Anda di halaman 1dari 13

Pengajaran Apresiasi Sastra di Sekolah

Sebagai Salah SatuSarana Pembentukan Moral Siswa


Oleh
Fawziah

ABSTRAK
Era glogbalisasi dan teknologi informasi saat ini sangat mempengaruhi kepribadian
siswa. Hal ini dapat dibuktikan dalam berbagai hal, salah satunya dalam penggunaan
bahasa. Saat ini, penggunaan bahasa yang baku mulai tergantikan oleh kata-kata
yang kalau anak jaman sekarang menyebutnya sebagai bahasa alay or lebay. Sebagai
bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas sangat tidak
menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi
masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial.
Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk
membangun “kesadaran kolektif” demi mengembalikan karakter bangsa yang
hilang. Dalam konteks demikian, menjadi menarik ketika sebagai seorang pendidik
bahasa dan sastra memberikan atau menginjeksikan nilai-nilai moral ke dalam
pelajarannya yang berlabel sastra dan diupayakan bisa mengajak dan
menginternalisasikan nilai-nilai moral melalui sastra. Sastra merupakan suatu
ciptaan dari proses kreatifitas dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Sastra
bersifat unik dan murni karena tiap individu mempunyai style yang berbeda dalam
menuangkan ceritanya. Keberlangsungan suatu karya sastra juga ditentukan oleh
perkembangan bahasa dimana sastra bisa saja menjadi bentuk lain seperti menjadi
filsafat. Ragam sastra antara lain: cerita/cerpen, novel, puisi, dan drama. Melalui
membaca sastra, siswa akan bertemu dengan bermacam-macam orang dengan
bermacam-macam masalah. Melalui sastra, siswa diajak berhadapan dan mengalami
secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya.
Banyak sekali aspek-aspek dalam karya sastra yang dapat digunakan dalam
pendidikan moral,sebagai contoh membaca Laskar Pelangi karya Andrea Hirata bagi
siswa pasti memiliki banyak dampak positif, terutama dalam hal sikap.

Kata Kunci: pengajaran, apresiasisastra, moral, siswa

A. Pendahuluan
Kemajuan teknologi saat ini, sangat cepat mempengaruhi kepribadian
siswa. Hal ini dapat dibuktikan dalam berbagai hal, salah satunya dalam
penggunaan bahasa. Saat ini, penggunaan bahasa yang baku mulai tergantikan
oleh kata-kata yang kalau anak jaman sekarang menyebutnya sebagai bahasa
alay or lebay. Padahal sering sekali di sekolah mereka mengucapkan sumpah
pemuda yang isinya mengaku barbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Hal lain
yang dapat diamati lagi, yaitu pudarnya atau hilangnya rasa nasionalisme, dan
semangat perjuangan. Masalah yang lebih memprihatinkan lagi, hampir setiap
hari bahkan hampir setiap jam mengupdate statusnya di jejaring sosial alias
facebook, ngetwitt, game online, dan yang lebih parah lagi download dan
nonton video porno di youtube. Satu hal lagi yang sangat-sangat
memprihantikan, yaitu tawuran yang dilakukan antara pelajar. Sungguh benar-
benar prihatin melihat keadaan dan situasi yang seperti ini, karena hal ini benar-
benar bertolak belakang dengan pemuda yang hidup di jaman penjajahan,
semangat juang mereka, optimisme mereka, kerja keras mereka sangat-sangat
jauh berbeda dengan apa yang ada di jaman sekarang.
Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas
sangat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam
melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual,
emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya
serius dari segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif”
demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang. Dalam konteks demikian,
menjadi menarik ketika sebagai seorang pendidik bahasa dan sastra
memberikan atau menginjeksikan nilai-nilai moral ke dalam pelajarannya yang
berlabel sastra dan diupayakan bisa mengajak dan menginternalisasikan nilai-
nilai moral melalui sastra tersebut.
Mengapa harus melalui sastra? Ketika dunia pendidikan dinilai hanya
memburu dan mementingkan ranah akademik semata, sehingga mengabaikan
persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi kalau pun ada penyampaiannya
cenderung indoktrinatif dan perlu ada terobosan visioner yang bisa mengajak
dan menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan tuntutan dan
dinamika perkembangan psikososial peserta didik. Karya sastra, agaknya bisa
menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui
karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah
budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku
dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya
sastra. Melalui makalah ini penulis ingin menunjukan bahwa sastra bisa
digunakan sebagai media penyampaian nilai-nilai moral kepada peserta didik.

