Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “Vaginosis Bakterialis” ini dapat

diselesaikan pada waktu yang ditentukan.

Makalah ini dibuat untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai

Vaginosis Bakterialis, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan

klinik di bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Efriza Naldi, Sp.OG sebagai preseptor

yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan saran, perbaikan dan bimbingan.

Terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang turut

berpartisipasi.

Dengan demikian, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua

pembaca terutama dalam meningkatkan pemahaman tentang Vaginosis Bakterialis.

Payakumbuh, 25 Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ ii
Daftar Gambar....................................................................................................... iii
Daftar Tabel.......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................. 2
1.3 Batasan Masalah.............................................................................................. 2
1.4 Metode Penulisan............................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi................................................................................................... 3
2.2 Faktor Risiko................................................................................................... 4
2.3 Bakteri Penyebab............................................................................................ 7
2.4 Patogenesis...................................................................................................... 8
2.5 Gejala Klinis.................................................................................................... 9
2.6 Diagnosis......................................................................................................... 9
2.7 Vaginosis Bakterialis pada Kehamilan........................................................... 17
2.8 Diagnosis Banding.......................................................................................... 18
2.9 Tatalaksana..................................................................................................... 19
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 26

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Fungsi Lactobacilli 9
Gambar 2 Ketidakseimbangan Flora Vagina 9
Gambar 3 Clue cell 14
Gambar 4 Alur pemeriksaan Duh Tubuh Vagina 16

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Bakteri Penyebab Vaginosis Bakterial 7
Tabel 2 Skor Nugent dan Gram Stain dari Vagina Smear 12
Tabel 3 Pemeriksaan pada Vaginosis Bakterial 15
Tabel 4 Diagnosis Banding Vaginosis Bakterialis 18
Tabel 5 Regimen Pengobatan Vaginosis Bakterial 23
Tabel 6 Regimen Pengobatan pada Vaginosis Bakterialis Rekuren 24

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Vaginosis Bakterial (BV) merupakan salah satu masalah kesehatan yang

sering dihadapi oleh wanita yang berada dalam masa reproduksi dimana

ketidakseimbangan flora normal yang terdapat di vagina. Terutama akibat

pertumbuhan flora bakteri anaerob yang lebih banyak sehingga mengganti flora

normal Lactobacillus. Tanda klinis infeksi Vaginosis Bakterial ditandai dengan

adanya produksi sekret vagina yang banyak, berwarna putih, homogen, berbau amis

dan terdapat peningkatan pH.

Kejadian Vaginosis Bakterial cukup sering terjadi di Negara-negara berkembang

termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, National Health and Nutrition Examination

Survey (NHANES), memperkirakan prevalensi BV adalah 29 persen pada populasi

umum dari perempuan berusia 14-49 tahun dan 50 persen pada wanita

Afrika-Amerika. Ini termasuk semua kasus dengan gejala infeksi dan asimptomatik.

Di seluruh dunia, BV umum terjadi di antara wanita usia reproduksi.1

Studi terbaru yang dilakukan pada wanita hamil, HIV-positif dan wanita

infertilitas juga telah melaporkan adanya prevalensi BV yang tinggi. Di antara

perempuan hamil di timur laut Nigeria dan Ethiopia, prevalensi BV adalah 17 dan

19%, masing-masingnya; antara wanita dengan (HIV) positif di India, prevalensi BV

adalah 48%, sedangkan pada wanita dengan infertilitas di Qom dan Iran prevalensi

BV ditemukan sebanyak 70%.2

1
Diagnostik infeksi vaginosis bakterial dapat ditegakkan dengan beberapa metode,

yaitu Kriteria Nugent, Kriteria Amsel, Kriteria Spiegel. Melihat besarnya risiko yang

ada pada infeksi vaginosis bakterial, maka perlu dilakukan skrining pada wanita

hamil maupun tidak hamil sehingga dapat menghindari risiko yang ada serta

melaksanakan penanganan secara holistik.

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, gejala klinis,

diagnosis, diagnosis banding dan penatalaksanaan pada vaginosis bakterialis.

1.3 Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk mengetahui epidemiologi, faktor risiko, patogenesis,

gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding dan penatalaksanaan pada vaginosis

bakterialis

1.4 Metode Penulisan

Referat ini ditulis berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk berbagai

literatur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Vaginosis bakterial (BV) adalah penyebab paling umum terjadinya keluhan

keputihan pada wanita usia subur, yaitu sebanyak 40 sampai 50 persen kasus. Di

Amerika Serikat, National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES),

memperkirakan prevalensi BV adalah 29 persen pada populasi umum perempuan

berusia 14-49 tahun dan 50 persen pada wanita Afrika-Amerika. Ini termasuk semua

kasus dengan gejala infeksi dan asimptomatik. Di seluruh dunia, BV umum terjadi

ada wanita usia reproduksi.1

Studi terbaru yang dilakukan pada wanita hamil, HIV-positif dan wanita

dengan infertilitas juga telah melaporkan adanya prevalensi BV yang tinggi. Pada

perempuan hamil di timur laut Nigeria dan Ethiopia, prevalensi BV adalah 17 dan

19%, masing-masing; pada wanita dengan HIV-positif di India, prevalensi BV adalah

