Anda di halaman 1dari 40

SKENARIO

URIN KEMERAHAN
Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan buang air kecil
kemerahan seperti air cucian daging sejak dua hari yang lalu. Keluhan disertai dengan buang
air kecil menjadi sedikit. Satu minggu yang lalu pasien mengalami demam dan nyeri
tenggorokan, sudah diperiksa ke dokter, diberi obat antibiotik dan sembuh. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum composmentis, tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi 100
×/menit, suhu 37,5 ̊C, frekuensi napas 34×/menit, edema tidak ada, jantung dan paru dalam
batas normal. Urinalisis didapatkan proteinuria dan hematuria.

1
KATA SULIT
1. Urinalisis : pemeriksaan penunjang yang membantu menegakkan diagnosis pada
gangguan fungsi ginjal dan saluran kemih, maupun gangguan diluar dari sistem kemih
seperti hati, saluran empedu, pankreas, dan korteks adrenal.
2. Hematuria : adanya sel darah merah didalam urin
3. Proteinuria : adanya protein dalam urin yang melebihi kadar normal yaitu >150
mg/24 jam.
PERTANYAAN
1. Kenapa pada pasien buang air kecil menjadi sedikit?
2. Kenapa tekanan darah pasien menjadi naik?
3. Kenapa terjadi proteinuria dan hematuria pada pasien?
4. Kenapa frekuensi napas pasien menjadi lebih cepat dari normal?
5. Kenapa pada pasien tidak terjadi udem?
6. Apa hubungan penyakit sekarang dengan sakit tenggorokan yang dialami pasien
sebelumnya?
7. Apa saja faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit seperti pada skenario?
8. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan?
9. Apa diagnosis dari skenario?
10. Apa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan?
11. Apa saja pemeriksaan urinalisis yang dilakukan?
12. Bagaimana tatalaksana yang dapat dilakukan untuk pasien?
JAWABAN
1. Karena terjadi peningkatan sel podosit akibat kerusakan glomerulus yang menyebabkana
terjadinya retensi urin.
2. Karena gangguan pada ginjal menghasilkan renin yang mengaktivasi angiotensinogen dan
berubah menjadi angiotensin I lalu diubah menjadi angiotensin II oleh ACE dan
menghasilkan aldosteron yang menyebabkan retensi garam dan air yang dapat
meningkatkan volume darah. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah
yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah.
3. Karena kerusakan pada glomerulus yang mengakibatkan protein dan darah dapat lolos dari
proses filtrasi.
4. Karena ada aktivasi angiotensin II yang meyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, tubuh
memlakukan kompensasi dengan cara menarik napas lebih cepat agar asupan O2 jaringan
dapat terpenuhi. Dan karena adanya hematuria yang mengakibatkan kadar hemoglobin
turun jadi O2 yang di transport ke jaringan menjadi berkurang.
5. Karena pasien masih dalam fase akut dan belum terjadi hipoalbuminemia.
6. Terjadi infeksi pasca Streptococcus.
7. Usia (banyak terjadi pada anak-anak), sistem imun tubuh lemah, infeksi bakteri,
malnutrisi.
8. Minum antibiotik hingga tuntas, minum air yang banyak, menjaga asupan nutrisi, istirahat
yang cukup.
9. Glomerulo nefritis akut (GNA)
10. Tes fungsi ginjal, darah lengkap, USG, MRI.

2
11.
Makroskopis Kimia Mikroskopis
Kejernihan Berat jenis Sel darah merah
Volume pH Sel darah putih
Warna Protein Silinder
Bau Glukosa Epitel
Keton Bakteri
Nitrit Kristal
Leukosit Parasit
Darah
Urobilinogen
Birilubin
12. Diberikan antibiotik, tirah baring, ACEi, diuretik

3
HIPOTESIS
Glomerulo nefritis akut terjadi karena faktor usia (banyak terjadi pada anak-anak), sistem imun
tubuh lemah, malnutrisi, dan infeksi bakteri. Salah satunya infeksi pasca Streptococcus yang
dapat menyebabkan kerusakan pada glomerulus dan dapat meningkatan sel podosit yang
menyebabkana terjadinya retensi urin, serta menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
frekuensi pernapasan karena aktivasi dari angiotensinogen menjadi angiotensin I yang berubah
menjadi angiotensin II oleh ACE yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, dan
aldosteron yang menyebabkan retensi garam dan air yang dapat meningkatkan volume darah,
serta dapat menyebabkan hematuria dan proteinuria karena darah dapat lolos saat proses
filtarsi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu urinalisis, tes fungsi ginjal, darah rutin, MRI,
dan USG. Tatalaksana yang dapat dilakukan yaitu memberikan antibiotik, diuretik, ACEi, dan
tirah baring. Dapat dilakukan pencegahan berupa minum antibiotik hingga tuntas, minum air
yang banyak, menjaga asupan nutrisi, dan istirahat yang cukup.

