Disusun oleh:
Luluk Lutfiana
NIM: F1316069
0|Page
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari BPK RI, laporan
tahunan Kejaksaan RI, website Kemenpan-RB, keputusan Mendagri, dan Badan Pusat
Statistik. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh provinsi di Indonesia periode 2011 –
2015. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Analisis data
menggunakan regresi linier berganda melalui SPSS versi 23.0.
Hasil penelitian ini menunjukkan hanya variabel independen desentralisasi fiskal yang
berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah. Variabel skor hasil evaluasi LAKIP,
dan skor hasil evaluasi EKPPD tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah.
1|Page
I. PENDAHULUAN
Rini dan Liska (2017) berpendapat, melalui pekerjaan audit, auditor merupakan
elemen yang signifikan dalam mengurangi kecurangan dan korupsi. Oleh karena itu,
hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seharusnya mampu menjadi tolak
ukur kinerja serta media bagi suatu institusi yang berperan mengurangi kecurangan
maupun korupsi. Namun, beberapa tahun belakangan, opini wajar tanpa pengecualian
(WTP) yang diberikan oleh BPK atas laporan keuangan Pemerintah Daerah marak menjadi
sorotan. Hal ini disebabkan beberapa pemerintah daerah, kementerian atau yang
mendapatkan opini WTP dari BPK masih terindikasi korupsi/suap yang dilakukan oleh
pejabat pada instansi tersebut.
2|Page
Keuangan Negara, undang-undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan
undang-undang nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara. Paket undang
undang keuangan negara tersebut merupakan bentuk reformasi di bidang administrasi
keuangan negara (Afriyanti, Sabanu, & Noor, 2015).
Dari opini audit yang dilakukan oleh BPK yang menunjukkan opini WTP semakin
meningkat, hasil evaluasi LAKIP yang dilakukan oleh Kemenpan-RB yang menunjukkan
skor cukup memadai, dan hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
dilakukan oleh Kemendagri yang sebagian besar menunjukkan skor tinggi, ternyata tidak
merefleksikan penurunan tingkat korupsi. Tingginya korupsi di Indonesia skala internasional
dapat dilihat dari Corruption Perception Index (CPI) 2016 yang dikeluarkan oleh organisasi
Transparency International yang menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-90 dari 176
negara, dengan skor 37 dari rentang 0 – 100. Hal itu menggambarkan betapa berprestasinya
korupsi di Indonesia. Adapun skor rata-rata negara kawasan Asia-Pasific adalah 44, dengan
3|Page
New Zealand sebagai negara terbersih ke-2 secara global. Jumlah kasus korupsi yang
ditangani Kejaksaan selama 5 tahun terakhir juga meningkat dimana tahun 2011 jumlah kasus
yang ditangani baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan berkisar 3000-
an kasus menjadi 5000-an kasus dan terus meningkat. Hasil pemantauan ICW atas tren
penanganan kasus korupsi semester I tahun 2017 juga menyatakan bahwa keuangan daerah
menjadi sektor yang masih menjadi sasaran pelaku korupsi dalam merampok uang negara.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena
sejauh ini belum banyak penelitian yang menggunakan variabel desentralisasi fiskal dan
akuntabilitas pemerintah daerah (keuangan, kinerja, dan pelayanan yang masing-masing
diwakili oleh LKPD, LAKIP, dan LPPD) terkait pengaruhnya terhadap tingkat korupsi.
Penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan referensi
pelengkap terkait kajian mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
4|Page
II. PEMBAHASAN
A. Kajian Pustaka
1. Korupsi
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi merumuskan 30 jenis tindak pidana korupsi yang terbagi
dalam tujuh kelompok, yaitu: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam
jabatan, perbuatan pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan; dan
gratifikasi. Tuanakotta (2010) menyatakan bahwa definisi korupsi dalam pendekatan sosiologi
adalah penyalahgunaan wewenang pejabat untuk keuntungan pribadi. Adapun unsur-unsur
tindak pidana korupsi dalam pasal 2 UU Tipikor yaitu: (a) Setiap orang; (b) Memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau suatu korporasi; (c) dengan cara melawan hukum; dan (d) Dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat korupsi yang diukur dengan
menghitung jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh organ prokurator di
setiap provinsi, disesuaikan dengan ukuran populasi (kasus per 10.000 penduduk) (Liu dan
Lin, 2012). Dalam hal ini jumlah kasus korupsi bersumber dari seluruh kasus korupsi yang
ditangani Kejaksaan Tinggi pada setiap provinsi, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan,
maupun penuntutan.