1
B. Moral
Sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang
dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia. Karya
sastra amat penting bagi kehidupan rohani manusia. Oleh karena sastra adalah
karya seni yang bertulangpunggung pada cerita, maka mau tidak mau karya
sastra dapat membawapesan atau imbauan kepada pembaca (Djojosuroto,
2006:80).
Pesan ini dinamakan moral atau amanat . Dengan demikian, sastra
dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1984:47). Moral sendiri
diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung
tinggi oleh sebagian besar masyarakat tertentu (Semi, 1993:49). Namun
kepentingan moral dalam sastra sering tidak sejalan dengan usaha untuk
menciptakan keindahan dalam karya sastra (Darma, 1984:54). Pengalaman
mental yang disampaikan pengarang belum tentu sejalan dengan kepentingan
moral. Menurut Djojosuroto (2006:81), meski moral yang disampaikan
pengarang dalam karya sastra biasanya selalu menampilkan pengertian yang
baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai sikap dan tingkah laku
yang kurang terpuji atau tokoh antagonis, tidak berarti tingkah laku yang kita
ambil harus seperti tokoh tersebut.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa aspek moral
adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan betul salahnya sikap dan
tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya berdasarkan pandangan hidup
masyarakat. Nilai-nilai moralis yang tercantum dalam karya sastra dapat
berbentuk tingkah laku yang sesuai dengan kesusilaan, budi pekerti, dan juga
akhlak.
Dalam hubungannya dengan pengajaran, maka dapat dikatakan bahwa
pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan tentang
sastra dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan pengajarannya.
C. Sastra

2
Sastra ialah karangan atau karya seni yang menggunakan bahasa sebagai
sarana pengucapannya. Atau, dengan singkat dapat dikatakan bahwa sastra
adalah seni bahasa (Sumardi, 2012: 29). Senada dengan Sumardi, Danziger dan
Johnson (dalam Budianta, 2006:7) melihat sastra sebagai suatu seni bahasa,
yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Tidak
seperti seni musik dan lukis yang tidak menggunakan media bahasa, maka
keberadaan arti sastra juga ditentukan oleh perkembangan bahasa.Lunturnya
bahasa dengan sendirinya juga mempengaruhi nasib karya sastra. Karya-karya
sastra kuno seperti Odysey, Mahabarata, dan sebagainya sudah tidak lagi hidup
sebagai sastra, akan tetapi sebagai filsafat (Darma, 1984:51-52).
Selanjutnya, Wellek (1989: 35) mengemukakan tiga definisi: pertama,
seni sastra ialah segala sesuatu yang dicetak, definisi ini tidak lengkap karena
tidak meliputi karya sastra yang tidak tertulis, atau karya sastra lisan. Di sini
disebut sastra hanya karena pertama naskah sebagai sumber. Definisi kedua,
seni sastra terbatas pada buku-buku yang terkenal, dari sudut isi dan bentuknya.
Jadi, di sini definisi bercampur dengan penilaian, dan penilaian itu hanya
didasarkan pada segi estetikanya saja atau segi intelektualnya. Dengan
demikian, karya-karya lain yang “tidak terkenal” tidak dapat masuk dalam
definisi ini. Definisi yang ketiga, Rene Wellek mengatakan, agaknya lebih baik
jika istilah “sastra” dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif. Sifat
imajinatif ini menunjukan dunia angan dan khayalan hingga kesusastraan
berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu yang ditunjuk adalah
dunia angan (fiction) dan imagination. Jadi, di sini mengakui adanya sifat
fiktionali (sifat menghayal), penemuan/penciptaan (invention) dan imagination
(mengandung kekuatan menyatukan angan untuk mencipta) sebagai hakikat
seni sastra.
Dengan demikian, sastra merupakan suatu ciptaan dari proses kreatifitas
dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Sastra bersifat unik dan murni
karena tiap individu mempunyai style yang berbeda dalam menuangkan
ceritanya. Keberlangsungan suatu karya sastra juga ditentukan oleh

