Anda di halaman 1dari 41

DAFTAR ISI

Daftar isi ....................................................................................................................1

Skenario .....................................................................................................................2

Kata sulit.....................................................................................................................3

Pertanyaan .................................................................................................................3

Jawaban .....................................................................................................................3

Hipotesis.....................................................................................................................4

Sasaran Belajar (learning objective)

LO.1. Memahami dan menjelaskan asma

1.1 Definisi ...........................................................................................................6

1.2 Etiologi ...........................................................................................................6

1.3 Klasifikasi ........................................................................................................7

1.4 Patofisiologi....................................................................................................14

1.5 Manifestasi klinis............................................................................................17

1.6 Diagnosis ........................................................................................................19

1.7 Diagnosis Banding ..........................................................................................23

1.8 Tatalaksana ....................................................................................................24

1.9 Komplikasi ......................................................................................................39

1.10 Pencegahan ....................................................................................................39

1.11 Prognosis ........................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................41

1
2
SKENARIO

SESAK NAFAS

Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun mengalami sesak nafas disertai bunyi mengi sejak 2
jam sebelumdibawa orang tuanya berobat ke IGD RS. Sesak nafas sudah dirasakan hilang
timbul sejak 2 hari sebelum masuk RS. Serangan bersifat nocturnal, hilang setelah pasien
menggunakan obat inhaler. Pasien juga mengeluh batuk disertai rasa tertekan pada dada.
Keluhan ini sudah dirasakan pasien berulang sejak usia 8 tahun, biasanya serangan didahuli
oleh beberapa faktor pencetus seperti batuk, pilek atau makanan ikan laut. Terdapat
riwayat atopi pada keluarga.

Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sesak. Masih bicara dalam kalimat, frekuensi nafas
dan frekuensi nadi meningkat, terdapat retraksi intercostal, geographic tongue (+), terdapat
wheezing pada kedua lapang paru.

Sebelum melakukan nebulisasi dengan agonis β2 kerja pendek, dokter melakukan


spirometriuntuk menilai PEF ata FEV1. Dokter melakukan pemeriksaan analisis gas darah
dan foto toraks. Untuk mencegah berulangnya sesak, dokter memberikan KIE pada pasien,
menganjurkan nebulisasi di rumah saat serangan dan menjelaskan tata laksana jangka
panjang.

3
KATA SULIT

1. Nebulisasi : Penguapan mengguankan suatu alat yang alkan merubah cairan menjadi
gas.
2. Retraksi intercostal : kontraksi otot perut dan sela iga yang tertark saat bernafas.
3. Wheezing : Jenis bunyi seperti siul yang durasinya lebih lama akibat udara melebihi
saluran nafas yang menyempit.
4. Geographic tongue: Suatu kondisi kelainan yang terdapat pasa permukaan lidah
ditutupi papilla tipis dan berwarna merah muda yang menyerupai pulau.
5. Β agonis : obat golonga bronkidilator untuk melebarkan saluran nafs
6. Mengi : suara yang dikeluarkan ketika udara melalui saluran yang menyempit (saat
ekspirasi)
7. PEF: Peak Respiratory Flow, Kecepatan ekspirasi maximal yang bisa dicapai seseorang.
8. Atopi: kecenderungan genetik untuk mengembangkan penyakit alergi.
9. FEV1 : Forced Expiratory Volume, Jumlah udara yang bisa ditiup keluar dari paru di
detik pertama.
10. Spirometri: Pemriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara objektif kapasitas
atau fungsi paru psien sehingga dapat diketahui ada taua tidaknya gangguan di paru
atau saluran nafas.

PERTANYAAN

1. Mengapa sesak disertai hilang timbul?


2. Mngapa diberikan agonis β2s secara nebulisasi?
3. Apakah ada hubungan asma dengan alergi?
4. Apa hubungan asama dengan makanan ikan laut?
5. Mengapa serangan bersifat nocturnal dan hilang setelah diberi inhaler?
6. Mengapa ditemukan retraksi intercostal?
7. Mengapa terjadi wheezing pada lapang paru?
8. Mengapa diperlukan analaisis gas darah?

JAWABAN

1. Dikarenakan ada beberapa faktor (suhu, allergen, tekanan) pencetus. Lalu sesak
akan timbul jika terpapar oleh salah satu faktor pencetus.
2. Dikarenakan β-agonis merupakan bronkodilator. Dan secara nebulisasi dikarenakan
dengan cara ini akan langsung masuk langsung ke saluran pernafasan.
3. Riwayat alergi akan meningkatkan produksi IgE yang akan mengaktifkan mediator
inflamasi dan sekresi ke mukosa lalu terjadi bronkokontirksi dan obtruksi saluran
nafas yang mengakibatkan hipoventilasi dan terjadilah asma.

