Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/295101283

BANGUNAN TRADISIONAL KAMPUNG NAGA: BENTUK KEARIFAN WARISAN


LELUHUR MASYARAKAT SUNDA

Article · December 2014


DOI: 10.15408/sd.v1i2.1256

CITATIONS READS

3 907

1 author:

Iwan Hermawan
Balai Arkeologi Jawa Barat
15 PUBLICATIONS   11 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Tinggalan Perkeretaapian di Jalur Rangkasbitung - Labuan View project

Tambang Emas Cikotok View project

All content following this page was uploaded by Iwan Hermawan on 03 March 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BANGUNAN TRADISIONAL KAMPUNG NAGA: BENTUK KEARIFAN
WARISAN LELUHUR MASYARAKAT SUNDA

Iwan Hermawan
Balai Arkeologi Bandung
Email: iwan1772@yahoo.com

Abstract
A space is where humans live their lives on earth. Its presence is essential for human life, as sustained or
damage to the environment will affect humans who live in it. To this day Kampung Naga village continue to keep
their living space preserved as practiced to their houses and other buildings. This paper aims to reveal the Sunda
local wisdom contained in building houses in Kampung Naga village. Data collected through surveys, personal
involvement, interviews, and literature. The data were analyzed qualitatively. Kampung Naga houses and other
buildings are construedted according to the teachings of the ancestors. Shape and architecture of the building
adapts to local conditions. For them life is not in nature but living with nature. These values are noble values that
need to be maintained and actualized in everyday life of modern humans in protecting the environment.
Keywords: house building, tradition, ancestor

Abstrak
Ruang merupakan tempat manusia menjalani kehidupannya di muka bumi. Keberadaannya
sangat penting bagi kehidupan manusia, karena kerusakan maupun terjaganya kelestarian
lingkungan akan berpengaruh kepada manusia yang menempatinya. Adalah masyarakat Kampung
Naga yang hingga saat ini terus menjaga agar ruang hidup mereka tidak rusak, salah satunya
diaktualisasikan pada bangunan rumah dan bangunan lainnya di Kampung Naga. Tulisan ini
bertujuan untuk mengungkap kearifan lokal Sunda yang terkandung pada bangunan rumah pada
masyarakat Kampung Naga. Pengumpulan data dilakukan melalui survei, keterlibatan langsung,
wawancara, dan studi pustaka. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Masyarakat Kampung
Naga mendirikan bangunan rumah dan bangunan lainnya dilakukan sesuai ajaran para leluhur.
Bentuk dan arsitektur bangunan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat. Bagi
mereka hidup bukan di alam tetapi hidup bersama alam. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-
nilai luhur yang perlu dipertahankan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari manusia
modern dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Kata kunci: bangunan rumah, tradisi, leluhur

A. Pendahuluan karena antara manusia dengan alam memiliki


Rumah merupakan tempat bernaung, sifat saling ketergantungan. Menjaga alam dari
tempat kembali semua insan sehingga rumah kerusakan dilakukan oleh masyarakat melalui
merupakan kebutuhan pokok bagi setiap umat berbagai pamali atau pantang larang.
manusia, termasuk masyarakat tradisional Pengelolaan alam yang seimbang dan
Sunda. Hidup dengan tidak merusak dan berkelanjutan sebenarnya telah dilakukan
selaras dengan alam merupakan hal yang selalu oleh para leluhur kita. Pada kehidupan sehari-
dilakukan dalam menjalani kehidupan sehari- hari mereka selalu berpegang pada ungkapan
hari. Mereka memuliakan dan menghargai “Hidup bersama alam” bukan “Hidup di
alam dengan tetap memanfaatkan alam. Bagi alam”. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
mereka, alam bukan sekedar obyek untuk alam mempunyai posisi yang sejajar dengan
dieksploitasi, namun mempunyai arti sebagai manusia, sehingga keberadaannya harus dijaga
mitra kehidupan umat manusia yang sejajar, agar tidak sampai rusak, karena jika alam rusak
142 Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014

