Anda di halaman 1dari 15

Referat

EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID

Oleh:
Beuty Savitri, S.Ked
04054821517029

Pembimbing:
Prof. Dr. Soenarto K., Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA/
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2016

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID

Oleh:
Beuty Savitri, S.Ked
04054821517029

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan
klinik senior di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 13 September–17 Oktober 2016.

Palembang, Oktober 2016

Prof. Dr. Soenarto K., Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

2
EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID
Beuty Savitri, S.Ked
Prof. Dr. Soenarto K, SpKK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2016

PENDAHULUAN
Kortikosteroid masih menjadi terapi topikal utama di bidang dermatologi karena
memiliki efek sebagai antiinflamasi, imunosupresif, antiproliferatif, dan vasokontriksi. Obat
golongan kortikosteroid merupakan derivat hormon steroid tubuh yang dihasilkan korteks
adrenal. Berdasarkan cara penggunaan kortikosteroid dibagi menjadi kortikosteroid topikal
dan sistemik. 1,2,3
Kortikosteroid topikal digunakan pada terapi eczematous dermatoses dan sebagian
besar penyakit inflamasi kulit, sedangkan kortikosteroid sistemik lebih sering digunakan pada
dermatosis berat. Tujuan terapi kortikosteroid adalah memberikan dosis terapeutik yang
efektif hingga ke target ogan dan meminimalisir efek samping.4,5
Penggunaan terapi kortikosteroid jangka pendek sangat aman untuk tatalaksana
dermatosis, akan tetapi penggunaan kortikosteroid jangka panjang dan dosis tinggi sering
menimbulkan efek samping yang merugikan. Efek samping kortikosteroid topikal terbagi
menjadi efek lokal dan sistemik. Efek lokal terdiri atas atrofi kulit, telangiektasis, striae,
reaksi akneiformis, hipertrikosis, perubahan pigmen, perkembangan infeksi dan reaksi alergi,
sedangkan efek sistemik terdiri atas peningkatan tekanan intraokular, penekanan pada aksis
hipotalamus pituitari adrenal (HPA) dan efek metabolik. Efek samping kortikosteroid
sistemik meliputi osteoporosis, nekrosis avaskular, aterosklerosis, supresi aksis hipofisis dan
hipotalamus, dan efek psikiatrik. 2,3
Penggunaan kortikosteroid dalam penyakit dermatologi sangat luas terutama pada
penyakit SKDI 4A. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), lulusan
dokter harus mampu membuat diagnosis klinik, memberikan terapi dan menatalaksana
penyakit sampai tuntas. Oleh karena itu, tinjauan pustaka ini akan membahas tentang
mekanisme kerja, klasifikasi, indikasi, kontraindikasi, dosis dan cara penggunaan
kortikosteroid yang bertujuan untuk mencegah efek samping penggunaan kortikosteroid
dalam bidang dermatologi dan venereologi.

3
MEKANISME KERJA
Kortikosteroid bekerja dengan cara difusi pasif pada membran sel dan membentuk
ikatan dengan reseptor protein spesifik di sitoplasma. Kortikosteroid topikal berdifusi
melewati sawar stratum korneum dan membran sel untuk mencapai sitoplasma keratinosit dan
sel lain pada lapisan epidermis dan dermis. Di dalam sitoplasma, kortikosteroid akan
berikatan dengan reseptor spesifik, reseptor alfa glukokortikoid (GRα). Potensi kortikosteroid
sangat tergantung dengan afinitas ikatan reseptor. Komplek kortikosteroid-GR yang telah
teraktivasi kemudian melintasi selubung inti sel dan berikatan dengan situs akseptor pada
deoxyribonucleic acid (DNA). Hal ini mengakibatkan regulasi gen dan transkripsi berbagai
mRNA spesifik.2,3,6
Efek antiinflamasi
Kortikosteroid menghambat pelepasan fosfolipase A2, yaitu enzim yang berperan
dalam pembentukan prostaglandin, leucotriens, dan jalur arachidonat acid. Kortikosteroid
juga menghambat faktor transkripsi, seperti protein 1 dan faktor nuklir kβ, yang berperan
dalam aktivasi gen proinflamasi (lipocortin) (Skema 1).3,8
Efek inhibisi kortikosteroid
Membran fosfolipid
Skema 1. Efek antiinflamasi kortikosteroid
Efek imunosupresi
Fosfolipase A2
Kortikosteroid menekan produksi dan efek faktor humoral yang berperan dalam
respon inflamasi, menghambat migrasi leukosit ke lokasi inflamasi, fungsi sel endotel,
Arachidonic acid
granulosit, sel mast, dan fibroblast. Kortikosteroid mengurangi proliferasi sel T dan
Leucotriens

