Anda di halaman 1dari 11

Paraf Nilai

LAPORAN
PRAKTIKUM BIOFARMASI
UJI DISOLUSI PARTIKULAT
Hari / Tanggal Praktikum : Senin, O1 Oktober 2018
Tanggal Laporan : 08 Oktober 2018
Kelompok / Kelas : IV / Konversi A 2017
Laporan Ke :1
Dwi Desti Kristia Wati NPM : A 173 006
Dwinto Saktian Putra NPM : A 173 015
Noer Eka Lestari NPM : A 173 033
Pradika Handiwianta NPM : A 173 036
Reka Melda Tamara NPM : A 173 037
Yosi Murniaty Elisabet P. NPM : A 173 026
Mira Enmiliana NPM : A 131 073
Nama Asisten : Wahyu Priyo Legowo S.Farm., Apt
Nela Simanjuntak S.Farm., Apt
Ledianasari M.Si., Apt
Anita Anggraeni S.Farm
KardianR S.Pd

LABOLATORIUM BIOFARMASI
SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
BANDUNG
2018

UJI DISOLUSI PARTIKULAT

I. TUJUAN
Untuk mempelajari pengaruh keadaan bahan baku obat yaitu teofilin anhidrat
dengan teofilin monohidrat terhadap kecepatan disolusi partikulat sebagai preformulasi
untuk bentuk sediaannya.

0
II. PRINSIP

Berdasarkan perbedaan struktur teofilin anhidrat dan teofilin monohidrat pada


media disolusinya.

III. TEORI

Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk
memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji
klinik untuk menilai bioekivalen (bioequivalence). Hubungan kecepatan disolusi in vitro
dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in vivo corelation).
Kinetika uji disolusi in vitro memberi informasi yang sangat penting untuk meramalkan
availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in vivo. (Sulaiman, 2007). Disolusi adalah
proses pelepasan senyawa obat dari sediaan dan melarut dalam media pelarut, sedangkan
laju disolusi adalah jumlah zat aktif yang dapat larut dalam waktu tertentu pada kondsisi
antar permukaan cair-padat, suhu dan komposisi media yang dibakukan. Disolusi obat
adalah proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut.
Pelarut dari suatu sediaan zat aktif sangat penting di karenakan ketersediaan suatu obat
sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarutkan kedalam media pelarut.
Sediaan obat yang harus di uji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu
bentuk tablet, kapsul, dan salep. Agar suatu obat di absorpsi, mula-mula obat tersebut
harus larut dalam cairan pada tempat absorpsi. Dalam hal ini, dimana kelarutan suatu obat
tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan di larutkan
berturut turut di dalam lambung dan dalam usus halus, proses melarutkannya di sebut
disolusi. (Ansel, 1985). Jika proses disolusi suatu partikel obat tertentu adalah cepat dan
obat yang di berikan suatu larutan tetap ada di dalam tubuh, maka laju obat yang
terabsosbsi akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi
jika disolusi partikel obat lambat yang di karenakan karakteristik zat obat atau bentuk
dosis yang di berikan, maka proses disolusinya sendiri akan menjadi tahap yang
menentukan laju laju dalam proses absorbsi. (Ansel, 1985).

Disolusi sudah dapat dilakukan dengan alat kehancuran otomatis yang biasa, akan
tetapi yang diamati bukan kehancuran dari “Formling‟, melainkan jumlah bahan obat
dalam interval waktu tertentu, yang larut dari seluruh sediaan obat atau hancuran sediaan
obat dalam cairan penguji (cairan pencernaan buatan), diinterpretasikan secara analitis
(Voigt, 1994) Pengujian kehancuran yang dicantumkan dalam seluruh farmakope
menggambarkan kriteria kualitas yang penting untuk peroralia (tablet, tablet salut,

1
granulat, kapsul) meskipun demikian persyaratannya dalam pandangan terhadap
ketersediaan terbatas. Suatu kehancuran total memang menawarkan persyaratan yang
lebih baik untuk pelepasan, meskipun demikian bahan pembantu dapat membungkus
bahan obat sedemikian rupa, sehingga melarutnya keluar dari produk hancuran sangat
terhambat. Oleh karena kecepatan pelarutan dari bahan aktif sering kali menggambarkan
langkah penentu kecepatan untuk jalannya resorpsi, maka tes pelarutan (dissolution-test)
lebih nyata (Ansel et al, 1999; Voigt, 1994).

Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai
macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses
pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi kedalam sediaan, proses
pengembangan, proses disintegrasi dan deagragasi sediaan merupakan faktor yang
mempengaruhi karakteristik disolusi obat sediaan (Syukri, 2002). Laju absorpsi dari obat-
obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering
ditetapkan dengan laju larut obat dari tablet. Bila yang menjadi tujuan adalah untuk
memperoleh kadar yang tinggi di dalam darah, maka cepatnya obat dan tablet melarut
biasanya menjadi sangat menentukan. Laju larut dapat berhubungan langsung dengan
efikasi (kemanjuran) dari tablet dan perbedaan bioavailabilitas dari berbagai formula
(Lachman et al., 1994).

Persyaratan uji disolusi pertama sekali dicantumkan dalam NF XIII (1970) dan
USP XVIII (1970). Persyaratan yang dimaksud disini bukan hanya persyaratan untuk
nilai Q (jumlah obat yang terlarut dalam waktu yang ditentukan) saja, tetapi juga
termasuk prosedur pengujian, medium disolusi dan peralatan serta persyaratan
pengujiannya. Dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk
menunjukkan (1) pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 % dan (2) laju
pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju pelepasan dari batch
yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan efektif secara klinis (Lachman et al., 1994).
Tes kecepatan melarut telah di desain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari
suatu tablet atau kapsul melarut dari suatu larutan. Hal ini dapat di ketahui sebagai
indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi
dari batch satu ke batch lainnya. Tes disolusi ini di desain untuk membandingkan
kecepatan melarutnya suatu obat yang ada di dalam sediaan pada kondisi dan ketentuan
yang sama yang dapat di ulangi. (Shargel, 1988).

Komponen yang penting dalam melakukan perubahan disolusi adalah wadah,


pengadukan, suhu, dan medium. Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan dengan

2
tetapan kecepatan disolusi, kenaikan suhu medium yang tinggi akan semakin banyak zat
aktif terlarut. Suhu harus konstan yang biasanya pada suhu tubuh (37 0C). Medium larutan
hendaknya tidak jenuh obat, yang biasa dipakai adalah cairan lambung yang diencerkan,
HCl 0,1 N, dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung sifat-
sifat lokasi obat akan larut. Ukuran dan bentuk wadah akan mempengaruhi laju dan
tingkat kelarutan, untuk mengamati pelarutan dari obat sangat tidak larut dalam air
menggunakan wadah berkapasitas besar (Lachman et al., 1994). Obat-obat yang
mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutannya seringkali merupakan tahap yang
paling lambat, oleh karena itu merupakan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap
bioavailabilitas obat, sedangkan obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju
pelarutannya cepat (Shargel et al., 2005).

Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari


kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif
yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan
besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi
makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan
system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim,
pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat
aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Anief, 1997). Bila suatu tablet atau sediaan lainnya di
masukkan kedalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk kedalam larutan dari bentuk
padatnya. Jika tablet tidak di lapisi polimer, maka matriks padat akan mengalami
desintegrasi menjadi granul-granul, dan granul granul ini mengalami pemecahan menjadi
partikel partikel halus. Desintegrasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut di berikan. (Martin, 1993).
Pelepasan zat aktif suatu obat sangat di pengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dalam
bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif di tetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan dimana pelepasan zat aktif di tentukan oleh melarutnya dalam media
sekelilingnya (Tjay, 2002).

