Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) atau dikenali sebagai Juvenile Idiopathic Arthritis
(JIA) terdiri dari sekelompok heterogen yang ditandai dengan timbulnya radang sendi
sebelum usia 16 tahun dengan gejala itu bertahan selama lebih dari 6 minggu. 1 Gejala terkait
biasanya meliputi pembengkakan, kehangatan yang abnormal, nyeri tekan atau nyeri atau
kekakuan sendi yang terkena yang cenderung lebih buruk di pagi hari. Dalam kasus yang
parah, perubahan destruktif pada akhirnya dapat mengakibatkan mobilitas terbatas dan
kemungkinan deformitas sendi yang terkena.2 Penyebab proses inflamasi ini adalah sitokin
inflamasi termasuk TNF-alpha, interleukin 1 dan interleukin 6 yang dilepaskan secara
berlebihan. Oleh karena itu, pasien-pasien ini yang didiagnosis dengan JRA harus dirawat
dengan cepat dan efisien.3
Insidensi dan prevalensi yang dilaporkan pada populasi Eropa dan Amerika Utara
berkisar 2 hingga 20 dan dari 16 hingga 150 per 100.000, masing-masing 1. Namun, perbedaan
yang luar biasa dalam frekuensi subtipe (JIA) telah diperhatikan di wilayah geografis atau
kelompok etnis yang berbeda. Di negara-negara Barat oligoartritis adalah subtipe yang paling
umum, sementara poliartritis mendominasi di Kosta Rika, India, Selandia Baru, dan Afrika
Selatan[2,3]. Di Asia, artritis sistemik menyumbang proporsi lebih besar dari artritis anak 2,4. Di
India, Mexico, dan Kanada, insiden yang lebih besar dari enthesitis-related arthritis (ERA)
telah didaftarkan Karena frekuensi yang tinggi pada antigen leukosit manusia (HLA) -B27
pada populasi ini2. Poliartritis positif-faktor reumatoid (RF) adalah subtipe yang kurang
umum. JRA polyarticular dan pauciarticular-onset lebih sering terjadi pada wanita daripada
pria. Penyakit onset sistemik tampaknya mempengaruhi wanita dan pria secara relatif sama.
JRA dianggap sebagai salah satu penyakit rematik paling umum yang menyerang anak-
anak.4,5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

Juvenile rheumatoid arthritis (JRA) atau dikenali sebagai Juvenil idiopathic arthritis
(JIA) adalah penyakit rematik kronis yang paling umum pada anak-anak dan merupakan
penyebab signifikan dari kecacatan jangka pendek dan jangka panjang1. Ini terdiri dari
kelompok heterogen dari beberapa subtipe penyakit yang ditandai dengan timbulnya arthritis
sebelum usia 16 tahun dan memiliki gejala yang berlangsung setidaknya 6
minggu2.Klasifikasi JIA adalah proses yang sedang berlangsung dan sampai sekarang telah
didominasi berdasarkan manifestasi klinis-terutama jumlah sendi pada awal penyakit3, 4

3.2 EPIDEMIOLOGI

Insiden JIA diperkirakan 2 hingga 20 kasus per 100.000 anak-anak, dengan prevalensi
16 hingga 150 kasus per 100.000 anak-anak di seluruh dunia.11 Diyakini bahwa ada lebih dari
300.000 anak-anak dengan JIA di AS, meskipun kebenaran ini statistik diperdebatkan,
sebagian besar kasus ini tidak terdiagnosis. Mirip dengan kebanyakan penyakit rematik, dua
kali lebih banyak anak perempuan mengembangkan JIA, terutama mencerminkan dominasi
perempuan subset oligoarticular, yang merupakan subkelompok terbesar. Meskipun himpunan
bagian tertentu memiliki insiden puncak spesifik usia, itu sangat tidak biasa bagi anak-anak
untuk mengembangkan JIA sebelum 6 bulan usia, mirip dengan epidemiologi sebagian besar
masa kecil lainnya penyakit rematik. Tidak jarang menemukan keluarga riwayat penyakit
autoimun, dan pasien dengan JIA memiliki risiko kekambuhan saudara sekitar 15% .12,13

Studi epidemiologis JRA telah terhambat oleh kurangnya kriteria standar dan pemastian
kasus, yang telah menghasilkan dalam hasil yang luas. Misalnya, prevalensi yang dilaporkan
JRA berkisar 0,07-4,01 per 1.000 anak, dan kejadian tahunan di seluruh dunia bervariasi dari
0,008 hingga 0,226 per 1.000 anak-anak9. Namun, kejadian dan prevalensi aktual JRA di
populasi Asia, termasuk anak-anak Korea, belum diukur dengan baik karena sebagian besar
studi epidemiologi besar dilakukan.16,17

Sampai saat ini telah didasarkan pada populasi pasien yang sebagian besar keturunan
Eropa. Dari catatan, satu studi sebelumnya dari Jepang menunjukkan bahwa JRA memiliki
prevalensi keseluruhan yang relatif rendah di antara populasi 10, menunjukkan insiden dan
prevalensi yang lebih rendah pada anak-anak asal Asia daripada orang-orang asal Eropa.

Selanjutnya disana perbedaan signifikan dalam distribusi subtipe JRA di antara


kelompok etnis yang berbeda juga.11

3.3 ETIOLOGI

Etiologi JRA belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respon yang abnormal
terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga memiliki
pengaruh yang sangat kuat.4

Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit autoimun dimana sistem


kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang seharusnya dilindungi. Namun,
belum pernah ditemukan autoantibodi spesifik untuk JRA. Penyebab yang mungkin adalah
respon imun pejamu yang secara genetik rentan terhadap suatu antigen (yang belum
diketahui). Secara luas dipercaya bahwa pemicu respon imun awal adalah suatu agen
infeksius. Antigen Presenting Cell (APC) menelan protein asing, mengolahnya, dan kemudian
menyajikan peptida antigenik melalui reseptor MHC klas II ke sel T-helper CD4+ yang
mengenali peptida antigenik melalui reseptor antigen sel T-klonotipik (TCR). Sel T-helper
yang sudah diaktifkan mengeluarkan berbagai sitokin dan merekrut sel T lain dan sel B yang
dipacu untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma penghasil antibodi. Pada dewasa, antigen
MHC klas II HLA-DR4 dan HLA-DR1 dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap
JRA. Sedangkan pada anak, peningkatan kerentanan terhadap JRA dikaitkan dengan HLA-
DR5 dan HLA-DR8. Protein MHC klas II ini mungkin sama-sama memiliki sekuen spesifik
asam amino yang berkaitan dengan cara menyajikan antigen tertentu yang kemudian
menyebabkan peningkatan kerentanan terjadinya radang sendi.22