48%, sedangkan pada wanita dengan infertilitas di Qom dan Iran prevalensi BV

ditemukan sebanyak 70%. Dalam beberapa tahun terakhir, BV dalam kalangan

wanita yang berhubungan seks dengan wanita (WSW) telah menerima perhatian riset

tambahan. Antara 1995 dan 2014, lima studi telah melaporkan estimasi prevalensi

tinggi (~ 25 sampai ~ 50%) pada (WSW).2

Meskipun tidak ada alasan anatomi atau fisiologis tertentu untuk menjelaskan

prevalensi tinggi ini, telah dihipotesiskan bahwa pertukaran cairan vagina dapat

mewakili sumber transmisi yang efisien, banyak seperti yang terjadi dengan coitus

3
penile-vagina. Para peneliti percaya bahwa WSW juga merupakan populasi berisiko

tinggi yang unik untuk studi patogenesis BV.2

Prevalensi BV berbeda menurut etnis dan geografi karena perbedaan dari

faktor risiko di masing-masing negara.3 Di Indonesia, tidak ada data yang definitif

mengenai BV, namun menurut penelitian yang telah dilakukan di FKUI pada tahun

2010 melaporkan bahwa prevalensi BV dengan kriteria Nugent adalah sebanyak

30,7%.4

2.2 Faktor Risiko

Penyebab Vaginosis bakterial tetap sulit dipahami, dan berbagai penelitian

telah melaporkan keragaman risiko untuk kondisi umum ini, antara lain:

A. Aktivitas seksual

Aktivitas seksual merupakan faktor risiko untuk Vaginosis bakterial, terutama

ketika kondom tidak digunakan. Bukti epidemiologi sangat mendukung transmisi

seksual dari patogen BV.5 Wanita yang berhubungan seks dengan wanita beresiko

untuk infeksi menular seksual (IMS). Wanita lesbian dan biseksual dapat mengalami

IMS satu sama lain melalui: Kulit-ke-kulit, kontak mukosa (misalnya, mulut ke

vagina) cairan vagina, darah haid dan berbagi mainan seks. BV dikaitkan dengan

peningkatan kerentanan terhadap berbagai infeksi menular seksual, termasuk gonore,

herpes, trichomoniasis dan HIV namun BV belum dapat dikategorikan dalam infeksi

menular seksual.5

4
B. Kebiasaan membersihkan vagina dengan bahan kimia (douching)

BV dapat juga terjadi tanpa hubungan seksual. Menurut Office on Women’s

Health, US Department of Health and Human Services, kebiasaan douching dapat

meningkatkan risiko BV.7 Membersihkan atau mencuci vagina dengan bahan kimia

atau sabun khusus disebut dengan douching. Wanita yang sering douching (sekali

seminggu) berpotensi 5 kali lipat lebih mungkin untuk mengalami BV daripada

wanita yang tidak.8 Douching dapat mengubah keseimbangan flora vagina (bakteri

yang hidup dalam vagina) dan keasaman vagina yang sehat.8

Vagina yang sehat memiliki bakteri baik dan berbahaya. Keseimbangan bakteri

komensal membantu menjaga lingkungan asam. Lingkungan asam melindungi vagina

dari infeksi atau iritasi. Douching dapat menyebabkan pertumbuhan berlebih dari

bakteri berbahaya. Hal ini dapat menyebabkan infeksi ragi atau Vaginosis bakterial.

Jika seseorang sudah memiliki infeksi vagina, douching dapat mendorong bakteri

penyebab infeksi, ke dalam rahim, saluran tuba, dan ovarium. Hal ini dapat

menyebabkan penyakit radang panggul.8

C. Merokok

Pada penelitian Bagaitkar et al. mengutip tiga mekanisme tembakau

mempengaruhi infeksi bakteri di tubuh manusia: perubahan fisiologis dan struktural,

peningkatan virulensi bakteri, dan disregulasi fungsi kekebalan tubuh. Nikotin dan

metabolitnya cotinine telah terdeteksi dalam lendir serviks perokok. Ada hipotesis

bahwa merokok menyebabkan akumulasi amina vagina, yang dikombinasikan dengan

efek antiestrogenik dari merokok sehingga menyebabkan predisposisi seorang wanita