menginduksi apoptois sel T (Skema 2). Kortikosteroid topikal juga berperan dalam
Respon inflamasi
3,7, 8
menghambat kemotaksis neutrofil dan menurunkan jumlah sel langerhans.
Regulasi Fisiologis
oleh COX-2
COX-1

Makrofag
Aktivasi
PGE2 Limfosit PGE2, PGI2,
Makrofag
TXA2,
Proteksi traktus gastrointestinalPGI2
teraktivasi
Mediator inflamasi
Proteksi traktus gastrointestinal
Kolagenase Elastase Plasminogen Plasminogen
Fungsi platelet
Regulasi aliran darah activator
Fungsi ginjalTXA2
Plasmin
Fungsi platelet Destruksi Digesti
Regulasi aliran darah
kolagen Elastin Destruksi
bekuan (clot)

Kerusakan
jaringan
Efek inhibisi kortikosteroid
4
Skema 2. Efek imunosupresi kortikosteroid

Efek antiproliferatif
Efek antiproliferatif kortikosteroid topikal dimediasi melalui inhibisi sintesis DNA dan
mitosis. Kortikosteroid mengurangi ukuran dan proliferasi sel keratinosit, menghambat
aktivitas fibroblast dan menghambat pembentukan kolagen.3,8
Vasokonstriksi
Mekanisme kerja kortikosteroid sebagai agen vasokonstriksi adalah dengan cara
menghambat agen vasodilator alami seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin.
Kortikosteroid topikal menyebabkan vasokonstriksi kapiler permukaan dermis, yang secara
tidak langsung akan mengurangi eritema. Aktivitas vasokonstriktor bervariasi tergantung
dengan potensi kortikosteroid (Tabel 1). 3,7
KLASIFIKASI KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid topikal digolongkan menjadi tujuh kelas mulai dari kortikosteroid
topikal superpotent di kelas satu hingga kortikosteroid topikal potensi sangat rendah di kelas
tujuh (Tabel 1). Kelas ini telah dikembangkan berdasarkan tes vasokonstriktor dan studi klinis
double-blind. 3,9

INDIKASI KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid topikal digunakan pada sebagian besar penyakit inlamasi kulit.
Kortikosteroid topikal memiliki efek antimitosis dan kemampuan dalam menurunkan sintesis
jaringan ikat. Hal yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan glukokortikoid topikal
adalah responsivitas penyakit terhadap glukokortikoid topikal yang dibagi menjadi tiga yaitu
respon tinggi, respon menengah dan respon rendah.3,6
Kortikosteroid sistemik digunakan pada dermatitis berat, termasuk dermatitis kontak,
dermatitis atopik, fotodermatitis, dermatitis eksfoliatif, dan eritroderma. Kortikosteroid
sistemik dosis rendah dapat diberikan malam hari pada akne dan hirsutisme akibat sindrom
adrenogenital yang tidak berespon terhadap terapi konservatif. Penggunaan glukokortikoid
pada eritema nodusum, liken planus, kutaneus sel T limfoma dan lupus diskoid masih dalam
perdebatan.3,8

