hal. 93.
Dari hal tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran para
sarjana atau ahli hukum yang memiliki kecakapan tingkat tinggilah yang
dapat dianggap sebagai sumber hukum. Doktrin sendiri memiliki arti yang
contoh adalah doktrin dari Montesquieu, seorang pemikir besar yang pertama
di antara ahli-ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Prancis.
yang di dalamnya terdiri atas dua bagian yaitu Senat dan Dewan
dan
44
Soehino, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2002, hal.116-117.
45
Rosalie Targonski, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Office of International Programs
United States Departement Of State, United States of America, 2000. hal. 76-77.
Contoh lain penggunaan doktrin atau ajaran ahli-ahli hukum yang
Lola, Supreme Court of the United States 1900 no. 175 US 677, dimana
Alasan lain dari putusan ini adalah ketika tidak ada traktat atau tidak terdapat
bangsa-bangsa yang beradab serta hasil karya ahli-ahli hukum dan ahli-ahli
tafsir yang bekerja dan meneliti serta dari hasil pengalaman mereka bertahun-
hukum ketika dikemukakan oleh para sarjana atau ahli hukum maka akan
Seringkali suatu doktrin diadopsi begitu saja oleh suatu negara dan
46
Chairul Anwar, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan,
Jakarta, 1989. hal. 7-8.
internasional. Hal ini terjadi dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional
internasional.47
preventive war. Pre-emptive attack (pre-emptive war) ini pada intinya dapat
memukul mundur atau mengalahkan invasi atas serangan yang segera terjadi
atau suatu tindakan untuk memperoleh suatu posisi strategis atas suatu yang
47
F. A. Whisnu Situni, op. cit. hal. 91.
48
Pre-emptive War, http://en.wikipedia.org/wiki/Preemptive_war, diakses tanggal 25 Juli 2006.
hukum internasional, dan dianggap tidak mencukupi persyaratan peperangan
(justified/justifiable).49
Untuk istilah yang lain lagi yaitu pre-emptive strike adalah suatu
suatu serangan untuk antisipasi serangan dari musuh. Menurut senator John
1. prevention is the immediate use of force in order to avoid the risk of war
pendahuluan adalah suatu respon taktis bagi suatu ancaman segera atau
tiba-tiba).
1. prevention is wars that emerge from concern with long term shift in
yang dinamis)
Dimaksud di sini bahwa serangan lebih dahulu adalah suatu tindakan yang
diambil sebagai jawaban atau respon atas suatu ancaman bagi suatu keamanan
53
Ibid.
54
Thomas R. Van Dervont, International Law and Organization (An Introduction), Sage
Publications, London, 1998. hal 473.
negara-negara dalam bentuk suatu serangan sebelum ancaman dapat
dikerahkan secara penuh. Bentuk tindakan ini dengan jelas dilarang oleh
sangat sempit yaitu adanya suatu keadaan atau situasi tertentu dan
kolektif yang dikuasakan pada Dewan Keamanan, maka hal demikian dapat
dibenarkan.
kewajiban tersebut, maka secara mudah dapat dirumuskan yang dimaksud dengan
internasional. Dengan kata lain, setiap pendukung atau pemegang hak dan
merupakan subjek hukum internasional. Hal ini terkait dengan keadaan di masa
55
I Wayan Parthiana, op. cit. hal. 58.
lalu yang tidak ada atau jarang ada pribadi-pribadi hukum selain negara yang
beberapa hak perlindungan tertentu, dan lain-lain telah diberikan kepada budak-
dan para penganutnya ini berpendapat bahwa pada analisa akhir, individu-
yang samar dari teori ini diperlihatkan dalam kalimat Westlake berikut ini: 57
Kelsen menganalisa ide suatu negara dan mengakui bahwa negara semata-mata
56
J.G Starke, op. cit. hal. 77-78.