maka manusia sendiri yang akan merugi akibat berharta tidak memiliki apa-apa, tidak kebal
alam yang marah. Upaya memanfaatkan alam tidak kuat, tidak gagah tidak pandai). Artinya,
untuk kepentingan hidup sehari-hari dilakukan pada dasarnya manusia itu tidak mempunyai
dengan tidak merusak dan hanya diperuntukkan kelebihan apapun sehingga tidak perlu ada yang
bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini disombongkan, sehingga kesederhanaan dalam
dilakukan agar keseimbangan alam tetap terjaga. hidup menjadi sesuatu yang penting.
Kondisi alam Tatar Sunda yang bergunung- Bentuk lainnya yang diperlihatkan
gunung dan berbukit-bukit dengan dataran masyarakat tradisional Sunda dalam
pantai yang sempit di bagian selatan telah menyelaraskan diri dengan lingkungan sekitar
mendidik warganya untuk memanfaatkan alam terlihat pada bentuk rumah. Arsitektur rumah
dengan seksama, yaitu memanfaatkan dengan tradisional masyarakat Sunda merupakan
tidak merusak. Hal ini tercermin dalam pikukuh arsitektur bangunan yang menyesuaikan diri
(petunjuk/nasihat leluhur) masyarakat Baduy, dengan lingkungan sekitarnya. Penyesuaian
salah satu kelompok masyarakat tradisional bangunan dengan lingkungan menjadikan
Sunda, yaitu: gunung teu meunang dilebur, lebak teu lingkungan tetap terpelihara. Perubahan
beunang diruksak, larangan teu meunang dirempak, permukaan tanah akibat pembangunan rumah
buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang tidak merusak sistem lingkungan alam, karena
dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain alam tidak dieksploitasi dalam pemanfaatannya.
kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya Berdasarkan uraian tersebut,
kudu dienyakeun. Artinya: gunung tidak boleh permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini
dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, berkenaan dengan keberadaan rumah bagi
larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak masyarakat Kampung Naga. Secara khusus
boleh diubah, panjang tidak boleh dipotong, permasalahan yang dibahas adalah tentang
pendek tidak boleh disambung, yang bukan arsitektur rumah, pembagian dan fungsi ruang,
harus dianggap bukan, yang dilarang harus serta nilai yang terkandung di dalamnya.
tetap dilarang, yang benar harus dibenarkan”.1 Tujuannya adalah mengungkap nilai-nilai luhur
Pada masyarakat tradisional Sunda lainnya juga kearifan lokal Sunda yang terkandung pada
diajarkan prinsip hidup yang selaras dengan bangunan rumah masyarakat Kampung Naga.
alam melalui berbagai pepatah atau ungkapan Ruang dapat berarti sesuatu yang dibatasi
di tengah masyarakat berkenaan dengan atau dilingkungi oleh bidang-bidang, sela-sela
kesederhanaan, seperti “Saeutik cukup. Loba antara deretan benda, atau petak dalam buah
nyesa” (Sedikit Cukup, banyak bersisa) atau (durian, petai, dan sebagainya). Ruang juga dapat
”Hirup mah kudu tungkul ka jukut, tanggah ka berarti rongga yang tidak berbatas, tempat segala
sadapan” (Hidup harus menunduk ke rumput, yang ada.2 Ruang juga mempunyai pengertian
menengadah ke tempat menyadap). Artinya, sebagai tempat hidup dan berpengaruh terhadap
dalam hidup kita harus melihat kenyataan, kehidupan manusia.
tidak iri dengki terhadap kemajuan atau Konsep tata ruang suatu masyarakat
keberhasilan yang dicapai orang lain. Melalui akan berkaitan dengan sistem religi mereka,
ajaran ini diharapkan mereka bisa menerima terutama yang berkaitan dengan pandangan
apa yang menjadi rizkinya, dan tidak bernafsu dunianya. Secara khusus, pandangan dunia
untuk memiliki sesuatu yang bukan menjadi suatu masyarakat dapat terlihat dari kosmologi
miliknya, termasuk upaya merusak alam hanya
demi keuntungan sesaat karena alam adalah pemahaman dasar tentang kosmos. Keyakinan
titipan yang harus disampaikan kepada anak tentang kosmos pada umumnya berkaitan
cucu kelak di kemudian hari. Kepada mereka erat dengan kepercayaan terhadap kekuatan
juga ditekankan prinsip hidup teu saba teu soba, adi-kodrati yang menguasai, mengendalikan,
teu banda teu boga, teu weduk teu bedas, teu gagah atau melandasinya. Oleh karena itu, dapat
teu pinter (tidak bepergian tidak berhasil, tidak dipahami betapa pentingnya pemahaman dan
penghayatan kosmos sebagai prasarat untuk
1 Judistira Garna. 1993. “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koent-
jaraningrat (Editor) MasyarakatTerasing di Indonesia. Jakarta :Gramedia. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989.
Iwan Hermawan: Bangunan Tradisional Kampung Naga 143