4
4. Dikarnekan ikan laut jika dimasak akan mengelurkan suatu protein yang sangat kecil
(amines) yang apat menyebabkan alergi.
5. Nocturnal dikarenakan keadaan kelembapan suhu lebih meningkat pada malam hari
6. Dikarenakan otot kontraksi perut dan sela igfa bekerja lebih.
Oyo yang bekerja pad insprasi : Diaphragma, M. intercostalis externa, M scalenes, M
ternocleidomastoideus.
Otot Ekspirasi: Abdomen, M intercostalis Internus.
7. DIkarenakan bronkokontriksi
8. Untuk mrnilai oksigenisasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa.

HIPOTESIS

Asma dipicu oleh faktor pencetus berupa suhu, allergen, dan tekanan yang menyebabkan
teraktivasinya IgE dan mengeluarkan mediator inflamasi ( histamine,bradykinin) dam
mengakibatkan bronkokontriksi, sehingga terjadilah hipoventilasi dan terdengar suara
mengi saat akan melakukan ekspirasi. Penyakit ini dapat diberikan tatalaksana berupa
agonis β2 yang bersifat bronkodilator.

5
LO.1. Memahami dan menjelaskan asma

1.1 Definisi
Asma merupaka inflamasi kronik saluran respiratorikyang mengakibatkan
obstruksi aliran udara secara episodik. Inflamasi kronik ini berhubungan
dengan hiperresponsif saluran respiratorik yang menyebabkan wheezing ,
sesak nafas, dada terasa berat (rasa dada tertekan), dan batuk berulang
terutama pada malam atau pagi hari. Keaadan ni dapat menghilang baik
spontan maupun dengan pengobatan.
1.2 Etiologi

1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas

6
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.

2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang
dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada
usia dini.
e. factor psikologis
emosi dapat memicu gejala pada beberapa anak yang berpenyakit asma.
Gangguan emosi dan tingkah laku terkait lebih erat dengan pengendalian
asma yang buruk.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).

1.3 Klasifikasi

Pembagian Asma berdasarkan penyebabnya, yaitu:


1. Asma Alergik (Ekstrinsik)

7
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang
masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain
akan ditangkap oleh makofrag yang bekerja sebagai antigen presenting cells(APC).
2. Asma Non Alergenik (Intrinsik )
Asma bronkhiale non alergenik terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi
terjadi akibat be-berapa faktor pencetus seperti infeksi saluaran napas atas, olahraga
atau kegiatan jasmani yang berat, serta stress psikologis. Serangan asma terjadi
akibat gangguan saraf otonom terutama gang-guan saraf simpatis yaitu blokade
adregenik beta dan hiperreaktifitas adregenik alfa. Dalam ke-adaan normal aktifitas
adregenik beta lebih dominan dari pada adrergenik alfa. Pada sebagian pe-nderita
asma aktifitas adregenik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan
bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak napas.
3. Asma Gabungan
Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA (2002-2010 )adalah sebagai berikut :

1. Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu
Serangan singkat
Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (≤ 2 kali)
 FEV1≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%

8
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Geajala nokturnal >2 kali/bulan
 FEV1≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%

3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu Menggunakan agonis 𝛽2 kerja pendek
setiap hari
 FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%

4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari
Serangan sering terjadi
Gejala asma nokturnal sering terjadi
 FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 > 30% pembagian lain derajat penyakit asma dibuat
oleh Phelan dkk.

Pembagian derajat penyakit asma pada anak

Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:

1. Asma episodik jarang


Merupakan 75% populasi asma pada anak.Ditandai oleh adanya episode <1x tiap 4-
6 minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala di antar episode
serangan, dan fungsi paru normal di antar tangan.Terapi profilaksis tidak
dibutuhkan pada kelompok ini.
2. Asma episodik sering
Merupakan 20% populasi asma.Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering
dan timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapatdicegah dengan
pemberian agonis 𝛽2 .Geala terjadi kurang dari 1x/ minggu dan fungsi paru di
antara serangan normal atau hampir normal.Terapi profilaksis biasanya
dibutuhkan.
3. Asma persisten
Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi

9
pada aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan agonis 𝛽2 lebih dari
3 kali/minggu.Arena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi
hari. Terapi profilaksis sangat dibutuhkan

Klasifikasi derajat asma pada anak

Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik sering Asma persisten


jarang
kebutuhan obat

dan faal paru asma

1 Frekuensi <1x/bulan >1x/bulan Sering


serangan

2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang


tahun, tidak ada
periode bebas
serangan

3 Intensitas Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat


serangan

4 Diantara Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan


serangan malam

5 Tidur dan Tidak tergganggu Sering tergganggu Sangat tergganggu


aktifitas

6 Pemeriksaan Normal ( tidak Mungkin tergganggu Tidak pernah normal


fisik diluar ditemukan kelainan)
(ditemukan kelainan)
serangan

7 Obat Tidak perlu Perlu Perlu


pengendali(anti
inflamasi)

8 Uji faal PEFatauFEV1>80% PEFatauFEV1<60-80% PEVatauFEV<60%


paru(diluar
serangan)

9 Variabilitas faal Variabilitas>15% Variabilitas>30% Variabilitas 20-30%.


paru(bila ada
Variabilitas >50%
serangan)

10
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced
expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik).

