SISTEM NEUROPSIKIATRI
MODUL 1
“LEMAH SEPARUH BADAN”
OLEH :
KELOMPOK 7
PEMBIMBING :
dr. Arina F. Arifin, M.Kes
ANGGOTA :
Haerul Ikhsan Haermiansyah 11020150047
Asyima Batari Putri Utami 11020150150
Chelsea Putri Ningsih 11020160001
Rahmadani Ali Umer 11020160014
Zulfikar Anand Pratama 11020160034
Rani Meiriska Nur Indah S 11020160047
Andi Nashira Iswalaily 11020160078
Rahmawaty Kurnia Putri 11020160111
Andi Suryanti Tenri Rawe 11020160124
Aulia Pratiwi Nurul Suci 11020160132
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2018
SKENARIO
Seorang laki-laki usia 60 tahun masuk ke IGD RS dengan kesadaran
menurun. Saat penderita akan pergi ke kamar mandi, penderita tersebut jatuh dan
kepalanya terbentur dinding. Selama ini penderita mengalami tekanan darah tinggi.
KATA SULIT
-
KATA KUNCI
1. Laki-laki usia 60 tahun
2. Masuk IGD RS dengan kesadaran menurun
3. Jatuh dan kepalanya terbentur dinding
4. Penderita mengalami tekanan darh tinggi
PERTANYAAN
1. Bagaimana korelasi antara kepala terbentur dengan kesadaran menurun ?
2. Bagaimanakah korelasi tekanan darah tinggi dengan kesadaran menurun ?
3. Jelaskan etiologi kesadaran menurun
4. Gambarkan sistem yang terlibat dalam keadaan kesadaran menurun
5. Bagaimana patomekanisme kesadaran menurun dan jelaskan klasifikasinya
6. Bagaimana penanganan awal berdasarkan skenario ?
7. Jelaskan langkah-langkah untuk mendiagnosis penderita berdasarkan
skenario
8. Jelaskan diagnosis banding berdasarkan skenario
9. Bagaimana perspektif Islam berdasarkan skenario ?
JAWABAN PERTANYAAN
1. Korelasi antara kepala terbentur dengan kesadaran menurun :
Patofisiologi Kesadaran Menurun
Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai
akibat dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing
pada akhirnya mengacaukan fungsi reticular activating system secara
langsung maupun tidak langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang
kemudian meninggal dapat dibuat kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi
/mekanisme yang masing-masing merusak fungsi reticular activating
system, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Etiologi Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi,
baik yang bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Salah satu
penyebabnya adalah Trauma kepala - Trauma kepala paling sering
disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas.
Morfologi Cedera/ Trauma
Secara morfologi, kejadian Cedera/ Trauma kepala dibagi menjadi:
Fraktur Kranium
Lesi Intrakranial
Perdarahan Epidural
Perdarahan Subdural
Kontusio dan Perdarahan Intraserebral
Cedera Difus
Cedera
PERDARAHAN EPIDURAL
DEFINISI
Hematom epidural atau lebih dikenal dengan istilah Epidural
hematoma (EDH) adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Ketika seorang
mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu
lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura,ketika
pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam
ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan
sebutan epidural hematom.
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.Umumnya
terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri
meningea media. Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar
dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul
oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral
yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa
pupil anisokor, hemiparese, papil edema dangejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus
lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervus kranialis.
PATOFISIOLOGI
Cedera disebabkan oleh laserasi arteri meningea media atau sinus
dura, dengan atau tanpa disertai fraktur tengkorak. Perdarahan dari EDH
dapat menyebabkan kompresi, pergeseran, dan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK).
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
duramater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah
satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila
fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula
terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum melalui durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan EDH, desakan oleh hematoma akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan
tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik
yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi pada sirkulasi arteria yang mengatur
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya
kesadaran. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial
yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial
antara lain gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa
terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau
terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara
dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan disebut lucid interval. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada EDH. Kalau pada subdural hematoma
cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan
trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Referensi :
1. Yudy Goysal Bagian/ SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin RS Wahidin Sudirohusodo Makassar. 2016.
2. Cherie Mininger. Epidural Hematoma. Dalam: Michael I. Greennberg,
MD, MPH. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jilid 1. Edisi: 1. Jakarta:
Erlangga; 2008. h. 51.
Referensi :
1. Nuraini, B. (2015). Risk factors of hypertension.
2. Modul Vaskular,(2016). Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Bedah Saraf Univeristas Airlangga. Surabaya
Referensi :
1. Bahan ajar kesadaran menurun, neuropsikiatri, 2016, Universitas
Hasanuddin
2. Brust, J.C.M., 2007, Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY,
International ed, Mc GrawHill, New York
3. Harsono 2007 Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Cet.ke-6; Gadjah
Mada University Press Yogyakarta
4. Gambaran sistem yang terlibat dalam keadaan kesadaran menurun :
Gambar 1. Serebrum
Dikutip dari Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus.
Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang
menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-
masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus
temporal.
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah
serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus
sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus
parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian).
Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf
sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan
mengenali segala jenis rangsangan somatic.
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling
depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior
sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik
untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang
mengontrol aktivitas intelektual.
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung
atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus
temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang
memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap
objek yang ditangkap oleh retina mata.
2. Serebelum (Otak Kecil)
Gambar 2. Serebellum
Dikutip dari Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia
3. Batang Otak
Vaskularisasi
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri
vertebralis dan arteri karotis interna, yang bercabang dan
beranastosmosis membentuk circulus willisi. Arteri karotis interna dan
eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri
serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis
interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri communicans posterior
yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri
serebri anterior saling berhubungan melalui arteri communicans
anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia
sisi yang sama. Arteri subklavia kanan merupakan cabang dari arteria
inominata,sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung
dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen
magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri
ini bersatu membentuk arteri basilaris.