mengalami BV.9

5
D. Stress

Stres adalah suatu peristiwa fisik atau emosional yang dapat mempengaruhi

tubuh dan / atau kesehatan emosional individu. Awalnya stres memicu respon

fight-or-flight. Pada saat yang sama pencernaan dan sistem kekebalan tubuh

melambat. Kortisol, adrenalin dan noradrenalin dilepaskan oleh kelenjar adrenal,

untuk membantu melakukan perubahan yang diperlukan untuk mengatasi

stres.Sebagai respon stres dipertahankan, tubuh terus memproduksi kortison dalam

jumlah tinggi, yang dapat menyebabkan siklus tidur terganggu, peningkatan

kebutuhan gizi dan kekebalan menurun. Respon stres dan kekebalan rendah, dapat

menyebabkan vagina menjadi lebih rentan terhadap ketidakseimbangan flora.10

E. Kekurangan Vitamin D

Menurut Journal of Nutrition, dari 41 persen wanita yang memiliki BV, 52

persen tergolong kekurangan vitamin D, setara dengan 25(OH)D kurang dari

37.5nmol/L. Wanita dengan BV ditemukan memiliki 25(OH)D (29.5nmol/L) lebih

rendah dibandingkan dengan wanita bebas dari BV (40.1nmol/L). Penelitian ini tidak

membuktikan hubungan sebab-akibat dan studi lebih lanjut diperlukan untuk

menambahkan dukungan untuk pengamatan bahwa kadar vitamin D mungkin

berhubungan dengan kejadian Vaginosis bakterial.11

F. Penggunaan kontrasepsi

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pil KB kombinasi oral dan

progestin, serta penggunaan kondom, memiliki sifat pelindungan terhadap BV.

Hubungan antara BV dan penggunaan IUD kurang jelas; beberapa penelitian telah

menunjukkan peningkatan risiko BV pada pengguna IUD sedangkan penelitian lain

6
tidak menemukan peningkatan risiko pada pengguna. Penggunaan IUD yang

menyebabkan perdarahan yang tidak teratur memiliki dua kali lipat kemungkinan

untuk berkembang menjadi BV. Beberapa mekanisme potensial dimana perdarahan

tidak teratur bisa meningkatkan risiko BV adalah, darah memiliki pH netral yang

akan meningkatkan pH vagina normal asam. Hubungan antara menstruasi dan

kekambuhan BV telah dijelaskan dengan peningkatan bakteri anaerob dan penurunan

lactobacilli. Selain itu, lactobacilli adhesi pada sel-sel darah merah yang dapat

mengakibatkan konsentrasi lactobacillus vagina menurun pada wanita dengan

perdarahan uterus yang sering atau terus-menerus.12

2.3 Bakteri penyebab


Pengujian PCR baru sekarang tersedia melalui peningkatan laboratorium

diagnostik komersial yang menawarkan identifikasi berbagai bakteri BV terkait,

termasuk: Gardnerella vaginalis, Atopobium vaginae, spesies Megasphaera dan

Mobiluncus

Tabel 1. Bakteri Penyebab Vaginosis Bakterialis5

7
2.4 Patogenesis

Penjelasan definitif patogenesis vaginosis bakterial tetap sulit dipahami,

namun pemahaman saat ini adalah mengenai perpindahan flora normal lactobacilli

dalam vagina ke bakteri anaerob, yang mengarah ke respon pro-inflamasi dan

sindrom klinis. Lactobacilli menghasilkan asam laktat dari glikogen, sebuah proses

yang mempertahankan pH vagina tetap asam; lingkungan pH rendah menghambat

pertumbuhan spesies bakteri lain yang biasanya hadir dalam vagina dalam tingkat

rendah. Ketika lactobacilli kurang, flora vagina berubah secara signifikan dengan

pertumbuhan berlebihan dari organisme, seperti Gardnerella vaginalis, Atopobium

vaginae, Mobiluncus curtisii, Prevotella bivia, spesies Haemophilus, spesies

Bacteroides, spesies Fusobacterium, Mycoplasma hominis, spesies

Peptostreptococcus, dan spesies Ureaplasma.

Peneliti​ telah menetapkan bahwa wanita dengan BV jelas memiliki

keragaman bakteri lebih besar bila dibandingkan dengan wanita tanpa BV. Salah satu

model yang diusulkan dari BV berpendapat bahwa G. vaginalismerangsang atau

menginduksi transisi patogen dengan menempel pada sel epithelium host dan

menciptakan komunitas bakteri biofilm yang memfasilitasi akumulasi epitel patogen

lainnya. Ekologi vagina berbeda antara perempuan dan dipengaruhi oleh status

kekebalan individu, serta banyak faktor lingkungan dan perilaku lainnya;

faktor-faktor ini dapat memodulasi ekspresi penyakit dan tingkat keparahan. Temuan

dari beberapa penelitian menunjukkan penularan bakteri anaerob dapat memainkan

8
peran kunci dalam pengembangan BV, baik pada wanita heteroseksual dan pada

wanita yang berhubungan seks dengan wanita.13

Gambar 1. Fungsi Lactobacilli

Gambar 2. Ketidakseimbangan Flora Vagina

9
2.5 Gejala klinis

Sampai setengah dari semua perempuan dengan vaginosis bakteri tidak

memiliki gejala. Jika ada gejala, sebagian besar wanita dengan vaginosis bakteri akan

memiliki berbau busuk (“bau amis”), cairan homogen, yang jelas, putih atau abu-abu

keputihan yang dilaporkan lebih sering setelah berhubungan seksual dan setelah

selesai menstruasi; labial dan / atau vulva bengkak dan tanda-tanda atau gejala

peradangan lainnya biasanya tidak hadir.