Belum pernah berhasil diisolasi suatu agen infeksius tertentu yang secara spesifik
menyebabkan artritis walaupun sudah dilakukan riset intensif bertahun-tahun.
Mikroorganisme yang mungkin berperan sebagai agen infeksius antara lain virus limfotropik
sel T tipe 1, virus rubella, sitomegalovirus, herpesviridiae, mikoplasma, dan virus Epstein-
Barr (EBV). Epstein-Barr (EBV) adalah suatu aktivator poliklonal sel B yang menghasilkan
banyak immunoglobulin, termasuk faktor reumatoid. Sebagian orang dewasa penderita artritis
reumatoid terbukti memperlihatkan peningkatan jumlah sel B yang terinfeksi oleh EBV dalam
sirkulasi serta penurunan respon sel T sitotoksik terhadap virus tersebut22
Terdapat data yang menunjang suatu respon autoimun sebagai kausa primer artritis
reumatoid tetapi data tersebut belum kuat. Kolagen dan IgG adalah protein utama yang paling
sering dianggap sebagai auto-antigen. Reaksi terhadap kolagen dapat menyebabkan artritis
pada hewan pengerat dan mamalia yang lebih tinggi tetapi antibodi terhadap kolagen yang
terdapat di tulang rawan sendi tampaknya tidak menyebabkan artritis reumatoid pada
manusia. Ketika terjadi kerusakan tulang rawan pada artritis, terbentuk autoantibodi terhadap
bagian kolagen yang mengalami degradasi. Autoantibodi ini bersama dengan faktor reumatoid
mengendap di tulang rawan dan berfungsi sebagai kemoatraktan dan menyebabkan proses
kerusakan secara terus-menerus. Sel T CD4+ aktif berkumpul di dalam ruang sendi. Membran
sinovial juga terkena. Makrofag dan fibroblas menghasilkan interleukin-1 (IL-1) dan tumor
necrosis factor α (TNF-α) yang menumpuk di membran sinovial. Sitokin-sitokin ini memiliki
efek luas terhadap banyak sel serta menyebabkan pengaktifan dan proliferasi sel T lebih
lanjut, peningkatan aktivitas prostaglandin dan protease penghancur matriks, serta resorpsi
tulang.22

Netrofil adalah sel utama dalam cairan sendi walaupun limfosit dan makrofag
merupakan sel predominan di membran sinovial. Kemoatraktan untuk netrofil adalah C5a
yang dihasilkan dari pengaktifan komplemen, leukotrien B4, dan platelet activating factor.
Netrofil dalam cairan sendi dengan cepat memakan debris sel dan komplek imun. Pengaktifan
netrofil menyebabkan terjadinya degranulasi, pengeluaran protease, dan pembentukan
rangsangan kemotaktik lebih lanjut. Di cairan sendi, pengaktifan sistem komplemen,
pengeluaran enzim lisosom oleh netrofil, pembentukan oksidan reaktif, pembentukan kinin
vasoaktif oleh kalikrein, serta pengaktifan fibrinolisis dan jenjang pembekuan menyebabkan
terjadinya peradangan yang intensif. Rasa nyeri, peningkatan suhu, kemerahan, dan efusi
mencerminkan peradangan sendi akut.22

3.4 KLASIFIKASI

Pada tahun 1970, dua kriteria digunakan untuk mengklasifikasikan JRA pada anak yaitu
klasifikasi oleh American Collage of Rheumatology (ACR), dan European League Against
Rheumatism (EULAR). Pada tahun1993, klasifikasi ketiga muncul dari International League
of Association for Rheumatology (ILAR). Tabel 1.Karakteristik JRA tipe onset penyakit 2

Karakteristik Poliartritis Oligoartritis Sistemik

Presentase kasus 30 % 60% 10%


Sendi terlibat ≥5 ≤4 Bervariasi

Usia onset Seluruh masa Awal masa anak, Seluruh masa anak,
anak, puncak usia puncak usia 1-2 tidak ada puncak
1-3 tahun tahun

Rasio jenis kelamin 1:3 1:5 1:1


( laki-laki: perempuan)

Keterlibatan sistemik Penyakit sistemik Tidak ada penyakit Penyakit sistemik


sedang sistemik, penyebab sering sembuh
utama morbiditas sendiri, sebagian
adalah uveitis mengalami destruksi
artritis kronik

Adanya uveitis kronik 5% 5-15% Jarang

Frekuensi seropositif 10% ( meningkat Jarang Jarang


faktor rheumatoid dengan usia )

Antibodi antinuclear 40-50% 75-85% 10%

Prognosis Sedang Baik, kecuali untuk Buruk


penglihatan

3.5 PATOFISIOLOGI

Jaringan sinovial, atau jaringan pelapis sendi, adalah target untuk peradangan pada JRA
(Gbr. 1). Hasil awal peradangan sinovial termasuk hipertrofi jaringan sinovial dan sekresi
peningkatan jumlah cairan sendi. Sendi yang terkena adalah bengkak, geraknya terbatas,
kaku, menyakitkan, hangat, dan kadang-kadang eritematosa. Dua atau lebih tanda-tanda
obyektif ini diperlukan untuk menjamin penunjukan artritis (Tabel 3). Sendi yang terkena
dampak di JRA umumnya ditandai dengan pembengkakan, kekakuan, dan kehilangan gerak;
rasa sakit luar biasa, eritema cerah, atau panas dramatis adalah sugestif beberapa penyebab
sinovitis lainnya, seperti sebagai artritis septik atau rematik akut demam. Cairan sendi dalam
JRA mengandung peningkatan jumlah sel, sebagian besar polimorfonuklear leukosit; jumlah
sel dapat berkisar antara 10.000 dan 100.000 / mm3, dan kadar glukosa cairan synovial
mungkin menurun.21

Gambar 1. Sinovitis JRA di lutut. Terdapat hipertrofi membrane synovial dengan


adanya villi dan terdapat fromasi pannus20
Tabel 3. Tanda objektif dari Artritis23
Pembengkakan sendi

- Synovial hipertrofi
- Peningkatan cairan synovial
- Pembengkakan jaringan periartikular
Nyeri sendi

- Saat digerakan
- Saat istirehat
- Saat diraba
Hilangnya gerak sendi

- Sendi yang kaku


Kehangatan sendi
Eritema sendi

Agen penghasut atau agen untuk sinovitis pada JRA tidak diketahui. Sinovitis ditandai
dengan kronisnya. Mekanisme imunologis seperti penyakit kompleks imun dapat
mengabadikan sinovitis, tetapi penjelasan lengkap untuk kronisitas peradangan sinovial tetap
ada dapat ditemukan.