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-
hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for
Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda
klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi
yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat.

Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai
contoh: seorang pasien asma persisten beratdapat mengalami serangan ringan saja, tetapi
ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma
berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.

11
Klasifikasi asma menurut derajat serangan

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


fungsi faal paru, henti napas
laboratorium

Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat

Bayi : Bayi : Bayi :

Menangis -Tangis pendek Tidakmau


keras dan lemah makan/minum

-Kesulitan
menetek/makan

Posisi Bisa Lebih suka Duduk


berbaring duduk bertopang
lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Kesadaran Mungkin Biasanya iritabel Biasanya Kebingungan


iritabel iritabel

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

Wheezing Sedang, Nyaring, Sangat Sulit/tidak


sering hanya sepanjang nyaring, terdengar
pada akhir ekspirasi ± terdengar
ekspirasi inspirasi tanpa
stetoskop

Penggunaan otot Biasanya Biasanya ya Ya Gerakan


bantu respiratorik tidak paradok
torako-
abdominal

Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal /


retraksi ditambah ditambah hilang
interkostal retraksi napas cuping
suprasternal hidung

Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu

12
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :

Usia Frekuensi napas normal per


menit
< 2 bulan
<60
2-12 bulan
< 50
1-5 tahun
< 40
6-8 tahun
< 30

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Dradikardi

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak

Usia Frekuensi nadi normal


per menit

< 160
2-12 bulan
< 120
1-2 tahun
< 110
6-8 tahun

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,


tanda
(pemeriksaannya tidak (< 10 mmHg) (10-20 mmHg) (>20mmHg)
kelelahan
praktis)
otot
respiratorik

PEFR atau FEV1

(%nilai dugaan/%nilai
terbaik)
>60% 40-60% <40%
Pra bonkodilator
>80% 60-80% <60%,
Pasca bronkodilator respon<2 jam

SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%

PaO2 Normal >60 mmHg <60 mmHg


(biasanya
tidak perlu

13
diperiksa)

PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

Sumber : GINA, 2006

Berdasarkan Gejala Klinis :

a) Serangan asma ringan

dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa O2 ³ 95% udara ruangan, PEFR
lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan
bronkodilator dan faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu
melakukan aktivitas normal sehari-hari.

b) Serangan asma sedang

dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun timbulnya periodik, retraksi
interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per
menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal atau
kehidupan sehari-hari.

c) Serangan asma berat

dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari secara serius, disertai
kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan
asma yang mengancan jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 £
91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas
berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus
paradoksus ³ 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang
jelas.

1.4 Patofisiologi

Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan sukar
bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-
benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
sebagai berikut, seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi
alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat
pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan
brokhiolus dan bronkhus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi
lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.

14
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding
bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan
spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi
sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian
luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya
adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi.
Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat,
tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu
fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat
kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)

Asma Sebagai Penyakit Inflamasi


Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran nafas. Inflamasi ditandai
dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi),
tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris) dan
functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai
15
satu syarat lagi, yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada
asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non alergik dijumpai
adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran nafas. Oleh karena itu, paling tidak dikenal 2
jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi
oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan
diolah oleh APC (Antigen Presenting Cell; sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (sel T helper; penolong). Sel Th inilah yang akan
memberikan instruksi melalui IL (interleukin) atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk
IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofage, sel epitel, eosinofil, neutrofil,
trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator
inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran nafas, infiltrasi
sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel, sehingga menimbulkan hipereaktivitas
saluran nafas (HSN). Jalur non alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang
sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.
Hiperaktivitas Saluran Nafas (HSN)
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran nafas pasien asma yang
sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin,
metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan
tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN
diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.
Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperekativitas saluran nafas seseorang, yaitu:
a) Inflamasi Saluran Nafas
Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan erat
dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa intervensi
pengobatan dengan anti inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala
asma.
b) Kerusakan Epitel
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma kerusakan
bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan
meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi
ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkhus
sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai
bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkhus akan mengakibatkan
bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.
c) Mekanisme Neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis
d) Gangguan Intrinsik

16
Otot polos saluran nafas dan hipertrofi otot polos pada saluran nafas diduga
berperan dalam HSN
e) Obstruksi Saluran Nafas
Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran nafas diduga ikut berperan dalam
HSN.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)

1.5 Manifestasi klinis

Gejala yang biasanya timbul berhubungan dengan beratnya hiperreaktivitas


bronchus, obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan maupun dengan
pengobatan. Gejala-gejala-gejala asma antara lain :

a. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop


b. Batuk produktif pada malam hari
c. Nafas atau dada seperti ditekan
Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada
malam hari. Namun biasanya penderita yang sedang bebas serangan tidak
ditemukan gejala klinis, tapi ada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan
dalam, gelisah, duduk dengan menyangga kedepan serta tanpa otot-otot bantu
pernafasan bekerja dengan keras.