4
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Mejelaskan Anatomi Ginjal dan Ureter
1.1 Makroskopis
1.2 Mikroskopis
2. Memahami dan Mejelaskan Fisiologi Ginjal
3. Memahami dan Mejelaskan Glomerulonefritis
3.1 Definisi
3.2 Klasifikasi
3.3 Epidemiologi
3.4 Etiologi
3.5 Patofisiologi dan Patogenesis
3.6 Manifestasi Klinis
3.7 Diagnosis dan Diagnosisi Banding
3.8 Tatalaksana
3.9 Komplikasi
3.10 Pencegahan
3.11 Prognosis

5
1. Memahami dan Mejelaskan Anatomi Ginjal dan Ureter
1.1 Makroskopis
GINJAL (REN)
Bentuk ginjal seperti kacang tanah yang di puncak atasnya terdapat topi yang
disebut glandula supra renalis, kanan berbentuk seperti piramid dan kiri berbentuk
bulan sabit. Permukaan anterior dan posterior kutup atas dan bawah sera pinggir lateral
ginjal berbentuk konveks sedangkan pinggir medialnya berbentuk konkaf karena
adanya hilum renale. Ada beberapa struktur yang keluar atau masuk dari ginjal melalui
hilus antara lain arteri dan vena renalis, nervus vasomotor simpatis, pembuluh getah
bening, dan ureter. Ginjal terletak di belakang (posterior) abdomen bagian atas, didepan
dua costa terakhir (11dan 12) dan tiga otot-otot besar yaitu M.tranversus abdominalis,
M.quadratus lumborum, dan M.psoas major. Ginjal termasuk organ retroperitoneum,
yang diliputi peritoneum pada permukaan depannya (kurang dari 2/3 bagian). Ukuran
normal ginjal yaitu 12×6×2 cm, dengan berat 120-150 gram.
Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut karena ada bantalan lemak yang
tebal, bila lemak kurang maka fiksasi ginjal akan berkurang. Ginjal tidak jatuh karena
adanya A.renalis yang berfungsi sebagai axis dari cranio lateral ke caudo medial. Pada
bagian posterior ginjal dilindungi oleh costae dan otot-otot yang meleputi costae,
sedangkan pada bagian anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Pada
belakang ginjal terdapat tiga nervus yaitu N.subcostalis, N.illiohypogastricus dan
N.illioingunalis sehingga bila tetjadi radang akan menekan ketiga nervus tersebut dan
menimbulkan rasa nyeri.
Ginjal diliputi oleh oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan
longgar dengan jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari
permukaan ginjal, disebut fascia renalis. Fascia renalis terbagi menjadi dua yaitu lamina
anterior dan lamina posterior. Ke arah kiri dan kanan bersatu dengan fascia transversa
abdominalis membentuk rongga yang diisi oleh lemak disebut corpus adiposum. Ke
cranial setinggi VT 11 bersatu membentuk fascia abdominalis untuk selanjutnya
melapisi diaphragma. Sedangkan ke caudal akan masuk ke panggul dan tidak lagi dapat
di identifikasi sebagai fascia, hanya merupakan jaringan ikat jarang saja. Dibelakang
fascia renalis biasanya terdapat banyak lemak yang dinamakan lemak pararenal. Ginjal
mempunya selubung yang langsung membungkus ginjal yang disebut capsula fibrosa.
Pembagian ginjal yaitu ekstremitas superior/ cranialis/ polus cranialis,
ekstremitas inferior/ caudalis/ polus caudalis, margo lateralis lebih menuju kedepan,
dan margo medialis lebih menuju ke belakang, dimana terdapat hilum renale.
 Sintopi ginjal :
a. Ginjal dextra
- Depan : flexura coli dextra, colon ascendens, duodenum pars
descendens, hepar lobus dextra, dan mesocolon transcersum.
- Belakang : m.psoas dextra, m.quadratus lumborum dextra,
m.tranversus abdominis dextra, n.subcostalis (VT 12) dextra,
n.illeohypogastricus dextra, n.illeoinguinalis (VL 1) dextra, dan
costae 12 dextra.
- Terletak tepi atas vertebra thoracalis 12 sampai tepi atas vertebra
lumbalis 4.