2. Peredaran Darah Vena
Meninges
Gambar 6. Meninx
1. Duramater
Duramater atau pacymeninx dibentuk dari jaringan ikat fibrous.
Secara konvensional duramater ini terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.
Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang
tempat-tempat tertentu, terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus
Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum
yang menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal
merupakan lapisan duramater yang sebenarnya, sering disebut cranial
duramater. Terdiri dari jaringan fibrous yang padat dan kuat yang
membungkus otak dan melanjutkan diri menjadi duramater spinalis
setelah melewati foramen magnum yang berakhir sampai segmen
kedua os. Sacrum.
Lapisan meningeal membentuk empat septum ke dalam, membagi
rongga cranium menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan
bebas dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi septum ini adalah
untuk menahan pergeseran otak.
2. Arachnoid
Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeabel halus,
yang menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater. Membran
ini dipisahkan dari duramatare dari ruang potensial yaitu spatium subdurale,
dan dari piamater oleh cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid.
Cavum subarachnoid (subarachnoid space) merupakan suatu
rongga/ruangan yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan piamater
pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh
mesothelial cell yag pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke
dalam sinus venosus membentuk vili arachnoidales. Agregasi vili arachnoid
disebut sebagai granulation arachnoidales. Vili arachnoidales ini berfungsi
sebagai tempat perembesan cerebrospinal fluid ke dalam aliran darah.
Arachnoid berhubungan dengan piamater melalui untaian jaringan fibrosa
halus yang melintasi cairan dalam cavum subarachnoid.
Struktur yang berjalan dari dan ke otak menuju cranium atau
foraminanya harus melalui cavum subarachnoid.
3. Piamater
Piamater berhubungan erat dengan otak dan sum-sum tulang
belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini merupakan lapisan
dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung yang
halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringan
saraf. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir
dengan end feet dalam piamater untuk membentuk selaput pia-glia.
Selaput ini berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-bahan yang
merugikan masuk kedalam susunan saraf pusat.
Piamater membentuk tela-choroidea, atap ventriculus tertius dan
quartus, dan menyatu dengan ependyma, membentuk plexus choroideus
dalam ventriculus lateralis, tertius dan quartus.
Referensi:
1. Barr, Murray. L, The Human Nervous System, Harper & Row,
Philadelphia. 2014.
2. Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia. 2014.
3. Snell Richard.S, Anatomi Klinik bagian 3. 2011. Jakarta:EGC
5. Patofisiologi kesadaran menurun :
Referensi:
1. Bahan Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran UNHAS (2016)
2. Brust, J.C.M., 2007, Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY,
International ed, Mc GrawHill, New York
3. Singhal NS, Josephson SA. A practical approach to neurologic
evaluation in the intensive care unit. J Crit Care 2014; 29(4): 627-33.
2. Tekanan darah
Harus diusahakan agar tekanan darah cukup tinggi untuk memompa
darah ke otak
3. Otak
a. Periksalah kemungkinan adanya edema otak
b. Hentikan kejang yang ada
4. Vesika urinaria
a. Periksalah apakah ada retensio atau inkontinensia urin
b. Pemasangan kateter merupakan suatu keharusan
5. Gastro-intestinal
a.Perhatikan kecukupan kalori, vitamin dan elektrolit
b.Pemasangan nasogastric tube berperan ganda: untuk memasukkan
makanan dan obat- obatan serta untuk memudahkan pemeriksaan apakah
ada perdarahan lambung (stress ulcer)
c.Periksalah apakah ada tumpukan skibala
Referensi :
1. Bahan Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran UNHAS (2016)
2. Brust, J.C.M., 2017, Current Diagnosis & Treatment
NEUROLOGY, International 2nd ed, Mc GrawHill, New York
7. Langkah-langkah diagnosis :
1. Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis perlu dicantumkan dari siapa anamnesa
tersebut didapat. Diperlukan riwayat perjalanan penyakit, riwayat
trauma, riwayat penyakit, riwayat penggunaan oabt-obatan, dan riwayat
kelainan kejiwaan.
2. Pemeriksaan fisik umum
Dalam melakukan pemeriksaan fisik umum harus diamati :
a. Tanda vital
Perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan perhatikan
sirkulasi yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, dan ada tidaknya
aritmia.
b. Bau nafas
Kita harus dapat mengidentifikasi foetor breath hepatic yang
disebabkan penyakit hati, urino smell yang disebabkan karena penyakit
ginjal, atau fruity smell yang disebabkan karena ketoasidosis.
c. Pemeriksaan kulit
Perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata kelainan hati, dan
stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan.
d. Kepala dan Leher
Pada pasien trauma kepala, pemeriksaan kepala dan leher harus
dilakukan hati-hati jika ada kecurigaan fraktur servikal. Jika
kemungkinan itu tidak ada, maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan
lakukan auskultasi karotis untuk mencari ada tidaknya bruit.
3. Pemeriksaan fisik neurologis
Berupa :
a. Tentukan derajat kesadaran
Menentukan derajat kesadaran dapat dilakukan secara kualitatif
maupun kuantitatif. Secara kualitatif umumnya kita menilai kesadaran
yang menurun seperti apatis, somnolen, sopor, dan soporocomateus.
Secara kuantitatif kesadaran dapat kita nilai dengan menggunakan
Glascow Coma Scale. Pemeriksaan ini memiliki nilai terendah 3 dan
nilai tertinggi 15.
b. Periksa mata
Perhatikan posisi bola mata : simetris atau tidak, adakah deviasi
konjugee, bagaimana dengan pupil, adakah miosis atau midriasis atau
anisokor, perhatikan pergerakan bola mata dengan melakukan doll
maneuver atau tes kalori, jika memungkinkan lakukan funduskopi
untuk melihat adakah papil edema, fundus hipertensi dan perdarahan.
c. Periksa motorik
Perhatikan apakah adanya hemiparesis/kelumpuhan sesisi,
refleks fisiologis, patologis, pergerakan spontan kejang/mioklonik, dan
reflex movement seperti deserebrasi/dekortikasi.