Pada serangan asma ringan:


 Anak tampak sesak saat berjalan.
 Pada bayi: menangis keras.
 Posisi anak: bisa berbaring.
 Dapat berbicara dengan kalimat.
 Kesadaran: mungkin irritable.
 Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.
 Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
 Retraksi interkostal dan dangkal.
 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
 Frekuensi nadi: normal.
 Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)
 SaO2 % > 95%.
 PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.
 PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma sedang:


 Anak tampak sesak saat berbicara.
 Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.

17
 Posisi anak: lebih suka duduk.
 Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.
 Kesadaran: biasanya irritable.
 Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi.
 Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.
 Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.
 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
 Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
 Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)
 SaO2 % sebesar 91-95%.
 PaO2 > 60 mmHg.
 PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:


 Anak tampak sesak saat beristirahat.
 Pada bayi: tidak mau minum/makan.
 Posisi anak: duduk bertopang lengan.
 Dapat berbicara dengan kata-kata.
 Kesadaran: biasanya irritable.
 Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi.
 Menggunakan otot bantu pernafasan.
 Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung.
 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
 Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
 Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)
 SaO2 % sebesar < 90 %.
 PaO2 < 60 mmHg.
 PaCO2 > 45 mmHg

Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:


 Kesadaran: kebingungan.
 Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi sulit atau tidak terdengar.
 Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal.
 Retraksi dangkal/hilang.
 Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).
 Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).
 Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.

18
1.6 Diagnosis

 Anamnesis
Keluhan batuk dan wheezing merupakan manifestasi klinis yang diterima luas
sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori Asma beripa kombinasi dari
batuk, wheezing, sesak nafas, rasa dada, dan produksi sputum. Chronic reccurent
Cough (Batuk Kronik Berulang,BKB) dapat menjadi penunjuk awal untuk
membantu diagnosis asma.

Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:


- Gejala timbul secara berulang.
- Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebuh berat pdaa malam hari.
- Reversibilitas
- Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap obat nyamuk, makanan minuman dingin,
pewarna makanan.
 Allergen: debu, serbuk sari, tungau debu rumah.
 Infeksi respiratori akut karena virus.
 Aktivitas fisis.
 Riwayat alergi pada pasien atau keluarga.
 Pemeriksaan fisis
- penggunaan otot-otot bantu pernafasan
- Frekuensi nafas > 30 kali per menit
- Takikardia > 120 x/menit
- Pulsus Parokdoksus >12 mmHg
- wheezing ekspiratori.
- Keadaan umum: penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita
lebih nayaman dalam posisi duduk.
- Jantung: pekak jantung mengecil, takikardi
- Inspeksi paru: dinding torak tampak mengembang, diafragma
terdorong ke bawah
- Auskultasi: wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.
- Perkusi: hipersonor.
- Palpasi: fremitus vocal kanan sama dengan kiri.

Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik mencakup :
- B1 (Breathing)
a. Inspeksi

19
Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada
terutama melihat postur bentuk dan kesimetrisan, adanya
peningkatan diameter antero posterior, retraksi otot-otot
intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.
b. Palpasi
Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil
fremitus normal
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor
sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
d. Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan
ekspirasi lebih dari 4 detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi
tambahan napas tambahan utama wheezing pada akhir ekspirasi.
- B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi
keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
- B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
- B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada
tidaknya oliguria sebagai tanda awal gejala syok.
- B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang
dapat merangsang serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi
jumlah, frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena
pada pasien sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena
dispnea saat makan dan kecemasan klien.
- B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada
ekstremitas karena merangsang serangan asma. Pada integumen perlu
dikaji permukaan kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit,
kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya bekas dermatitis. Pada
rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak
danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan
aktivitas lainnya.

 Pemeriksaan penunjang

20
- Uji fungsi paru degan spirometry sekaligus uji reversibiltas dan untuk
menilai varibilitas. Pada fasilits terbatas dapat dilakukan pemeriksaan
dengan peak flow meter.
- Uji cukit kulit (skin prick test), eosinophil total darah(250-400
sel/mm3), pemeriksaan IgE spesifik
- Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric
oxide),eosinophil sputum.
- Uji provikasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.
- Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:

a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal


eosinofil

b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkhus

c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus

d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat


mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug

- Pemeriksaan Darah

a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis

b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH

c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3


dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi

d. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE


pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan

- Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu


serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun

Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah
sebagai berikut:

21
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah

b. Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran


radiolusen akan semakin bertambah

c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru

d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal

e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan


pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen
pada paru-paru

22
1.7 Diagnosis Banding

Gejala asma tidak patognomik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
lain sehingga diperlukan kemungkinan diagnosis banding.

Inflamasi: infeksi, alergi

 Rinitis, rhinosinusitis
 Chronic upper airway cough syndrome
 Infeksi respiratori berulang
 Bronkiolitis
 Aspirasi berulang
 Defisiensi imun
 Tuberculosis

Obstruksi mekanis

 Hipertrofi timus
 Pembesaran KGB
 Aspirasi benda asing
 Disfungsi pita suara

Patologi Bronkus

 Displasia bronkopulmonal
 Bronkiektasis

Diagnosis banding lainnya :

Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya
terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di

23
pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani
pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema
biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan
aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas
terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada
foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
Gagal Jantung Kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai
paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena
sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan
tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah,
nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik
didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis,
dan hipertensi.