57
Ibid. hal. 78.
ketentuan hukum yang berlaku terhadap sekelompok orang di dalam wilayah
teritorial tertentu; negara dan hukum hampir dapat dikatakan sebagai suatu
beberapa keuntungan tertentu atas nama kolektivitas umat manusia yang menjadi
individu-individu.58
Hal ini menurut Kelsen dikarenakan tidak ada perbedaan nyata antara
hukum suatu negara dan hukum internasional. Kedua sistem hukum tersebut
mengikat negara-negara tetapi itu hanya bersifat perantara (mediately) dan karena
kebenarannya, tetapi dari segi praktis para ahli hukum internasional dan hukum
tata negara mempertimbangkan dan bekerja atas dasar hal-hal yang realistis
individu dapat memiliki hak-hak. Hak ini sesuai dengan praktek yang telah
Ratu) Inggris pada saat melakukan perundingan bukan bertindak sebagai wali
58
Ibid.
59
Ibid. hal. 79.
60
Ibid.
Berbeda dengan pendekatan praktis yang berpangkal tolak pada
pada masa sekarang maupun hukum yang mengaturnya. Fakta yang ada dapat
internasional, atau apabila merupakan suatu fakta hukum bisa juga memang
diadakan oleh hukum sendiri. Bagi suatu pembahasan yang realistis dan wajar
harus diakui dan diperhitungkan, perlu diingat bahwa adanya fakta dan suatu
setelah perang dunia pertama dan kedua, pelaku-pelaku dalam pergaulan dan
Selain itu dalam arti yang lebih luas pengertian subjek hukum
61
Mochtar Kusumaatmadja dan dan Etty R. Agoes. op. cit. hal. 97.
62
I Wayan Parthiana, op. cit. hal 59.
penuntutan hak yang diberikan oleh hukum internasional di muka pengadilan
berdasarkan suatu konvensi. Contoh dari subjek hukum internasional dalam arti
Dewasa ini yang sudah diakui oleh dunia internasional sebagai subjek
a. Negara;
b. Organisasi Internasional;
haknya);
f. Wilayah-wilayah Perwalian;
h. Individu.
63
Ibid. hal. 91-92.
64
Ibid. hal. 59.
65
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. hal. 610.
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya.
yang mempunyai daerah atau teritoir tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku
adalah suatu persekutuan manusia yang mengikuti jika perlu dengan tindakan
adalah kelompok politis persekutuan hidup orang yang banyak jumlahnya dan
yang memiliki kemampuan penuh (full capacity) untuk mengadakan atau menjadi
orang yang dalam mencapai tujuan bersama, mengadakan kerja sama dan
yang dalam mencapai tujuan bersama, mengadakan kerja sama dan pembagian
kehendaknya.68
66
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 1-2.
67
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional BAG: 1, Cet. I, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2002. hal. 19.
68
F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 20.
dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Fenwick mendefinisikan negara
sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisir secara tetap, menduduki suatu
daerah tertentu, dan hidup dalam batas-batas daerah tersebut, bebas dari
pengawasan negara lain sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di
muka bumi.69
mengawasi masyarakat serta harta benda yang ada dalam wilayah perbatasannya,
a. Harus ada ada penduduk atau rakyat yang permanen atau tetap. Yang
masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional. Syarat penting
untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir
b. Harus ada wilayah atau daerah yang tetap, di mana rakyat tersebut menetap.
Tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil.
Dapat saja wilayah tersebut hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana
halnya dengan suatu negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh
c. Harus ada pemerintah, yaitu seseorang atau beberapa orang yang mewakili
anarkis bukan termasuk negara. Bengt Broms menyebut kriteria ini sebagai
untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata kemudian secara
hukum dan secara faktanya menjadi negara boneka atau negara satelit dari
suatu negara lainnya, maka negara itu tidak dapat digolongkan sebagai
negara.
72
Huala Adolf, op. cit. hal 3-7.
d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Oppenheim-
Di samping keempat ciri tersebut di atas ada dua ciri lain yang
seyogyanya dimiliki oleh suatu negara. Kedua ciri tersebut adalah bahwa:73
pejabatnya (agent) terhadap pihak atau negara lain, dengan kata lain negara
pada kekuasaan negara lain. Negara yang berdaulat dengan demikian adalah
dari negara. Pendapatnya ini ditarik dari pendapat Hakim Huber dalam kasus the
73
I Wayan Parthiana, op. cit. hal. 22.
74
Huala Adolf, op. cit. hal 8.