2. Desentralisasi Fiskal
Supriyadi, Armandelis, dan Rahmadi (2013) menyatakan desentralisasi fiskal (fiscal
dezentralization) yaitu pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan dan
desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), yaitu kebijakan tentang
privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan kebijakan pelimpahan fungsi-
fungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan
liberalisasi.
5|Page
3. Opini Audit
Opini audit (Masyitoh dkk., 2015) merupakan pernyataan auditor atas kewajaran
informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan, sehingga opini audit dapat
digunakan oleh pengguna laporan keuangan dan memberikan keyakinan bahwa informasi
keuangan dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.
Selanjutnya terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni:
a. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
b. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
c. Pendapat tidak wajar (adversed opinion),
d. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)
6|Page
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja.
EKPPD dilakukan untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya
peningkatan kinerja berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik, dengan LPPD
sebagai sumber informasi utama (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008).
B. Pembahasan
1. Statistik Deskriptif
Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif diperoleh sebanyak 135 data observasi yang
berasal dari jumlah sampel pemerintah provinsi.
Tabel tersebut menunjukkan statistik
deskriptif untuk seluruh variabel yang
digunakan dalam penelitian. Berdasarkan
tabel tersebut, secara rata-rata jumlah
tindak pidana korupsi untuk setiap 10.000
penduduk pada provinsi yang meliputi sampel adalah sebanyak 0,3191 kasus. Sehingga dapat
dikatakan terdapat 3,191 kasus untuk setiap 100.000 penduduk di suatu provinsi.
7|Page
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa grafik histogram memberikan pola
distribusi data yang normal, residual terdistribusi secara normal dan berbentuk simetris, tidak
melenceng ke kanan atau ke kiri. Grafik normal P-Plot memberikan pola distribusi data yang
normal, titik-titik menyebar dan berhimpit di sekitar garis diagonal.
8|Page
3. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)
Hal ini berarti sebesar 63,1% variabel dependen atau tingkat korupsi berhubungan kuat
dengan variabel independen. Adapun Nilai adjusted R2 yang cukup kecil menandakan bahwa
kemampuan variabel-variabel independen yaitu desentralisasi fiskal, opini audit, skor LAKIP,
dan skor EKPPD kurang dapat menjelaskan variabel dependennya yaitu tingkat korupsi. Hal
ini berarti 38% variabel tingkat korupsi dapat dijelaskan oleh variabel-variabel
independennya, sedangkan 62% lainnya dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar model regresi
ini.
Dari output SPSS di atas, diperoleh nilai F hitung 21,530 dengan nilai sig sebesar 0,000.
Hal ini menandakan bahwa model regresi dapat digunakan untuk memprediksi tingkat korupsi
karena nilai sig. < alpha = 5%. Selanjutnya mencari nilai F tabel dan membandingkan dengan
nilai F hitung 21,530. Rumus mencari F tabel adalah (k; n-k), dengan k adalah jumlah
variabel independen dan n adalah jumlah sampel penelitian. Dengan k = 4 dan n-k = 131,
diperoleh nilai F tabel sebesar 2,43. Karena F hitung > F tabel (21,530 > 2,43) dan
signifikansi < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara
desentralisasi fiskal, opini audit, skor ev-lakip, dan skor ekppd secara simultan terhadap
tingkat korupsi.
9|Page
5. Hasil Pengujian Signifikansi Parameter Individual (Uji t)
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk variabel independen OPINI,
EAKIP, DAN EKPPD di atas 5% yang berarti tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.