1.8 Tatalaksana

Asma tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan, sehingga penderita asma dapat
mencegah terjadinya sesak napas akibat serangan asma.

Tujuan pengobatan anti penyakit asma adalah membebaskan penderita dari serangan
penyakit asma. Hal ini dapat dicapai dengan jalan mengobati serangan penyakit asma yang
sedang terjadi atau mencegah serangan penyakit asma jangan sampai terjadi.

Mengobati disini bukan berarti menyembuhkan penyakitnya, melainkan menghilangkan


gejala-gejala yang berupa sesak, batuk, atau mengi. Keadaan yang sudah bebas gejala
penyakit asma ini selanjutnya harus dipertahankan agar serangan penyakit asma jangan
datang kembali.

Asma episodik jarang (asma ringan)


Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis
hirupan kerja pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran ini tidak
mudah dilakukan berhubung obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua
daerah. Di sampingitu pemakaian obat hirupan (metered dose inhaler) memerlukan

24
pelatihan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak
kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.
Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan maka beta-agonis diberikan
peroral.Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang perannya dalam
tata laksana asma karena batas keamanannya sempit.Namun mengingat di Indonesia
obat betaagonis oral tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan
memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.Di samping itu penggunaan
beta-agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping
berupa palpitasi. Hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta
dikombinasi dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga Konsensus Nasional seperti terlihat dalam
klasifikasi asmanya tidak mengajurkan pem-berian anti-inflamasi untuk asma
ringan.Di lain pihak, untuk asma intermiten (derajat 1 dari 4) GINA menganjurkan
penggunaan kromoglikat sebelum aktivitas fisis atau pajanan dengan alergen.Bahkan
untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA sudah menganjurkan pemberian
obat pengendali (controller) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah,
atau kromoglikat hirupan.Sebagai catatan, GINA menggunakan istilah obat
pengendali (controller) untuk istilah profilaksis yang digunakan oleh Konsensus
Internasional.Obat pengendali diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan /
gejala.Sedangkan obat yang diberikan saat serangan disebut obat pereda (reliever).
Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tata laksana yang
lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada asma ringan,
ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit
yang mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak, asma sedang yang mendapat
kromoglikat, dan asma berat yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan
perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah
menurunnya derajat asma, misalnya dari berat ke sedang atau ringan, bahkan sampai
asmanya asimtomatik.

Asma episodik sering (asma sedang)


Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu
(tanpa menghitung penggunaan pra aktivitas fisis), atau serangan
sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan
antiinflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.
Antiinflamasi lapis pertama yang digunakan adalah kromoglikat,
dengan dosis minimal 10 mg 3-4 kali perhari.Obat ini diberikan selama 6-8
minggu, kemudian dievaluasi hasilnya.Jika asma sudah terkendali, pemberian
kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari.Sampai sekarang, obat
ini tetap paling aman untuk pengendalian asma anak, dan efek sampingnya
ringan, yaitu sesekali menyebabkan batuk.Nedokromil merupakan obat satu
golongan dengan kromoglikat yang lebih poten dan tidak menyebabkan

25
batuk.Di luar negeri obat ini sudah diijinkan pemakaiannya untuk anak >2
tahun.Namun untuk di Indonesia saat ini ijin yang ada untuk anak >12 tahun.
Untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA menganjurkan
pemberian steroid hirupan (utama) atau kromoglikat hirupan (alternatif )
sebagai obat pengendali. Sedangkan untuk asma persisten sedang (derajat 3
dari 4) GINA merekomendasikan steroid hirupan tanpa memberi tempat
untuk kromoglikat.1 Menurut hemat kami, seyogyanya untuk obat pengendali
tetap dimulai dengan kromoglikat dahulu.Jika tidak berhasil baru diganti
dengan steroid hirupan. Mengenai obat antihistamin baru non-sedatif
(misalnya ketotifen), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak balita
dan/atau asma tipe rinitis.

Asma persisten (asma berat)


Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan
beta-agonis hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya
termasuk berat.Sebagai obat pengendali pilihan berikutnya adalah obat
steroid hirupan.Cara pemberian steroid hirupan apakah dari dosis tinggi ke
rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dari dosis rendah ke
tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya.Dalam
keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan
untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek
(3-5 hari).Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai optimal.
Steroid hirupan biasanya efektif dengan dosis rendah.Dalam
penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 200 mg/hari, belum
pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.Dosis yang masih
dianggap aman adalah 400 mg/hari. Di atas itu dilaporkan adanya pengaruh
sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 mg/hari agaknya mulai
berpengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisisadrenal sehingga dapat
berdampak terhadap pertumbuhan. Efek sistemik steroid hirupan dapat
dikurangi dengan penggunaan alat bantu berupa perenggang (spacer) yang
akan meningkatkan deposisi obat di paru dan mengurangi deposisi di daerah
orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik.
Setelah dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang
optimal atau klinis perbaikan yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis
steroid dapat dikurangi bertahap sehingga dicapai dosis terkecil yang masih
bisa mengendalikan asmanya.Sementara itu penggunaan beta-agonis sebagai
obat pereda tetap diteruskan.