Sovereignity in the relations between States signifies independence.
samping kedaulatan juga merupakan sentral dari suatu negara. Tanpa unsur
kemerdekan dan berdaulat, sangatlah sulit untuk diterima bahwa suatu negara
kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak dan kewajiban itu dapat
dibedakan menjadi: 76
negara lain;
3. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan orang yang ada dalam
masyarakat internasional;
masyarakat internasional;
75
Ibid . hal 8.
76
F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 29.
Hak-hak serta kewajiban negara terkait dengan kedudukannya
Negara yang merdeka adalah negara yang berdaulat, yakni negara yang
internasional.78
b. Hak kesederajatan.
Hak ini berpangkal pada ajaran kaum naturalis yang menyatakan bahwa
negara secara alami adalah juga sederajat satu sama lainnya. Ajaran ini
ini diakui juga melalui Piagam PBB. Piagam itu menetapkan hak negara
77
Ibid.
78
Ibid. hal. 30.
79
Ibid.
terjadi kepadanya. Usaha mempertahankan diri itu dapat dilakukan
sebagai berikut:
such manner that international peace and security, and justice, are not
endangered.
80
Ibid.
81
Ibid. hal. 31.
Kewajiban ini berpangkal tolak pada azas yang telah lama diakui
82
Ibid.
83
Ibid.
serta melaksanakan fungsi kenegaraan dengan mengecualikan negara lain.
a. Wilayah Daratan;
c. Wilayah Udara.84
2.3 Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan orang yang ada
bersangkutan. Setiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara baik
hukum yang berlaku di negara tersebut, di lain pihak negara tersebut juga
dan hukum negara itu. Hak dan kewajiban negara atas benda terutama
84
Ibid. hal. 33-42.
85
Ibid. hal. 42.
hubungannya dengan negara itu namun berada di negara lain begitu pula
negara lain yang berada di negara tersebut. Misalnya adalah negara bendera
ekonomi
ekonomi suatu negara tidak dapat lepas dari kehidupan negara lain
86
Ibid. hal. 42-43.
87
Ibid. Hal. 43.
88
Ibid. Hal. 47.
b. Negara bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan
yurisdiksinya.
negara
negara dan prinsip tidak campur tangan suatu negara terhadap urusan
“par in parem non habet imperium”, artinya para pihak (negara) yang sama
melampaui batas-batas suatu negara. Ada dua azas yang digunakan untuk
a. Azas Teritorial.
89
Huala Adolf, op. cit. hal 183.
90
F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 47-48.
Azas ini menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang,
1. Perluasan teknik
mungkin terjadi di suatu negara dan sebagian lain terjadi di negara lain.
91
Ibid. Hal. 48
92
Ibid. Hal. 48-49.
berakhir atau menimbulkan akibat di wilayah negara lain. Prinsip
ini selain berlaku juga pada kedua konvensi tersebut di atas juga
e. Lembaga Internasional.
93
Ibid. hal 52.
Perluasan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan terjadi karena suatu
yaitu: 94
94
Ibid. hal 49-50.
95
Ibid. hal 50.
internasional. Perbuatan ini disebut kejahatan internasional. Semua
umum diakui adalah kejahatan bajak laut jure gentium dan penjahat
perang.96
1. Pengertian Perang
(self defense) dengan cara menyerang lebih dahulu. Pengertian perang menurut
adalah perbuatan suatu negara terhadap negara lain untuk mendapatkan keadilan
bagi diri sendiri dengan menggunakan senjata. Ia bertindak sebagai hakim sendiri
(eigen rechter) dan mengambil sikap kekerasan. Jadi perang adalah suatu alat
memungkinkan dua atau lebih dari dua gerombolan manusia yang sederajat
96
Ibid. hal 51.
97
Ibid. hal. 104.