3
perkembangan bahasa dimana sastra bisa saja menjadi bentuk lain seperti
menjadi filsafat.
Berikut ini yang termasuk dalam ragam sastra, antara lain:
1. Cerpen
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah cerita yang
melukiskan suatu kejadian dalam kehidupan manusia secara ringkas tetapi
jelas (F.X. Mudjihardja, 1995: 83). Cerita pendek cenderung padat dan
langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih
panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena
singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik
sastra, seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas
dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang.
2. Novel
Novel adalah prosa rekaan yang panjang dengan menyuguhkan tokoh-tokoh
dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun
(Sudjiman, 1988: 53). Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah
dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner,
yang dibangun melalui unsur intrinsiknya. Novel lebih panjang (setidaknya
40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan
struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel
bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan
sehari-hari, dengan menitik beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif
tersebut.
3. Puisi
Puisi adalah seni tertulis yang menggunakan bahasa untuk tambahan
kualitas estetiknya atau selain arti semantiknya. Pengertian puisi menurut
Hudson (dalam Sutejo dan Kasnadi, 2014: 2) merupakan salah satu cabang
sastra yang menggunakan kata-kata sebagai medium penyampaian untuk
membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan
garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.

4
4. Drama
Drama adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk
diperankan oleh aktor. Kosakata ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“aksi”, “perbuatan”. Menurut Budianta (2002: 95) drama adalah sebuah
genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal
adanya dialog atau percakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Drama bisa
diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau
televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian,
sebagaimana sebuah opera. Di Indonesia, pertunjukan sejenis drama
mempunyai istilah yang bermacam-macam. Seperti: Wayang Orang,
Ketoprak, Ludruk (di Jawa Tengah dan Jawa Timur), Lenong (Betawi),
Randai (Minang), reog (Jawa Barat), rangda (Bali) dan sebagainya.

D. Sastra dan Moral


Munculnya karya sastra bertemakan moral berkembang seiring dengan
berkembangnya permasalahan krisis moral yang dihadapi anak muda, yaitu
sekitar akhir pertengahan abad ke-20 (Maclntyre, 2002). Di Amerika, karya
sastra pada masa itu merupakan suatu medium untuk mempropagandakan ide-
ide moral yang ditulis pengarangnya. Melalui karya sastranya, para pengarang
aliran moralisme inginmensosialisasikan ide-ide moral. Mereka berharap dapat
menggiring pembaca untuk menikmati pesan moral yang ditulisnya seperti
nilai-nilai baik dan buruk sebagainorma yang berlaku di mayarakat. Jutaan
bacaan yang beredar di masyarakat berupa buku-buku, majalah, suratkabar,
brosur, selebaran-selebaran, dan sebagainya tidak seluruhnya dapat memenuhi
kebutuhan para pembacannya. Berdasarkan semua bacaan tersebut, ada yang
berguna bagi pembacanya dan ada pula yang tidak berguna, bahkan dapat
merusak moral orang yang membacanya. Bacaan yang baik di antaranya dapat
menimbulkan kepribadian yang baik kepada para pembacanya, dan secara tidak
langsung turut mempengaruhi daya pikir pembacanya untuk dapat berfikir
rasional dan kritis, dan juga membina nilai-nilai budaya umumnya. Seorang
pemikir Romawi, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile, dalam