4. Pemeriksaan penunjang
Berupa :
a. Pemeriksaan gas darah Berguna untuk melihat oksigenasi di dalam
darah, juga untuk melihat gangguan keseimbangan asam basa.
b. Pemeriksaan darah lengkap Meliputi DPL (darah perifer lengkap),
keton, faal hati, faal ginjal, dan elektrolit.
c. Pemeriksaan toksikologi Dari bahan urin darah dan bilasan
lambung.
d. Pemeriksaan khusus Punksi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG,
foto toraks, dan foto kepala.
Referensi :
1. Bahan Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran UNHAS (2016)
2. Brust, J.C.M., 2017, Current Diagnosis & Treatment
NEUROLOGY, International 2nd ed, Mc GrawHill, New York
8. Diagnosis banding :
STROKE HEMORAGIK
A. Definisi
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular
intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam
ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
B. Epidemiologi
Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000
pertahunnya dimana 10-15% merupakan stroke hemoragik kuhusnya
perdarahan intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke
hemoragik lebih berat dari pada stroke iskemik. Dilaporkan hanya
sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali kemandirian
fungsionalnya. Selain itu, ada sekitar 40-80% yang akhirnya
meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50%
meninggal pada 48 jam pertama. Penelitian menunjukkan dari 251
penderita stroke, ada 47% wanita dan 53% kali-laki dengan rata-rata
umur 69 tahun (78% berumur lebih dari 60 tahun. Pasien dengan umur
lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menunjukkan
outcome yang lebih buruk.
C. Etiologi
D. Faktor Resiko
Faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya
stroke hemoragik dijelaskan dalam tabel berikut.
1. Umur
Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.
Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi pada
mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda
untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun.
2. Hipertensi
Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal
ini berlaku untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk
resiko perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar,
menariknya, risiko stroke pada tingkat hipertensi sistolik kurang
dengan meningkatnya umur, sehingga ia menjadi kurang kuat,
meskipun masih penting dan bisa diobati, faktor risiko ini pada
orang tua.
3. Seks
Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada
laki-laki berbanding perempuan, perbedaan seks bahkan lebih
tinggi sebelum usia 65.
4. Riwayat keluarga
Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara
kembar monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar
laki-laki dizigotik yang menunjukkan kecenderungan genetik
untuk stroke. Pada 1913 penelitian kohort kelahiran Swedia
menunjukkan tiga kali lipat peningkatan kejadian stroke pada
laki-laki yang ibu kandungnya meninggal akibat stroke,
dibandingkan dengan laki-laki tanpa riwayat ibu yang mengalami
stroke. Riwayat keluarga juga tampaknya berperan dalam
kematian stroke antara populasi Kaukasia kelas menengah atas di
California.
5. Diabetes mellitus
Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan,
diabetes meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar dua
kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang tanpa
diabetes. Diabetes dapat mempengaruhi individu untuk mendapat
iskemia serebral melalui percepatan aterosklerosis pembuluh
darah yang besar, seperti arteri koronari, arteri karotid atau
dengan, efek lokal pada mikrosirkulasi serebral.
6. Penyakit jantung
Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki
lebih dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka
yang fungsi jantungnya normal.
a. Penyakit Arteri koroner :
Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus vaskular
aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari thrombi mural
karena miocard infarction.
b. Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi :
Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
c. Fibrilasi atrial :
Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial karena
penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko stroke
sebesar 17 kali.
d. Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke,
seperti prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek
septum atrium, aneurisma septum atrium, dan lesi
aterosklerotik dan trombotik dari ascending aorta.
7. Karotis bruits
Karotis bruits menunjukkan peningkatan risiko kejadian
stroke, meskipun risiko untuk stroke secara umum, dan tidak
untuk stroke khusus dalam distribusi arteri dengan bruit.
8. Merokok
Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi,
menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan peningkatan
risiko stroke untuk segala usia dan
kedua jenis kelamin, tingkat risiko berhubungan dengan jumlah
batang rokok yang dihisap, dan penghentian merokok
mengurangi risiko, dengan resiko kembali seperti bukan perokok
dalam masa lima tahun setelah penghentian.
9. Peningkatan hematokrit
Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika
hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah
keseluruhan adalah dari isi sel darah merah;
plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan peranan
penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari polisitemia,
hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya
menyebabkan gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan,
tinnitus, dan penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena
retina jauh kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi
trombosit akibat trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan
subarachnoid kadang-kadang dapat terjadi.
11. Hemoglobinopathy
a. Sickle-cell disease :
Dapat menyebabkan infark iskemik atau hemoragik,
intraserebral dan perdarahan subaraknoid, vena sinus dan
trombosis vena kortikal. Keseluruhan kejadian stroke dalam
Sickle-cell disease adalah 6-15%.
b. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria :
Dapat mengakibatkan trombosis vena serebral
12. Penyalahgunaan obat
Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk
methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain.
Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat
mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau fokus
bidang iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan sebuah
hipersensitivitas vaskular menyebabkan alergi . Perdarahan
subarachnoid dan difarction otak telah dilaporkan setelah
penggunaan kokain.
13. Hiperlipidemia
Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan
dengan penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan
stroke kurang jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk
menjadi faktor risiko untuk aterosklerosis karotis, khususnya
pada laki-laki di bawah 55 tahun. Kejadian hiperkolesterolemia
menurun dengan bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan dengan
perdarahan intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Tidak
ada hubungan yang jelas antara tingkat kolesterol dan infark
lakunar.