Asma sangat berat


Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum
terkendali maka pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari

26
Asma persisten).Penggunaan beta-agonis (kerja pendek) hirupan >3x sehari
secara teratur dan terus menerus diduga mempunyai peran dalam
peningkatan morbiditas dan mortalitas asma. Oleh karena itu obat dan cara
peng-gunaannya tersebut sebaiknya dihindari. Tetapi jika dengan steroid
hirupan dosis sedang (400- 600 mg/hari) asmanya belum terkendali, maka
perlu dipertimbangkan tambahan pemberian beta-agonis kerja panjang, atau
beta-agonis lepas terkendali, atau teofilin lepas lambat.Dahulu beta-agonis
dan teofilin hanya dikenal sebagai bronkodilator saja.Namun akhir-akhir ini
diduga mereka juga mempunyai efek anti-inflamasi.
Jika dengan penambahan obat tersebut asmanya tetap belum
terkendali, obat tersebut diteruskan dan dosis steroid hirupan dinaikkan,
bahkan mungkin perlu diberikan steroid oral.Langkah ini diambil hanya bila
bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat.6 Untuk
steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis
kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada
pagi hari

Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau
gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi
gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua
adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat
ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran
nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah
tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 %
setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.

Obat – obat Pereda (Reliever)


1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak.Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,
sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP
menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang
menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan
mediator sel mast.
 Epinefrin/adrenalin

27
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis
selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia,
tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama
pada jantung dan CNS.

 β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi: 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB),
interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam
(dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak


dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek
puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan
ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping
takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi
karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
anticholinergick.

28
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor
adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah
pemberian oral, rectal, atau parenteral.Pemberian teofilin IM harus dihindarkan
karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan
dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak
mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan
keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
 > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang
lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia

 Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida.Kombinasi dengan nebulisasi
β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1
cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia
diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya
adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

 Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang
cukup lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral
yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1
– 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini


bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain
di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.

29
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal.Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam.Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam.
Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap
6 – 8 jam.

Obat – obat Pengontrol


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin,
cromones, dan long acting oral β2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan
penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam
pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-
gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di
rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah
terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down
regulation receptor β2 agonist.Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari
(respire anak).Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan
sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin
hasilnya lebih baik.Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang
membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA
adalah sebagai berikut :
 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat
montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming

30
growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis,
hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan
fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali
sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia> 7 tahun dengan
dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan
asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat
mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu
pemantauan fungsi hati.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)


Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian
ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan,
FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan
airway remodeling.Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu
kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan
formoterol (Symbicort).Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam
DPI.Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan
kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang
bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid.Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan
SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan
lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh
karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap
diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

Terapi Suportif
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker
atau headbox.Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur
dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen

31
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan
pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol
dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus,
meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen
dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat
mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah
mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya
asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic
teofilin.Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi
peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya
retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang
memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5
kali kebutuhan rumatan.

Cara Pemberian Obat


UMUR ALAT INHALASI
< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler)
dengan alat perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler,
Rotahaler, Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut


(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi
efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek
terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya
bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer
(Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi
dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau menggunakan botol
susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.

32
Kurangnya pengertian mengenai cara-cara pengobatan yang benar akan mengakibatkan
asma salalu kambuh. Jika pengobatannya dilakukan secara dini, benar dan teratur maka
serangan asma akan dapat ditekan seminimal mungkin.

Pada prinsipnya tata cara pengobatan asama dibagi atas:

 Pengobatan asma jangka pendek


 Pengobatan asma jangka panjang

Tatalaksana Serangan

1. Tatalaksana di rumah

Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin.Bila
tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek samping
sistemiknya minimal.Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI
dengan atau tanpa spacer atau nebulizer. Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak
ada perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.

2. Tatalaksana di klinik

Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya.
Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi.Garam fisiologis dapat
ditambahkan dalam cairan nebulisasi.Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20
menit.Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik.Tatalaksana awal ini
sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena
penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal penderita datang dengan serangan berat yang jelas, langsung
berikan nebulisasi beta agonis dikombinasikan dengan antikolinergik.Penderita serangan
berat dengan disertai dehidrasi dan asodosis metabolik dapat mengalami takifilaksis atau
respons yang kurang terhadap nebulisasi beta agonis.Penderita seperti ini cukup sekali
dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain diatasi
masalah dehidrasi dan asidosisnya. Sedangkan bila dengan sekali nebulisasi penderita
menunjukkan respons yang baik, berati serangannya ringan. Penderita diobservasi selama 2
jam, jika respons tersebut bertahan, penderita dapat dipulangkan. Penderita dapat
diresepkan obat beta agonis, baik hirup maupun oral, yang diberikan tiap 4 sampai 6 jam.
Jika pencetus serngannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka
pendek, 3 sampai 5 hari. Penderita kemudian dianjurkan untuk kontrol dalam waktu 24
sampai 48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serngan penderita
sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di klinik.