98
F. E. Thanos, Hukum Perang, Penerbit Pembimbing, Jakarta, 1954. Hal. 6.
menurut hukum internasional untuk menjalankan persengketaan bersenjata.99
their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing
such condition of peace as the victor pleases.100 Pendapat Oppenheim ini dapat
diartikan bahwa peperangan adalah suatu sengketa antara dua atau lebih negara
lain.
bahwa perang adalah hubungan antara negara-negara, bukan individu, jadi orang-
orang menjadi musuh apabila mereka adalah prajurit. Doktin ini sejak akhir abad
ke-19 diterima di seluruh benua Eropa, hanya Inggris dan Amerika yang tidak
keadaan perang antara dua negara itu maka keadaan tadi juga berlaku bagi warga
negaranya.101
Dari beberapa pengertian perang di atas terdapat pula pendapat tentang konsep
perang yang adil (just war theory). Dalam just war theory ini dibahas konsep
Menurut teori ini suatu peperangan harus memenuhi kriteria tertentu atau adanya
sebab (just cause), dalam hal ini ada dua macam kekuatan bersenjata boleh
digunakan yaitu untuk menghadapi kejahatan publik, dan untuk membela diri.102
99
G. P. H. Djatikoesoemo, Hukum Internasional Bagian Perang, Penerbit N. V. Pemandangan,
Jakarta, 1956. Hal 1.
100
Ibid. Hal 1.
101
Ibid. hal 3.
102
Just War, http://en.wikipedia.org/wiki/Just_War, diakses tanggal 13 November 2006.
St Augustine menggolongkan just cause ke dalam tiga unsur-unsur yang
Sedangkan Grotius menyebutkan enam syarat dari perang yang adil (Just
103
Ibid.
104
Haryomataram, Hukum Humaniter Trimatra, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas
Hukum Trisakti, Jakarta, 2003. hal. 37-42.
Pandangan ini tidak membentuk suatu penolakan atas perjuangan demi
kebebasan, tetapi merupakan penolakan bertahan dengan sia-sia atau bunuh
diri. Ini adalah kondisi yang juga mempunyai implikasi penting untuk
pemilihan waktu yang tepat bagi suatu bangsa untuk menyerah).
4. Declaration of War (Publicly Declared) (yaitu pernyataan perang yang
dinyatakan kepada umum)
Ada dua tujuan yang hendak dicapai dengan declaration of war ini, yaitu :105
a. Provides the offending party the opportunity to offer redress in lieu of
violence. (Penyediaan bagi pihak yang menyerang kesempatan untuk
menawarkan mengganti kerugian sebagai pengganti kekerasan).
b. Nations must conduct war in manner that establishes with certainly that
war is not being wages by private initiative but will of each of the two
peoples or their lawful heads. (Negara-negara harus melakukan
peperangan dengan suatu cara yang ditetapkan dengan kepastian bahwa
perang tidak dilaksanakan atas prakarsa pribadi tapi oleh kehendak dari
dua bangsa menurut pimpinan mereka yang sah).
5. Legitimate Authority (kekuasaan yang sah)
Yang dimaksud dengan kekuasaan yang sah adalah “the duty constituted ruler
who speak with the authority of the populace and who does not have resource
to higher suthority for arbitration”. (pembuat peraturan yang menentukan
tugas atau yang berwenang berbicara atas nama kekuasaan rakyat dan yang
tidak mempunyai sumber ke kewenangan atau kekuasaan pada penguasa
tertinggi atas arbitrasi).
Perlu ditegaskan bahwa yang tidak digolongkan dalam ‘legitimate authority’
di antaranya adalah pejabat tinggi walau tugasnya atau kedudukannya ada
hubungannya dengan Angkatan Perang (di Amerika Serikat ‘legitimate
authority’ tersebut adalah Congress, namun demikian sering terjadi bahwa
penggunaan kekuatan bersenjata hanya diputuskan oleh Presiden saja).
6. As a Last Reason (sebagai alasan terakhir)
Yang dimaksud dengan alasan terakhir di sini adalah bahwa perang baru
boleh dinyatakan apabila semua jalan damai untuk menyelesaikan
perselisihan telah ditempuh tapi tanpa hasil.
hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) yang kemudian lebih dikenal
105
Ibid.
106
Arlina Permatasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Committe Of The Red Cross,
Jakarta, 1999. hal 5.
Menurut Sugeng Istanto, pengaturan pertikaian bersenjata menurut
Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu: 108
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai dalam
berikut: 109
1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur dalam hal bagaimana
2. Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua
yaitu :
107
F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 105.
108
Arlina Permatasari, op. cit. hal 6.
109
Ibid.