17. Infeksi
Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui
pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh
darah. Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat
menyebabkan arteritis otak dan infark.
F. Patofisiologis
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya
kesadaran dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang
irreversibel terjadi setelah tujuh hingga sepuluh menit. Penyumbatan
pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas
(stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi
energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan
iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya.
Dengan menambah Na+/K+-ATPase, defisiensi energi
menyebabkan penimbunan Na+ dan Ca2+ di dalam sel, serta
meningkatkan konsentrasi K+ ekstrasel sehingga menimbulkan
depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan penimbunan Cl- di dalam sel,
pembengkakan sel, dan kematian sel. Depolarisasi juga meningkatkan
pelepasan glutamat, yang mempercepat kematian sel melalui
masuknya Na+ dan Ca2+.
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan
penyumbatan lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang
mencegah reperfusi, meskipun pada kenyataannya penyebab
primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi,
yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Gejala
ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang
disuplai oleh pembuluh darah tersebut.
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi
menyebabkan kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta
defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral
presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi
okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik,
gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect.
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan
defisit sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada
lengan kiri jika korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer
dominan ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan bilateral
pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari
sistem limbik.
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia
kontralateral parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain
itu, akan terjadi kehilangan memori.
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan
defisit di daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior.
Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia),
kapsula interna (hemiparesis), dan traktus optikus (hemianopsia) akan
terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di
talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik.
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua
eksteremitas dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada
cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum,
mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Efek yang ditimbulkan
tergantung dari lokasi kerusakan:
1. Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya,
saraf vestibular).
2. Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral
dan tetraplegia (traktus piramidal).
3. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di
bagian wajah ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf
trigeminus [V] dan traktus spinotalamikus).
4. Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf
traktus salivarus), singultus (formasio retikularis).
5. Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner,
pada kehilangan persarafan simpatis).
6. Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis
otot lidah (saraf hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial
[VII]), strabismus (saraf okulomotorik [III], saraf abdusens [V]).
7. Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh
(namun kesadaran tetap dipertahankan).
G. Gejala Klinis
1. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar
setengah dari jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit
kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada orang tua,
sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak
menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai
perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan,
hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi
satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat berbicara atau
menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat
menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual,
muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat
terjadi dalam beberapa detik untuk menit.
2. Perdarahan Subaraknoid
a. Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah
(kadang-kadang disebut sakit kepala halilintar)
b. Sakit pada mata atau daerah fasial
c. Penglihatan ganda
d. Kehilangan penglihatan tepi
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis
stroke dan menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang
dapat dilakukan pada penderita stroke diantaranya adalah hitung darah
lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan kadar serum
glukosa.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis.
Pencitraan otak adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan
harus didapatkan dalam basis kedaruratan. Pencitraan otak membantu
dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi
komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan
hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak merupakan
pilihan yang dapat digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk
membedakan stroke dari patologi intrakranial lainnya. CT non kontras
dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter
lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan
lebih bisa diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI
dapat mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi
yang menyebabkan perdarahan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram
(EKG) untuk memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia
jantung dan iskemia miokard memiliki kejadian signifikan dengan
stroke.
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain
seperti: ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak,
hipernatremia, stroke iskemik, perdarahan subaraknoid, hematoma
subdural, kedaruratan hipertensif, hipoglikemia, labirinitis, dan
Transient Ischemic Attack (TIA).
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
A. Evaluasi cepat dan diagnosis
B. Terapi umum (suportif)
stabilisasi jalan napas dan pernapasan
stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
pemeriksaan awal fisik umum
pengendalian peninggian TIK
penanganan transformasi hemoragik
pengendalian kejang
pengendalian suhu tubuh
pemeriksaan penunjang
e. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang.
Obat-obat yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic
acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis
6-12 g/hari.
f. Antihipertensi
Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau
tekanan darah sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan
tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum
tindakan operasi aneurisma clipping).
Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160
mmHg dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130
mmHg.
Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol
(IV) 0,5-2 mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam
atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit.
Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena
menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.
Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg)
dapat diberikan vasopressors, dimana hal ini untuk
melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin
terjadi akibat vasospasme.
g. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV
2-3 L/hari. Bila perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3
kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan
tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4
mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali
sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena
menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak
dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi.
h. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga
pemberian antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin,
hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin
timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas,
aneurisma arteri serebri media, kesadaran yang tidak
membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan
ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan
sebagai profilaksis.
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari
oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis
maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi.
Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan
kejang.
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin
dianjurkan pada penderita yang tidak kejang dan harus
dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang
mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya,
hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media.
i. Hidrosefalus
Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering
dalam 7 hari pertama. Kejadiannya kira-kira 20% dari
kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase
eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya
dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan
serebrospinal secara temporer atau permanen seperti
ventriculo-peritoneal shunt.
j. Terapi Tambahan
Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses
secara regular. Mencegah trombosis vena dalam, dengan
memakai stocking atau pneumatic compression devices.
Analgesik:
Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4
g/hari.
Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
Tylanol dengan kodein.
Hindari asetosal.
Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
1. Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
2. Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10
mg/4-6 jam.
3. Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
4. Propofol 3-10 mg/kg/jam.
Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
1. Antagonis H2
2. Antasida
3. Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
4. Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2
kali sehari.
5. Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
K. Komplikasi
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi
yang paling ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan
edem serebri sering mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam
pertama. Perdarahan awal juga berhubungan dengan deteorisasi
neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut adalah penyebab
paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada pasien
yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan
kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul.
Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah
penyebab utama dari disabilitas permanen.
L. Prognosis
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke
dan lokasi serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma
Glasgow yang rendah berhubungan dengan prognosis yang lebih
buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat volume darah
yang besar dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis
biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat buruk dengan
tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa
meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang
menggunakan antikoagulasi oral yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebral juga memiliki outcome fungsional yang
buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.