2.6 Diagnosis
Diagnosis Vaginosis bakterial ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan

riwayat sekresi vagina terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang-kadang

penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai disuria/dispareunia, atau nyeri

abdomen. Pada pemeriksaan inspekulodapat ditemukan sekret vagina yang berwarna

putih atau abu-abu yang melekat pada dinding vagina.

A. Pemeriksaan diagnostik

1. Pemeriksaan Clue cell

Sampel cairan vagina harus dikumpulkan dari dinding lateral vagina. Sebuah

slide spesimen, disebut sebagai “wet mount”, dapat dibuat dengan setetes 0,9% NaCl

dan setetes spesimen keputihan. Sebuah metode alternatif persiapan preparat basah

adalah dengan mengambil swab vagina dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi

dengan kurang dari 1 mL saline, diaduk, dan kemudian menambahkan satu tetes dari

tabung reaksi ke slide spesimen. Setelah itu, kaca penutup harus ditempatkan di atas

tetesan pada slide, diikuti dengan pemeriksaan langsung di bawah mikroskop pada

10
pembesaran (10x) dan (40x). Preparat harus diteliti secara menyeluruh untuk clue cell

dan organisme trichomonad yang motil. Penundaan lebih dari 10 menit dalam

memeriksa sediaan basah secara signifikan mengurangi kemungkinan

memvisualisasikan trichomonads motil. Clue cell yangditemukan menyarankan suatu

diagnosis vaginosis bakteri.13

2. Pemeriksaan (KOH) Preparation dan Tes Whiff

Sampel cairan vagina ditempatkan pada kaca objek dan solusi KOH 10%

ditambahkan. Segera setelah pemberiaan KOH, gelas objekdidekatkan kehidung

untuk melakukan tes whiff; kehadiran amina bau "amis" yang kuat dianggap sebagai

tes whiff positif.13

3. Pemeriksaan pH

pH cairan vagina dapat ditentukan dengan menempatkan pH kertas lakmus

pada dinding vagina atau langsung di sekresi vagina yang dikumpulkan. pH normal

vagina biasanya antara 3,8 dan 4,5. pH lebih dari 4,5 dapat didiagnosis dengan

vaginosis bakteri.13

4. Pewarnaan Gram

Pemeriksaan sederhana, cepat dan tidak mahal untuk membantu diagnosis

Vaginosis bakterial adalah dengan melakukan pewarnaan Gram pada pulasan cairan

vagina. Kombinasi pH vagina 4.5 dan pewarnaan Gram dari cairan vagina

merupakan metode yang baik dalam membantu diagnosis. Meskipun Vaginosis

bakterial sering dihubungkan dengan isolasi Gardnerella vaginalis, suatu bakteri

anaerob, tetapi sampai saat ini cara tersebut tidak dapat dipakai untuk kriteria

diagnosis. Dengan melakukan pewarnaan Gram pada cairan vagina, pasien dengan

11
Vaginosis bakterial memperlihatkan sesuatu yang khas yaitu banyak organisme Gram

negatif ukuran kecil yang menyerupai Gardnerella vaginalis pada keadaan tidak

dijumpainya Lactobacillus.13,14

Spiegel dkk. menemukan bahwa pewarnaan Gram bersifat konsisten terhadap

vaginosis bakterial. Oleh karena itu Spiegel merekomendasikan pewarnaan Gram

tanpa kultur pada cairan vagina untuk diagnosis bakterial dapat disebabkan oleh

beberapa grup mikroorganisme yang sukar dibiakkan sehingga pemeriksaan

laboratorium menjadi mahal, juga Gardnerella vaginalis dijumpai pada >40-50%

wanita sehat. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Thomason, dkk. yang tidak

mengevaluasi hasil kultur Gardenella vaginalis karena hanya mempunyai nilai

diagnostik rendah.14

Meskipun demikian, spesimen swab vagina tetap dikirim ke laboratorium

mikrobiologi untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain dan menambah

dukungan terhadap diagnosis lain dan menambah dukungan terhadap diagnosis klinik

bakterial vaginosis. Menurut Thomason, dkk. untuk terjadinya Vaginosis bakterial

maka jumlah Lactobacillus menurun, sedangkan jumlah bakteri lainnya meningkat,

dan pH vagina juga harus meningkat. Ketiga keadaan ini harus terjadi bersamaan.14

Tabel 2. Skor Nugent dan Gram Stain dari Vagina Smear5

12
Kriteria Amsel

Secara klinik menurut Amsel, dkk. (4), diagnosis bakterial ditegakkan bila terdapat

tiga dari empat kriteria berikut, yaitu:13,14

(i) Adanya sel clue pada pemeriksaan mikroskopik dari sediaan basah;

(ii) Adanya bau amis, setelah penetesaan KOH 10% pada cairan vagina,

(iii) Duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu;

(iv) pH vagina > 4.5 yang diperiksa dengan menggunakan phenaphthazine

paper (nitrazine paper).