Pengaturan sengketa bersenjata menurut hukum internasional sendiri
terdiri dari Hukum Den Haag (hukum yang mengatur cara dan alat yang
maupun objek yang secara tidak langsung mendukung usaha militer). Kedua
ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum yang utama dalam hukum
humaniter internasional.110
Den Haag 1899 (Konvensi Perdamaian I) dan Konvensi Den Haag 1907
Konvensi Den Haag 1899 menghasilkan tiga buah konvensi dan tiga
110
Ibid. hal 21-22.
111
Ibid. hal 23.
112
Ibid.
Konvensi Den Haag 1907 menghasilkan sejumlah konvensi sebagai
berikut : 113
Meskipun dalam Konvensi Den Haag 1907 ini terdapat banyak konvensi
perang tersebut dimulai dengan cara yang dituangkan dalam konvensi ini.
113
Ibid. hal 24.
114
Ibid. hal 25.
115
Ibid. hal 26.
The Contracting Powers recognize that hostilities between them must
not commence without a previous and unequivocal warning, which
shall take the form either of a declaration war, giving reason or an
ultimatum with a conditional declaration of war .
Darat.
berlaku apabila kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam
konvensi. Apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi
ini tidak berlaku. Pasal ini lazim disebut dengan Klausula Si Omnes.117
3. Konvensi V Den Haag 1907 tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga
116
Ibid.
117
Ibid. hal 27.
Konvensi ini berjudul Convention Respecting the Rights and Duties of
Neutral Power and Persons in Case of War on Land. Dengan melihat judul
tersebut maka harus dibedakan antara negara netral dan orang netral. 118
Negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral
dalam suatu peperangan, sedangkan orang netral adalah warga negara dari
4. Konvensi XIII Den Haag 1907 tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral
118
Ibid. hal 28.
119
Ibid. hal 29.
120
Ibid. hal 32.
III. Geneva Convention relatives to the Treatment of Prisoners of War
(Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang);
IV. Geneva Convention relatives to the Protection of the Civilians Persons in
Time of War (Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil
di Waktu Perang).
Penekanan di sini adalah bahwa prinsip yang terdapat dalam Konvensi Jenewa
masih tetap berlaku. Lebih jauh mengenai Protokol Tambahan 1977 ini seperti
diterangkan di atas bahwa protokol ini terdiri atas dua buku yaitu : 122
121
Ibid.
122
Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. hal. 49-
51.
diletakkan dalam nomor pasal yang sama maupun dirumuskan dengan redaksi
atau isi yang sama atau hampir sama. Pasal-pasal ini lazim disebut sebagai
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsep legal positif.
Konsep ini memandang hukum sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan konsep yang melihat
hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan
2. Spesifikasi Penelitian
123
Arlina Permatasari, op. cit. hal 33.
124
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1990. hal. 14.
Spesifikasi penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek yang diteliti tanpa bermaksud
3. Lokasi Penelitian
merupakan studi pustaka atau di lapangan atau survei. Lokasi penelitian terkait erat
dengan metode penelitian yang dipilih oleh seorang peneliti. Perbedaan lokasi
penelitian juga secara otomatis menghasilkan proses penelitian yang berbeda pula.126
1. Kantor CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Jl. Tanah Abang
10110, Indonesia.
Purwokerto.
125
Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Normatif, UI Press, Jakarta, 1984. hal. 10.
126
Trusto Subekti, Diskusi Metodologi Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, 2003. hal. 15-16.
4. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber yang pertama,
yaitu data yang secara langsung diperoleh dari objek penelitian berupa
Dalam penelitian ini data primer hanya sebagai pendukung data sekunder saja,.127
b. Data Sekunder
buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan sebagainya
yang terhadap data tersebut, peneliti tidak tergantung dari ruang lingkup dan
a. Data Primer
Data yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan staf kantor
Kedutaan Besar Amerika Serikat, staf ICRC (International Committe of the Red
Cross) dan dosen maupun alumni yang mengerti mengenai permasalahan yang
diteliti.
b. Data Sekunder
127
Soerjono Soekanto, op. cit. hal. 66
128
Ibid
Perpustakaan Kedutaan Besar Amerika Serikat (Public Affairs Section,
pengolahan, analisa dan konstruksi data, yakni data sekunder yang diperoleh
dilakukan sinkronisasi antara data yang satu dengan data lainnya dan data primer
yang utuh.