M. Pencegahan
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya
hidup dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada
orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang berlum pernah
terserang stroke. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
Mengatur pola makan yang sehat
Melakukan olah raga yang teratur
Menghentikan rokok
Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
Memelihara berat badan yang layak
Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet
dan obat
Pemakaian antiplatelet
Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah
pengendalian faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan
pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi,
diabetes mellitus, riwayat TIA, dislipidemia, dan sebagainya.
Referensi
Iqbal H Hidayat. Stroke Hemoragik. 2011. Medan : Departemen Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rsup H.
Adam Malik. Hal. 40-62.
B. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di negara maju,
setelah penyakit jantung dan kanker. Insidensi tahunan adalan 2 per 1000
populasi. Di Amerika Serikat Stroke menduduki peringkat ke-3 penyebab
kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya 500.000
orang Amerika terserang stroke di antaranya 400.000 orang terkena stroke
iskemik dan 100.000 orang menderita stroke hemoragik (termasuk
perdarahan intraserebral dan subarakhnoid) dengan 175.000 orang
mengalami kematian.
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan
sebesar 8,3 per 1000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh tenaga
kesehatan adalah 6 per 1000 penduduk. Hal ini menunjukkan sekitar 72,3%
kasus stroke pada masyarakat telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Data
nasional yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
menyatakan bahwa stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab
kematian untuk semua umur, dimana stroke menjadi penyebab kematian
terbanyak.
C. Etiologi
Menurut Smeltzer, 2002 penyebab stroke non hemoragik yaitu:
1. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan
aliran darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan
menyebabkan kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada
pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan
iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan
kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua
yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena
penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang
dapat menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis
seringkali memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
2. Embolisme cerebral
Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke
otak dari bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan
pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada
umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan
menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung
cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik
3. Iskemia
Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah.
D. Faktor Resiko
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada penyakit stroke diantaranya
adalah riwayat stroke, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus,
penyakit karotis asimptomatis, transient ischemic attack,
hiperkolesterolemia, penggunaan kontrasepsi oral, obesitas, merokok,
alkoholik, penggunaan narkotik, hiperhomosisteinemia, antibodi
antifosfolipid, hiperurisemia, peninggian hematokrit, dan peningkatan
kadar fibrinogen, sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
yaitu umur, jenis kelamin, herediter, dan ras/etnis.
Berbagai penelitian telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor risiko
stroke antara lain herediter, usia, jenis kelamin, sosioekonomi, letak
geografi, makanan tinggi lemak dan kalori, kurang makan sayur buah,
merokok, alkohol, aktifitas fisik kurang, hipertensi, obesitas, diabetes
melitus, aterosklerosis, penyakit arteri perifer, penyakit jantung (heart
failure), dan dislipidemia.
Faktor risiko terjadinya stroke secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi 2 yaitu, faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat
dimodifikasi.
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor-faktor tersebut terdiri atas faktor genetik dan ras, usia, jenis
kelamin, dan riwayat stroke sebelumnya (AHA, 2015).
a. Faktor genetik seseorang berpengaruh karena individu yang
memiliki riwayat keluarga dengan stroke akan memiliki
risikotinggi mengalami stroke, ras kulit hitam lebih sering
mengalami hipertensi dari pada ras kulit putih sehingga ras
kulit hitam memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke.
b. Faktor usia, stroke dapat terjadi pada semua rentang usia
namun semakin bertambahnya usia semakin tinggi pula
resiko terkena stroke. Usia diatas 50 tahun risiko stroke
menjadi berlipat ganda pada setiap pertambahan usia.
c. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko stroke, laki-
laki memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan
perempuan, hal ini terkait kebiasaan merokok, risiko
terhadap hipertensi, hiperurisemia, dan hipertrigliserida
lebih tinggi pada laki-laki.
d. Seseorang yang pernah mengalami serangan stroke yang
dikenal dengan Transient Ischemic Attack (TIA) juga
berisiko tinggi mengalami stroke, AHA (2015) menyebutkan
bahwa 15% kejadian stroke ditandai oleh serangan TIA
terlebih dahulu.
2. Faktor risiko yang dapat diubah
Faktor risiko yang dapat diubah adalah obesitas (kegemukan),
hipertensi, hiperlipidemia, kebiasaan merokok, penyalahgunaan
alkohol dan obat, dan pola hidup tidak sehat (AHA, 2015).
a. Secara tidak langsung obesitas memicu terjadinya stroke
yang diperantarai oleh sekelompok penyakit
yangditimbulkan akibat obesitas, selain itu obesitas juga
salah satu pemicu utama dalam peningkatan risiko penyakit
kardiovaskuler.
b. Hipertensi merupakan penyebab utama terjadinya stroke,
beberapa studi menunjukkan bahwa manajemen penurunan
tekanan darah dapat menurunkan resiko stroke sebesar 41%.
c. Hiperlipidemia atau kondisi yang ditandai dengan tingginya
kadar lemak di dalam darah dapat memicu terjadinya
sumbatan pada aliran darah.
d. Individu yang merokok dan mengkonsumsi minuman
beralkohol memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke karena
dapat memicu terbentuknya plak dalam pembuluh darah.
E. Klasifikasi
Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila, (2012) adalah :
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
TIA adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia
otak sepintas dan menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam waktu
tidak lebih dari 24 jam.
b. Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND)
RIND adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia
otak berlangsung lebih dari 24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam
waktu 1-3 minggu
c. Stroke in Evolution (Progressing Stroke)
Stroke in evolution adalah deficit neurologik fokal akut karena
gangguan peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan
mencapai maksimal dalam beberapa jam sampe bbrpa hari
d. Stroke in Resolution
Stroke in resolution adalah deficit neurologik fokal akut karena
gangguan peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan dan
mencapai maksimal dalam beberapa jam sampai bbrapa hari
e. Completed Stroke (infark serebri)
Completed stroke adalah defisit neurologi fokal akut karena oklusi atau
gangguan peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil tanpa
memburuk lagi.