Dari ke empat kriteria tersebut, yang paling baik untuk menegakkan diagnosis

vaginosis bakterial adalah pemeriksaan sediaan basah untuk mencari adanya clue cell

(sel epitel vagina yang diliputi oleh coccobacillus yang padat) dan adanya bau amis

pada penetesan KOH 10%. Penelitian yang telah dilakukan oleh Thomason Jl, dkk.

melaporkan bahwa untuk menegakkan diagnosis vaginosis bakterial, menunjukkan:14

(i) Bila ditemukan sel clue pada sediaan basah,memberikan nilai sensitivitas

98,2%, spesifisitas 94,3%, prediksi positif 89,9%, dan prediksi negatif

99%,

(ii) Bila ditemukan sel clue ditambah adanya bau amis, memberikan nilai

sensitivitas 81,6%, spesifisitas 99,5%, prediksi positif 98,8%, dan prediksi

negatif 92,1%;

(iii) Bila dilakukan pewarnaan Gram, maka memberikan nilai sensitivitas 97%,

spesifikasi 66,2%, prediksi positif 57,2%, dan prediksi negatif 97,9%.

13
Dengan melihat hasil tersebut, apabila fasilitas laboratorium belum memadai,

maka metode terbaik dalam membantu menegakkan diagnosis Vaginosis bakterial

adalah mencari clue cell pada sediaan basah dan tes adanya bau amis pada penetesan

KOH 10%. Tetapi adanya bau amis initidak selalu dapat dievaluasi pada saat siklus

menstruasi, dan juga tergantung pada fungsi penciuman agar dapat mendeteksi

adanya bau amis tersebut. Dengan demikian apabila adanya bau amis ini sukar

dievaluasi, maka ditemukannya clue cell saja sudah dapat membantu menegakkan

diagnosis kemungkinan adanya bakterialis vaginosis.14

Gambar 3.Clue cell13

Kriteria Hay/Ison

 Grade 1 (normal): Morphotypes Lactobacillus mendominasi

 Grade 2 (Intermediate): Kombinasi flora dengan beberapa Lactobacilli, dan

juga Gardnerella atau Mobiluncus morphotypes.

14
 Grade 3 (BV): Terutama Gardnerella dan / atau Mobiluncus morphotypes.

Sedikit atau tidak ada Lactobacilli.

B. Pemeriksaan Diagnostik tambahan

Modalitas diagnostik lainnya termasuk BD Affirm VPIII DNA hybridization

Probe (yang dapat mendeteksi T. vaginalis, C. albicans, dan G. vaginalis) dan

pemeriksaan tidak langsung aktivtas enzimatik yang terkait dengan organisme yang

menyebabkan vaginosis bakterialis: PIP memeriksa aktivitas aminopeptidase prolin

dan OSOM BV-blue memeriksa sialidase.13

Pemeriksaan kultur tersedia untuk kedua spesies T. vaginalis dan Candida.

Kultur untuk vaginosis bakteri tidak dianjurkan karena sensitivitas rendah (kurang

dari 50%) dan potensi salah mengidentifikasi bakteri komensal sebagai patogen,

sehingga berakibat pada pengobatan yang tidak sesuai.13

Tabel 3. Pemeriksaan pada Vaginosis Bakterialis5

15
Alur pemeriksaan menurut Pedoman Infeksi Menular Seksual

Gambar 4. Alur pemeriksaan Duh Tubuh Vagina

16
2.7 Vaginosis Bakterialis pada Kehamilan

A. Cairan Vagina pada Kehamilan

Pada kehamilan normal, cairan vagina bersifat asam (pH ≤ 4-5), karena

adanya peningkatan kolonisasi Lactobacillus (flora normal vagina) yang

memproduksi asam laktat. Keadaan asam yang berlebih ini membuat Lactobacillus

tumbuh subur, sehingga mencegah terjadinya pertumbuhan berlebihan bakteri

pathogen. Lactobacillus diketahui sebagai mikroorganisme yang mempertahankan

homeostasis vagina, karena dengan menghasilkan asam laktat dan membuat H2O2

yang akan menghambat pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme lainnya,

sehingga menurunkan risiko persalinan preterm.

Keadaan ini tidak selalu dapat dipertahankan, karena apabilajumlah bakteri

Lactobacillus menurun, maka keasaman cairan vagina berkurang dan

akanmengakibatkan bertambahnya bakteri lain,seperti antara lain Gardnerella

vaginalis, Mycoplasma hominis, dan Bacteroides sp. Adanya perubahan flora vagina

menyebabkan terjadinya vaginosis bacterial. Wanita hamil dengan vaginosis bakterial

mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terserang amnionitis, endometritis

pascapersalinan, ketuban pecah dini dan persalinan prematur.