mencapai kebahagiaan hidup batiniah manusia.3 keyakinan, pemahaman dan wawasan serta adat
Pada masyarakat Kampung Naga, aturan-aturan kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
kehidupan masyarakatnya memiliki hubungan manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
antara agama, kepercayaan dan kosmologi. ekologis. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati,
Dengan kekuatan tersebut, sanksi-sanksi aturan dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu
agama dan adat yang berhubungan dengan generasi ke generasi selanjutnya yang sekaligus
permasalahan tata ruang lingkungan dan membentuk pola perilaku manusia sehari-hari,
aturan bangunan sangat ditaati oleh masyarakat baik dalam hubungan dengan manusia maupun
Kampung Naga. Berkenaan dengan pencapaian hubungannya dengan alam lingkungan.6
keseimbangan kehidupan, mereka memiliki Berkenaan dengan permasalahan yang
tujuan “kawilujengan” (menjadi lebih baik).4 dibahas dan tujuan yang ingin dicapai, tulisan
Ruang wilayah dan ruang kawasan dengan ini bersifat kualitatif dengan pendekatan etno-
keanekaragaman ekosistemnya merupakan
sumber daya alam bagi setiap makhluk, atau sistem budaya atau sosial.7
termasuk manusia. Tanah, air, udara, hutan, dan
lain-lain merupakan sumber daya alam pokok suku bangsa yang ditulis oleh antropolog atau
bagi kehidupan di muka bumi. Hilang atau hasil penelitian lapangan selama
berkurangnya ketersediaan sumber daya alam sekian bulan atau sekian tahun.8 Spradley men-
tersebut dapat menimbulkan dampak negatif
yang besar bagi kehidupan. Melalui berbagai mendeskripsikan kebudayaan”.9 Data lapangan
kearifan tradisional yang masih dianutnya, yang disajikan pada tulisan ini merupakan data
masyarakat tradisional berusaha untuk menjaga hasil pengamatan lapangan di Kampung Naga,
keseimbangan antara kehidupan manusia dengan Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat,
alam. Menurut pemahaman masyarakat Baduy, tahun 2011, 2012, dan 2013.
leuweung (hutan) memiliki fungsi perlindungan
yang hakiki dalam kesinambungan kehidupan B. Bangunan di Kampung Naga
manusia. Istilah leuweung titipan (hutan yang Perkampungan masyarakat Kampung Naga
diamanatkan) atau disebut juga leuweung sirah tidak jauh berbeda dengan perkampungan
cai (hutan mata air) menunjukkan bahwa hutan masyarakat lainnya. Bangunan rumah,
mampu mengelola sumber air secara alami.5 bangunan pendukung, dan fasilitas permukiman
Tabel 1. Fungsi Ruang pada masyarakat lainnya terdapat di Kampung Naga. Sebagai
Kampung Naga perkampungan masyarakat adat yang masih
Pembagian Ruang
memegang teguh tata nilai warisan leluhur
Bangunan yang ada di menjadikan Kampung Naga berbeda dengan
Kampung dalamnya perkampungan masyarakat lainnya, terutama
Sunda Naga
perkampungan masyarakat modern. Secara
Saung Lisung, Kolam, Sawah,
Dunia Bawah Kawasan Luar
Kebun garis besar kawasan Kampung Naga dibagi
Kawasan Rumah, Masjid, Bale Patemon,
menjadi tiga, yaitu kawasan hutan, kawasan
Dunia Tengah
Permukiman Bumi Ageung permukiman, dan kawasan luar kampung.
Makam Eyang Singaparana /
Kawasan hutan dibagi menjadi dua, yaitu
Dunia atas Hutan Keramat leluhur masyarakat kampung leuweung karamat (hutan keramat), dan leuweung
Naga
tutupan (hutan lindung). Keberadaan hutan-hutan
Sumber: Hasil penelitian 2013 tersebut dijaga secara adat hingga terhindar dari
Menurut Keraff, kearifan tradisional kerusakan. Kawasan perkampungan masyarakat
merupakan segala bentuk pengetahuan, Kampung Naga, yaitu tempat berdirinya
3 R. Cecep Permana. 2006. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: We-
datama Widya Sastra. 6 Ibid. h. 102.
4 Ismudiyanto. 1987. “Kosmologi Perilaku Meruang di Kampung 7 John W. Creswell. 1998. Research Design: Qualitative and Quantitative
Naga, Telaah Singkat Pola Ruang Konsentris Kampung Jawa Barat di desa Negla- Approaches. London: SAGE Publications. P. 58.
sari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya” dalam Media Tehnik No. 2 Tahun 8 Amri Marzali. 2006. “Kata Pengantar” dalam Spradley, JP. 2006.
IX April – Juli 1987. -
5 Sobirin. 2007. “Tragedi Kawasan Lindung dan Hilang- view), edisi II. Yogyakarta: Tiara wacana.
nya Hak Azasi Alam” dalam Menyelamatkan Alam Sunda dan Kajian lainnya mengenai 9 James P. Spradley. 2006. (penterjemah: Elizameth,
Budaya Sunda (Seri Sundalana 6). Bandung: Pusat Studi Sunda. M.Z., dari The Ethnographic Interview), edisi II. Yogyakarta: Tiara wacana.
144 Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014

bangunan rumah dan bangunan pendukung Tabel 2. Pembagian Rumah Secara Vertikal
permukiman (masjid, bale patemon (balai
pertemuan), leuit (lumbung kampung), dan Pembagian Ruang
rumah benda keramat. Kawasan permukiman Vertikal
dibatasi oleh pager jaga. Kawasan luar yang Dunia Bawah Kolong
merupakan kawasan di luar permukiman, oleh Dunia Tengah Palupuh (lantai)
sebagian peneliti disebut dengan kawasan kotor. Dunia atas Para (Langit-langit)
Pada bagian ini ditempatkan MCK, saung lisung Sumber: Hasil penelitian 2013
(saung lesung), kandang hewan (domba), kolam, Ketika ditanya mengapa rumah di Kampung
dan sawah. Naga harus panggung, Munir mengungkapkan
1. Bangunan Rumah bahwa “Semua itu merupakan perintah adat
Rumah bagi masyarakat Sunda, termasuk yang harus dipatuhi secara turun temurun”.12
masyarakat Kampung Naga, rumah tidak sekedar Berdasarkan kosmologi masyarakat Sunda, dunia
tempat berteduh, melainkan memiliki makna dibagi menjadi tiga, yaitu dunia bawah, dunia
yang lebih luas dari sekedar tempat tinggal, yaitu tengah, dan dunia atas. Tanah merupakan dunia
sebagai bagian dari konsep kosmologi mereka bawah, tempat kembalinya orang yang sudah
yang tercermin dalam penataan pola kampung, mati. Dunia atas merupakan tempatnya ruh,
bentuk rumah, dan pembagian ruan rumah. dan dunia tengah merupakan tempat makhluk
Untuk menjaga keseimbangan hidupnya, mereka yang masih hidup. Karena manusia merupakan
percaya bahwa hubungan antara makrokosmos makhluk yang masih hidup, maka mereka harus
dengan mikrokosmos harus tetap dijaga agar hidup di dunia tengah, dan rumah panggung
tetap harmonis.10 merupakan perwujudannya. Kolong (bagian
Rumah merupakan bangunan yang menjadi bawah rumah) merupakan penggambaran
hak individu/keluarga warga Kampung Naga. dunia bawah, palupuh (lantai) merupakan
Sama dengan bangunan lainnya di Kampung penggambaran dunia tengah, dan lalangit/para
Naga, bangunan rumah harus dibangun di atas (langit-langit) merupakan penggambaran dunia
permukaan tanah atau bangunan panggung atas.
serta dibangun dengan saling berhadapan atau Berdasarkan jumlah pintu masuk, rumah
saling membelakangi, memanjang dari barat ke masyarakat Kampung Naga dibagi menjadi dua
timur dengan pintu rumah menghadap Utara jenis, yaitu Bumi panto hiji (rumah pintu satu) atau
atau Selatan. Kondisi serupa juga berlaku disebut juga Bumi teu acan direhab (rumah yang
pada rumah yang berdampingan, sisi yang belum direnovasi), dan Bumi panto dua (Rumah
berdampingan adalah bagian yang sama dengan pintu dua) atau disebut juga dengan Bumi nu tos
rumah di sebelahnya, bagian tepas (ruang tamu) direhab (rumah yang sudah mengalami renovasi).
suatu rumah akan berdampingan dengan bagian Bumi panto hiji (rumah pintu satu)
tepas rumah yang lain, demikian pula posisi pawon merupakan bentuk rumah yang paling tua,
(dapur) akan berdampingan pula dengan pawon terdiri atas ruang dapur, goah, dan kamar tidur
pada bagian lain. Menurut Munir (45 tahun, (lihat gambar). Bangunan rumah pintu satu
warga kampung Naga), pembangunan rumah yang masih ada di Kampung Naga adalah
dilakukan sesuai dengan petunjuk dari leluhur bangunan Bumi Ageung yang merupakan
dan tidak boleh melanggar dari ketentuan yang bangunan rumah keramat kampung Naga. Bumi
telah digariskan.11 panto dua (rumah pintu dua) merupakan rumah
yang telah mengalami perubahan menyeluruh
terutama ukuran bangunan lebih luas dibanding
rumah pintu satu. Tatanan dan membangunnya
sudah mengikuti perkembangan zaman. Pada
rumah tipe ini jumlah pintu rumah menjadi dua,
memiliki jendela, lantai tengah rumah sudah
10 Her. Suganda. 2006. Kampung Naga Mempertahankan Tradisi. Band- menggunakan papan, kecuali dapur masih
ung: Kiblat. H. 46.
11 Wawancara dengan Munir, 17 Oktober 2013. 12 Ibid.
Iwan Hermawan: Bangunan Tradisional Kampung Naga 145