Sedangkan secara patogenitas Stroke iskemik (Stroke Non Hemoragik)
dapat dibagi menjadi :
1. Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena
trombosis di arteri karotis interna secara langsung masuk ke arteri
serebri media. Permulaan gejala sering terjadi pada waktu tidur,atau
sedang istrirahat kemudian berkembang dengan cepat,lambat laun atau
secara bertahap sampai mencapai gejala maksimal dalam beberapa jam,
kadang-kadang dalam beberapa hari (2-3 hari), kesadaran biasanya
tidak terganggu dan ada kecendrungan untuk membaik dalam beberapa
hari,minggu atau bulan.
2. Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena
emboli yang pada umunya berasal dari jantung. Permulaan gejala
terlihat sangat mendadak berkembang sangat cepat, kesadaran biasanya
tidak terganggu, kemungkinan juga disertai emboli pada organ dan ada
kecendrungan untuk membaik dalam beberapa hari, minggu atau bulan.
F. Tanda dan Gejala klinis
Tanda dan gejala yang timbul dapat berbagai macam tergantung dari
berat ringannya lesi dan juga topisnya. Tanda dan gejala stroke non
hemoragik secara umum yaitu:
1. Gangguan Motorik
2. Gangguan Sensorik
3. Gangguan Kognitif, Memori dan Atensi
a. Gangguan cara menyelesaikan suatu masalah
4. Gangguan Kemampuan Fungsional
Gangguan dalam beraktifitas sehari-hari seperti mandi, makan, ke toilet
dan berpakaian.
Kesadaran seseorang dapat di nilai dengan menggunakan skala koma
Glasgow yaitu:
G. Patofisiologi
Adanya stenosis arteri dapatmenyebabkan terjadinya turbulensi aliran
darah. Energi yang diperlukan untuk menjalankankegiatan neuronal berasal
dari metabolisme glukosa dan disimpan di otak dalam bentukglukosa atau
glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit. Bila tidak ada
alirandarah lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, bila lebih dari
2 menit aktifitasjaringan otak berhenti, bila lebih dari 5 menit maka
kerusakan jaringan otak dimulai, dan bilalebih dari 9 menit manusia dapat
meninggal.
Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang
diperlukanuntuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan
Na+ K+ ATP-ase, sehinggamembran potensial akan menurun.13 K+
berpindah ke ruang ekstraselular, sementara ion Nadan Ca berkumpul di
dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih
negatif7sehingga terjadi membran depolarisasi.7 Saat awal depolarisasi
membran sel masih reversibel,tetapi bila menetap terjadi perubahan
struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak.Keadaan ini terjadi
segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian
jaringan,yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram
/ menit.
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan akan
menyebabkan iskemia disuatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di
sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokalberupa vasodilatasi,
memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini :
1. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu
singkat dikompensasidengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi
lokal. Secara klinis gejala yang timbuladalah transient ischemic
attack (TIA) yang timbul dapat berupa hemiparesis yangmenghilang
sebelum 24 jam atau amnesia umum sepintas.
Sumbatan pembuluh
darah otak
Intervensi:
Terapi latihan: kontrol otot
a. Berkolaborasi dengan terapis fisik, pekerjaan, dan rekreasi dalam
mengembangkan dan melaksanakan program latihan
b. Konsultasikan terapi fisik untuk mengetahui posisi optimal pasien
selama latihan dan jumlah pengulangan untuk setiap pola gerakan
c. Instruksikan pasien untuk melancarkankan setiap gerakan
Intervensi:
Manajemen nutrisi
a. Berikan lingkungan optimal untuk konsumsi makanan
b. Bantu perawatan mulut pasien sebelum makan
c. Bantu pasien dengan membuka bungkus, potong makanan, dan
makan
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. disfungsi neuromuskular
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kepatenan jalan
napas meningkat dengan kriteria hasil:
a. Tingkat pernapasan normal
b. Kemampuan membersihkan sekret meningkat
Intervensi:
Peningkatan batuk
a. Bantulah pasien pada posisi duduk dengan kepala sedikit tertekuk,
bahu relaks, dan lutut ditekuk
b. Dorong pasien untuk menarik beberapa napas dalam
c. Dorong pasien untuk menarik napas dalam, tahan 2 detik, dan
batuk dua atau tiga kali berturut-turut
d. Instruksikan pasien untuk tarik mapas dalam beberapa kali,
menghembuskan napas perlahan, dan membatukannya
Intervensi:
Peninangkatan komunikasi
a. Sesuaikan gaya komunikasi untuk memenuhi kebutuhan klien
b. Memberikan penguatan positif
c. Berikan rujukan ke ahli patologi atau ahli terapi bicara
d. Mengkoordinasikan kegiatan tim rehabilitasi
I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin, (2008) dalam Firdayanti (2014), pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu sebagai berikut :
a. Angiografi serebral
b. Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke
dalam ruang sub arachnoid meninges medula spinalis pada daerah
cauda equina melalui daerah segmen lumbalis columna vertebralis
dengan teknik yang ketat dan aseptik. Posisi pasien yaitu posisi tidur
miring dengan fleksi maksimal dari lutut, paha, dan kepala semua
mengarah ke perut, kepala dapat diberi bantal tipis.