6
b. Ginjal sinistra
- Depan : flexura coli sinistra, colon descendens, pancreas (corpus
dan caudal), pangkal mesocolon transversum, lien, curvatura major
(gaster).
- Belakang : m.psoas sinistra, m.quadratus lumborum sinistra,
m.tranversus abdominis sinistra, n.subcostalis (VT 12) sinistra,
n.illeohypogastricus sinistra, n.illeoinguinalis (VL 1) sinistra, dan
costae 11 & 12 sinistra.
- Terletak pertengahan vertebra thoracalis 11 sampai pertengahan
vertebra lumbalis 3, sehingga ginjal kiri lebih tinggi setengah
vertebra.
Ginjal kiri lebih tinggi dari ginjal kanan sekitar setengah vertebra, terletak pertengahan
VT 11 sampai pertengahan VL 3, atau sekitar empat ruas vertebra. Sedangkan ginjal
kanan terletak mulai tepi atas VT 12 sampai tepi atas VL 4. Karena ginjal kiri lebih
tinggi dari kanan, maka ginjal kiri terdapat dua costae yaitu costae 11 dan 12, ginjal
kanan hanya punya satu costae yaitu costae 12, sedangkan costae 11 tidak
menyentuhnya sama sekali.

Gambar 1. Posisi Ginjal


 Pada penampang lintang
Ginjal terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Pinggir : cortex, adanya bagian cortex yang masuk kedalam medulla
disebut columnae renales (Bertini).
2. Tengah : medulla, adanya bangunan seperti piramid disebut pyramides
renales dengan puncaknya disebut papillae renales dan basisnya disebut
basis pyramidis. Pada medulla dari papillae renales ke calices renalis
minores. Dua calices renales minores yang berdekatan menjadi calices
renales majores. Dua atau tiga calices renales majores menjadi pelvis renalis,
yang selanjutnya akan berlanjut menjadi ureter dan bermuara ke vesica
urinaria.

7
Gambar 2. Ginjal
 Vascularisasi ginjal
1. Medulla : dari Aorta abdominalis bercabang A.renalis dextra dan sinistra
setinggi VL 1, masuk melalui hilum renalis menjadi A.segmentalis
(A.lobaris) lanjut menjadi A.interlobaris lanjut menjadi A.arcuata lanjut
lagi menjadi A.interlobularis lanjut menjadi A.afferen dan selanjutnya
masuk ke bagian cortex renalis ke dalam gromerulus (Capsula Bowman),
disini terjadi filtrasi darah.
2. Cortex : A.efferen berhubungan dengan V.interlobularis, bermuara ke
V.arcuata bermuara ke V.interlobaris bermuara ke V.segmentalis
(V.lobaris), bermuara ke V.renalis dextra da sinistra dan selanjutnya
bermuara ke V.cava inferior, dan berakhir bermuara ke atrium dextra.
Pada hilum renalis A.renalis bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus
posterior. Ramus anterior jauh lebih banyak memperdarahi dari pada ramus posterior
selanjutnya membentuk anastomosis diantara keduanya dan membentuk suatu garis
disis lateral ginjal yang disebut Avascular line (Broedel), yang pada cadaver tidak
terlihat. Untuk melihat struktur ginjal tersebut ginjal harus dipotong/dibelah secara
longitudinal menurut “GARIS BROEDEL” dari apical ke bawah.
Ciri khusu vascularisasi ginjal :
- Unit dalam vas afferens mempunyai myoepitel (pada capsula bowmani)
yang berfungsi sebagai otot untuk berkontraksi.
- Ada hubungan langsung antara arteri dengan vena yang disebut arterio
venosa anastomosis.
Adanya “end artery” yaitu pembuluh nadi yang buntu yang tidak mempunyai
sambungan dengan kapiler, sehingga kalau terjadi penutupan yang lama akan terjadi
arteri degenerasi.
Inervasi ginjal yaitu plexus symphaticus renalis, dan serabut afferens melalu
plexus renalis menuju medulla spinalis n.thoracalis X, XI, XII. Pembuluh lymphe
mengikuti V.renalis melalui nl.aorta lateral, sekitar pangkal A.renalis.