Hanya variabel DF yang berpengaruh terhadap variabel dependen. Variabel desentralisasi
fiskal (DF) memiliki koefisien regresi sebesar -0,963 dengan nilai t hitung sebesar -8,861 dan
tingkat signifikansi 0,000. Karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dan nilai koefisien
regresi yang negatif menunjukkan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap tingkat
korupsi. Karena tingkat signifikansi OPINI, ELAKIP, dan EKPPD di atas 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa opini audit tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi.
Berdasarkan tabel maka model persamaan regresi berganda adalah sebagai berikut:
KORUPSIi,t = 0,361 - 0,963 DFi,t + 0,010 OPINIi,t + 0,002 EAKIPi,t + 0,089 EKPPDi,t + ɛ
Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa dari empat variabel independen
yang dimasukkan dalam model regresi dengan signifikansi 5%, hanya variabel desentralisasi
fiskal yang berpengaruh signifikan terhadap variabel tingkat korupsi, sedangkan tiga variabel
lainnya tidak berpengaruh terhadap variabel tingkat korupsi.
10 | P a g e
III. PENUTUP
A. Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal (melalui PAD),
akuntabilitas pemerintah daerah (melalui opini audit, skor hasil evaluasi LAKIP, dan skor
hasil evaluasi EKPPD) terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah (menggunakan kasus per
10.000 penduduk). Data sampel pengamatan sebanyak 135 pengamatan pemerintah provinsi
di Indonesia selama periode 2011 – 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya
variabel independen desentralisasi fiskal yang berpengaruh terhadap variabel dependen
(tingkat korupsi pemerintah daerah). Variabel skor hasil evaluasi LAKIP, dan skor hasil
evaluasi EKPPD tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah.
B. Rekomendasi
Penelitian mengenai tingkat korupsi pemerintah provinsi di masa yang akan datang
diharapkan mampu memberikan hasil penelitian yang akan lebih berkualitas, misalnya
dengan:
1. Menggunakan variabel lain yang diduga memiliki keterkaitan denagn tingkat korupsi
2. Melakukan pemisahan kategori opini menjadi WTP, WDP, TW, DAN TMP agar
memberikan hasil penelitian yang lebih rinci.
11 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, D., Sabanu, H. G., & Noor, F. 2015. Penilaian indeks akuntabilitas instansi
pemerintah. Jurnal Tata Kelola & Akuntabilitas Keuangan Negara, Vol. , No. 1, hal
21–42.
Arifianti, H; Payamta, dan Sutaryo. 2013. Pengaruh pemeriksaan dan pengawasan keuangan
daerah terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (studi empiris pada
pemerintah kabupaten/kota di Indonesia). Simposium Nasional Akuntansi XVI, hal
2477 – 2505.
Badan Litbang Depdagri RI dan FISIPOL – UGM. 1991. Pengukuran Kemampuan Keuangan
Daerah Tingkat II Dalam Rangka Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggung
Jawab. Jakarta.
Kejaksaan Republik Indonesia. 2011. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2011.
Kejaksaan Republik Indonesia. 2012. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2012.
Kejaksaan Republik Indonesia. 2013. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2013.
Kejaksaan Republik Indonesia. 2014. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2014.
Kejaksaan Republik Indonesia. 2015. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2015.
12 | P a g e
Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 – 10421 Tahun 2016
Tentang Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Secara Nasional Tahun 2015
Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 – 251 Tahun 2014 Tentang
Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Secara Nasional Tahun 2012
Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 – 2818 Tahun 2013
Tentang Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Secara Nasional Tahun 2011
Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 – 4761 Tahun 2014
Tentang Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Secara Nasional Tahun 2013
Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 800 – 35 Tahun 2016 Tentang
Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Secara Nasional Tahun 2014
Liu, J. And B. Lin. 2012. Government Auditing and Corruption Control: Evidence from
China’s Provincial Panel Data. China Journal of Accounting Research, Vol. 5. hal.
163-186.
13 | P a g e
Rini dan Liska D. 2017. Analisis Hasil Audit Pemerintahan dan Tingkat Korupsi
Pemerintahan Provinsi di Indonesia. Jurnal Dinamika Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4,
No. 1, hal 73-90.
Theodorus M. Tuanakota. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Salemba
Empat
14 | P a g e