Terdapat 4 jenis patogenesis terjadinya JRA, yaitu :7

1. Berhubungan dengan molekul HLA dan non HLA


Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JRA karena fungsi utama dari gen ini
sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JRA berbeda-beda tergantung subtipe
JRA. Secara spesifik oligoartritis dihubungkan dengan genHLA-A2, HLA-DRB1*11, dan
HLA-DRB1*08. Faktor reumatoid positif pada poliartritis berhubungan dengan gen HLA–
DR4 pada anak, dan begitu juga pada dewasa. Selain itu, adanya gen HLA-B27 meningkatkan
risiko entesitis terkait artritis. 7

Protein Tyrosine Phosphatase Nonreceptor 22 (PTPN22) mengkode suatu fosfatase


limfoid spesifik (lyp), suatu varian dalam pengkodean region di gen ini. Gen ini dihubungkan
dengan sejumlah penyakit autoimun yang juga telah teridentifikasi sebagai suatu lokus untuk
JRA. Efek dari PTPN22 ini bervariasi antara masing-masing subtipe JRA tetapi secara umum
lebih terkait daripada gen HLA. Beberapa gen lainnya yaitu faktor makrofag inhibitor, IL-6,
IL-10 dan TNF α juga berhubungan dengan JRA. 7

2. Mediator inflamasi pada kerusakan sendi

Membran sinoval pada pasien JRA mengandung sel T, sel T yang teraktivasi sel plasma,
dan makrofag yang teraktivasi, yang didatangkan melalui suatu proses neovaskularisasi.
Antigen spesifik sel T berperan dalam patogenesis subtipe artritis pada JRA. Sel T
predominan adalah sel Th1. Sel ini akan mengaktivasi sel B, monosit, makrofag dan fibroblas
sinovial untuk memproduksi immunoglobulin (Ig) dan mediator inflamasi. Sel B yang
teraktivasi akan memproduksi immunoglobulin termasuk faktor reumatoid dan antinuclear
antibody (ANA). 7

Patogenesis yang tepat tentang faktor reumatoid belum diketahui sepenuhnya, diduga
melibatkan aktivasi komplemen melalui pembentukan komplek imun. Antinuclear antibody
(ANA) dihubungkan dengan onset dini terjadinya oligoartritis tetapi antibodi ini tidak spesifik
untuk JRA. Makrofag yang teraktivasi, limfosit, dan fibroblas memproduksi vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan osteopontin yang menstimulasi terjadinya
angiogenesis. Pada pasien JRA, VEGF banyak ditemukan di jaringan sinovial. Osteopontin
meningkat di cairan sinovial dan berhubungan dengan neovaskularisasi. 7

Tumor necrosis factor (TNF) dan IL-1 diproduksi oleh monosit teraktivasi, makrofag
dan fibroblas sinovial. Mediator inflamasi ini sepertinya memiliki peran penting dalam
terjadinya JRA. Sitokin ini ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita JRA dan telah
diketahui menstimulasi sel mesenkim seperti fibroblas sinovial, osteoklast dan khondrosit
untuk melepas matrix metaloproteinase (MTP) yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Pada
kelinci percobaan, injeksi IL-1 pada sendi lutut mengakibatkan terjadinya degradasi pada
kartilago. 7

Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin multifungsi yang memiliki aktivitas biologik yang
luas dalam regulasi respon imun, reaksi fase akut, hematopoesis dan metabolisme tulang.
Jumlah IL-6 yang beredar di sirkulasi meningkat pada pasien JRA. Hal ini dihubungkan
dengan hasil laboratorium dan manifestasi klinis dari derajat aktivitas penyakit. Interleukin-6
(IL-6) menstimulasi hepatosit dan menginduksi produksi protein fase akut seperti C-reactive
Protein (CRP). Jadi, peningkatan kadar IL-6 dalam serum berkorelasi dengan peningkatan
CRP dalam fase aktif penyakit. 7

Interleukin-17 (IL-17) diproduksi oleh sel Th17 dan menginduksi reaksi jaringan yang
berlebihan karena memiliki reseptor yang tersebar luas di seluruh tubuh. Bukti terbaru
menunjukkan IL-17 mempunyai peran penting dalam reaksi inflamasi autoimun. Interleukin-
17 (IL-17) akan meningkatkan sitokin proinflamasi di jaringan sendi, menstimulasi produksi
TNF dan IL-1, serta akan saling bersinergi untuk meningkatkan produksi IL-6, IL-8 dan IL-17
sehingga menyebabkan kerusakan sendi akibat proses inflamasi. Interleukin-17 (IL-17)
meningkat pada pasien JRA dengan penyakit yang aktif dibandingkan dengan pasien yang
mengalami remisi. 7

3. Profil inflamasi khas pada penyakit tipe sistemik

Patogenesis dari JRA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JRA dalam berbagai bagian
seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak adanya autoantibodi dan sel T
reaktif. Penderita dengan penyakit tidak menunjukkan tanda-tanda dari limfosit mediated
antigen yang merupakan respon imun spesifik. Tanda-tanda klinis dari JRA tipe sistemik juga
dihubungkan dengan granulositosis, trombositosis, dan peningkatan regulasi reaktan fase akut
yang menandakan aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun didapat. Selama manifestasi awal
dari perjalanan penyakit ini, muncul infiltrasi perivaskular dari netrofil dan monosit yang
memproduksi sitokin proinflamasi yang berperan dalam proses patogenesis penyakit.7

Data terbaru menunjukkan IL-1 memiliki peran utama dalam gejala klinis JRA tipe
sistemik. Pengobatan dengan reseptor antagonis IL-1 telah menunjukkan perbaikan gejala
klinis dan laboratorium pada pasien yang resisten terhadap pengobatan anti-TNF. Monosit
yang teraktivasi pada pasien dengan gejala sistemik memiliki jumlah IL-1 yang lebih tinggi,
dimana sekresi dari TNF dan IL-6 tidak terlalu meningkat. Anggota lain dari IL-1 yaitu IL-18
ditemukan meningkat tajam pada pasien dengan onset usia yang lebih besar dibandingkan
dengan pasien JRA lainnya. Interleukin-18 (IL-18) ditemukan lebih meningkat pada serum
anak dengan tipe sistemik dibandingkan dengan tipe poliartikular dan pausiartikular.
Konsentrasi IL-18 juga meningkat pada pasien serositis dan hepatosplenomegali. 7

Konsentrasi IL-6 ditemukan meningkat pada pasien dengan tipe sistemik dan
berhubungan dengan keterlibatan sendi. IL-6 juga meningkat pada cairan sinovial pasien
dengan tipe sistemik dibandingkan dengan pasien JRA tipe lainnya. Produksi berlebihan IL-6
berhubungan dengan manifestasi ekstra artikular seperti anemia mikrositik dan gangguan
pertumbuhan. Pengobatan dengan monoklonal antibodi yang langsung menyerang reseptor
IL-6 menunjukan perbaikan klinis pada reaktan fase akut pasien dengan tipe sistemik.
Aktivasi dan proliferasi yang tidak terkontrol pada limfosit T dan makrofag yang
menyebabkan terjadinya pelepasan dari sitokin inflamasi seperti TNF α, IL-1, dan IL-6
mengakibatkan munculnya manifestasi klinis dan patologi pada macrofage activation
syndome (MAS). 7