Hasil dari pemeriksaan lumbal pungsi yaitu tekanan yang
meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid atau perdarahan
pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya
proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai
pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil
biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari
pertama.
c. CT Scan (Computerized Tomography Scanning)
Gambar 8. CT scan
Dikutip dari Stroke Non Hemoragik. 2017. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
d. MRI
Gambar 9. MRI
Dikutip dari Stroke Non Hemoragik. 2017. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
e. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
sistem karotis).
f. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul
dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls
listrik dalam jaringan otak.
g. EKG
EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama
jantung atau penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab
stroke. Prosedur EKG biasanya membutuhkan waktu hanya
beberapa menit serta aman dan tidak menimbulkan nyeri.
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Terapi pada penderita stroke non hemoragik menurut Esther (2010)
dalam Setyadi (2014) bertujuan untuk meningkatkan perfusi darah ke
otak, membantu lisis bekuan darah dan mencegah trombosis lanjutan,
melindungi jaringan otak yang masih aktif dan mencegah cedera
sekunder lain, beberapa terapinya adalah :
a. Terapi trombolitik : menggunakan recombinant tissue plasminogen
activator (rTPA) yang berfungsi memperbaiki aliran darah dengan
menguraikan bekuan darah, tetapi terapi ini harus dimulai dalam
waktu 3 jam sejak manifestasi klinis stroke timbul dan hanya
dilakukan setelah kemungkinan perdarahan atau penyebab lain
disingkirkan
b. Terapi antikoagulan : terapi ini diberikan bila penderita terdapat
resiko tinggi kekambuhan emboli, infark miokard yang baru
terjadi, atau fibrilasi atrial
c. Terapi antitrombosit : seperti aspirin, dipiridamol, atau klopidogrel
dapat diberikan untuk mengurangi pembentukan trombus dan
memperpanjang waktu pembekuan
d. Terapi suportif : yang berfungsi untuk mencegah perluasan stroke
dengan tindakannya meliputi penatalaksanaan jalan nafas dan
oksigenasi, pemantauan dan pengendalian tekanan darah untuk 13
mencegah perdarahan lebih lanjut, pengendalian hiperglikemi pada
pasien diabetes sangat penting karena kadar glukosa yang
menyimpang akan memperluas daerah infark.
2. Penalaksanaan Keperawatan
a. Terapi Non Farmakologi
1) Perubahan Gaya Hidup Terapeutik
Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan
peningkatan aktivitas fisik merupakan perubahan gaya
hidup terapeutik yang penting untuk semua pasien yang
berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang membutuhkan
terapi obat untuk hipertensi atau dislipidemia, obat tersebut
harus diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet
dan perubahan gaya hidup lainnya. Diet tinggi buah-buahan
sitrus dan sayuran hijau berbunga terbukti memberikan
perlindungan terhadap stroke iskemik pada studi
Framingham (JAMA 1995;273:1113) dalam Agustian
(2014) dan studi Nurses Health (JAMA 1999;282:1233)
dalam Agustina (2014), setiap peningkatan konsumsi per
kali per hari mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%.
Diet rendah lemak trans dan jenuh serta tinggi lemak
omega-3 juga direkomendasikan. Konsumsi alkohol
ringan-sedang (1 kali per minggu hingga 1 kali per hari)
dapat mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki
hingga 20% dalam 12 tahun, namun konsumsi alkohol berat
(> 5 kali/ hari) meningkatkan risiko stroke.
2) Aktivitas fisik
Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung
dan stroke setara dengan merokok, dan lebih dari 70%
orang dewasa hanya melakukan sedikit latihan fisik atau
bahkan tidak sama sekali, semua pasien harus diberitahu
untuk melakukan aktivitas aerobik sekitar 30- 45 menit
setiap hari. Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat
meningkatkan metabolisme karbohidrat, sensitivitas
insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung). Latihan juga
merupakan komponen yang berguna dalam
memaksimalkan program penurunan berat badan,
meskipun pengaturan pola makan lebih efektif dalam
menurunkan berat badan dan pengendalian metabolisme.
b. Rehabilitasi Pemberian Stimulasi Dua Dimensi
1) Pengertian rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan dasar dari program pemulihan
penderita stroke. Rehabilitasi stroke merupakan sebuah
program komprehensif yang terkoordinasi antara medis dan
rehabilitasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan dan
memodifikasi keampuan fungsional yang ada. Rehabilitasi
dini diunit 21 penanganan stroke dapat berpengaruh kepada
keselamatan hidup penderita stroke.
2) Tujuan rehabilitasi Tujuan Rehabilitasi medis menurut Stein
(2009) dalam Fitriani (2016) yaitu: a. Mengoptimalkan dan
memodifikasi keampuan fungsional b. Memperbaiki fungsi
motorik, wicara, kognitif dan fungsi lain yang terganggu c.
Membantu melakukan kegiatan aktivitas sehari – hari d.
Readaptasi sosial dan mental untuk memulihkan hubungan
interpersonal dan aktivitas sosial
3) Kegiatan rehabilitasi pemberian stimulasi dua dimensi
Menurut (Lingga, 2013) program rehabilitasi mencakup
berbagai macam kegiatan untuk melatih kembali fungsi tubuh
pasien yang lemah akibat stroke yang dialami. Kegiatan yang
dapat dilakukan dalam rehabilitasi medik pasien stroke
meliputi:
a) Latihan rentang gerak aktif dengan cylindrical grip
Pengertian latihan rentang gerak aktif asistif dengan
cylindrical grip adalah latihan rentang gerak aktif
merupakan latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki pergerakkan sendi
untuk meningkatkan masa otot dan kekuatan otot.