Pengujian disolusi telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama. Sedangkan
metode dan peralatannya telah di nyatakan secara detail dalam masing masing farmakope,
sperti kecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi
untuk monografi individu obat dan masing-masing farmakope. Cara pertama yang di
uraikan dalam farmakope indonesia adalah cara kerangjang, ialah cara yang
menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang

3
menggunakan pengaduk berbentuk dayung. Dalam farmakope indonesia cara kedua ini di
kenal dengan cara keranjang dan dayung. (Farmakope ed. III)

Kecepatan suatu disolusi suatu zat dapat di pengaruhi oeleh beberapa faktor
antara lain adalah suhu, semakin tinggi suhu, maka akan semakin memperbesar kelarutan
suatu zat yang bersifat endotermik, serta akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.
Viskositas, turunnya viskositas suatu pelarut akan memperbesar kelarutan suatu zat. pH,
zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam,
sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa. Ukuran
partikel, semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin
meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat. Polimorfisme dan sifat
permukaan zat, akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme
seperti struktur internnal zat yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan suatu zat
tersebut, dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya.
Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan menyebabkan
tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga zat mudah terbasahi dan lebih
mudah larut. Kecepatan perputaran, Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat
kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas
100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil
kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100
rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4%
penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan. Vibrasi, jika vibrasi timbul,
hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah vibrasi berasal dari poros
motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. (Martin, 1993 ; Sulaiman,
2007).

Monografi Zat Aktif Theophyllinum (Teofilina)

Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; pahit ; mantap di udara


(Depkes RI, Edisi III, 1979, hal 598).

Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 180 bagian air ; lebih mudah larut
dalam air panas ; larut dalam lebih kurang 120 bagian etanol

4
(95%) P, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam
amomia encer P. (Depkes RI, Edisi III, 1979, hal 598).

BM : 198.18 (Depkes RI, Edisi III, 1979, hal 597).

Titik leleh : Lebih kurang 272℃ (Depkes RI, Edisi III, 1979, hal 598).

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik (Depkes RI, Edisi III, 1979, hal 598).

Khasiat : Spasmolitikum bronkial (Depkes RI, Edisi III, 1979, hal 598).

IV. ALAT DAN BAHAN

4.1 Alat

Alat-alat yang di gunakan adalah timbangan analitik, alat-alat gelas,


tabung disolusi, penyangga (holder), stopwatch, spektofotometer UV.

4.2 Bahan

Bahan-bahan yang di gunakan adalah teofilin monohidrat, dapar fosfat


pH 6,8.

V. PROSEDUR

5.1 Pembuatan Dapar Fosfat pH 6,8


Campurkan 50ml kalium fosfat mono basa 0,2 M dengan 22,4ml dengan
22,4ml NaOH 0,2 N dan encerkan dengan air hingga 200ml.

5.2 Uji Disolusi

Siapkan alat uji disolusi tipe dayung, siapkan media disolusi dapar fosfat
500 ml (secara kuantitatif) ke dalam alat gelas pada alat disolusi, panaskan air di
water bath alat disolusi hingga suhu air di dalam water bath dan suhu media
disolusi mencapai 37oC ± 0,5 masukkan teofilin anhidrat kedalam tabung disolusi
yang berisi media disolusi. Pilih rpm yang sesuai (100 rpm) lalu tekan start, ambil
cuplikan pada interval waktu 5 menit, 10 menit, 15 menit, 20 menit, 30 menit, 45
menit dan 60 menit. sebanyak 5ml pada daerah pertengahan. Setiap pengambilan
diganti dengan volume yang sama tentukan kadar tablet dengan spektrofotometer,

5
hitung jumlam zat aktif yang terdisolusi pada setiap rentang waktu tersebut,
kemudian buat kurva antar % kalibrasi terdistribusi dengan waktu.

VI. Data Pengamatan


Tabel 6.1 Hasil Pengamatan Absorbansi Teofilin Anhidrat Dapar Fosfat pH 6,8
waktu absorbansi
absorbansi awal
cuplikan pengenceran 100x
5 3,533 0,327
10 3,550 0,440
20 3,542 0,479
30 3,552 0,466
45 3,571 0,406
60 3,552 0,556