menggunakan palupuh, jumlah kamar lebih Tabel 3. Pembagian Ruang pada Bangunan
banyak dan bilik di bagian depan rumah sudah Rumah Kampung Naga secara Horizontal
diganti dengan papan.
Pembagian Ruang Fungsi Wilayah
a. Arsitektur dan Denah Rumah
Pada bagian terdahulu telah diuraikan Tempat
bahwa bangunan rumah di Kampung Naga menerima
tamu, tempat
merupakan bangunan rumah panggung bekerja
yang dibangun dengan menggunakan bahan Bagian Wilayah Laki-
Tepas kaum laki-
Depan laki/Suami
bangunan yang berasal dari lingkungan setempat. laki, tempat
tidur bagi
Hal ini menunjukkan, rumah dibangun di atas tamu yang
permukaan tanah dengan ketinggian 45 – 65 menginap
cm. Ketika ditanyakan alasannya, Munir (warga Tempat
kampung Naga) menjawab, “Tos ti karuhunna berkumpul
semua Wilayah
kedah kitu, teu wantun ngarempak bisi aya matak” Tengah
anggota Netral, semua
(Sudah dari leluhurnya demikian, tidak berani Imah
keluarga, anggota
melanggar takut ada sanksi dari leluhur).13 Bagian tempat tidur
tengah anak-anak
Peneliti memperoleh penjelasan senada dari
kamar tidur
Almarhum Ateng Jaelani (Lebe Kampung
utamanya
Naga) ketika peneliti melakukan kunjungan Orang tua
Pangkeng untuk
(suami – istri)
ke Kampung Naga tahun 2010. Menurut pasangan
suami istri
keterangan beliau “Semua bangunan yang
didirikan di Kampung Naga harus mengikuti Tempat
Wilayah
masak, tempat
petunjuk yang telah digariskan leluhur”. Pawon Perempuan/
aktivitas kaum
Istri
Tiang utama bangunan adalah kayu, dinding ibu
bangunan berbahan bilik (anyaman bambu) yang Tempat
Bagian Wilayah
dicat dengan kapur sehingga berwarna putih. Belakang penyimpanan
Perempuan,
Pada bagian depan terdapat pintu dengan daun bahan
kaum lelaki
Goah makanan
pintu berbahan kayu, jendela kaca tanpa daun pokok,
terlarang
jendela. Untuk memudahkan masuk ke rumah, masuk ke
terutama Padi/
bagian ini
baik ke ruang tamu atau dapur, di bagian depan beras
dipasang papan kayu menyerupai tangga yang Sumber: Hasil penelitian 2013
disebut Golodog. Golodog biasanya terdiri dari
satu atau dua tahapan dengan panjang masing- Kolong Imah, Karena bangunan-bangunan
masing dua sampai tiga meter dan lebar 30 cm. yang didirikan di Kampung Naga adalah
Golodog tidak hanya berfungsi sebagai tangga bangunan panggung, termasuk rumah sudah
masuk rumah, namun juga berfungsi sebagai pasti bangunan-bangunan tersebut memiliki
tempat duduk-duduk santai untuk berangin- kolong. Kolong Imah merupakan ruang antara
angin dengan kata lain Golodog mempunyai permukaan tanah dengan Palupuh (lantai rumah).
fungsi untuk bersosialisasi atau bertetangga. Tingginya sekitar 60 cm. Bagian ini biasanya
Perhatikan Tabel 3. difungsikan sebagai tempat penyimpanan kayu/
b. Pembagian Ruang secara Vertikal bahan pembuat rumah, kayu bakar, alat-alat
Tidak berbeda dengan pembaguan rumah pertanian, dan kandang ternak unggas (ayam
secara horizontal, secara vertikal bangunan di dan itik). Palupuh (lantai). Lantai bangunan
Kampung Naga dibagi menjadi tiga bagian, rumah berupa papan kayu atau palupuh (belahan
yaitu kolong (bagian bawah), palupuh (lantai), dan bambu yang disusun untuk lantai). Di sinilah
lalangit/para (langit-langit). warga Kampung Naga melakukan berbagai
aktivitas sehari-hari di rumah. Kondisi lantai
yang berbahan papan kayu dan atau palupuh
menjadikan lantai tidak dingin karena tidak
13 Ibid.
146 Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014