B. Hubungan Vaginosis bakterial dengan kelahiran premature

Berdasarkan penelitian yang dilakukanoleh Graveyy, dkk. ternyata wanita

dengan vaginosis bacterial mempunyai risiko 3-8 kali lebih tinggi dibandingkan

wanita dengan flora normal untuk mengalami persalinan preterm. Demikian pula

terjadinya ketuban pecah dini lebih sering terjadi pada wanita dengan vaginosis

bakterial (46%) dibandingkan wanita tanpa vaginosis bakterial (4%). Selain itu juga

17
ditemukan bahwa konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob pada sekret

vagina wanita hamil dengan vaginosis bakterial adalah 100-1000 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan pada wanita tidak hamil. Di Indonesia sampai saat ini,

pemeriksaan tentang kolonisasi bakteri atau adanya vaginosis bakterial sebagai upaya

untuk menurunkan angka kejadian persalinan preterm belum ada. Martius, dkk.dalam

penelitiannya menemukan bahwa wanita yang melahirkan premature ternyata lebih

banyak yang mengalami infeksi vaginosis bakterial dibandingkan dengan wanita yang

melahirkan aterm.

2.8 Diagnosis Banding


Tabel 4. Diagnosis Banding vaginosis bakterialis
Fisiologis Kandidiasis Trikomoniasis Vaginosis Gonore
Vulvovaginalis Bakterialis
Gejala - Pruritus, Iritasi Duh banyak, Sedikit duh. Disuria,
iritasi, bau Berbau amis duh
busuk, Berbusa kuning
di OUE
Tampilan Sedikit Sedikit, putih& Banyak, hijau/ Putih/abu-abu, Kuning
sekret kental abu-abu homogen,
“cheese-like” “ Strawberry encer
appearance”
pH ±4.5 < 4.5 >5.0 >4.5
Whiff test - - + ++++
Pemeriksaan Normal Vulva yang Edema, Peradangan
Fisik meradang eritema, minimal
peradanagn
vulva
Mikroskopis Sel epitel Leukosit 80% Dari forniks Sedikit Kuman
normal, ditemukan posterior: leukosit, clue diplokok
Lactobacil pseudohifa dan Trikomonas cell + kus,
lus + blastospora 70-80% gram
(-)ada
Kultur - Agar Sabaraud Media Tidak begitu Thayer-
dekstrosa Feinberg/ mendukung Martin
Kupferberg
Terapi - Flukonazol Metronidazol Metronidazol Inj
150mg (PO) 2x500mg 2x500mg Seftriaks

18
Single dose (7hari) (7hari) on
Atau Atau 250mg
Metronidazol Metronidazol (IM)
2gr dosis 2gr dosis
tunggal tunggal

2.9 Tatalaksana

A. Pedoman Pengobatan

Pedomen pengobatan CDC tahun 2015 merekomendasikan pengobatan pada

wanita dengan gejala vaginosis bakteri. Direkomendasikan rejimen termasuk

metronidazole 500 mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari; metronidazol gel

0,75%, 2g dalam vagina sekali sehari selama 5 hari; atau krim klindamisin 2%, 2g

dalam vagina sebelum tidur selama 7 hari; rejimen alternatif termasuk tinidazol oral,

klindamisin oral, atau klindamisin intravagina ovules. Pasien harus diedukasi supaya

tidak minum alkohol saat mengonsumsi metronidazol atau tinidazol karena bisa

memicu reaksi disulfiram.5

Selain itu, pasien tidak harus minum alkohol selama 24 jam setelah dosis

terakhir metronidazole dan selama 72 jam setelah dosis terakhir tinidazol.Krim

Klindamisin adalah berbasis minyak dan dapat melemahkan lateks kondom dan

diafragma selama 5 hari setelah pengunaanya.Pasien harus disarankan untuk

mengurangi aktivitas seksual atau menggunakan kondom secara konsisten selama

rejimen pengobatan.5,15

Gardnerella telah menunjukkan tingkat tinggi resistensi terhadap

metronidazole. Jika pengobatan ini digunakan untuk episode awal, atau jika pasien

tidak memberi respon dengan metronidazol, agen alternatif harus dipertimbangkan.

19
Pasien harus difollow up dalam sehari atau dua setelah dosis asam borat terakhir. Jika

seorang pasien mengalami remisi, gel metronidazole harus diberikan dua kali

seminggu selama 4 sampai 6 bulan sebagai terapi supresif. Setelah BV diobati, jadwal

follow up kunjungan 1 sampai 2 bulan setelah pengobatan untuk memantau kriteria

Amsel. Ini akan membantu memastikan eradikasi anaerob dan pertumbuhan kembali

lactobacilli yang sehat. Tes follow up dari penyembuhan juga menunjukkan

keberhasilan pengobatan dan meminimalkan kemungkinan kekambuhan.5,15

Probiotik sedang diteliti potensi mereka sebagai sumber eksogen penggantian

lactobacilli. Penyisipan vagina dengan asam boratatau asam laktat menciptakan

lingkungan yang lebih asam, yang diperlukan untuk menghindari kolonisasi

organisme patogen terkait dengan BV. Penyisipan vagina dengan Lactobacillus

acidophilus dapat meningkat pertumbuhan kembali lactobacilli. Dua lactobacilli yang