Latihan cylindrical grip merupakan suatu bentuk latihan
fungsional tangan dengan cara menggenggam sebuah
benda berbentuk silindris 22 seperti tisu gulung pada
telapak tangan, yang bertujuan untuk menunjang
pemulihan kemampuan gerak dan fungsi tangan, dengan
melakukan latihan dengan menggunakan cylindrical
grip akan membantu proses perkembangan motorik
tangan. Cylindrical grip merupakan salah satu dari
power grip yang menggunakan benda berbentuk silindris
berfungsi untuk menggerakkan jari-jari tangan dan
membantu menggenggam dengan sempurna. Macam-
macam latihan dengan power grip dengan menggunakan
pola menggenggam dan memegang terdiri atas
cylindrical grip, spherical grip, hook grip, dan lateral
prehension. Lama latihan rentang gerak Menurut (Potter
& Perry, 2005 dalam Fitriani, 2016) frekuensi latihan
yang baik dalam sehari adalah dua sampai tiga kali
sehari dan lama latihan minimal tiga menit setiap sendi
dan 15-20 menit dalam satu kali sesi latihan. Penelitian
yang dilakukan oleh Garber et al (2011) dalam jurnal
yang berjudul “ Quantity and Quality of Exercise for
Developing and 25 Maintaining Cardiorespiratoy,
Musculoskeletal, and Neuromotor Fitness in Apparently
Healthy Adults : Guidance for Prescribing Exercise”
rekomendasi dasar untuk melakukan latihan neuromotor
yang melibatkan ketrampilan motorik meliputi latihan
keseimbangan, latihan gerak, koordinasi, dan gaya
berjalan untuk meningkatkan fungsi fisik dengan
frekuensi dua sampai tiga kali perminggu, tiap sesi lebih
dari 20-30 menit total lebih dari 60 menit latihan per
minggu.
b) Terapi musik
Pengertian terapi musik adalah terapi yang
menggunakan musik secara terapeutik terhadap fungsi
fisik, fisiologis, kognitif dan fungsi sosial. Musik
merupakan seni mengatur suara dalam waktu yang
berkelanjutan, terpadu dan menggugah komposisi
melalui melodi, harmoni, ritme, dan timbre atau warna
nada .
Tujuan dan manfaat terapi musik Tujuan dan manfaat
dari terapi musik yaitu untuk mengembalikan fungsi
individu sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang
lebih baik, melakukan pencegahan, pengobatan, dan
rehabilitasi dengan pemberian terapi karena musik
dianggap mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan.
Jenis musik yang diberikan untuk pasien stroke Jenis
musik yang diberikan untuk pasien stroke adalah musik
yang lembut dan getaran yang lambat. Pengolahan irama
yang tepat dapat membantu proses motorik melalui
sinkronisasi sensorimotorik dengan musik. Salah satu
jenis musik yang lembut dan nada yang lambat adalah
musik instrumental.
Lama pemberian terapi musik Terapis dapat
melakukan terapi musik selama kurang lebih 30 menit
hingga satu jam tiap hari, namun waktu 10 menit dapat
diberikan karena selama waktu 10 menit telah
membantu pikiran klien beristirahat. Posisi pasien harus
nyaman saat mendengarkan musik, tempo sedikit lebih
lambat 60-80 ketukan per menit dengan irama yang
tenang. Salah satu contoh musik instrumental yang
memiliki tempo lambat 60-80 ketukan per menit yaitu
musik ethnic bali seperti gus teja. Pola sensori musik
diorganisir dalam pola irama, tidak hanya membantu
pasien untuk berlatih mensinkronkan waktu gerak sesuai
ketukan, tetapi juga membantu terapis dalam
perencanaan program yang disesuaikan dengan pola
gerak pasien.
K. Komplikasi
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah:
1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi.
2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi,
deformitas, terjatuh.
3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.
4. Hidrosefalus
Sedangkan komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke non
hemoragik meliputi edema serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.
2. Edema serebral yang signifikan setelah stroke non hemoragi kini
terjadi meskipun agak jarang (10-20%).
3. Indikator awal stroke non hemoragik yang tampak pada CT scan tanpa
kontras adalah intrakranin dependen untuk potensi pembengkakan dan
kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk mengurangi tekanan
intracranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun
kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke non hemoragik
lebih lanjut belum diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi
hemoragik pada infark mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada 5%
dari stroke non hemoragik yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik.
Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan
neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma
yang memerlukan evakuasi.
4. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan.
Post-stroke non hemoragik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar.
Beberapa pasien yang mengalami serangan stroke berkembang
menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari stroke stroke
non hemoragik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan
kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.
L. Prognosis
Prognosis stroke dipengaruhi oleh sifat dan tingkat keparahan defisit
neurologis yang dihasilkan. usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis
yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan,
kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1
bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar
35%. pasien yang selamat dari periode akut, sekitar satu setengah samapai
dua pertiga kembali fungsi independen, sementara sekitar 15% memerlukan
perawatan institusional. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi
500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau 125.000
orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. Sebanyak
28,5% penderita stroke meninggal dunia, sisanya menderita kelumpuhan
sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari
serangan stroke dan kecacatan.
M. Pencegahan
Pencegahan untuk stroke non-hemoragik ada dua yaitu :
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara menghindari rokok,
stres mental, alkohol, kegemukan (obesitas), konsumsi garam berlebih,
obat-obat golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya. Mengurangi
kolesterol dan lemak dalam makanan, mengendalikan hipertensi,
diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit vaskular aterosklerotik
lainnya serta perbanyak konsumsi gizi seimbang dan olahraga teratur.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara memodifikasi
gaya hidup yang berisiko seperti hipertensi dengan diet dan obat
antihipertensi, diabetes melitus dengan diet dan obat hipoglikemik oral
atau insulin, penyakit jantung dengan antikoagulan oral, dislipidemia
dengan diet rendah lemak dan obat anti dislipidemia, dan berhenti
merokok, serta hindari kegemukan dan kurang gerak.
Referensi:
Indun Candra Kirana. Stroke Non Hemoragik. 2017. Semarang : Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Hal. 1-23
8. Perspektif Islam