4. Mediator anti inflamasi pada JRA

Dua sitokin anti-inflamasi yang paling dikenal pada JRA adalah IL-10 dan IL-4.
Interleukin-10 (IL-10) menunjukkan degradasi kartilago oleh antigen stimulated mononuclear
cell pada pasien dewasa dengan artritis. Polimorfonuklear (PMN) dengan produksi IL-10
yang rendah berhubungan dengan artritis tipe berat. IL-4 menghambat aktivasi sel Th1 dan
penurunan produksi dari TNF α, IL 1 dan menghambat kehancuran kartilago. Interleukin-4
(IL-4) dan IL-10 menghambat produksi dari sitokin inflamasi seperti IL-6 dan IL-8.
Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 yang tinggi pada sendi bermanifestasi sebagai pausiartikular
yang ringan dan non-erosif. Foxp3, CD4, CD25, dan sel T regulasi penting untuk
pengontrolan inflamasi. Defek pada X-linked pada foxp3 merupakan penyebab dari kondisi
multipel autoimun disebut juga imunodisregulasi, poliendokrinopati, dan enteropati (IPEX
syndrome). Kerusakan pada sel T regulasi juga merupakan penyebab adanya kegagalan
toleransi pada penyakit autoimun, meskipun belum ada bukti yang menunjukkan adanya
defek pada sel T regulasi pada JRA. Penurunan jumlah sel T regulasi menyebabkan
oligoartritis yang lebih berat. Pada pasien dengan JRA ditemukan peningkatan jumlah T
regulasi yang lebih tinggi di sendi dibandingkan darah tepi, yang mengindikasikan terjadinya
suatu proses inflamasi.7

3.6 MANIFESTASI KLINIS24


Gejala klinis utama yang terlibat secara obyektif adalah artritis, dimana sendi yang
terkena teraba hangat dan biasanya tidak terlihat eritema. Secara klinis arthritis ditentukan
dengan menemukan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi atau dengan
menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi sendi, yaitu gerakan sendi yang terbatas, nyeri
atau sakit pada pergerakan dan panas. Pembengkakan disebabkan oleh edema jaringan lunak
periarticular, efusi intraarticular, atau dari hipertrofi membrane sinovial. Rasa nyeri atau sakit
sendi pada pergerakan biasanya tidak begitu menonjol, namun gerakan aktif atau pasif
tertentu, terutama gerakan yang ekstrim, dapat memicu nyeri. Pada anak kecil yang lebih jelas
adalah kekakuan sendi pada pergerakan terutama pada pagi hari. Gejala konstitusional yang
dapat muncul antara lain anoreksia, penurunan berat badan, gejala gastrointestinal dan gagal
tumbuh. Kelelahan (fatigue) dapat muncul pada tipe poliartritis dan sistemik, ditandai dengan
peningkatan kebutuhan tidur, merasa lemas dan iritabilitas. Tipe onset poliartritis terdapat
pada penderita yang menunjukkan gejala artritis pada lebih dari 4 sendi, sedangkan tipe onset
oligoartritis bila mengenai 4 sendi atau kurang.

Pada tipe oligoartritis sendi besar lebih sering terkena dan biasanya di daerah tungkai.
Keterlibatan sendi kecil di tangan menunjukkan perkembangan ke arah poliartritis. Selain itu
dapat ditemukan atrofi otot ekstensor (seperti vastus lateralis dan quadriceps) dan kontraktur
otot fleksor. Pada tipe poliartritis lebih sering terdapat pada sendi-sendi jari dan biasanya
simetris, tetapi di samping itu dapat ditemukan pula pada sendi lutut, pergelangan kaki dan
siku. Tipe onset sistemik ditandai oleh demam intermiten dengan puncak tunggal atau ganda
lebih dari 39 derajat celcius selama dua minggu atau lebih, artritis dan biasanya disertai
kelainan sistemik lain berupa ruam rheumatoid linier di tubuh atau ekstremitas, serta kelainan
visceral (hepatosplenomegaly, serositis, limfadenopati). Ruam juga memberat dengan adanya
demam. Gejala klinis yang lain dapat berupa tenosynovitis, yang biasa terjadi pada
pembungkus tendon ekstensor dari dorsum manus, pembungkus tendon ekstensor dari dorsum
pedis, tendon tibia posterior, tendon peroneus longus dan brevis di sekitar pergelangan kaki.
Gambar 2.Artritis unilateral lutut kiri pada JRA pausiartikular.10

3.7 DIAGNOSIS19

Diagnosis JRA bertumpu pada beberapa basis yaitu timbulnya penyakit selama masa
kanak-kanak, adanya sinovitis kronis, dan pengecualian sejumlah penyakit lain seperti yang
tertulis dalam Tabel 5. Kehadiran sinovitis objektif diperlukan untuk diagnosis (Tabel 3).
Tanda-tanda sinovitis objektif termasuk pembengkakan sendi, nyeri, kehilangan gerak,
kehangatan, atau eritema; pembengkakan sendi yang paling spesifik. Nyeri sendi saja tanpa
temuan objektif lainnya dengan tepat disebut artralgia daripada artritis dan tidak cukup untuk
diagnosis JRA. Menurut kriteria resmi, radang sendi harus ada selama 6 minggu berturut-turut
sebelum diagnosis JRA dapat dibuat. Penting untuk menghindari kesalahan pemberian label
pada kondisi sementara seperti sinovitis virus sebagai penyakit kronis seperti JRA.

Tabel 5. Kriteria untuk mendiagnosis dan klasifikasi JRA menurut American College of
Rheumatology20
Pensyaratan diagnostic untuk JRA

 Radang sendi yang didokumentasikan dari satu atau lebih sendi selama 6
minggu atau lebih
 Pengecualian kondisi lain yang terkait dengan artritis anak-anak
- Penyakit rematik lainnya
- Penyakit menular
- Keganasan masa kecil
- Kondisi tulang dan sendi yang tidak rematik
- Kondisi lain-lain

Subtipe onset JRA yang dikenali


- Onset sistemik JRA
- Onset pauciartikular JRA
- Onset polyarticular JRA
Faktor-faktor lain untuk kemungkinan klasifikasi di masa depan

- Faktor reumatoid
- Antobi antinuklear
- Antigen histokompatibility
- Jenis kelamin
- Onset umur
- Iridocyclitis
- Scaroilitis
- Jumlah sendi yang terkena
- Distribusi sndi yang terkena
- Riwayat keluarga yang terkena arthritis dan ada gelaja reumatik
- Respons terhadap terapi obat
- Abnormal immunulogik