7. Analisis Data
Analisa data merupakan salah satu tahapan atau proses penelitian yang
sehingga peneliti bisa mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitiannya. Data yang
BAB IV
Osama bin Laden dan gerakan fundamentalisme Islam lainnya menjadi sasaran
tindakan balas dendam akan dilakukan jika pemerintah Taliban yang memerintah
Afghanistan tidak mau menyerahkan tersangka dalam kasus terorisme. Ancaman ini
bersalah). Hal ini terkait dengan penerapan doktrin pre-emptive strike oleh Amerika
129
Ibid. hal. 250.
Serikat sebagai salah satu negara adikuasa yang menyatakan perang terhadap segala
bentuk ancaman yang akan datang dan membahayakan keamanan negaranya. 130
Pentagon di Amerika Serikat menarik untuk dikaji dari segi hukum internasional.
Sebab, aksi terorisme di samping melanggar ketentuan hukum internasional dan juga
Serikat untuk mengintervensi secara dominan peranan Dewan Keamanan PBB dalam
dan pencegahan melalui doktrin pre-emptive strike yang tertuang dalam Dokumen
Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat (The National Security Strategy of the
United States of America).131 Melalui doktrin pre-emptive strike ini maka pada tanggal
menghukumnya.
5. Berikan izin dan kebebasan pada Amerika Serikat untuk memeriksa tempat
pelatihan teroris.
serangannya ke sejumlah negara sponsor atau negara yang dicurigai sebagai tempat
terrorism);
4. Kemudian yang terakhir adalah Iraq pada tahun 2003, invasi ke Iraq didasari
pertimbangan bahwa:134
senjata pemusnah massal, yaitu: senjata biologi, bahan kimia, dan program
133
Ibid.
134
Iraq Disarmament Crisis, http://en.wikipedia.org/wiki/Iraq_disarmament_crisis, diakses tanggal 30
Juli 2006.
b. Pemerintah Iraq telah mendukung operasi teroris dan kelompok milisi
protektif dengan menciptakan doktrin pre-emptive strike, serang lebih dahulu sasaran
bertindak lebih arif, dialog dan dialog terus dengan mengubah wajah politik luar
Di sisi lain tindakan Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan Irak yang
kedaulatan kedua negara tersebut, meskipun hal ini dikarenakan Amerika Serikat
berupaya melindungi atau membela diri terhadap ancaman yang akan datang hal ini
All member shall refrain in their international relations from the threat or use of
135
Mansyur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 208.
136
Chairul Anwar, op. cit. hal. 155.
Adapun kunci mengenai larangan penggunaan kekerasan dalam Piagam PBB
Pasal 2 (4) yang berisi: Segenap anggota PBB dalam hubungan internasional harus
wilayahnya atau hak kemerdekaan suatu negara atau dengan cara apa pun yang
actions that influence the domestic affairs of another sovereign state. some
analist use the term more narrowly to refer to forcible interference in the
Adapun yang dimaksud dari pernyataan tersebut adalah: Definisi paling luas dari
urusan dalam negeri dari negara berdaulat yang lain. Beberapa analis menggunakan
istilah intervensi dalam pengertian yang lebih sempit untuk mengacu pada gangguan
atau campur tangan secara paksa dengan kekerasan di dalam urusan dalam negeri dari
negara lain.
Afghanistan dan Irak yang pertama adalah the right of self-defense (hak untuk
membela diri) dan yang kedua adalah humanitarian intervention (intervensi untuk
137
Rika Ratna Permata, Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Pelanggaran Piagam PBB Oleh Invasi
Amerika Serikat Ke Irak, Journal Of International Law UNPAD, Vol 2 No. 2 – Agustus 2003. hal 155.