bersentuhan dengan tanah di mana bangunan kayu. Kondisi ini yang tampak pada rumah milik
itu berdiri. Munir (warga Kampung Naga) yang peneliti
Lalangit/Para. Pada bagian dalam rumah, kunjungi. Di ruang tamu bertumpuk bahan alat
di atas lantai di bawah atap, dipasang langit- untuk membuat barang kerajinan, serta hasil
langit berbahan anyaman bambu yang dicat kerajinan yang sudah jadi dan setengah jadi
dengan kapur sehingga warnanya putih, sama berupa nampan dan barang-barang keperluan
dengan dinding bangunan. Ruang yang dibatasi rumah tangga berbahan anyaman bambu.
oleh lalangit (langit-langit) dan atap itulah yang Tengah Imah (ruang tengah) merupakan
disebut Para. Keberadaan Para tidak difungsikan ruang keluarga yang posisinya berada di bagian
secara maksimal, keberadaannya berfungsi tengah ruang bangunan. Bagian ini difungsikan
sebagai pelindung kedua setelah atap dari hujan sebagai ruang tempat berkumpul keluarga. Bagi
dan panas. mereka yang mempunyai anak, ruang tersebut
c. Pembagian Ruang Bagian dalam Rumah juga difungsikan sebagai ruang belajar dan ruang
Rumah dalam pandangan masyarakat main bagi anak-anak. Pada malam hari, ruang
Kampung Naga ditata berdasarkan kategori tersebut juga berfungsi sebagai ruang tidur anak-
jenis kelamin dan perannya dalam keluarga. anak atau tamu yang menginap. Karena antara
Ruang bagian depan (tepas) disebut juga ruang ruang tengah dan ruang depan (tepas) tidak ada
laki-laki, ruang belakang, yaitu pawon (dapur) dan pembatas, maka jika dirasa perlu bagian tepas
Goah merupakan ruang perempuan, sedangkan imah dapat digunakan sebagai tempat tidur bagi
ruang bersama bagi semua anggota keluarga anak-anak dan tamu yang menginap.
adalah tengah imah (ruang tengah). Pangkeng atau kamar tidur pada rumah
masyarakat Kampung Naga bukanlah kamar
tidur sebagaimana kamar tidur di rumah-rumah
modern yang lengkap dengan peralatan tidur,
seperti dipan/ranjang (tempat tidur) lengkap
dengan kasur dan bantalnya. Perlengkapan tidur
yang terdapat di dalam pangkeng adalah kasur
yang digelar di palupuh (lantai bambu atau kayu)
dan bantal.
Keberadaan pangkeng pada rumah masyarakat
Kampung Naga khusus diperuntukkan bagi
pasangan suami-istri pemilik rumah. Untuk
mereka yang memiliki rumah lebih besar,
(a) (b) biasanya memiliki dua pangkeng. Karena luas
Gambar
Bagian dalam Rumah: (a) Tepas/ Ruang depan, berbagai rumah di Kampung Naga rata-rata sama,
perlengkapan dan peralatan kerajinan laki-laki ditempatkan di maka tiap rumah pada umumnya memiliki satu
situ; (b) Pawon/ Dapur, ruang kekuasaan perempuan
(Dok. Hermawan, 2013)
pangkeng.
Berbeda dengan Tepas yang merupakan
Ruang paling depan pada rumah wilayah kekuasan laki-laki, Pawon (dapur)
masyarakat Kampung Naga, adalah Tepas Imah. merupakan wilayah kekuasaan perempuan.
Ruang ini difungsikan sebagai ruang tamu dan Di ruang inilah sebagian besar kaum wanita
sering disebut sebagai ruang laki-laki karena menghabiskan waktu. Layaknya dapur di
merupakan tempat kaum laki-laki menerima tempat lain, pawon merupakan tempat memasak
tamu dan menghabiskan waktu. Tepas pada dan menyiapkan makanan. Sama seperti bagian
rumah Kampung Naga tidak dilengkapi oleh lainnya pada rumah masyarakat Kampung
meja dan kursi. Tamu yang datang akan duduk Naga, pawon berada di atas permukaan tanah.
bersila di atas palupuh yang diberi alas tikar. Hawu (tungku) berbahan bakar kayu dibuat di
Di tepas pula kaum laki-laki Kampung Naga atas palupuh, dan di atasnya tidak terdapat langit-
melakukan pekerjaan rumah mereka, seperti langit namun diditempatkan cadangan kayu
membuat kerajinan tangan dari bambu atau bakar.
Iwan Hermawan: Bangunan Tradisional Kampung Naga 147