berbeda berada pada flora vagina yang sehat, Lactobacillus crispatus dan

Lactobacillus jensenii. Penelitian berfokus pada perumusan lactobacilli tersebut ke

dalam kapsul untuk digunakan vagina namun tidak ada suplemen lactobacilli yang

tersedia secara komersial telah terbukti efektif sejauh ini.5

B. Follow up

Follow up tidak perlu jika tidak ada lagi keluhan pada pasien. Bakterialis

vaginosis bersifat persisten atau rekuren adalah umum, sehingga pasien harus

disarankan untuk follow up bertujuan untuk mengevaluasi jika gejala kambuh.

Deteksi organisme Bakterialis vaginosis tertentu telah dikaitkan dengan resistensi

antimikroba dan mungkin prediksi risiko kegagalan pengobatan selanjutnya. Data

yang terbatas tersedia mengenai strategi pengelolaan yang optimal untuk wanita

20
dengan BV persisten atau berulang. Menggunakan rejimen pengobatan yang berbeda

direkomendasikan pada wanita yang memiliki kekambuhan.5

Untuk wanita dengan beberapa kali rekurensi setelah selesai rejimen,

direkomendasikan metronidazole gel 0,75% dua kali seminggu selama 4-6 bulan dan

telah terbukti mengurangi kekambuhan. Data terbatas menunjukkan bahwa

Nitroimidazole oral (metronidazol atau tinidazol 500 mg dua kali sehari selama 7 hari)

diikuti dengan pemberiaanasam borat intravaginal 600 mg setiap hari selama 21 hari

dan kemudian supresif dengan metronidazole gel 0,75% dua kali seminggu selama

4-6 bulan untuk para wanita dalam remisi mungkin menjadi pilihan bagi wanita

dengan BV berulang. Pemberian 2g metronidazole oral perbulan dengan flukonazol

150 mg juga telah dievaluasi sebagai terapi supresif; rejimen ini mengurangi kejadian

BV dan mempromosikan kolonisasi flora normal vagina.5

C. Manajemen Pasangan Seksual

Data dari uji klinis menunjukkan bahwa respon untuk terapi dan kemungkinan

kambuh atau kekambuhan tidak terpengaruh oleh pengobatan pasangannya seks. Oleh

karena itu, pengobatan rutin dari pasangan seks tidak dianjurkan.

D. Alergi, Intoleransi, atau Efek Samping

Intravaginal krim klindamisin lebih disukai dalam kasus alergi atau intoleransi

terhadap metronidazole atau tinidazol. Metronidazol gel intravaginal dapat

dipertimbangkan untuk wanita yang tidak alergi terhadap metronidazole tapi tidak

mentolerir metronidazol oral. Pasien disarankan untuk menghindari mengkonsumsi

alkohol selama pengobatan nitroimidazoles. Untuk mengurangi kemungkinan reaksi

21
disulfiram, harus dihindari penggunaan alkohol selama 24 jam setelah selesai

metronidazole atau 72 jam setelah selesai tinidazol.5

E. Pengobatan pada kehamilan

Pengobatan direkomendasikan untuk semua wanita hamil dengan gejala. Ibu

hamil dengan gejala dapat diobati dengan salah satu dari rejimen oral atau intravagina.

Meskipun efek kehamilan yang merugikan, termasuk ketuban pecah dini, persalinan

prematur, kelahiran prematur, infeksi intra-amnion, dan endometritis postpartum telah

dikaitkan dengan BV dalam beberapa studi observasional, pengobatan BV pada ibu

hamil dapat mengurangi tanda-tanda dan gejala infeksi vagina. Dalam sebuah

penelitian, terapi BV oral dapat mengurangi risiko untuk keguguran, dan dalam dua

studi tambahan, terapi tersebut menurun hasil yang merugikan pada neonatus.5

Pengobatan BV pada wanita hamil yang asimtomatik dan berisiko tinggi

untuk kelahiran prematur (misalnya, orang-orang dengan kelahiran prematur

sebelumnya) telah dievaluasi oleh beberapa penelitian, yang telah menghasilkan hasil

yang beragam. Tujuh percobaan telah mengevaluasi pengobatan ibu hamil dengan

BV asimtomatik berisiko tinggi untuk kelahiran prematur: satu menunjukkan bahaya,

dua menunjukkan tidak ada manfaat, dan empat manfaat ditunjukkan.5

Meskipun metronidazole melintasi plasenta, tidak ada bukti teratogen atau

efek mutagenik pada bayi telah ditemukan di beberapa studi cross-sectional dan

kohort ibu hamil. Data menunjukkan bahwa terapi metronidazol menimbulkan risiko

rendah pada kehamilan. Metronidazol disekresi dalam ASI. Dengan terapi oral ibu,

bayi yang disusui menerima metronidazol dalam dosis yang kurang dari yang

digunakan untuk mengobati infeksi pada bayi, meskipun metabolit aktif menambah

22
total eksposur bayi. Kadar plasma obat dan metabolit yang terukur, namun tetap