33
Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembal, penderita harus segera dibawa ke
rumah sakit.

Pengobatan Asma Jangka Pendek

Pengobatan diberikan pada saat terjadi serangan asma yang hebat, dan terus diberikan
sampai serangan merendah, biasanya memakai obat-obatan yang melebarkan saluran
pernapasan yang menyempit.

Tujuan pengobatannya untuk mengatasi penyempitan jalan napas, mengatasi sembab


selaput lendir jalan napas, dan mengatasi produksi dahak yang berlebihan. Macam obatnya
adalah:

A. Obat untuk mengatasi penyempitan jalan napas

Obat jenis ini untuk melemaskan otot polos pada saluran napas dan dikenal sebagai
obat bronkodilator. Ada 3 golongan besar obat ini, yaitu:

- Golongan Xantin, misalnya Ephedrine HCl (zat aktif dalam Neo Napacin)
- Golongan Simpatomimetika
- Golongan Antikolinergik
Walaupun secara legal hanya jenis obat Ephedrine HCl saja yang dapat diperoleh
penderita tanpa resep dokter (takaran < 25 mg), namun tidak tertutup
kemungkinannya penderita memperoleh obat anti asma yang lain.

B. Obat untuk mengatasi sembab selaput lendir jalan napas

Obat jenis ini termasuk kelompok kortikosteroid. Meskipun efek sampingnya cukup
berbahaya (bila pemakaiannya tak terkontrol), namun cukup potensial untuk mengatasi
sembab pada bagian tubuh manusia termasuk pada saluran napas. Atau dapat juga
dipakai kelompok Kromolin.
C. Obat untuk mengatasi produksi dahak yang berlebihan.

Jenis ini tidak ada dan tidak diperlukan. Yang terbaik adalah usaha untuk
mengencerkan dahak yang kental tersebut dan mengeluarkannya dari jalan napas
dengan refleks batuk.

34
Oleh karenanya penderita asma yang mengalami ini dianjurkan untuk minum yang
banyak. Namun tak menutup kemungkinan diberikan obat jenis lain, seperti Ambroxol
atau Carbo Cystein untuk membantu.

Pengobatan Asma Jangka Panjang


Pengobatan diberikan setelah serangan asma merendah, karena tujuan pengobatan ini
untuk pencegahan serangan asma.

Pengobatan asma diberikan dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, dan harus diberikan secara teratur.Penghentian pemakaian obat
ditentukan oleh dokter yang merawat.

Pengobatan ini lazimnya disebut sebagai immunoterapi, adalah suatu sistem pengobatan
yang diterapkan pada penderita asma/pilek alergi dengan cara menyuntikkan bahan alergi
terhadap penderita alergi yang dosisnya dinaikkan makin tinggi secara bertahap dan
diharapkan dapat menghilangkan kepekaannya terhadap bahan tersebut (desentisasi) atau
mengurangi kepekaannya (hiposentisisasi).

Dalam mengatasi dan mencegah asma paling tidak meminimalisir terjadinya serangan asma
secara tiba-tiba, kita perlu mengetahui bagaimana tata pelaksanaan dalam menanggani
asma.

35
ALGORITMA
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH

Penilaian berat serangan


Klinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE , 80% nilai terbaik / prediksi

Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral

Sumber : PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004

36
Penilaian Awal

Riwayat dan pemeriksaan fisik


Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit
(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1,
- saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi

Serangan Asma Ringan Serangan Asma Sedang/Berat Serangan Asma Mengancam Jiwa

Pengobatan Awal

 Oksigenasi dengan kanul nasal


 Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis
beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
 Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat,tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator, dalam

kortikosterois oral

Penilaian Ulang setelah 1 jam

Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Respons baik Respons Tidak Sempurna Respons buruk dalam 1 jam

 Respons baik dan stabil dalam  Resiko tinggi distress  Resiko tinggi distress
60 menit  Pem.fisis : gejala ringan – sedang  Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran
 Pem.fisi normal  APE > 50% terapi < 70% menurun
 APE >70% prediksi/nilai terbaik  Saturasi O2 tidak perbaikan  APE < 30%
 PaCO2 < 45 mmHg
 PaCO2 < 60 mmHg