8
Gambar 3. Vaskularisasi Ginjal

Gambar 4. Inervasi Ginjal


URETER
Ureter adalah tabung atau saluran yang mengalirkan urin dari ginjal ke vesica
urinaria (kandung kemih). Ureter merupakan lanjutan dari pelvis renalis, menuju distal
dan bermuara ke vesica urinaria. Ureter keluar dari hilus renalis dan berjalan vertikal
ke bawah dibelakang peritoneum parietale melekat ke m.psoas masuk ke pelvis
menyilang arteri, vena illiaca communis didepan ligamentum sacro iliaca masuk ke
pelvis menuju vesica urinarius. Panjang ureter yaitu 25-30 cm. Ureter terdiri dari dua
bagian yaitu, ureter pars abdominalis pada cavum abdominis dan ureter pars pelvina
pada rongga panggul (pelvis). Batas keduanya diambil suatu bidang yang disebut aditus
pelvis.

9
Terdapat tiga penyempitan pada ureter :
1. Uretero-pelvica junction, yaitu perubahan dari pelvis renalis menjadi ureter.
2. Tempat penyilangan ureter dengan vassa iliaca sama dengan flexura
marginalis, yaitu pada waktu masuk pintu atas panggul (menyilang A.iliaca
communis).
3. Muara ureter ke dalam vesica urinaria, yaitu pada waktu menembus dinding
vesica urinarius.
Kadang-kadang terdapat tempat penyempitan ke empat yaitu pada saat ureter
menyilang dibawah arteri dan vena testicularis atau ovaria.

Gambar 5. Tiga Penyempitan Ureter


Ureter berjalan didalam Spatium retroperitoneal ke arah kaudal dan agak ke arah
ventral. Saluran ini bermuara di belakang vesica urinaria.
 Sintopi ureter
a. Ureter dextra
- Depan : doudenum, ileum terminalis, A.V calica dextra, A.V
iliocolica, A.V testicularis/ovarica dextra.
- Belakang : m.psoas dextra, bifurcatio A.iliaca communis dextra
b. Ureter sinistra
- Depan : colon sigmoid, mesocolon sigmoid, A.V.ileae
Aa.jejunalis, A.V.testicularis/ovarica sinistra.
- Belakang : m.psoas sinistra, bifurcatio A.iliaca communis sinistra.
Jalan ureter pada pria dan wanita berbeda terutama pada daerah pelvis karena
ada alat-alat yang berbeda pada panggul. Pada pria ureter menyilang superficial di dekat
ujungnya dekat ductus defferen, sedangkan pada wanita ureter lewat diatas fornix
lateral vagina namun dibawah ligamentum cardinale dan A.uterina.

10
Vaskularisasi ureter dibagi menjadi dua, ureter atas mendapat perdarahan dari
A.renalis, sedangkan ureter bawah mendapat perdarahan dari A.vesicalis inferior yang
merupakan cabang dari A,pudenda interna. Inervasi ureter oleh plexus hypogastricus
inferior T 11-L 2 melalui neuron-neuron simpatis.
1.2 Mikroskopik
GINJAL (REN)
- Korteks: Glomerulus (banyak), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus
distal
- Medula: Duktus Coligens, Ductus Papillaris (bellini) dan Ansa Henle

Unit fungsional ginjal


1. Nephron
Corpus Malpighi / Renal Corpuscle
 Capsula Bowman
- Pars parietalis: epitel selapis gepeng. Berlanjut menjadi dinding tubulus
proximal
- Pars visceralis terdiri dari podocyte, melapisi endotel
- Urinary space diantara kedua lapisan
 Glomerulus
- Gulungan kapiler, berasal dari percabangan arteriol afferent
- Dibungkus oleh capsula Bowman
- Keluar sebagai vas efferent

Sel-sel di glomerulus yang berperan dalam Glomelurar filtration barrier


a) Endothel
- Type fenestrate
- Sitoplasma melebar, tipis dan mempunyai fenestra
b) Membrana Basalis
Fusi antara membrana basalis podocyte dan endothel
- Lamina rara interna
- Lamina densa
- Lamina rara externa
c) Podocyte
- Sel epiteloid besar, tonjolan sitoplasma (foot processes) bercabang
- Cabang sekunder (pedicle) menempel pada membrana basalis
- Bersama sel endothel menyaring darah
d) Sel Mesangial intra glomerularis
- Berasal dari sel jaringan mesenchyme
- Pada matrix mesangial di antara kapiler glomerulus
- Fagositosis benda asing, immune complex yang terjebak pada sel endothel
/ glomerular filtration barrier
- Cabang sitoplasma sel mesangial dapat mencapai lumen kapiler, melalui
sela sel endothel