5
Tabel 1. Kategori potensi kortikosteroid2,9

Klasifikasi steroid Klasifikasi steroid Sediaan Indikasi


topikal Amerika Inggris
Kelas I (potensi super) Kelas I (sangat poten)  Clobetasol propionate 0,05% krim Alopesia areata
atau salep
 Betamethason dipropionate 0,05% Lupus discoid
krim atau salep
 Halobetasol propionate 0,05% krim Dermatitis Atopik resisten)
atau salep
Kelas II (potensi tinggi) Kelas II (poten)  Flucinonide 005% Liken planus
 Betamethasone dipropionate 0,05% Ekzema numularis
losion
 Mometasone furoate 0,1% salep Liken simplek kronik
 Desoximethasone 0,25%
Kelas III (potensi tinggi)  Fluticasone propionate 0,005% Psoriasis
salep
 Triamcinolone acetonide 0,1% salep Ekzema tangan berat
 Halcinonide 0,1%
 Fluocinonide 0,05%
Kelas IV (potensi sedang)  Flucinolone acetonide 0,025%% Ekzema asteatotik
 Mometasone furoate 0,1%
 Betamethasone valerate 0,12% Dermatitis atopik
 Hydrocortisone valerate 0,2%
Kelas V (potensi sedang) Kelas III (menengah)  Flurandrenolide 0,05%
 Fluticasone propionate 0,05% krim Skabies (setelah skabisida)
 Betamethasone valerate 0,1 % krim
Liken sklerosus (vulva)
Kelas VI (potensi rendah)  Alclometasone dipropionate 0,05% Dermatitis (diaper)
krim atau salep
 Desonide 0,05% krim Dermatitis (kelopak mata)
 Betamethasone valerate 0,1%
Kelas VII (potensi rendah) Kelas IV (rendah)  Topikal dengan krim Inflamasi perianal
hydrocortisone 1% atau 2,5% atau
losia 2,5%
 Dexamethason, flumethason
 Prednisolon dan metilprednisolon

KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi kortikosteroid terdiri atas kontraindikasi absolut dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang
sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat
intravena. Pada kontraindikasi relatif, kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai
life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan
hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified
derivative, glaukoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptikum, katarak, osteoporosis,
kehamilan.6,8
DOSIS
Kortikosteroid topikal
Dosis pemberian kortikosteroid topikal tidak lebih dari 45 gram/pekan pada golongan
poten atau 100 gram/pekan pada kortikosteroid golongan potensi medium dan lemah.
Frekuensi pemberian kortikosteroid topikal yang dianjurkan yaitu satu kali sehari. Lama
pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 pekan untuk golongan potensi
lemah dan tidak lebih dari 2 pekan untuk golongan potensi tinggi.2,4,9
Kortikosteroid sistemik

6
Initial dose kortikosteroid sistemik yang digunakan untuk mengontrol penyakit rata-
rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 pekan,
kortikosteroid dihentikan tanpa tappering off. Penggunaan glukokortikoid jangka panjang
lebih dari 3 sampai 4 pekan perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk
mencari dosis pemeliharaan dan menghindari supresi adrenal. Penurunan dosis kortikosteroid
hendaklah dilakukan secara benar karena dapat menimbulkan withdrawal symptoms yang
meliputi nyeri sendi, nyeri otot, kelelahan, sakit kepala, demam, penurunan tekanan darah,
mual dan muntah.3,8

EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID TOPIKAL


Dalam kondisi normal, 99% kortikosteroid topikal akan menghilang dari kulit, hanya
1% menjadi bentuk aktif dan mempunyai efek terapeutik. Efek samping kortikosteroid topikal
ini muncul akibat absorbsi kortikosteroid perkutan dalam jumlah kecil atau akibat
kortikosteroid yang menetap sementara pada permukaan kulit. Penggunaan kortikosteroid
topikal secara terus menerus dapat menyebabkan takifilaksis.3
Efek samping lokal
Efek samping lokal kortikosteroid merupakan efek samping yang paling sering terjadi.
Efek ini muncul akibat mekanisme kerja kortikosteroid sebagai agen antiinflamasi.3
1. Atrofi
Atrofi akibat penggunaan kortikosteroid topikal melibatkan epidermis dan dermis.
Atrofi dermis terjadi akibat efek langsung kortikosteroid sebagai antiproliferatif pada
fibroblast, hambatan pada sintesis mukopolisakarida sehingga kehilangan struktur penunjang
dermis. Selain itu, terjadi penurunan sintesis kolagen tipe I dan III serta penurunan produksi
glikosaminoglikan (hialuronat). Akibat dari proses atrofi ini, terjadi vasodilatasi,
telangiektasis, purpura, memar, stellate pseudoscar (purpuric, tidak beraturan, dan skar atrofi
hipopigmetasi (Gambar 1) ) dan ulserasi. Adanya atrofi juga akan menyebabkan timbulnya
skar linier pada dermis yang rusak dan bersifat permanen (Gambar 2). 3,8