Pulang Dirawat di RS

 Pengobatan dilanjutkan dengan  Inhalasi agonis beta-2 + anti—kolinergik Dirawat di ICU


inhalasi agonis beta-2
 Kortikosteroid sistemik
 Membutuhkan kortikosteroid
 Aminofilin drip Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergik
oral
 Terapi Oksigen pertimbangkan kanul Kortikosteroid IV
 Edukasi pasien
nasal atau masker venturi Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi
- Memakai obat yang benar
 Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilin SC/IM/IV
- Ikuti rencanapengobatan Aminofilin drip
selanjutnya
Mungkin perlu intubasi dan ventilasi
mekanik

Perbaikan Tidak Perbaikan

Pulang
Dirawat di ICU
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
berikanpengobatan oral atauinhalasi

37
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

Klinik / IGD

Nilai derajat
serangan(1)
(sesuai tabel 3)
Tatalaksana awal
 nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20
menit (2)
 nebulisasi ketiga + antikolinergik
 jika serangan berat, nebulisasi. 1x
(+antikoinergik)

Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat


(nebulisasi 1-3x, respons baik, (nebulisasi 1-3x,
gejala hilang) respons parsial) (nebulisasi 3x,
 observasi 2 jam respons buruk)
 berikan oksigen (3)
 jika efek bertahan, boleh
 nilai kembali derajat  sejak awal berikan O2 saat / di luar
pulang
serangan, jika nebulisasi
 jika gejala timbul lagi,
sesuai dgn  pasang jalur parenteral
perlakukan sebagai
serangan sedang,  nilai ulang klinisnya, jika sesuai
serangan sedang
observasi di Ruang dengan serangan berat, rawat di
Rawat Ruang Rawat Inap
Sehari/observasi
 foto Rontgen toraks
 pasang jalur
parenteral
Boleh pulang
 bekali obat -agonis
(hirupan / oral) Ruang Rawat Inap
 jika sudah ada obat Ruang Rawat  oksigen teruskan
pengendali, teruskan  atasi dehidrasi dan asidosis jika ada
Sehari/observasi 
 jika infeksi virus sbg. steroid IV tiap 6-8 jam
pencetus, dapat diberi  oksigen teruskan  nebulisasi tiap 1-2 jam
 berikan steroid oral
steroid oral  aminofilin IV awal, lanjutkan
 nebulisasi tiap 2 jam
 dalam 24-48 jam kon-
 bila dalam 12 jam
rumatanjika membaik dalam 4-
trol ke Klinik R. Jalan, 6x nebulisasi, interval jadi 4-6
perbaikan klinis
untuk reevaluasi
stabil, boleh pulang, jam
tetapi jika klinis  jika dalam 24 jam perbaikan klinis
tetap belum membaik stabil, boleh pulang
atau meburuk, alih  jika dengan steroid dan aminofilin
rawat ke Ruang parenteral tidak membaik, bahkan
Rawat Inap timbul Ancaman henti napas, alih
rawat ke Ruang Rawat Intensif
Catatan:

1. Jika menurut penilaian serangannya berat,


nebulisasi cukup 1x langsung dengan -
agonis + antikolinergik
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas
segera ke Ruang Rawat Intensif
3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti
dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali 38
maksimal 0,3ml/kali
4. Untuk serangan sedang dan terutama berat,
1.9 Komplikasi

1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian
menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau
aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus
dirawat dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat kekurangan oksigen
secara sistemik akibat inadekuatnya intake oksigen ke paru oleh serangan
asma.
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang
menyebabkan kolapsnya paru.
5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan
(obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung
secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
1.10 Pencegahan

Pencegahan Primer
Ditunjukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko asma (orang tua
asma) dengan cara :
 Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak.
 Diet hipoalergenik pada ibu hamil, dengan syarat tidak menganggu asupan
janin.
 Pemberian asi eksklusif sampai usia 6 bulan.
 Diet hipoalergenik ibu menyusui.

Pencegahan sekunder
Ditunjukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisasi dengan cara
menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu
rumah.

Pencegahan Tersier
Ditunjukan utnuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukan
manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal sebagai
ETAC study (Early Treatment of Atopic Children) mendapatkan bahwa pemberian
Setirizine selama 18 bulan pada anak yang atopi dengan dermatitis atopi dn IgE
spesifik terhadap serbuk rumput (pollen) dan tungau debu rumah menurunkan
kejadian asma sebanyak 50 % perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada
penilitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).

1.11 Prognosis

39
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak
hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang
sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik
pada umur 21 tahun.
Sebaliknya, anak dengan asma berat, yang ditandai denga penyakit kronis tergantung
steroid dengan riwayat inap dirumah sakit yang sering, jarang membaik dan sekitar 95%
menjadi orang dewasa asmatikus.

40
DAFTAR PUSTAKA

Garna, Herry, dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke IV.
Bandung ; RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Gunawan,Sulistia Gan,DKK.2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5.Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI
Rahajoe N, dkk. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi.Jakarta : PP IDAI
Rahajoe N, dkk. 2016. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi.Jakarta : PP IDAI
Price, Shirley Lorane M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsp Klinis Proses Penyakit edisi 4.
Jakarta : ECG.

41

Anda mungkin juga menyukai