Studi Laboratorium19
Tidak ada tes laboratorium khusus atau diagnostik untuk JRA. Reaktan fase akut seperti
tingkat sedimentasi eritrosit dan protein C-reaktif umumnya meningkat dan hadir selama
periode peradangan, tetapi tidak ada dari tes ini yang diagnostik, dan sejumlah anak-anak
memiliki tingkat sedimentasi normal bahkan selama periode penyakit aktif.
Sejumlah tes serologis menarik, tetapi tidak ada yang mendiagnosis JRA. RF dan ANA
umumnya disebut sebagai "antibodi otomatis" karena mereka dapat terbukti bereaksi, tetapi
tidak ada bukti bahwa antibodi tersebut secara langsung menghancurkan jaringan di JRA atau
penyakit rematik lainnya. Mereka mungkin terlibat dalam pembentukan kompleks imun. RF
adalah antibodi yang bereaksi dengan imunoglobulin jaringan inang dan asing dari kelas IgG.
Antigen atau rangsangan yang tepat yang bertanggung jawab untuk produksi RF tetap tidak
diketahui. Ketika diukur dengan tes aglutinasi yang umum digunakan seperti tes aglutinasi
lateks, RF dari kelas imunoglobulin IgM terdeteksi. Antibodi IgM terhadap IgG adalah RF
"klasik" yang dikaitkan dengan radang sendi rematik dewasa. Mereka hanya ditemukan pada
subkelompok kecil anak-anak yang memiliki polyarthritis positif RF, penyakit yang mungkin
setara dengan masa kanak-kanak dari rheumatoid arthritis dewasa klasik. RF tidak
menyebabkan reumatoid arthritis, tetapi mereka dapat membantu melanggengkan kerusakan
jaringan dengan pembentukan kompleks imun. Penjelasan untuk tidak adanya RF klasik pada
sebagian besar anak-anak yang memiliki sinovitis kronis masih dapat ditemukan; bayi dan
anak kecil mampu membuat antibodi IgM terhadap IgG selama jenis peradangan kronis
lainnya seperti endokarditis bakterial subakut atau infeksi Toxocara canis di mana RF juga
dapat ditemukan. Antibodi IgG atau IgA terhadap IgG, kadang-kadang disebut RF
"tersembunyi", telah ditemukan pada beberapa anak yang seronegatif untuk RF menurut hasil
teknik aglutinasi, meskipun signifikansi antibodi ini tidak pasti, dan mereka tidak diagnostik.
ANA adalah keluarga antibodi yang bereaksi dengan berbagai unsur nuklir dari sel
manusia atau mamalia lainnya. ANA dikaitkan dengan lupus erythematosus sistemik, tetapi
mereka juga terjadi pada sejumlah anak-anak yang memiliki JRA, paling sering mereka yang
memiliki penyakit pauciarticular onset muda tetapi juga pada beberapa yang memiliki
poliartritis seronegatif dan penyakit seropositif.
Karena kadar komplemen serum dan komponennya normal atau meningkat pada JRA,
penelitian ini memiliki peran kecil dalam evaluasi atau tindak lanjut pasien yang memiliki
JRA. Defisiensi komponen komplemen berhubungan dengan peningkatan prevalensi
gangguan rematik, tetapi defisiensi tersebut sangat jarang. Kadar imunoglobulin serum
normal atau meningkat pada anak-anak yang menderita JRA, beberapa orang yang memiliki
kekurangan hipogammaglobulinemia atau IgA ditemukan memiliki artritis kronis yang
menyerupai JRA. Kadar albumin serum mungkin rendah pada pasien yang memiliki penyakit
kronis.
Antigen histokompatibilitas HLA B27 sangat terkait dengan ankylosing spondilitis dan
dapat sering ditemukan pada kelompok anak-anak yang memiliki pauciartritis anak usia dini
yang terkait dengan spondyloarthropathies. Asosiasi HLA juga dikenal untuk dua
subkelompok JRA lainnya, meskipun penelitian terbaru menunjukkan peningkatan
kompleksitas. Poliartritis seropositif dikaitkan dengan HLA DR4, seperti artritis reumatoid
dewasa klasik.
Pauciarthritis anak usia dini (terkait dengan ANA dan iridosiklitis kronis) memiliki
serangkaian asosiasi yang kompleks, dinyatakan paling sederhana sebagai dengan HLA DR8,
HLA DR5, dan HLA DR6; lokus lain seperti DP dan DQ juga telah menunjukkan asosiasi.
Studi HLA sangat menarik dalam mempelajari sifat dan klasifikasi JRA, tetapi tidak boleh
dianggap sebagai tes diagnostik. Kegunaan jenis RF, ANA, dan histokompatibilitas terbatas;
mereka sangat membantu terutama dalam mengklasifikasikan kelompok pasien. Tidak satu
pun dari tes-tes ini yang spesifik untuk atau diagnostik segala bentuk radang sendi anak-anak.
RF dan ANA mungkin bersifat sementara positif setelah kejadian intercurrent seperti infeksi,
imunisasi, atau pemberian obat. Tes-tes positif untuk ANA mungkin membantu dalam
menyarankan diagnosis pada anak-anak yang memiliki pauciarthritis sangat dini dalam
penyakit dan dalam mengidentifikasi anak-anak yang berisiko terkena penyakit mata.
Cairan sendi dalam JRA mengandung peningkatan jumlah sel, khususnya leukosit
polimorfonuklear yang mungkin setinggi 100.000 / cm3, dan kadar glukosa dalam cairan
sendi dapat diturunkan. Tidak ada nilai yang jelas dalam mencari RF dalam cairan sendi.
Namun, sangat penting untuk mencari bukti infeksi bakteri melalui apusan yang tepat, kultur,
dan tes untuk antigen bakteri. Analisis cairan sinovial bukan diagnostik JRA, tetapi sangat
penting dalam menyingkirkan artritis septik. Diagnosis gout dan pseudogout, keduanya
kondisi yang sangat jarang terjadi pada masa kanak-kanak, bertumpu pada demonstrasi kristal
urat dan kalsium pirofosfat, masing-masing, dalam cairan sinovial.
Radiografi standar bukan diagnostik JRA awal, tetapi dapat menunjukkan perubahan
diagnostik pada penyakit jika kerusakan sendi telah terjadi. Perubahan yang terlambat tersebut
termasuk penyempitan ruang sendi (kehilangan tulang rawan artikular), erosi tulang
subkondral atau juxta-artikular, dan berbagai tingkat kerusakan sendi.
Perubahan nonspesifik awal termasuk osteoporosis dan kadang-kadang perubahan
periostitis di sekitar sendi yang terkena; pembengkakan jaringan lunak juga dapat terlihat jelas
pada radiografi. Perubahan radiografi mungkin merupakan diagnostik sakroiliitis. Tujuan
utama radiografi pada penyakit awal adalah untuk mengecualikan kondisi lain yang mungkin
terkait dengan perubahan tulang. Radiografi dada dapat membantu dalam mendeteksi
perikarditis atau radang selaput dada.
Teknik pencitraan lain, seperti ultrasonografi, computed tomography, dan magnetic
resonance imaging, mungkin membantu. Ultrasonografi dapat membantu menggambarkan
struktur sendi dan jaringan lunak, dan pencitraan resonansi magnetik dapat bermanfaat dalam
menunjukkan lesi otot. Ekokardiografi dapat menjadi diagnostik perikarditis.
Jaringan sinovial, atau jaringan pelapis sendi, adalah target untuk peradangan pada JRA
(Gbr. 1). Hasil awal peradangan sinovial termasuk hipertrofi jaringan sinovial dan sekresi
peningkatan jumlah cairan sendi. Sendi yang terkena adalah bengkak, geraknya terbatas,
kaku, menyakitkan, hangat, dan kadang-kadang eritematosa. Dua atau lebih tanda-tanda
obyektif ini diperlukan untuk menjamin penunjukan artritis (Tabel 3). Sendi yang terkena
dampak di JRA umumnya ditandai dengan pembengkakan, kekakuan, dan kehilangan gerak;
rasa sakit luar biasa, eritema cerah, atau panas dramatis adalah sugestif beberapa penyebab
sinovitis lainnya, seperti sebagai artritis septik atau rematik akut demam. Cairan sendi dalam
JRA mengandung peningkatan jumlah sel, sebagian besar polimorfonuklear leukosit; jumlah
sel dapat berkisar antara 10.000 dan 100.000 / mm3, dan kadar glukosa cairan synovial
mungkin menurun.
Agen penghasut atau agen untuk sinovitis pada JRA tidak diketahui. Sinovitis ditandai
dengan kronisnya. Mekanisme imunologis seperti penyakit kompleks imun dapat
mengabadikan sinovitis, tetapi penjelasan lengkap untuk kronisitas peradangan sinovial tetap
ada dapat ditemukan.