5
tulisannya berjudul Art Poetice. Artinya, karya sastra sebagai bahan bacaan
mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi
pembacanya.
Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah
diwariskan kepada generasi mudanya. Menurut Herfanda (2008:131), sastra
memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan,
termasuk perubahan karakter. Selain mengandung keindahan, sastra juga
memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena
penciptaan sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah suatu paradigma
bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan. Penciptaannya
yang dilakukan bersama-sama dan saling berjalinan seperti terjadi dalam
kehidupan kita sendiri. Namun, kenyataan tersebut di dalam sastra dihadirkan
melalui berbagai tahap proses kreatif. Artinya bahan-bahan tentang kenyataan
tersebut dipahami melalui proses penafsiran baru oleh pengarang. Adapun
manfaat sastra bagi pembaca, adalah berkenaan dengan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya agar pembaca lebih mampu menerjemahkan persoalan-
persoalan dalam hidup melalui kebaikan jasmani dan kebaikan rohani.
Lebih jauh dari itu sastra dalam kaitan dengan nilai-nilai moral, yaitu
sastra sebagai media pembentuk watak moral peserta didik, dengan sastra kita
bisa mempengaruhi peserta didik. Karya sastra dapat menyampaikan pesan-
pesan moral baik secara implisit maupun eksplisit. Dengan mengapresiasi
cerpen, novel, cerita rakyat, dan puisi, kita bisa membentuk karakter dan
membangun moral peserta didik, sastra mampu memainkan perannya. Nilai-
nilai kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan,
keikhlasan, ketulusan, kebersaman, dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan moral, bisa kita terapkan kepada peserta didik melalui sastra.
Lebih lanjut, kebermanfaatan membaca sastra menurut Kilpatrick
(1994: 18) bahwa membaca (terutama sastra) memberikan kontribusi penting
kepada siswa untuk meningkatkan kesuksesan mereka di sekolah. Ada beberapa
alasan utama kenapa hal tersebut bisa terjadi:

6
1. cerita-cerita yang dibaca memberikan dampak emosional yang positif
sehingga menimbulkan keinginan untuk berbuat baik,
2. dalam cerita-cerita yang dibaca terdapat contoh-contoh yang baik,
3. cerita-cerita yang dibaca memuat etika keseharian yang seharusnya mereka
ketahui dan terapkan, dan
4. cerita-cerita yang dibaca tersebut membangun sensitifitas siswa tentang
kehidupan dan membuat mereka lebih dewasa.
Jadi, jika seorang peserta didik membaca suatu karya sastra, ia akan
memperoleh kenikmatan dari apa yang dibacanya tersebut. Atas dasar itu, sastra
harus ditempatkan pada posisi yang benar, yaitu posisi seni, bukan ilmu. Sastra
adalah seni bahasa (poetic language). Ia sejajar dengan seni-seni lainnya,
seperti seni lukis, seni patung, tari, dst. karena ia menyampaikan pesan melalui
medium simbolis. Oleh karenaitu, kenikmatan seni tidak berhenti pada
kenikmatan sensual saja, tetapi berlanjut pada kenikmatan intelektual.
Sastra, khususnya novel dan drama,yang di dalamnya terdapat tokoh-
tokoh yang hidup, selain menghibur, novel atau drama mengajak kita berpikir,
merenung, tentang tindakan tokoh-tokoh dan akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan-tindakan itu. Dengan cara demikian, pembaca menemukan teladan
bagi kehidupannya, yaitu berupa nilai-nilai moral (kebenaran) yang universal.
Nilai-nilai moral itulah yang membuat sastra mempunyai nilai tinggi sebagai
kebudayaan batin suatu bangsa. Jadi, sastra bukanlah objek atau benda mati,
melainkan subjek karena ia hidup. Sastra dihidupkan oleh tokoh-tokohnya.
Tugas pembaca adalah memahami tindakan tokoh-tokoh itu. Memahami berarti
mencapai fusi antara dunia tokoh dan dunia pembaca. Jadi, hubungan pembaca
dengan tokoh-tokoh imajiner di dalamnya itu adalah intersubjektif, seperti kita
berdialog dengan teman-teman dekat kita.