Gambar 1. Atrofi dengan striae6

7
Gambar 2. Atrofi permanen6
2. Reaksi Akneiformis
Penggunaan steroid topikal dapat mengeksaserbasi dermatosis di wajah meliputi
steroid rosasea (Gambar 3), akne, dan dermatitis perioral (Gambar 4). Penggunaan steroid
jangka panjang juga menyebabkan “akne steroid”, yang tampak sebagai pustul inflamasi. Lesi
berupa papul berbentuk kubah ini sering muncul pada wajah, dada dan punggung. Mekanisme
yang berperan dalam hal ini adalah kortikosteroid meningkatkan ekspresi toll-like receptor 2
pada keratinosit yang distimulasi oleh Propinebacterium acne dan sitokin proinflamasi
sehingga terjadi akne. Pasien psoriasis yang menggunakan steroid potensi tinggi dalam jangka
waktu yang lama akan berkembang menjadi flare papulopustul.3,6,13

Gambar 3. Steroid rosasea6

Gambar 4. Dermatitis perioral6


3. Hipertrikosis
Hipertrikosis adalah pertumbuhan rambut yang berlebihan pada bagian tubuh
manapun dibanding kelompok usia, umur dan jenis kelamin yang sama. Hipertrikosis terjadi
akibat konversi vellus menjadi rambut terminal di daerah yang tidak memiliki rambut

8
terminal, terjadi peningkatan waktu tumbuh rambut, fase anagen dan siklus rambut, disertai
peningkatan densitas rambut.14 Hipertrikosis akibat penggunaan steroid topikal jarang terjadi,
bisasnya pada wanita dan anak-anak, namun mekansime hipertrikosis akibat kortikosteroid
masih belum diketahui (Gambar 5). 3,6,14

Gambar 5. Hipertrikosis12
4. Perubahan pigmen
Efek samping kortikosteroid topikal yang cukup sering adalah hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi kulit. Akan tetapi, pigmen kulit umumnya akan kembali setelah penggunaan
steroid dihentikan. Mekanisme dispigmentasi kulit akibat obat terjadi akibat (1) deposit
metabolit obat di dermis dan epidermis, (2) peningkatan produksi melanin dengan atau tanpa
peningkatan aktivitas melanosit, (3) drug-induces postinflammatory change pada kulit. 3,6

5. Meningkatkan risiko infeksi


Kortikosteroid topikal menyebabkan eksaserbasi infeksi kulit. Insiden infeksi kulit
selama pemakaian kortikosteroid topikal mencapai 16%-43%. Tinea versikolor dan
dermatofitosis termasuk tinea incognito (Gambar 6) dapat terjadi. Granuloma gluteae
infantum yang ditandai dengan lesi granulomatosa merah keunguan pada daerah diaper
sebagai komplikasi pengguaan kortikosteroid pada dermatitis diaper. Pada pasien ini sering
disertai dengan infeksi Candida albicans. Kortikosteroid topikal juga memperpanjang dan
memperparah herpes simplex, molluskum kontagiosum, dan infeksi skabies.3,6

Gambar 6. Tinea incognito6


9
6. Reaksi Alergi
Dermatitis kontak alergi akibat steroid perlu dipikirkan ketika penggunaan
kortikosteroid memperparah kondisi dermatitis, atau tidak ada tanda perbaikan klinis
penyakit. Reaksi alergi lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi barrier kulit,
seperti pasien dermatitis stasis, ulkus kaki dan dermatitis atopik.3,6

Efek samping sistemik


1. Okuler
Penggunaan kortikosteroid topikal di sekitar mata dapat menyebabkan glaukoma.
Glukokortikoid meningkatkan ekspresi protein matriks ekstraseluler seperti fibronektin,
glikosaminoglikan dan elastin. Akumulasi glukosaminoglikan di ground substance pada jalur
akuos humor menyebabkan retensi cairan dan penyempitan celah trabekula sehinga terjadi
peningkatan tahanan aliran akuous humor dan terjadi peningkatan tekanan intraokular.
Penggunaan kortikosteroid yang berkepanjangan selama 6 pekan atau lebih juga
menyebabkan hilangnya penglihatan.3,6,15
2. Supresi Aksis Hipotalamus-hipofisis (HPA)
Supresi aksis HPA terjadi apabila menggunakan kortikosterod topikal poten. Sindrom
Cushing dan krisis Addison akibat penggunaan steroid topikal poten jangka panjang telah
dilaporkan. Penggunaan clobetasol proprionate 14 gram per pekan atau betamethasone
propionate 49 gram per pekan akan menekan level kortisol plasma.3,8
3. Efek metabolik
Peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa menyebabkan
hiperglikemia dan diabetes mellitus. Meskipun jarang, nekrosis arteri femoralis sering
dihubungkan dengan penggunaan steroid topikal. 3,6,8

EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID SISTEMIK


Efek samping kortikosteroid sistemik berhubungan dengan dosis, lama penggunaan
dan frekuensi pemberian. Beberapa efek kortikosteroid sistemik dan mekanismenya disajikan
dalam Tabel 2.3,8
1. Osteoporosis
Osteoporosis terjadi pada 40% individu yang diobati dengan kortikosteroid sistemik
terutama pada anak, dewasa muda dan wanita postmenopause. Kehilangan densitas tulang
terjadi pada 6 bulan pertama penggunaan kortikosteroid dan berlanjut perlahan dengan
kehilangan 3%-10% densitas tulang pertahunnya. Penelitian menunjukkan, prednisone dosis
kecil (2,5 mg per hari) meningkatkan risiko fraktur vertebrae dan coxae. Pada beberapa kasus
kepadatan tulang akan kembali normal setelah penghentian kortikosteroid terutama pada
remaja. Glukokortikoid menginhibisi osteoblast, meningkatkan ekskresi kalsium ginjal,

10
menurunkan absorbsi kalsium usus, dan meningkatkan resorbpsi osteoklas. Kortikosteroid
juga menurunkan kadar esterogen dan testosterone yang memiliki peran penting dalam
patogenesis osteoporosis. Bagian tulang yang sering terkena adalah trabekula. Serum
osteocalcin dan fungsi osteoblas menurun pada pemberian prednisone 10 mg per hari. 3,6,8
Tabel 2. Efek samping kortikosteroid8

Efek Samping Mekanisme


Efek pada aksis HPA
Krisis Adrenal Penurunan ketersediaan glukokortikoid dan
mineralokortikoid, hilangnya mekanisme kompensasi
Efek metabolik
Hiperglikemia Glukokortikoid meningkatkan produksi glikogen,
meningkatkan glukoneogenesis melalui katabolisme
protein, meginduksi resistensi insulin menurunkan
uptake glukosa sel
Hipertensi Efek mineralokortikoid – retensi natrium, dan
glukokortikoid-menginduksi vasokonstriksi
Gagal jantung kongestif Peningkatan retensi natrium, menyebabkan kelebihan
cairan pada individu dengan faktor predisposisi
Hiperlipidemia Kondisi katabolisme, diinisiasi oleh peningkatan
lipoprotein lipase
Perubahan Cushingoid Gangguan distribusi lipid, mekanisme belum jelas,
hasil dari katabolisme lemak
Efek pada tulang
Gangguan pertumbuhan Karena penurunan hormon pertumbuhan dan produksi
IGF -1 menyebabkan maturitas tulang terhambat
Osteoporosis Peningkatan aktivitas osteoklas, penurunan aktivitas
osteoblas, penurunan absorbsi kalsium traktus
gastrointestinal, peningkatan ekskresi kalsium oleh
ginjal, akibat sekunder dari dari hiperparatiroid dan
resorbsi tulang
Osteonekrosis Peningkatan deposit lipid sumsung tulang, penekanan
pembuluh darah intraoseus, hiperkoaguabilitas akibat
kelainan faktor endogen atau eksogen seperti
merokok, alkohol dan trauma
Efek gastrointestinal
Perforasi usus Efek katabolisme glukokortikoid menurunkan
penyembuhan luka setelah anastomosis usus
Penyakit ulkus peptikum Penurunan produksi mukus, peningkatan produksi
asam, kortikosteroid tidak langsung menyebabkan
iritasi gaster
Efe samping lainnya
Katarak Gangguan protein lensa dengan mekanisme yang
belum jelas (biasanya tipe subkapsular posterior)
Agitasi/Psikosis Kemungkinan akibat pergeseran elektrolit, gangguan
fungsi eksitasi saraf, mungkin juga akibat edema otak
minimal
Infeksi oportunistik Gangguan mekanisme imunologik
Miopati Penurunan uptake glukosa dan asam amino oleh otot
menyebabkan atrofi