3.8 DIAGNOSIS BANDING

Beberapa hal harus dipertimbangkan dan disingkirkan sebelum menegakkan diagnosis


JRA dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, yakni:

3.8.1 Artritis pada Penyakit Infeksi

Beberapa proses infeksi seperti artritis septik, artritis reaktif dan osteomielitis dapat
menunjukkan manifestasi artritis. Pada artritis septik, jaringan sinovial terinfeksi secara
langsung oleh bakteri, virus ataupun agen infeksi lain. Diagnosis didapatkan dari anamnesis
yang cermat, pemeriksaan kultur dari cairan sinovial, kultur darah dan pemeriksaan serologis.
Pasien yang menderita artritis septik dapat melibatkan lebih dari satu sendi namun tidak harus
menunjukkan adanya tanda sepsis ataupun tanda penyakit sistemik. Beberapa anak yang
menderita onset akut harus dicurigai menderita artritis septik.11

Infeksi oleh Borrelia burgdorferi pada penyakit Lyme dapat menyebabkan artritis yakni
pausiartikular baik pada anak maupun pada dewasa. Artritis Lyme biasanya selalu respon
terhadap terapi antibiotik. Beberapa agen non-bakterial seperti rubella, mumps, varisella,
adenovirus, hepatitis B, and Mycoplasma dapat diduga sebagai penyebab artritis. Artritis
seperti ini biasanya terjadi pada akhir dari perjalanan infeksi, meskipun kadang-kadang
mendahului manifestasi klinis. Parvovirus telah diketahui dapat menyebabkan artritis transien
pada anak dengan atau tanpa manifestasi klinis yang menyertainya.11

Artritis reaktif adalah artritis steril yang menyertai infeksi gastrointestinal dengan
patogen seperti Shigella, Salmonella, Yersinia, atau Campylobacter sp pada pejamu yang
dicurigai. Beberapa anak dengan artritis akut dengan manifestasi gastroenteritis harus
dievaluasi lebih lanjut. Anak umumnya memiliki histokompatibilitas antigen HLA B27.11

Manifestasi anak dengan osteomielitis kadang mirip dengan penyakit reumatik. Sendi
yang berdekatan dengan area metafisis yang terinfeksi dari tulang panjang dapat
membengkak, namun dengan cairan sendi yang jernih. Pada osteomielitis nyeri dan
pembengkakan pada daerah metafisis lebih menyolok daripada nyeri sendi. Perubahan
gambaran radiografi pada osteomielitis terjadi setelah sakit minimal hari ke-7. Ultrasonografi
atau scanning tulang dapat menjadi alat untuk diagnosis pada saat awal penyakit.11

3.8.2 Artritis pada Keganasan

Beberapa keganasan anak seperti pada leukemia, neuroblastoma, limfoma, penyakit


hodgkin dan rabdomiosarkoma, seperti halnya pada tumor tulang primer seperti osteogenik
sarkoma dan ewing sarkoma, dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal yang sangat mirip
dengan penyakit reumatik. Artritis pada leukemia dan keganasan lainnya secara umum lebih
disebabkan oleh infiltrasi sel ganas pada struktur di sekitar sendi, dibandingkan dengan
keterlibatan langsung dari sinovial. Anak biasanya terlihat lebih menderita dibandingkan pada
JRA, dan nyeri sendi yang terjadi biasanya lebih parah, sehingga anak tidak mau
mengerakkan lengan dan tungkainya.11

Diagnosis terhadap kemungkinan keganasan, dengan didapatkannya gambaran


hematologi abnormal (leukopenia, anemia berat, trombositopenia), abnormalitas jaringan
lunak atau jaringan tulang serta pemeriksaan yang tepat seperti pemeriksaan sumsum tulang
atau biopsi. Pemeriksaan radiologi sendi yang terlibat dapat menggambarkan infiltrasi
langsung ke tulang atau temuan nonspesifik seperti penipisan metafisis atau periostitis.
Namun, pemeriksaan radiologi dapat juga menunjukkan tampilan normal yang kadang tidak
membantu dalam menegakkan diagnosis.11

3.8.3 Artritis pada Kondisi non-inflamasi

Beberapa kondisi non-inflamasi dapat menyebabkan nyeri sendi yang kadang diduga
sebagai JRA. Diantaranya yaitu nyeri tungkai idiopatik pada anak dan sindrom nyeri lainnya
seperti pada fibromialgia serta trauma muskuloskeletal. Nyeri pada tumit setelah aktivitas
berat merupakan penyebab tersering dari nyeri tumit pada anak yang lebih besar dan remaja.
Kondisi ini dapat menunjukkan efusi pada lutut yang kadang-kadang mirip dengan artritis.
Beberapa sindrom genetik dan kongenital yang mempengaruhi sistem muskuloskeletal mirip
dengan artritis, seperti pada dislokasi panggul kongenital, dan displasia epifisis serta
metafisis. Diagnosis dari berbagai kondisi non-inflamasi tersebut dapat dibedakan dari artritis
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, riwayat keluarga lengkap dan
pemeriksaan radiologi sendi dan tulang.11