E. Upaya-upaya yang Bisa Dilakukan Pendidik Melalui Sastra


Mengajar berarti menyampaikan atau menularkan (Riberu, 1991:1).
Pengajaran sastra berarti adanya penyampaian atau penularan ilmu mengenai

7
suatu ciptaan dari proses kreatifitas dengan menggunakan bahasa sebagai
medianya. Ciptaan tersebut bisa berupa puisi, prosa, maupun drama.
Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila
cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu (1) membantu keterampilan
berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta,
rasa, dan karsa, serta (4) menunjang pembentukan watak (Rahmanto, dalam
Dharmojo: 2007).
Pendapat Rahmanto senada dengan pendapat Djojosuroto yang
mengungkapkan bahwa sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran
kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam berbahasa.
Sastra dapat membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa dan karsa,
menunjang pembentukan watak, mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi (2006:85).
Banyak sekali aspek-aspek dalam karya sastra yang dapat digunakan
dalam pendidikan moral. Sebagai contoh, membaca Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata bagi siswa pasti memiliki banyak dampak positif, terutama dalam
hal sikap. Selain itu, proses pemahaman terhadap novel Laskar Pelangilebih
mudah dibandingkan memahami sastra seperti Belenggu dan Di Bawah
Lindungan Ka’bah. Bila dilihat dari segi isi, Laskar Pelangi lebih cocok dalam
pembelajaran, karena novel tersebut berbicara masalah pendidikan, pentingnya
belajar, dan menghargai seorang pendidik. Dengan memahami hal tersebut,
pembelajaran sastra bisa dijadikan sebagai instrumen pendidikan yang
sebenarnya, yaitu mengubah siswa menjadi lebih baik, bermoral, dan
bermartabat. Semua demi generasi penerus yang lebih baik dari aspek kualitas
maupun kuantitasnya.
Telaah moral tersebut diharapkan dapat menghidupkan perasaan siswa
akan kepekaan mereka terhadap penderitaan dan penghargaan atas kejujuran
dan pengampunan. Dengan ikut bersimpati dan berempati pada suatu karya
sastra, maka sastra bukanlah sesuatu yang hanya ditelaah secara kaku dari

8
unsur-unsur struktur pembangunnya secara terpisah. Sastra merupakan suatu
penuturan kehidupan yang ditulis dengan makna didalamnya.
Sebagai wujud untuk menyampaikan atau menginjeksikan moral dalam
sastra kepada siswa ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh pendidik.
Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam matapelajaran bahasa dan sastra
Indonesia dengan pengintegrasian langsung nilai-nilai moral yang menjadi
bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
Dengan membaca sastra, siswa akan bertemu dengan bermacam-macam
orang dengan bermacam-macam masalah. Melalui sastra, siswa diajak
berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan
segala parodi dan ironinya. Ruang yang tersedia dalam karya sastra itu
membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada
satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Pribadi yang kritis dan
bijaksana ini bisa terlahir karena pengalaman siswa dalam membaca sastra
sehingga membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar serta
berbagai manusia dengan beragam karakter. Sastra dalam banyak hal memberi
peluang kepada siswa untuk mengalami posisi orang lain, yang menjadikannya
berempati kepada nasib dan situasi manusia lain. Melalui sastra, seseorang
dapat mengalami menjadi seorang dokter, guru, gelandangan, tukang becak,
ulama, ronggeng, pencuri, pengkhianat, pengacara, rakyat kecil, pejabat, dan
sebagainya.
Meski sifatnya fiktif, dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan:
imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai. Melalui kegiatan apresiasi sastra,
kecerdasan siswa dipupuk dalam ketiga muatan tersebut. Apresiasi sastra
melatih kecerdasan intelektual (IQ), misalnya dengan menggali nilai-nilai
intrinsik dalam karya sastra, seperti tema, amanat, latar, tokoh, dan alur cerita.
Juga mengembangkan kecerdasan emosional (EQ) siswa, misalnya sikap
tangguh, berinisiatif serta optimis menghadapi persoalan hidup, dan sebagainya.
Hal ini dapat terjadi karena sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat
dengan segala problem kehidupannya. Mempelajari sastra berarti mengenal
beragam kehidupan beserta latar dan watak tokoh-tokohnya. Membaca kisah