kurang dari kadar plasma ibu. Meskipun beberapa melaporkan serangkaian kasus

tidak menemukan bukti efek samping metronidazol terkait pada bayi, beberapa dokter

menyarankan menunda menyusui selama 12-24 jam setelah pengobatan ibu dengan

2-g dosis tunggal metronidazole. Dosis yang lebih rendah menghasilkan konsentrasi

yang lebih rendah dalam ASI dan sesuai pada ibu menyusui.5

F. Pengobatan pasien HIV

Angka kejadian BV lebih tinggi pada wanita dengan HIV. Pengobatan pada

pasien HIV sama dengan pasien non-HIV.5

Tabel 5. Regimen Pengobatan Vaginosis Bakterial5

23
Tabel 7. Regimen Pengobatan pada Vaginosis Bakterialis Rekuren5

24
BAB 3

KESIMPULAN

1. Vaginosis Bakterialis adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang

disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi yang

menggantikan flora normal vagina.

2. Di seluruh dunia, Vaginosis Bakterialis umum terjadi pada wanita usia reproduksi.

3. Vaginosis Bakterialis memiliki faktor risiko antara lain aktivitas seksual, kebiasaan

douching, merokok, stress, kekurangan vitamin D dan pemakaian kontrasepsi.

4. Diagnosis Vaginosis Bakterialis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan mikroskopis.

5. Menurut Amsel, ditegakkan Vaginosis Bakterialis jika tiga dari empat gejala, yakni:

sekret vagina yang homogeny, putih, pH vagina>4.5, tes amin positif dan adanya clue

cell (20% dari seluruh epitel).

6. Pengobatan Vaginosis Bakterialis menggunakan regimen sesuai dengan pedoman

yaitu, metronidazole 500 mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari.

7. Penderita Vaginosis Bakterialis dapat menimbulkan komplikasi seperti kelahiran

prematur, ketuban pecah dini, BBLR, dan endometritis post partum.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Jack D.S, 2017. Bacterial vaginosis. Diunduh dari https://www.uptodate.com/


contents /bacterial-vaginosis.
2. Christian T.B, Eyako W, Warren B.S, Sara M, Bruce Hdan Jose L.S. Bacterial
vaginosis: a synthesis of theliterature on etiology, prevalence, riskfactors, and
relationship with chlamydiaand gonorrhea infections. Military Medical Research
(2016) 3:4.
3. Chris K, Robert C, Tania C. The global epidemiology of bacterial vaginosis: a
systematic review. American Journal of Obstetrics and Gynecology (2013)
4. Dwiana O, Yeva R, Shanty O, Ferry D. Risk factors for bacterial vaginosis
among Indonesian women. Med J Indones 2010; 19:130-5.
5. Mimi S. Bacterial Vaginosis Update. Advance Healthcare Network. Diunduh
dari:http://nurse-practitioners-and-physicianassistants.advanceweb.com/Features/
Articles/Bacterial-Vaginosis-Update.aspx
6. Susan C. Lesbian and Bisexual Health. U.S. Department of Health and Human
Services, Office on Women’s Health. 2009.
7. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). A fact sheet from the office
on women’s health. Bacterial Vaginosis. 2015.
8. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). A fact sheet from the office
on women’s health. Douching. 2015.
9. Rebecca M.B, Xin H, Pawel G, Doug F, Eva S, Emmanuel F M,et.al. Association
between cigarette smoking and thevaginal microbiota: a pilot study. BMC
Infectious Diseases 2014, 14:471.
10. Blackmore. The Impact of stress and Bacterial Vaginosis. 2012.
11. Stephan D. Low Vitamin D linked to female infections: Study. Journal of
Nutritions. 2009
12. Tessa M, Jacyln M.G, Gina M.S, Jenifer E,A, Jeffrey F.P. Risk of Bacterial
Vaginosis in Users of the Intrauterine Device: A Longitudinal Study. Sex Transm
Dis. 2012 March ; 39(3): 217–222.

26
13. Rebecca G.K, David H.S. vaginitis. National STD Curriculum. 2017. Diunduh
dari:
http://www.std.uw.edu/go/syndrome-based/vaginal-discharge/core-concept/all.
Hal 1-8
14. Sylvia Y.M, Julius E.S. Diagnosis praktis vaginosis bakterial pada
kehamilan.Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Hal.
74-78.
15. Mark H.Y, Deborah M. M. Screening and Management of BacterialVaginosis in
Pregnancy. J Obstet Gynaecol Can 2008;30(8):702–708.

27
Clinical Science Session

Vaginosis Bakterialis

Oleh:

Indah Khoirunn Nisa


1840312411

Preseptor :
Dr. Efriza Naldi, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD DR. ADNAAN WD
PAYAKUMBUH
2019

Anda mungkin juga menyukai