3.8.4 Artritis pada penyakit reumatik lain


Penyakit reumatik anak lainnya dapat mirip dengan artritis. Diagnosis pada kondisi ini
biasanya didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Semuanya biasanya menunjukkan
gejala dan tanda yang berbeda.11

Demam rematik adalah penyakit post infeksi streptokokus yang dikaitkan dengan artritis
berpindah. Karditis adalah temuan utamanya. Temuan lain termasuk rash, nodul subkutan dan
korea. Demam rematik jarang menyebabkan artritis kronik, jadi untuk membedakanya dengan
JRA tidaklah sulit.11

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem yang dimulai


dengan artritis. Artritis pada penyakit ini jarang menjadi kronik seperti halnya JRA dan
manifestasi klinisnya sangat berbeda. Anti Nuclear Antibody (ANA) dapat ada pada hampir
semua kasus lupus, umumnya dengan titer yang tinggi. Nefritis adalah temuan yang sering
pada lupus anak, dimana kadar komplemen hemolitik serum menurun dan terjadi peningkatan
dari kadar autoantibodi DNA, temuan yang biasanya tidak ditemukan pada JRA.
Dermatomiositis biasanya dihubungkan dengan artritis namun dengan manifestasi miositis
dan rash.11

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, pemeriksaan penunjang yang tepat serta
pemeriksaan laboratorium yang sesuai dapat secara efektif membantu menyingkirkan
diagnosis banding dari JRA. Penting untuk menyingkirkan penyakit yang dapat diterapi
secara pasti, seperti penyakit infeksi dan keganasan, beberapa kondisi non-inflamasi dari
tulang dan sendi, serta penyakit reumatoid yang fatal seperti lupus dermatomiositis maupun
demam reumatik sebelum menetapkan diagnosis dari JRA.11

3.9 PENATALAKSANAAN

Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah
mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of motion),
mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal.
Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan
mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja
sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.2

Tujuan penatalaksanaan JRA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal yang
harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi
kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi
yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga
tak kalah penting. Pada pasien JRA pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi
zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat.4

3.9.1 Obat Anti Inflamasi Non-steroid (OAINS)

Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat kompleks, karena
pada umumnya anak-anak belum dapat mengungkapkan nyeri. Obat anti inflamasi non-steroid
(OAINS) merupakan anti nyeri pada umumnya yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-
anak. Selain untuk mengurangi nyeri, OAINS juga dapat digunakan mengontrol kaku sendi.
Efek analgesiknya juga sangat cepat.2

Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar anak dalam
terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgetik, dan anti inflamasi
serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Selain itu obat ini juga menghambat
sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis
mempunyai respon baik terhadap pengobatan OAINS tanpa memerlukan tambahan obat lini
kedua.2

Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan OAINS Karena adanya
peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan transaminasemia.
Dengana danya OAINS yang menghambat siklus siklooksigenase (COX), khususnya COX-2
maka penggunaan OAINS lebih dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi
trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan.
Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan
terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90
mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan untuk
mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg,
sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis yang lebih rendah. Aspirin diberikan
terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang. 2

Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak:

a. Tolmetin
Tolmetin diberikan bersama makanan, dalam dosis 25-30 mg/kgBB/hari, dibagi dalam
3 dosis.2,4

b. Naproksen

Naproksen efektif dalam tatalaksana inflamasi sendi dengan dosis 15-20


mg/kgBB/hari yang diberikan dua kali per hari bersama makanan. Dapat timbul efek
samping berupa ketidaknya mananepigastrik dan pseudoporfiriakutaneus yang
ditandai dengan erupsi bulosa pada wajah, tangan, dan meninggalkan jaringan parut. 2,4

c. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan anti inflamasi derajat sedang dan mempunyai toleransi yang
baik pada dosis 35 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3-4 dosis dan diberikan bersama
makanan. 2,4

d. Diklofenak

Diklofenak dapat diberikan pada anak yang tidak dapat OAINS lain karena adanya
efek samping pada lambung. Dosis yang diberikan adalah 2-3 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. 2,4

3.9.2 Analgetik

Walaupun bukan obat anti inflamasi, asetaminofen dalam 2-3 kali pemberian dapat
bermanfaat untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada penyakit sistemik. Obat ini
tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.2

3.9.3 Imunosupresan

Imunosupresan hanya diberikan dalam protocol eksperimental untuk keadaan berat yang
mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi sudah mulai memakainya
dalam protocol baku. Obat yang biasa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid,
klorambusil, dan metotreksat. 2

Metotreksat mempunyai onset kerja cepat, efektif, toksisitas yang masih dapat diterima,
sehingga merupakan obat lini kedua dalam JRA. Keunggulan penggunaan obat ini adalah
efektif dan dosis relative rendah, pemberian oral dan dosis 1 kali per minggu. Indikasinya
adalah untuk poliartritis berat, oligoartritis yang agresif atau gejala sistemik yang tidak
membaik dengan OAINS, hidroksiklorokuin, atau garam emas. Dosis inisial 5 mg/m 2 luas
permukaan tubuh/minggu dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2 luas permukaan tubuh/minggu
bila respon tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian (dosis maksimal 30 mg/ m2). Lama
pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Asam folat 1 mg/hari sering diberikan
bersama metotreksat untuk mengurangi toksisitas mukosa gastrointestinal. Anak-anak dengan
poliartritis berat yang tidak berespon dengan metotreksat oral dapat digantikan dengan
intramuscular atau subkutan. 2

3.9.4 Obat Antireumatik Kerja Lambat

Golongan ini terdiri dari obat anti malaria (hidroksiklorokuin), preparat emas oral dan
suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya diberikan untuk poliartritis
progresif yang tidak menunjukan perbaikan dengan OAINS. Hidroksiklorokuin dapat
bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS untuk anak besar dengan dosis awal 6-7
mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Pemberian
hidroksiklorokuin harus didahului dengan pemeriksaan mata,khususnya keadaan retina,
lapangan pandang, dan warna. Oleh karena itu, penggunaan obat ini jarang diberikan pada
anak di bawah usia 4-7 tahun karena adanya kesulitan tindak lanjut pada pemeriksaan mata.
Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus
dihentikan.2

Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap sulfa atau
salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 500 mg/hari diberikan
bersama makanan (untuk anak yang lebih kecil 12,5 mg/kgBB). Dosis dinaikkan sampai 50
mg/kgB/hari (maksimal 2 gram). Monitor dilakukan melalui pemeriksaan hematologi dan
fungsi hati. Sulfasalazin dapat diberikan sebagai langkah sementara sebelum menambah obat
kedua selain OAINS, seperti metotreksat. Sulfasalazin kadang-kadang diberikan sebagai anti
inflamasi lini kedua pada anak dengan tipe poliartritis atau oligoartritis persisten.2