9
manusia yang bahagia dan celaka, serta bagaimana seorang manusia harus
bersikap ketika menghadapi masalah, akan menuntun siswa untuk memahami
nilai-nilai kehidupan. Sedangkan sastra dapat mengembangkan kecerdasan
spiritual (SQ) tentu tak dapat pula kita mungkiri. Bukankah banyak kita
temukan karya sastra yang bertema religius? Misalnya, sekedar contoh, puisi
Padamu Jua (Amir Hamzah), cerpen Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), dan
sebagainya. Karya sastra dengan tema-tema religius semacam ini akan
menuntun siswa lebih memahami hubungan antara manusia dengan Tuhannya.

F. Kesimpulan
Melalui karya sastra, seperti cerita pendek, novel, puisi, atau drama,
penanaman moral dan budi pekerti dalam pengajaran akan lebih
berhasil,tentunya dengan pemilihan karya sastra yang tepat dan sesuai dengan
nilai moral akan ditanamkan kepada siswa. Untuk itu, pendidik dituntut untuk
selalu selektif serta berparan aktif memilih karya-karya sastra yang menarik dan
mengandung nilai moral sebagai bahan ajarnya. Lewat pengajaran sastra, siswa
akan lebih mudah mencerna aturan atau etika keseharian tanpa ada paksaan.
Pemberian cerita yang tepat kepada siswa akan mampu menanamkan nilai-nilai
moral dan pekerti yang lebih mendalam serta mampu meningkatkan
kemampuan kognitif untuk lebih kritis menelaah suatu permasalahan.

10
Daftar Pustaka

Budianta, Melanie, dkk. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesiatera.

Djojosuroto, Kinayati. 2006. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya,


Yogyakarta: Penerbit Pustaka.

Darma, Budi. 1984. Sejumlah Esai Sastra. Jakarta: PT Karya Unipress.

Dharmojo. 2007. CDA sebagai Model Pembelajaran Sastra. Jakarta:


Cakrawala Ilmu.

Eagleton, Terry. 1996. Literary Theory: an Introduction. Minneapolis:


University of Minnesota Press.

Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional


Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ (diterjemahkan T.
Hermaya). Jakarta: Gramedia.

Kilpatrick, William. 1994. Books that Build Character (a guide to teaching


your child moral values). New York: Touchstone.

Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di


Zaman Global. Jakarta: Gasindo.

Luxemburg, Jan Van dkk. 1987. Tentang Sastra. Muiderberg: Intermasa.

Mudjihardjo, F.X. 1995. Sari-Sari Kesusastraan Indonesia. Jakarta: PT Galaxy


Puspa Mega.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riberu. 1991. Pengajaran Sastra. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra.Bandung : Angkasa.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardi. 2012. Panduan Apresiasi Cerpen untuk Siswa dan Mahasiswa.


Jakarta: Uhamka Press.

_____________. 2013. Panduan Apresiasi Puisi. Jakarta: Uhamka Press.

11
Sutejo dan Kasnadi. 2014. Kajian Puisi: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:
Terakata.

Wellek, Rene dan AutinWarren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT.


Gramedia

Wellek, Rene and Autin Warren. 1949. Theory of Literature. New York:
Harcourt, Brace and Company.

Zuchdi, Darmiyati. 2011. “Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Wahana


Pendidikan Karakter” dalam Pendidikan Karakter dalam
Perspektif Teori dan Praktik (Darmiyati Zuchdi ed.). Yogyakarta:
UNY Press.

12

Anda mungkin juga menyukai