Goah merupakan tempat untuk menyimpan b. Masjid Kampung Naga


kebutuhan pokok keluarga terutama beras Layaknya masjid lainnya di kampung-
atau gabah kering. Bagian ini berada di bawah kampung masyarakat Muslim, bangunan masjid
kekuasaan perempuan. Goah dan pawon letaknya Kampung Naga berfungsi sebagai tempat
berdekatan, bahkan bersatu dan dibatasi beribadah. Setiap waktu shalat, petugas masjid
oleh sekat. Bagi masyarakat Kampung Naga, (merbot) akan memukul kentongan dan bedug
Goah memiliki peran penting sehingga dalam yang terpasang di depan masjid.
menentukan posisinya dibutuhkan perhitungan- Bangunan masjid Kampung Naga bentuknya
perhitungan tertentu yang didasarkan pada tidak seperti masjid lainnya yang berkubah dan
weton (hari lahir) istri. Berdasarkan weton tersebut bermenara. Bangunan masjid Kampung Naga
ditetapkan letak goah apakah di sebelah Barat dibangun dengan konstruksi dan arsitektur
atau di sebelah Timur. Dengan ditetapkannya yang mirip/sama dengan bangunan rumah
letak goah, maka ujung bambu atau kayu atau bangunan lainnya. Berdenah segi empat
bangunan yang digunakan ketika membangun dengan bagian dalam dibagi dua, yaitu bagian
rumah tersebut harus searah dengan ruang goah. depan dan bagian belakang. Seperti hanya
2. Bangunan Bumi Ageung rumah, bangunan masjid juga dibangun di atas
Bumi Ageung merupakan bangunan rumah tatapakan dengan golodog dari bahan semen.
yang secara bentuk dan arsitektur bangunannya Lantai bangunan berbahan kayu, rangka kayu,
tidak jauh berbeda dengan bangunan rumah dinding berbahan anyaman bambu (bilik),
lainnya. Perbedaannya adalah pada bahan jendela dan pintu berbahan kayu, serta langit-
bangunan yang digunakan, yaitu dindingnya langit berbahan bilik. Atap bangunan berbahan
menggunakan bilik anyaman sasag dan tidak ijuk di bagian luar dan hateup di bawahnya.
memiliki jendela. Fungsi bangunan ini adalah Bentuk atap berbentuk Julang Ngapak. Bangunan
tempat menyimpan benda-benda pusaka masjid memanjang Timur – Barat dengan arah
warisan leluhur. masuk pintu Utara dan Selatan. Pintu masuk
Sebagai tempat sakral, tidak semua orang tidak langsung ke ruang utama, namun ke ruang
bisa memasuki Bumi Ageung hanya mereka yang bagian belakang masjid.
mendapat izin kuncen yang bisa masuk. Saat ini Pembeda masjid dengan bangunan rumah
bangunan ini dipelihara dan dijaga oleh Punduh atau bangunan lainnya di Kampung Naga, adalah
Kampung Naga, yaitu Bapak Ma’un. Sebelumnya, terdapatnya bedug dan kentongan di bagian depan
bangunan ini dipelihara kebersihannya dan masjid, serta di bagian Utara dan bagian Selatan
dijaga oleh dua orang perempuan yang sudah bangunan terdapat tempat bersuci berupa bak
tidak haidh lagi (Monopause). berpancuran yang airnya tidak henti mengalir.
Sumber air untuk pancuran masjid berasal dari
3. Bangunan Selain Rumah
mata air yang berada di sebelah barat kampung.
Bangunan lainnya yang terdapat di
Kampung Naga, adalah bangunan bukan
rumah. Bangunan-bangunan tersebut dibangun
sebagai fasilitas sosial dan fasilitas umum, yaitu
Bale Patemon (Balai Pertemuan), Masjid, Leuit
Kampung (lumbung padi milik kampung).
a. Bale Patemon (Balai Pertemuan)
Bale Patemon (Balai Pertemuan) merupakan
bangunan yang berfungsi sebagai tempat
berkumpulnya masyarakat Kampung Naga (a) (b) (c)
untuk bermusyawarah berbagai permasalahan Gambar 4.9
yang dihadapi oleh masyarakat. Bangunan (a) Bale Patemon (Balai Pertemuan); (b)
ini juga berfungsi sebagai tempat menerima Masjid; (c) Leuit (Lumbung Padi) (Dok.
tamu, terutama tamu yang jumlahnya banyak/ Hermawan, 2013)
rombongan.
148 Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014