3.9.5 Kortikosteroid

Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk suntikan
intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk menekan inflamasi
sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan poliartritis berat yang tidak
berespon dengan terapi lain. Dosis rendah prednison (0,1-0,2 mg/kgBB) dapat digunakan
sebagai agen “jembatan” dalam terapi inisial anak yang sakit sedang atau berat yang
sebelumnya menggunakan obat anti inflamasi kerja lambat. Untuk gejala penyakit sistemik
berat yang tak terkontrol diberikan prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimal
40 mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila terjadi perbaikan klinis maka
dosis diturunkan perlahan dan prednison dihentikan. Efek samping yang dapat terjadi pada
pemakaian jangka panjang antara lain sindrom cushing, penekanan pertumbuhan, fraktur,
katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi glukokortikoid. 2

Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak berespon


dengan OAINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang sudah mengalami
inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga dapat diberikan pada poliartritis
dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon dengan OAINS. Namun, pemberian injeksi
intra-artikular ini harus dibatasi, misalnya 3 kali pada 1 sendi selama 1 tahun. Triamsinolon
heksasetonid merupakan obat pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar. 2

3.9.6 Fisioterapi dan Latihan Fisik

Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk mengontrol
nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, dan hidroterapi. Hidroterapi
pemanasan dengan air pada suhu 96 oF sangat membantu mengurangi nyeri. Selain itu,
fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna
memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan
dengan pengawasan. Latihan aktif dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah
massa otot. Fisioterapi juga berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta
mempertahankan pertumbuhan normal.2,4

Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisir nyeri, menjaga dan mengembalikan fungsi
dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak dengan artritis aktif dianjurkan untuk
beristirahat dan meningkatkan waktu tidur saat malam hari. Pasien dengan JRA harus sedapat
mungkin aktif, namun kegiatan yang menyebabkan kelelahan berlebih dan nyeri pada sendi
perlu dihindari. 2,4

3.9.7 Psikoterapi

Dukungan psikologis bagi anak dan keluarganya sangat penting untuk memperbaiki
prognosis jangka panjang. Anak dengan JRA berat sering mengalami retardasi pertumbuhan
dan sering terlalu dilindungi oleh keluarga, guru dan teman sekelasnya. Anak tersebut sering
memanfaatkan hal ini untuk tidak pergi ke sekolah, tidak melakukan pekerjaan di rumah atau
pun tidak melakukan tugas yang tidak menyenangkan. Terapis harus dapat meyakinkan semua
orang yang berinteraksi dengan anak pengidap JRA untuk menghadapi anak tersebut secara
normal sesuai anak seusianya dan menekankan indepedensi serta pendewasaan sebanyak
mungkin. Bila hal itu tidak dilakukan, anak mungkin akan makin mengalami regresi atau
imatur seiring dengan waktu.6

Selain itu, memiliki anak berpenyakit kronik akan menimbulkan stress besar pada
interaksi anak tersebut dengan saudara-saudaranya. Perlunya terapi fisik akan menjadi beban
bagi oang tua, sehingga membutuhkan banyak dukungan dan dorongan. Beban biaya untuk
semua penyakit kronik mungkin sangat besar. Terapis harus bekerjasama dengan guru dan
departemen pendidikan, untuk memastikan bahwa anak diijinkan dan didorong untuk menjadi
senormal mungkin selagi di sekolah.6

3.9.8 Nutrisi

Nutrisi dan vitamin suplemen (vitamin B dan asam folat) menjadi aspek penting dalam
penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi pertumbuhan dan kerusakan
mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian kortikosteroid.2

Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan pusat


pertumbuhan tulang maupun umum karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya
produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai risiko
untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun.
Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping
obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan. Obat-obatan yang dapat
menurunkan nafsu makan antara lain OAINS dan klorokuin.4

Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, hal ini disebabkan karena kurangnya
aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek samping kortikosteroid.
Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena
pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1-10
tahun adalah vitamin D 400 IU dan kalsium 400 mg, sedangkan kalsium 800 mg digunakan
pada anak lebih dari 10 tahun.4

3.10 PROGNOSIS11

Secara historis, JRA diyakini memiliki prognosis yang buruk, dengan setidaknya 50%
pasien cacat berat dan sejumlah meninggal. Itu peningkatan minat pada penyakit ini di 30
tahun terakhir telah mengungkapkan hal itu prognosis suram ini tidak berlaku untuk
kebanyakan pasien. Ada beberapa perbedaan dalam hasil menurut subkelompok penyakit,
tetapi secara keseluruhan, 75% hingga 80% anak-anak dapat diharapkan untuk bertahan hidup
JRA tanpa serius cacat. JRA jarang berakibat fatal, meskipun di beberapa bagian amiloidosis
dunia sekunder adalah a penyebab kematian. Komplikasi ini tampaknya sangat jarang di
Amerika Serikat dengan alasan sebagai namun tidak dimengerti. Onset sistemik JRA,
meskipun penyakit serius, adalah jarang berakibat fatal, terutama sejak munculnya terapi obat
modern. Anak-anak yang paling berisiko mengalami persendian kehancuran tampaknya
adalah mereka yang memiliki penyakit onset sistemik dan mereka yang memiliki polyarthritis
RF-positif. Iridocyclitis mungkin a penyebab cacat tetap jika kerusakan mata yang serius
diizinkan terjadi.

Persentase anak-anak yang belum penyakit pauciarticular onset yang lebih tua akan
memiliki cacat spondyloarthropathy di masa dewasa, tetapi prognosis fungsional bahkan
untuk spondilitis ankilosa fullblown umumnya baik.Anak-anak yang memiliki JRA
membutuhkan hati-hati menindaklanjuti periode penyakit aktif dan seharusnya dibuat sadar
bahwa mungkin ada kekambuhan penyakit yang tidak terduga bahkan setelahnya tahun
remisi. Meskipun disana tidak ada obat kuratif, kombinasi diagnosis dini, tersedia terapi obat,
fisik yang kuat dan terapi okupasi, penghindaran ketidakabsahan, dan tindak lanjut yang
cermat tampaknya memberikan pandangan yang cerah untuk sebagian besar anak-anak yang
terkena.

3.11 KOMPLIKASI25

Komplikasi JRA terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat


penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada mandibula, metacarpal dan metatarsal,
kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi seperti angkilosis, luksasi atau fraktur.
Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula
akibat efek pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus atau
gastritis, hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium rutin.
Kadang dapat juga terjadi vasculitis atau ensefalitis pada JRA. Amiloidosis sekunder jarang
terjadi, tetapi dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal. Selain
komplikasi di atas, artritistipe onset sistemik mempunyai komplikasi berupa anemia hemolitik
dan pericarditis. Oligoartritis mempunyai komplikasi uveitis yang sering asimtomatik.

Anda mungkin juga menyukai