2. Nekrosis Avaskular (AVN)


Gejala nekrosis avaskular adalah nyeri dan keterbatasan gerak pada satu atau lebih
sendi. Terjadi hipertensi intraosesus, yang menyebabkan iskemia tulang dan nekrosis.
Glukokortikoid juga menginduksi apoptosis osteoblast yang juga berperan dalam patogenesis
11
AVN. Studi menunjukkan bahwa pasien dengan AVN akan mengalami trombofilia atau
hipofibrinolisis yang menyebabkan oklusi trombotik aliran vena tulang, penurunan perfusi
arteri dan berujung pada infark tulang. 3,6,8
3. Aterosklerosis
Glukokortikoid memicu faktor risiko yang berhubungan dengan aterosklerosis seperti
hipertensi arteri, resistensi insulin, intoleransi glukosa, hiperlipidemia, dan obesitas sentral.3
4. Supresi aksis Hipofisis-Hipothalamus (HPA)
Glukokortikoid berhubungan supresi aksis HPA hingga satu tahun terapi dihentikan.
Gejala supresi adrenal meliputi letargis, kelemahan, mual, muntah, demam, hipotensi
ortostatik, hipoglikemia, dan penurunan berat badan. Dapat juga terjadi sindrom withdrawal
yang memberi gejala berupa anoreksia, letargis, malaise, nausea, penurunan berat badan,
deskuamasi kulit, sakit kepala, dan demam. Masalah ini dapat diatasi dengan melakukan
tapering bertahap glukokortikoid yaitu menurunkan 1 mg prednisone setiap beberapa pekan.3,8
5. Efek psikiatrik
Perubahan kognitif dan mood tergantung dengan dosis dan dapat muncul cepat setelah
penggunaan kortikosteroid. Hipomania dan mania adalah gejala awal yang muncul, namun
pada jangka panjang dapat menimbulkan depresi.3

PENCEGAHAN
Pedoman mengenai penggunaan kortikosteroid telah banyak dijelaskan untuk mencegah
efek samping. Atrofi yang diinduksi steroid dapat dicegah dengan penggunaan tretinoin
topikal tanpa mengurangi efek antiinflamasi kortikosteroid topikal. Keratolitik topikal seperti
asam salisilat, dapat digunakan secara bersamaan untuk plak yang menebal, sehingga
mengurangi kebutuhan terhadap penggunaan steroid potensi tinggi dan menggantikan peran
steroid dengan potensi yang lebih rendah. Langkah-langkah yang disarankan untuk mencegah
efek samping kortikosteroid antara lain penggunaan steroid potensi yang lebih rendah,
penggunaan hanya di pagi hari, dan alternate dose untuk mengurangi takifilaksis dan
menghindari oklusi (Tabel 3).11

Tabel 3. pencegahan, diagnosis dan tatalaksana beberapa efek samping kortikosteroid8


Efek samping Pencegahan Diagnosis Tatalaksana

12
Efek Aksis HPA
Sindrom withdrawal Tapering kortikosteroid Anamnesis Tingkatkan dosis
kortikosteroid kortikosteroid, lalu
tapering bertahap
Efek Metabolik
Hiperglikemia Pengaturan pola makan Gula darah puasa Diet, insulin, OHGA,
Insulin sensitizer
Hipertensi Restriksi garam, pilih Monitoring tekanan darah Restriksi natrium dan
kortikosteroid yang efek diuretika tiazida
mineralokortikoid rendah
Hiperlipidemia Diet rendah kalori dan Trigliserida Gemfibrozil, statin
rendah lemak tersaturasi
Perubahan Cushing Pengaturan pola makan, Pemeriksaan fisik dan Diet rendah kalori dan
latihan fisik berat badan olahraga
Efek pada tulang
Gangguan pertumbuhan Dosis tunggal Plotting tinggi badan dan Tapering kortikosteroid,
kortikosteroid AM berat badan pada kurva Growth hormone
(anak)
Osteoporosis Kalsium dan vitamin D Pemeriksaan serial Bifosfonat, kalsitonin
serta aktivitas fisik DEXAScan nasal, terparatide
Osteonekrosis Menghindari trauma, Nyeri terbatas pada Pertimbangkan rujuk,
mengurangi konsumsi pinggul, bahu atau lutut, dekompresi, penggantian
alkohol dan merokok pemeriksaan MRI sendi
(definitif)
Efek gastrointestinal
Perforasi usus Tinjau ulang penggunaan Gejala dan tanda perforasi Rujuk untuk pembedahan
kortikosteroid setelah
operasi usus
Penyakit ulkus peptikum Antihistamin AH2 pada Anamnesis, endoskopi Antihistamin AH2, PPI
pasien degan risiko tinggi
Efek samping lain
Katarak Penggunaan kacamata Pemeriksaan slit lamp Operasi katarak dan
setiap 6-12 bulan implantasi lensa
Agitasi/Psikosis Hati-hati pemberian Anamnesis Doxepin (jika agitasi),
kortikosteroid pada antipsikotik
pasien gangguan
psikiatrik
Miopati Latihan, hati-hati pada Kelemahan otot Tapering bertahap dosis
tapering steroid dosis proksimal, nyeri namun kortikosteroid, latihan
tinggi enzim otot dalam batas terutama pada otot yang
normal atrofi

KESIMPULAN
Kortikosteroid masih menjadi terapi topikal utama yang paling sering digunakan
dalam bidang dermatologi. Penggunan kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu
yang lama dapat menimbulkan efek samping. Efek samping kortikosteroid topikal dapat
bermanifestasi sebagai gejala lokal maupun sistemik, sedangkan efek samping kortikosteroid
sistemik dapat terjadi pada semua bagian tubuh. Beberapa hal yang menyebabkan
peningkatan efek samping kortikosteroid adalah dosisi obat, durasi dan frekuensi penggunaan.
Penderita yang diberikan terapi kortikosteroid jangka panjang perlu mendapat perhatian
khusus dan evaluasi berkala untuk mencegah komplikasi akibat penggunaan kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA

13
1. Dhar S., Joly S., Deepak P. Systemic side-effects of topical corticosteroid. Indian
journal of dermatology; 2014. p.460-464.

2. Johan, Reyshiani. Penggunaan kortikosteroid yang tepat. CDK;2015. Vol 42(4) : 308-
312.

3. Valencia IC, Kerdel FA. Topical corticosteroids. In: Wolff K. Fitzpatrick’s


Dermatology in General Medicine 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2012.
p.2659-65.

4. Nesbitt LT. Glucocorticoids. In: Bolognia. Dermatology, 2nded. London: Mosby: 2008.
p.1923-33.

5. Coondoo A., Meghana P., Shyam V. Side-effects of topical steroid: A long overdue
revisit. Indian dermatology online journal; 2014.p.416-425.

6. James WD, Berger TG, Elston DM. Adverse reactions to corticosteroids. In:Rook’s
Textbook of Dermatology, 7th ed. London: Blackwell Publishing; 2008. p.74.2-3.

7. Maibach HI, Robertson DB. Farmakologi dermatologik. In: Katzung, Bertram G.


Farmakologi Dasar dan Klinik 10th ed. Jakarta: EGC;2010. p.1040-42.

8. Wolverton, S. Comprehensive dermatologic drug therapy, 3rd ed. Elsevier. Oxford:


2013.p.142-168.

9. Djuanda A. Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik dalam bidang dermato-


venereologi. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 6th
ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Press; 2010. p. 339-42.

10. Suharti K, Suherman, Purwantyastuti A. Adrenokortikotropin, adrenokortikosteroid,


analog-sintetik, dan antagonisnya. In: Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Press;
2012. p. 505-14.

11. Gupta P, Bhatia V. Corticosteroid physiology and principles of therapy. Indian Journal
of Pediatrics 2008;75:1039-43.

12. Dhey, Vivek. Misuse of topical corticosteroids: A clinical study of adverse effects.
Indian dermatology online journal;2014.p.436-440.

13. Shibata, M., et al. Glucocorticoids enhance Toll-like receptor 2 expression in human
keratinocytes stimulated with Propionbacterium acnes or proinflammatory cytokines.
Invest Dermatol Journal.2009. 129(2):375-382.

14. Valia R.G., Hypertrichosis. Indian journal of dermatology. 2005; 50(3).p.119-124

15. Cohen, Avraham. Steroid induced glaucoma.In : Glaucoma basic and clinical
concepts. Intechopen.2011.p.560.

14
15

Anda mungkin juga menyukai