138
Joseph S. Nye, Jr, Understanding International Conflict, Harper Collins College Publisher, New
York, 1993. hal. 132.
internasional tersebut Amerika kemudian berpendapat bahwa perang tersebut sah
Perubahan ini terutama adalah mengenai hak untuk membela diri dan mengenai
terjadi banyak pemahaman mengenai kedua hal tersebut. Hak untuk membela diri
(the right of self-defence), diakui oleh PBB di mana menurut Pasal 51 Piagam PBB
negara anggota memiliki inherent right (hak yang melekat), baik secara individu
maupun kolektif untuk membela diri apabila terjadi serangan bersenjata terhadap
negaranya. Pasal tersebut memberikan jaminan mengenai eksistensi hak tersebut, hal
ini mengandung arti bahwa implementasi dari hak tersebut harus sesuai dengan
Dari ketentuan Pasal 51 Piagam PBB ini dapat diambil kesimpulan bahwa PBB
apabila suatu negara benar-benar telah diserang (an armed attack occurs).141
139
Atip Latifulhayat, op. cit. hal 71.
140
Ibid. hal 72.
141
Ibid. hal 73.
Selanjutnya para pakar hukum internasional menambahkan syarat lainnya
membela diri (self-defence) ini juga terdapat dalam San Remo Manual (San Remo
mengenai hak bela diri ini ada dalam Part I General Provisions Section II Armed
conflict and the law of self-defence San Remo Manual on International Law
Applicable to Armed Conflict at Sea 1994, dimulai dari Pasal 3 sampai Pasal 6. Isi
1. Pasal 3
Article 51 of the Charter of the United Nations is subject to the conditions and
limitations laid down in the Charter, and a rising from general international law,
2. Pasal 4
the sea and require that the conduct of hostilities by a state should not exceed the
degree and kind of force, not otherwise prohibited by law of armed conflict,
required to repel an armed attack against it and to restore its security (prinsip
bersenjata di laut dan mensyaratkan bahwa pihak atau negara yang bermusuhan
tidak boleh berlebihan dalam tingkat maupun jenis kekerasan, jika tidak dilarang
3. Pasal 5
How far a State justified in its military actions against the enemy will depend
upon intensity and scale of the armed attack for which the enemy is responsible
and gravity of the threat posed (seberapa jauh suatu negara dibenarkan dalam
tindakan militernya melawan musuh akan bergantung pada intensitas dan skala
4. Pasal 6
The rules set out in this document and any other rules of international
humanitarian law shall apply equality to all parties to the conflict. The equal
application of this rules to all parties to the conflict shall not affected by the
international responsibility that may have been incurred by any them for the out-
break of the conflict (aturan yang tercantum dalam dokumen ini dan dalam
peraturan lain tentang hukum humaniter internasional akan berlaku sama bagi
semua para pihak yang bersengketa. Penerapan yang sama atas aturan ini bagi
semua pihak yang bersengketa tidak boleh dipengaruhi oleh tanggung jawab
internasional yang mungkin dipikul oleh salah satu pihak karena memulai
sengketa).
mengajukan pendapat bahwa intervensi kemanusiaan ini tetap dapat dilakukan asal
a. Intervensi kemanusiaan harus didasarkan atas alasan dan tujuan yang jelas yaitu
b. Harus dilakukan dengan azas proporsionalitas yang tidak berlebihan (the cure is
c. Harus didasarkan atas aturan yang jelas untuk menghindari terjadinya eksploitasi
strike oleh negara ini antara lain juga munculnya tindakan sepihak dari negara
(unilateral act) dalam melakukan hak bela diri dan intervensi terhadap suatu negara
sumber hukum internasional seperti yang tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta
Mahkamah Internasional namun dalam prakteknya baik negara maupun para sarjana
bakunya. Hanya ada salah satu pegangan yang masih dikutip sampai saat ini, yaitu
tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan
maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi, atau barang di
negeri tersebut.145
Menurut J.G. Starke, intervensi dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu:
146
pemberontak.
ketika Italia melibatkan diri dalam Perang Dunia II dengan memihak Jerman dan
memerangi Inggris.
ditimbulkan oleh negara lainnya. Sebagai contoh adalah blokade damai yang
144
Rudolf Bernhardt, Encyclopedia of Public International Law, Elsevier Science Publishers B.V,
Netherland, 1984. hal 517.
145
Huala Adolf, op. cit. Hal 31.