c. Leuit (Lumbung Padi) Kampung Naga tidak memiliki dinding. Bahan bangunan yang
Leuit atau Lumbung Padi memiliki fungsi dipergunakan adalah kayu untuk tiang utama,
sebagai tempat menyimpan padi milik adat. Padi dan atapnya ditutup oleh ijuk. Lantainya berupa
ini diperoleh dari iuran warga Kampung Naga papan yang disusun sedemikian rupa hingga
ketika panen di mana mereka menyerahkan membentuk lantai. Di lantai itulah diletakkan
sebagian hasil panennya untuk kepentingan lisung panjang (lesung panjang) dengan halu (alu)
umum atau kepentingan adat. Menurut Munir untuk menumbuk padi.
(warga Kampung Naga), “Banyaknya padi
yang disetorkan warga untuk Leuit kampung C. Bangunan di Kampung Naga: Selaras
tidak sama, tergantung pada keikhlasan masing- dengan Alam
masing. Hal ini dikarenakan tidak ada ketentuan/
aturan adat yang mengatur banyaknya padi merupakan perpaduan antara bukit dengan kaki
yang harus diserahkan warga. Namun rata- bukit, permukaan tanah di sebelah Barat lebih
rata tiap kepala keluarga di Kampung Naga tinggi dibanding sebelah timur di mana sungai Ci
menyerahkan 2 (dua) geugeus (ikat) padi kering Wulan mengalir. Kondisi lahan demikian, pada
untuk mengisi Leuit kampung.”14 Penjelasan masyarakat Sunda dikenal dengan istilah “taneuh
tersebut sesuai dengan penjelasan Tatang, dan bahe ngetan”
juga Ma’un (punduh kampung Naga). Fungsi dari arah timur). Lahan seperti ini oleh masyarakat
Leuit adalah untuk membiayai keperluan umum Sunda dipercaya sebagai kawasan ideal, karena
seperti perbaikan saluran air, perbaikan pager jaga cocok untuk dijadikan sebagai kawasan
dan keperluan-keperluan adat lainnya. Leuit juga permukiman dan pertanian. Kepercayaan
berfungsi sebagai kas kampung. Jika masyarakat tersebut secara rasional dapat dipahami, karena
mengalami kesusahan, misalnya akan melakukan
hajatan, maka mereka bisa meminjam ke Leuit akan lebih banyak memperoleh sinar matahari
untuk menutupi kekurangan tersebut dengan pagi yang sangat baik bagi kesehatan manusia
pembayaran yang telah disepakati, apakah dicicil maupun pertumbuhan tanaman pertanian.
setiap pamen atau langsung dibayar lunas saat Kemiringan lereng lahan Kampung Naga yang
panen. curam diatasi dengan membuat sengkedan batu
Tinggalan yang dikeramatkan di Kampung yang ketinggiannya berkisar setengah meter
Naga adalah Depok yang dikeramatkan karena sampai enam meter, dan di lahan datar hasil
merupakan tinggalan rumah, masjid, dan leuit sengkedan tersebutlah bangunan rumah dan
leluhur Kampung Naga. Depok berupa struktur fasilitas kampung lainnya didirikan.
batu, lokasinya berada di dalam Kampung Naga Rumah bagi masyarakat Kampung Naga
di belakang rumah kuncen Kampung Naga. tidak hanya sebagai tempat berteduh dari
Depok dibatasi oleh pagar bambu yang disebut panasnya matahari dan dinginnya cuaca malam.
kandang jaga. Pembangunan rumah yang menggunakan bahan
4. Bangunan di Luar Kampung baku sederhana dan dibangun secara panggung
Bangunan di Kampung Naga tidak pada dasarnya tempat tinggal manusia yang
hanya di dalam kampung namun juga dibangun masih hidup bukan di dunia bawah (tanah),
di luar kampung (di luar pager jaga). Bangunan karena manusia berada di dunia bawah jika
yang dimaksud adalah saung lisung (saung lesung), sudah meninggal, tetapi tempat tinggal manusia
pancuran (MCK), dan kandang domba. Semua yang masih hidup juga bukan di dunia atas
bangunan tersebut dibangun di atas kolam (langit), sehingga rumah sebagai tempat tinggal
yang merupakan penampung air limpasan dan mereka harus di dunia tengah (antara tanah dan
tempat memelihara ikan. langit).15
Saung lisung (saung lesung) merupakan Pembangunan Rumah Panggung dengan
tempat menumbuk padi kaum ibu di Kampung bahan bangunan kayu, bambu, serta atap ijuk
Naga untuk memenuhi kebutuhan akan beras. atau hateup, merupakan salah satu bentuk
15 Suhandi A. Suhamihardja dan Yugo Sariyun. 1992. Kesenian, Arsitek-
Bangunannya merupakan bangunan panggung, tur Rumah, dan Upacara Adat Kampung Naga, Jawa Barat. Jakarta: Proyek Pembinaan
14 Ibid. Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan, Depdikbud. h.49.
Iwan Hermawan: Bangunan Tradisional Kampung Naga 149

penyesuaian masyarakat Sunda dengan salah satunya Hirup mah kudu tungkul ka jukut,
lingkungan alamnya yang bergunung-gunung tanggah ka sadapan, yang artinya dalam menjalani
dan berbukit-bukit dengan kemiringan lahan kehidupan selalu ada batasnya, karena jika
yang curam, berada pada jalur vulkanik tanpa batas akan muncul kerakusan pada diri
dan tektonik. Kondisi tersebut menjadikan sebagai akibat nafsu yang tidak dikendalikan.
masyarakat tradisional Sunda, termasuk Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat
masyarakat Kampung Naga membangun Kampung Naga kendatipun berada tidak jauh
bangunan dengan konstruksi rumah panggung dari pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan
yang bertiang kayu berdinding bilik dan beratap berbagai pengaruh dari modernisasi, namun
ijuk, karena pada dasarnya rumah panggung tidaklah menjadikan mereka lupa akan akar
merupakan bangunan tahan gempa. Selain budayanya. Mereka tetap hidup bersahaja,
itu, rumah dengan bahan bangunan demikian mengikuti ajaran dan tuntunan yang diwariskan
akan lebih ringan dibanding rumah tembok leluhur secara turun temurun dari generasi ke
dan kondisi ini akan berpengaruh terhadap generasi. Kepercayaan yang tinggi pada adat dan
daya dukung lahan di kawasan tersebut yang tuntunan yang diwariskan secara turun temurun
merupakan kawasan mudah longsor. dari leluhur menjadikan warga Kampung Naga
Dinding bangunan yang berbahan lokal tetap hidup dengan kesehajaan
(kayu, dan anyaman bambu) serta arsitektur Bangunan yang didirikan di Kampung
bangunan yang merupakan bangunan panggung. Naga merupakan bangunan panggung dengan
Bahan bangunan dan bentuk arsitektur bangunan atap julang ngapak. Bangunan-bangunan
demikian merupakan bentuk penyesuaian tersebut dibangun berdasarkan kebutuhan
dengan kondisi iklim dan cuaca setempat, udara masyarakat dan didasarkan atas petunjuk adat
di dalam rumah tetap bersih dan kesejukan di yang diwariskan secara turun-temurun dari
dalam rumah tetap terjaga. Udara panas akan leluhur. Secara ekologis bangunan di Kampung
keluar melalui dinding dan atap. Udara tersebut Naga dibangun menyesuaikan dengan kondisi
akan segera digantikan dengan aliran udara lingkungan setempat.
sejuk yang masuk melalui dinding dan palupuh/
lantai kayu atau bambu. Daftar Pustaka
Posisi lantai yang ditinggikan juga
dipengaruhi oleh kondisi udara di tempat Adimihardja, Kusnaka. 1992. Kasepuhan yang
tersebut. Sesuai dengan sifatnya yang padat, Tumbuh di Atas yang Luruh. Bandung:
tanah akan cepat menerima panas dan cepat Tarsito.
pula melepas panas. Pada posisi lantai yang Bachtiar, T. 2010. “Memuliakan Air, Memuliakan
menyentuh tanah, suhu lantai akan dipengaruhi Kehidupan Bercermin di Lembur Naga”.
oleh naik turunnya suhu tanah. Pada lantai yang Prosiding Seminar Nasional Naskah Kuna
tidak menyentuh tanah (bangunan panggung) Nusantara. 5-6 Oktober 2010. Jakarta:
suhu permukaan tanah sedikit pengaruhnya Perpustakaan Nasional RI.
pada lantai bangunan, sehingga suhu lantai Bemmelen, RW van. 1949). The Geology of
tetap hangat. Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.
Creswell, John W. 1994. Research Design:
D. Penutup Qualitative and Quantitative Approaches.
Masyarakat tradisional Sunda merupakan London: SAGE Publications.
masyarakat yang hidup bersama alam. Mereka Djoewisno. 1987. Potret Kehidupan Masyarakat
memuliakan dan menjaga alam dari kerusakan. Baduy. Jakarta: Khas Studio.
Bagi mereka alam bukanlah sesuatu yang Garna, Judistira. 1993. “Masyarakat Baduy di
harus dieksploitasi secara berlebih. Sebaliknya, Banten” dalam Koentjaraningrat (Editor)
alam dimanfaatkan dengan seperlunya tidak Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta:
berlebih dan tidak sampai merusak. Upaya Gramedia.
memanfaatkan alam dengan tidak merusak
tampak pada berbagai pantang larang yang
150 Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014