Tabel 6.2 Hasil Pengamatan Uji Disolusi Teofilin Anhidrat Dapar Fosfat pH 6,8
Pengenceran 100x
Jumlah media : 500 ml
Jumlah zat aktif : 300 mg – pengenceran 100x
Jumlah cuplikan: 5 ml
waktu faktor
absorbansi ppm x fp mg terdisolusi mg koreksi % terdisolusi
cuplikan koreksi
5 0,327 495,5 247,7 0 247,7 82,57
10 0,440 752,3 376,1 3,761 379,9 126,63
20 0,479 840,9 420,5 4,205 428,5 142,83
30 0,466 811,4 405,7 4,057 417,8 139,27
45 0,406 675,0 337,5 3,375 353,0 117,67
60 0,556 1015,9 508,0 5,080 528,6 176,20

Tabel 6.3 Hasil Pengamatan Uji Disolusi Teofilin Monohidrat Dapar Fosfat pH 6,8
Pengenceran 10x
Jumlah media : 500 ml
Jumlah zat aktif : 300 mg – pengenceran 10x
Jumlah cuplikan: 5 ml
waktu faktor
absorbansi Ppm x fp mg terdisolusi mg koreksi % terdisolusi
cuplikan koreksi
5 0,180 49,95 24,98 0 24,98 83,257

6
10 0,219 55,87 27,94 0,28 28,22 94,052
20 0,242 59,36 29,68 0,30 30,26 100,858
30 0,356 76,66 38,33 0,38 39,29 130,968
45 0,408 84,55 42,28 0,42 43,66 145,528
60 0,425 87,13 43,57 0,44 45,38 151,280

VII. Pembahasan
VIII. Kesimpulan

LAMPIRAN
Lampiran 1. Grafik Kurva Baku Teofilin Anhidrat Dapar Fosfat PH 6,8

7
Lampiran 2. Nilai regresi
y = 0,044x + 0,109
R2 = 0,993
 Menit ke 5
y = 0,044x + 0,109
0,327 = 0,089x + 0,109
0,218 = 0,044x
x = 4,955
 Menit ke 10
y = 0,044x + 0,109
0,440 = 0,089x + 0,109
0,331 = 0,044x
x = 7,523
 Menit ke 20
y = 0,044x + 0,109
0,479 = 0,089x + 0,109
0,370 = 0,044x
x = 8,409
 Menit ke 30
y = 0,044x + 0,109
0,466 = 0,089x + 0,109
0,357 = 0,044x
x = 8,114
 Menit ke 45
y = 0,044x + 0,109
0,406 = 0,089x + 0,109
0,297 = 0,044x
x = 6,750
 Menit ke 60
y = 0,044x + 0,109
0,556 = 0,089x + 0,109

8
0,447 = 0,044x
x = 10,159

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi. Edisi Revisi. ITB, Bandung.

Agoes, G. 2012. Sediaan Farmasi Padat. Bandung: ITB

Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. UGM Press: Yogyakarta.

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia: Jakarta.

9
Ansel, C. H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi keempat, Penerjemah
Farida.UI Press : Jakarta.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.

Lachman, L., Lieber, H.A., dan Kanig, J.L.. 1994. Teori dan Praktek Industri farmasi II
Edisi III, Penerjemah Siti Suyatmi dan Iis Aisyah. UI Press: Jakarta.

Martin, Alfred., et all. 2008. Farmasi Fisika Dasar-Dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu
Farmasetik. Edisi Ketiga jilid 2. Jakarta : UI Press.
Martin, A. N. 1993. Physical Pharmacy Edisi IV, Translator Lea and Febiger, Philadelpia:
London.

Shargel, L., Wu – Pong, and Yu, A. B. C. 2005. Applied Biopharmaceutics and


Pharmacokinetics Edisi V. Mc Graw : Hill.

Sulaiman, T.N.S. 2007. Teknologi & Formulasi Sediaan Tablet. Laboratorium Teknologi
Farmasi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Shargel, L., Wu – Pong, and Yu, A. B. C. 2005. Applied Biopharmaceutics and


Pharmacokinetics. Edisi V. Mc – Graw – Hill.
Syukri. 2002. Biofarmasetika. UII Press: Yogyakarta.

Wagner, J.G. 1971. Biopharmaceutics and Relevant Pharmacokinetics Edisi I. Drug


Intellegen Publication: Hamilton.

10

Anda mungkin juga menyukai