146
Ibid. hal 33-34.
dilancarkan terhadap suatu negara sebagai balasan atas tindakan negara tersebut
Contoh unilateral act dan intervensi sendiri dapat dilihat pada doktrin
Monroe. Doktrin ini dikemukakan oleh Presiden Monroe (presiden Amerika Serikat
pengisolasian diri dan doktrin mengenai dua lapisan di mana diasumsikan bahwa ada
dua negara berbeda yaitu negara baru dan negara lama yang keduanya berbeda secara
menjamin bahwa tidak ada satu bagian pun dari benua Amerika yang bersifat
terra nullius (tidak ada yang memiliki) dan menjadi wilayah kolonisasi negara
Eropa.
Doktrin ini merupakan pesan dari Presiden Monroe soal ancaman pendudukan
Alaska oleh Uni Soviet dan ancaman intervensi Holly Alliance (Aliansi Suci)
terhadap Amerika. Deklarasi Monroe ini adalah suatu pernyataan kebijakan asing
dikeluarkan tanpa pertemuan dengan negara lain dan tanpa berkonsultasi dengan
147
Rudolf Bernhardt, op. cit. hal.339
148
Huala Adolf, op. cit. hal 40-42.
149
Rudolf Bernhardt, op. cit. hal 340.
Doktrin ini kemudian digunakan untuk menetapkan kebijakan luar negeri
yang bersifat sepihak dan mengintervensi kedaulatan negara lain. Misalnya: tahun
mengemukakan doktrin ini sebagai alasan pembenar untuk menentang rencana Uni
Soviet menggelar peluru kendalinya di Kuba dan sebagai alasan untuk mendaratkan
Amerika Serikat dan memastikan agar tidak terbentuk suatu pemerintahan komunis di
negara itu.150 Contoh dari penggunaan doktrin pre-emptive strike yang juga mengacu
pada doktrin Monroe ini adalah invasi Amerika Serikat ke Irak di mana Amerika
serikat juga melakukannya secara sepihak (unilateral act) tanpa persetujuan Dewan
Keamanan PBB.151
Dari hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa akibat penggunaan doktrin
pre-emptive strike oleh negara ini bertentangan dengan prinsip nonintervensi yang
1. Pasal 1 (2) Piagam PBB yang berbunyi: To develop friendly relations among
nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination
2. Pasal 2 (1) Piagam PBB yang berbunyi: The Organization is based on the
150
Huala Adolf, loc. cit.
151
Rika Ratna Permata, op. cit. hal 152.
152
Rudolf Bernhardt, op. cit. hal 359
3. Pasal 2 (4) Piagam PBB yang berbunyi: All Members shall refrain in their
international relations from the threat or use of force against the territorial
4. Pasal 2 (7) Piagam PBB yang berbunyi: Nothing contained in the present Charter
shall authorize the United Nations to interfere in matters which are essentially
within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to
submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle
shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VIII.
kekerasan (use of force) untuk mengatasi keadaan yang dirasa mengancam negara
Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 di mana Amerika Serikat tidak mendapatkan
timbul akibat keputusan bersama. Contohnya adalah ketika pada tahun 1950 PBB
untuk membantu Korea Selatan, juga pada tahun 1990 dalam invasi Irak ke
153
Rika Ratna Permata, op. cit. hal 155.
Kuwait PBB mengambil langkah untuk pengamanan di bawah pimpinan Amerika
Serikat.
Pada intinya penerapan doktrin ini oleh Amerika Serikat menimbulkan pro
dan kontra di kalangan masyarakat internasional. Di satu sisi negara sebagai salah
satu subjek hukum internasional mempunyai hak untuk mempertahankan diri. Hak ini
juga diakui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Piagam itu menetapkan hak negara
kepadanya, namun di sisi lain negara juga mempunyai kewajiban tidak melakukan
internasionalnya .154
bersenjata yang terjadi kepadanya tercantum secara tegas dalam Pasal 51 Piagam
cara damai. Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: All Members shall
154
Sugeng Istanto, op. cit. hal. 30.
Pada Pasal Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB juga ditegaskan bahwa di dalam
hubungan internasional setiap anggota harus menahan diri dari mengancam dan
menggunakan kekerasan terhadap integritas dan kemerdekaan suatu negara lain. Pasal
2 ayat 4 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: All Members shall refrain in their
international relations from the threat or use of force against the territorial integrity
or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the