Greertz, Cliffort. 2003. Pengetahuan Lokal Marzali, Amri. 2006. “Kata Pengantar” dalam
(penerjemah : Mubaikah, V., dan Danarto,
A., dari Local Knowledge: Further (penerjemah: Elizameth, M.Z., dari
Essays in Interpretative Anthrophology). The Ethnographic Interview), edisi II.
Yogyakarta: Merapi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Goetz, Judith P.; LeComte, Margaret D. 1984. Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik
Ethnography and Qualitative Design in Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Educational Research. New York: Academic Permana, R. Cecep. 2006. Tata Ruang Masyarakat
Press. Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Gunawan, Aditia. 2010. “Warugan Lemah: Purwitasari, Tiwi. 2006. “Pemukiman dan
Pola Pemukiman Sunda Kuna.” Dalam Religi Masyarakat Megalitik: Studi Kasus
Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda (Seri Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat”
Sundalana). Bandung: Pusat Studi Sunda. dalam Sedyawati, Edi (Editor). Arkeologi
Harun, Ismet B.,dkk. 2011. Arsitektur Rumah dan dari Lapangan ke Permasalahan. Bandung:
Permukiman Tradisional di Jawa Barat. Hasil IAAI Komda Jawa Barat – Banten.
Pengamatan dan Dokumentasi. Bandung: Salura, Purnama. 2007. Menelusuri Arsitektur
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Masyarakat. Sunda. Bandung: Cipta Sastra
Provinsi Jawa Barat. Salura.
Hermawan, Iwan. 2012. “Pola Permukiman Spradley, James P. 2006.
Tradisional Sunda: Studi Terhadap (penerjemah: Elizameth, M.Z., dari
Permukiman Masyarakat kampung The Ethnographic Interview), edisi II.
Naga” dalam Rahardjo, Supratikno. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ed. Arkeologi: Pola Permukiman dan Sobirin. 2007. “Tragedi Kawasan Lindung
Lingkungan Hidup. Jatinangor: Alqaprint. dan Hilangnya Hak Azasi Alam” dalam
Hutagalung, M. Husen. 2008. “Partisipasi Menyelamatkan Alam Sunda dan Kajian
Masyarakat Adat terhadap Pariwisata: lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri
Sundalana 6). Bandung: Pusat Studi Sunda
Masyarakat Kampung Naga terhadap Suganda, Her. 2006. Kampung Naga
kegiatanPariwisata” dalam Jurnal Ilmiah Mempertahankan Tradisi. Bandung: Kiblat.
Pariwisata Volume 13 No. 3. November Suhamihardja, Suhandi A.; Yugo Sariyun. 1992.
2008. Hal. 174-187. Kesenian, Arsitektur Rumah dan Upacara
Iskandar, Johan. 1992. Ekologi Perladangan Di Adat Kampung Naga, Jawa Barat. Jakarta:
Indonesia (Studi kasus dari daerah Baduy Proyek Pembinaan Media Kebudayaan
Banten Selatan, Jawa Barat). Jakarta: Ditjen Kebudayaan, Depdikbud.
Djambatan. Wessing, Robert. 1999. “The Sacred Grove:
Ismudiyanto. 1987. “Kosmologi Perilaku Founders and Owners of The Forest in
Meruang di Kampung Naga, Telaah West Java, Indonesia” dalam Bahuchet,
Singkat Pola Ruang Konsentris Kampung Serge., et al (editeurs) L’Home et la Foret
Jawa Barat di desa Neglasari Kecamatan Tropicale. Marseille: Travaux de la Societe
Salawu Kabupaten Tasikmalaya” dalam d’Ecologie Humaine.
Media Tehnik No. 2 Tahun IX April – Juli
1987.
Lincoln, Yvonna S., and Guba, Egon G., 1985.
Naturalistik Inquiry. London: SAGE
Publications.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai