Anda di halaman 1dari 18

Pendekatan Klinis Pada Penyakit Saraf Bells’s Palsy

Amanda Damayanti Pabisa 102013265

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara no. 6 – Jakarta Barat 11470

No. Telp. 021-56942061.

Abstrak

Sistem saraf adalah sebuah system yang kompleks dimana terdiri atas neuron-neuron
yang bekerja sama sebegitu kompleksnya sehingga kita bias menggerakkan alat gerak dan
merasakan sensasi atau rangsang. Rusaknya atau kelainan pada system ini dapat menganggu
fungsi normal tersebut. Bell’s palsy adalah salah satu kelainan sistem saraf dimana terjadi
paresis pada cabang perifer nervus fascialis. Sampai sekarang, penyebab bell’s palsy masih
belum diketahui. Namun, diyakini bahwa virus terutama Herpes Simplex Virus adalah
penyebabnya. Diagnosis dan tatalaksana yang tepat dibutuhkan dalam menangani kasus Bell’s
Palsy agar tidak terjadi kecacatan permanen.

Kata Kunci : Sistem saraf, Bell’s Palsy, Nervus fascialis

Abstract
The nervous system is a complex system which consists of neurons that work together so
complex that we can move the movement and feel sensations or stimuli. Damage or
abnormalities in this system can interfere with normal function. Bell's palsy is a nervous
system disorder in which there is paresis in the peripheral branches of the fascial nerve.
Until now, the cause of bell palsy is still unknown. However, it is believed that the virus,
especially the Herpes Simplex Virus, is the cause. Appropriate diagnosis and management is
needed in handling Bell’s Palsy cases so there is no permanent disability.

Keywords: nervous system, Bell's Palsy, fascial nerve

1
Pendahuluan

Suatu kelainan yang terjadi di sepanjang perjalanan nervus facialis menyebabkan gangguan
terhadap otot yg dipersarafi, baik yang bersifat parese ataupun paralisis tergantung tingkat dan
beratnya lesi. Wajah merupakan kawasan motorik nervus facialis yang sangat penting dan
memberikan kekhasan tersendiri bagi yang melihatnya. Bell’s palsy merupakan salah satu
gangguan yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini terjadi pada nervus
VII (n.fasialis) perifer, yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut, dimana
penyebabnya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik). Pada sebagian besar penderita Bell’s
Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka
kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur,
dan spasme spontan. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari
satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell.

I. Anamnesis

Anamnesis yang perlu ditanyakan adalah:

- Identitas pasien.
- Keluhan utama : pada skenario, pasien datang ke puskesmas dengan keluhan mata
sebelah kiri tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan.
- Keluhan tambahan :
- Riwayat penyakit sekarang :
o Waktu dan lamanya keluhan berlangsung.
o Rasa nyeri.
o Gangguan atau kehilangan pengecapan.
o Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari
diruangan terbuka atau di luar ruangan.
o Sifat dan beratnya serangan (masih dapat ditahan atau tidak).
o Lokasi dan penyebarannya (dapat menyebutkan tempat sakit atau menyebar).
o Hubungan dengan waktu (kapan saja terjadinya).
o Hubungannya dengan aktivitas (keluhan dirasakan setelah melakukan aktivitas
apa saja). 1-3
o Keluhan-keluhan yang menyertai serangan

2
o Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali.
o Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang
memperberat atau meringankan serangan. 1
o Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang
sama.
o Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa
o Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang
telah diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan
dengan penyakit yang saat ini diderita. 1
o Riwayat penyakit dahulu : bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-
kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan
penyakit sekarang. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita
seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
- Riwayat kesehatan keluarga. 1
- Riwayat penyakit menahun keluarga. 1
II. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda-tanda vital

1. Pemeriksaan neurologi
Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dandapat dibuktikan
dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu:
a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis.
 Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat
saja.
 Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat.
 Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak mata
tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata
ke atas dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain itu
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih lambat
dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal
sebagai Lagoftalmus.
 Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat
dikembungkan.

3
 Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya ataudisuruh
meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat
diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah sehat. Dan juga
sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit mendatar.
b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis.
Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis diperiksa
pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa asam diperiksa
pada bagian tengah lidah dengan bahan asam sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah
: pengecapan pada sisi yang tidak sehat kurang tajam.
c. Pemeriksaan Refleks.

Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bell’s Palsy adalah


pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak langsung dimana pada
paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada sisi yang sakit kedipan mata
yang terjadi lebih lambat atau tidak ada sama sekali.

Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra pada orang


sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab
dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada paresis facialis
jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularisoculi (pemejaman
mata pada sisi sakit).2,3

III. Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.
Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui
apakah pasien tersebt menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa
dilakukan namun ini biasanya tidak dapat mentukan dari mana virus tersebut berasal.3

 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bell‘s Palsy antara lain adalah
MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada pasien dengan Bell Palsy dapat timbul
gambaran kelainan pada nervus fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga berguna
apabila penderita mengalami kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat dipastikan apakah

4
kelainan itu hanya merupakan gangguan pada nervus fasialis ataupun terdapat tumor (misalnya
Schwannoma, hemangoma, meningioma).3

IV. Diagnosis Kerja


 Bell’s palsy

Bell’s palsy adalah penyakit idiopatik dan merupakan penyakit saraf tepi yang bersifat
akut dan mengenai nervus fasialis (N.VII) yang menginervasi seluruh otot wajah yang
menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah. Paralisis ini meyebabkan asimetri
wajah serta mengganggu fungsi normal.

Penyebab pasti Bell’s palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap
memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun.

Bell’s palsy meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat
karier yang belum diketahui, ketidak seimbangan imunitas (stress, HIV/AIDS, trauma)
atau apapun yang secara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti
infeksi baktreri pada Lyme disease dan otitis media, atau truma, tumor, dan kelainan
kongenital), serta apapun yang dapat menyebabkan inflamasi dan edem nervus fasialis (N.VII)
dapat memicu terjadinya bell’s palsy.4

V. Diagnosis Banding

Stroke

Stroke atau Cerebral Vaculer Accident (CVA) adalah gangguan peredaran darah
otak (GPDO) dengan awitan akut, disertai manifestasi klinis berupa defisist neurologis
dan bukan sebagai akibat tumor, trauma ataupun infeksi susunan saraf pusat.
Penyakit serebrovaskuler/stroke menunjukan adanya beberapa kelainan otak baik
secara fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari
pembuluh darah otak. Patologis ini menyebabkan perdarahan dari sebuah robekan yang
terjadi pada dinding pembuluh atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial atau
seluruh lumen pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau
permanen.3

5
Trauma

Saraf wajah dapat mengalami lesi traumatis sesuai dengan segmen anatomisnya.
Mulai dari sentral hingga cabang perifernya. Lesi traumatis saraf wajah paling sering
ditemukan pada fraktur tulang temporal akibat trauma kraniocerebral. Pada trauma
kepala , fraktur tulang temporal terjadi pada 18% sampai dengan 40% kasus. Pada
sebagian besar kasus, fraktur bersifat unilateral, namun pada 9% -20% kasus, terjadi
fraktur tulang temporal bilateral.7
Ganglion genikulatum saraf fasialis merupakan tempat tersering terkena trauma.
Walaupun fraktur transversal hanya terjadi 10-20% dari fraktur tulang temporal, tapi
jenis fraktur ini paling banyak menyebabkan parese saraf fasialis. Tulang temporal
terdiri dari bagian tulang skuama, mastoid, petrous dan timpani. Bersama-sama tulang
oksipital, parietal, sfenoid, dan zigomatikum akan membentuk dinding lateral dan dasar
tulang tengkorak atau bagian tengah dan posterior dari fossa kranialis. Tulang mastoid
disusun dari bagian protrusion inferior tulang skuama dan tulang petrous. Trauma
tulang temporal ini sangat rawan terjadi kerusakan organ-organ intratemporal. Tulang
temporal menutupi organ-organ penting seperti saraf fasialis, saraf vestibulokoklearis,
koklea dan labirin, tulang-tulang pendengaran, membran timpani, kanalis akustikus
eksternus, temporomandibular joint, vena jugularis serta arteri karotis. Struktur
intrakranial seperti lobus temporalis, meningen, saraf abdusens dan batang otak juga
dapat mengalami kerusakan akibat trauma tulang temporal, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya fistula liquor cerebro spinal, meningitis dan herniasi batang
otak.2

Infeksi

Infeksi yang terletak pada saraf wajah, ganglion geniculate, atau infeksi pada
daerah proximal dapat menyebabkan kelumpuhan nervus facialis perifer.7
Virus herpes memiliki kemampuan unik untuk menyebabkan infeksi laten. Virus
herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dan virus varicella-zoster memiliki sifat
neurotropisme, yang menyebabkan infeksi laten pada sistem saraf perifer. Jalur masuk
infeksi virus yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis perifer adalah
mukokutaneus. HSV-1 dapat bersifat laten di ganglion geniculate, serta dapat aktif
kembali saat terjadi imunosupresi,. Infeksi HSV-1 menyebabkan demielinisasi serat
saraf oleh mekanisme yang dimediasi oleh sistem imun.Selain itu, Virus varicella-

6
zoster, virus Coxackie, virus influenza atau vaksin anti-influenza, cytomegalovirus,
virus gondok, virus campak , HIV dapat menyebabkan disfungsi nervus fasialis.7
Infeksi proksimal seperti otitis media akut dapat dikaitkan 1-1,41% kasus dengan
kelumpuhan nervus fasialis perifer. Peradangan saraf wajah di daerah timpani pada
otitis media akut disebabkan adanya hubungan neurovaskular nervus fasialis dengan
telinga tengah. Pada otitis media suppuratif kronis, cedera saraf fasialis dapat
disebabkan mekanisme gabungan: osteitis, erosi tulang, kompresi dan pembengkakan
nervus fasialis melalui aksi langsung mikroorganisme patogen.7
Tumor
Tumor primer nervus fasialis jarang terjadi dan paling sering diwakili oleh
schwannoma. Schwannoma adalah tumor jinak, yang tumbuh perlahan dan dapat
ditemukan di segmen nervus fasialis manapun. Lokasi yang paling sering terjadi adalah
pada ganglion geniculate (44% -97%), sudut pontocerebellar (24% -53%) dan meatus
akustikus internus. kanal. Prevalensi schwannoma nervus fasialis diperkirakan 2% dari
semua schwannoma intrakranial. Kelumpuhan wajah disebabkan oleh infiltrasi tumor
pada nervus fasialis.7

VI. Etiologi

Penyebab pasti Bell’s palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap
memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun. Bell’s palsy
meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier yang
belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas (stress,HIV/AIDS, trauma) atau apapun yang
secara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti infeksi bakteri pada
Lymedisease dan otitis media, atau trauma,tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yag
dapat menyebabkan inflamasi dan edema nervus fasialis (N.VII) dapat memicu terjadinya
bell’s palsy.

Bell’s palsy dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti iklim atau faktor
meteorologi seperti suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan
bahwa pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset

bell’s palsy muncul. Suhu dingin di salah satu bagian wajah dapat menyebabkan iritasi nervus
fasialis(N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam patofisiologi penyakit ini
adalah “hipotesis suhu rendah”. Selain itu reaktivasi HSV yang merupakan salah satu teori

7
terjadinya bell’s palsy juga berhubungan dengan perbedaan iklim antar negara dan polusi dari
atmosfer. Selain itu stress, kehamilan, diabetes juga dapat memicu munculnya bell’s palsy.5,6

VII. Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden
Bell’s palsy rata-rata 1530 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko
29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun
lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.Penyakit ini dapat
mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinankemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih
tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.5

Struktur anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae
(N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah.
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus saliva torius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,rongga hidung, sinus
paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga
bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik
wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan
rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis
auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual,
yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke kordatimpani dimana ia membawa sensasi

8
pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleustraktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor
menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar
sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.6

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventro lateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal.
Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan
VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk
ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan
dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak
ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.6

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk
memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major,
dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh
korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus
kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot
wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikusventer posterior.

VIII. Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s
palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang meyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit
pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi.
Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear, nuklear dan infra nuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks
motorik primer atau di jaraskortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan
dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Paparan udara dingin seperti
angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai

9
salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.

Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, diforamen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons
yang terletak didaerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis
atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian
depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa
diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos,
maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-
gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang
terjepit diforamen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan
serabut yang mensyarafi muskulus stapedius. 6

IX. Manifestasi Klinik

Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah
satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat
gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih
rendah. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya
semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan
menhgilang sehingga lipatan nasilabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum
atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura
papebra melebar serta kerut dahi menghilang.

10
Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yan
g lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang mempersyarafi m.orbikularis
okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat menutup dengan sempurna.
Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan kornea karena mata tetap terbuka
sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam
bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis. Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan ini
dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan
mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan
epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak
mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang
lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain
yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bell’s palsy.
Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari
2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. dan bila saraf yang
menuju ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa
dengan pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan
produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan
terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimer.5,6

Komplikasi ke bagian mata antara lain :

 Lagoftalmus
 Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah
 Alis Jatuh
 Retraksi kelopak mata atas
 Erosi Kornea
 Crocodile-tears tearing

Komplikasi ke bagian telinga antara lain:

Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada bagian
belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala Bell Palsy, namun
pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum timbulnya Bell Palsy.
Beberapa pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada telinga

11
ipsilateral dari Palsy yang terjadi, yang merupakan akibat sekunder dari kelemahan otot
stapedius.

 Gangguan Pengecapan:

Sepertiga pasien Bell Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana 80%dari penderita Bell Palsy
mengalami penurunan kemampuan merasa.
 Spasme Fasial
Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bell Palsy, terjadi akibat kontraksi
tonic pada salah satu sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada saat
stress dan timbul akibat kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan pembuluh darah,
tumor, ataupun proses demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih sering menyerang pada usia
50 atau 60an. Selain itu juga dapat timbul Synkinesis yaitu suatu kontraksi abnormal dari otot wajah
saat tersenyum atau menutup mata,contoh yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika tersenyum atau
ketika mengedipkan mata.
 Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :
I. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih berada disebelah
dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan mencong ke sisi yang sehat
sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada
posisi yang sehat, maka penderitanya tidak dapat bersiul, mengedip dan menutupkan
matanya. Lakrimalis yang berlebihan akan terjadi jika mata tidak terlindungi / tidak
bisa menutup mata sehingga pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa
angin, debudan sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi
karena proses regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar air mata
pada waktu makan.
II. Lesi pada canalis fasialis mengenai nervus chorda tympani.
Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan dua
pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena.
III. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenal muskulus stapedius.
Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis.

IV. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.


Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya seringkali akut
dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga. Herpes
Zoster pada tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese nervus f

12
asilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bell’s yangdisertai herpes Zoster pada
ganglion geniculatum, lesi – lesi herpetik terlihat pada membrana tympani, canalis
auditorium eksterna, dan pada pinna.
V. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus
Gejala - gejala Bell’s Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus VIII.
VI. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons
Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar nervus
fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi pada daerah
tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectuslateralis atau gerakan melirik
kearah lesi.
VII. Gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai ialah gerakan involunter yang
dinamakan tic fasialis atau spasmus klonik fasialis. Sebab dan mekanisme
sebenarnya belum diketahui yang dianggap sebagai sebabnya adalah suatu rangsangan
iritatif di ganglion feniculatum. Namun demikian gerakan - gerakan otot wajah
involunter bisa bangkit juga sebagai suatu pencerminan kegelisahan atau
depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut muka terangkat dan kelompok mata
memejam secara berlebihan.5,6
X. Penatalaksanaan
 Non-medikamentosa
 Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial,elektroterapi menggunakan arus
listrik.
 Perawatan mata
Pemberian air mata buatan, lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian kacamata
dengan lensa berwarna atau kacamata hitam kadang diperlukan untuk menjaga mata
tetap lembab saat bekerja.
 Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas
 Istirahat
 Pembedahan
Jika sudah terjadi ectropion yang parah dapat dilakukan lateral tarsorrhaphy.

13
 Medika mentosa

Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson


dan kerusakan N.VII dapat diberikan prednisone (kortikosteroid) dan antiviral sesegera
mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari setelah onset.
Prednison dapat diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat
untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin.

- Kortikosteroid
- Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan bertahap 10 mg/hari dan
berhenti selama10-14 hari.

Tabel 1 : Dosis Prednison

1 mg/kg atau 60 mg PO qd selama 7 hari diikuti tapering off dengan


Dosis dewasa
total pemakaian 10 hari.

1 mg/kg PO qd selama 6 hari diikuti tappering off dengan total


Dosis anak
pemakaian 10 hari.

Hipersensitivitas, diabetes berat

kontraindikasi yang tak terkontrol, infeksi jamur, ulkus peptikum, TBC,osteoporosis.

- Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari, atau 1000mg /hari
selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama 10 hari. Dapat juga menggunakan
Valactclovir 1 gram yang diberikan 3 kali selama 7 hari.

Tabel 2 : Dosis Antiviral

Asikovir, obat antiviral yang menghambat kerja HSV-1. HSV-2,


Nama obat
dan VZV

Dosis dewasa Dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari

14
<2 tahun : belum dipastikan
Dosis anak
>2 tahun : 20 mg/kg PO selama10 hari

kontraindikasi Hipersensitif, penderita gagal ginjal

- Vitamin B
Preparat aktif B12 (Metil kobalamin) berperan sebagai kofaktor dalam proses
remielenasi, dengan dosis 3x500μg/hari.7
XI. Komplikasi

Kira-kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti
fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik. Komp
likasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis yang
kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak
berfungsi dengan baik sehingga tampak seperti air mata buaya (crocodile tears).8

XII. Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

a. Usia di atas 60 tahun.


b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam
waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau
lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.
Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen
antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan,
maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan
kadang spasme hemifasial.

15
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23%kasus
Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita.
Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsi lateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar
parotis.8

XIII. Pencegahan
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin
mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah
langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-
langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat
pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain
tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata.
Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi
menyebabkan serangan Bell’s Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung.
Tutupi wajah dengan kain atau penutup.8

16
Kesimpulan

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan
idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy Adalah edema dan
iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan
inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan didahi akan
menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik kearah sisi yang
sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.

Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obat anantiviral dan
kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bell’s
palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

17
Daftar Pustaka

1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta:EGC;2009.hal.77-89.


2. Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Edisi 17. Jakarta:EGC;2003.hal. 267-83.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan.edisi
8. Jakarta:EGC;2009. Hal. 166-290.
4. Dewanto, G dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2009.
5. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,
5thed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
6. Price SA, Wilson LM . Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2.
Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005. Hal.966-71.
7. Lumbantobing. Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.
8. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit araf. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC; 2007. Hal 140.

18

Anda mungkin juga menyukai