Sel-sel yang berperan dalam sekresi renin


a) Macula densa
- Bagian dari tubulus distal di cortex berjalan diantara vas afferen dan vas
efferen dan menempel ke renal corpusclemenjadi lebih tinggi dan tersusun
lebih rapat, disebut macula densa

11
b) Sel juxta glomerularis
- Merupakan perubahan sel otot polos tunica media dinding arteriole
afferen
- Sel otot polos berubah menjadi sel sekretorik besar bergranula yang
mengandung renin
c) Sel Polkisen (sel mesangial extra glomerularis)
- Sel polkisen (bantal), “lacis cells”
- Mengisi ruang antara vas afferen, makula densa dan vas efferent
- Berasal dari mesenchyme, mempunyai kemampuan fagositosis
- Berhubungan dengan sel mesangial intraglomerular
- Tertanam didalam matrix mesangial
Tubulus
1. Tubulus Kontortus Proximalis

Gambar 6. Tubulus Kontortus Proximal

Dilapisi oleh epitel selapis kubis, inti bulat yang letaknya berjauhan, batas sel
sulit dilihat, sitoplasma mempunyai sifat asidofil yang menyerap warna merah,
memiliki brush border. Tubulus kontortus proximal memiliki fungsi yaitu untuk
reabsorbsi glukosa, ion Na, Cl dan H2O.

2. Tubulus Kontortus Distal

Gambar 7 Tubulus Kontortus Distal


Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok. Dindingnya disusun oleh selapis
sel kuboid dengan batas antar sel yang lebih jelas dibandingkan tubulus kontortus
proksimal. Inti sel bundar dan bewarna biru. Jarak antar inti sel berdekatan.
Sitoplasma sel bewarna basofil (kebiruan) dan permukaan sel yang mengahadap
lumen tidak mempunyai paras sikat. Bagian ini terletak di korteks ginjal. Fungsi
bagian ini juga berperan dalam pemekatan urin.

12
3. Ansa Henle

Gambar 8. Ansa Henle

Ansa Henle Segmen Tipis


- Mirip pembuluh kapiler darah, tetapi epitelnya lebih tebal, sehingga
sitoplasma lebih jelas terlihat
- Dalam lumennya tidak terdapat sel-sel darah
Ansa Henle Segmen Tebal Pars Desendens
- Mirip tubulus kontortus proximal tetap diameternya lebih kecil dan
dindingnya lebih tipis
- Selalu terpotong dalam berbagai potongan
Ansa Henle Segmen Tebal Pars Asenden
- Mirip tubulus kontortus distal, tetapi diameternya lebih kecil dan
dindingnya lebih tipis
- Selalu terpotong dalam berbagai potongan
- Epitel selapis kubis
- Batas-batas sel lebih jelas
- Inti bulat, letak agak berdekatan
- Sitoplasma basofil (biru)
- Tidak mempunyai brush border
- Absorbsi ion Na dalam pengaruh aldosterone dan sekresi ion K

4. Ductus Coligens

Gambar 9. Duktus Koligens

13
Saluran pengumpul, menampung beberapa tubulus distal, bermuara sebagai
ductus papillaris Bellini di papilla renis. Dilapisi oleh epitel kubis tinggi hingga
toraks rendah. Batas-batas anatar sel terlihat jelas dan bersifat clean cells karena
tidak menyerap zat warna.

URETER
Dinding saluran urinarius berstruktur sama yaitu terdapat tunika mukosa, tunika
muscular dan tunika adventitia. Tunika mukosa terdiri dari epitel transisional dan tunika
muscularis terdiri dari dua lapis otot yang berslingan. Tunika mukosa pada ureter terlipat
kedalam. Pada tunika muscularisnya terdapat 2 lapisan otot yaitu bagian luar otot polos
tersusun sirkuler dan bagian dalam otot polos tersusun longitudinal. Dan lapisan terakhir
terdapat tunika adventitia.

Gambar 10. Ureter


2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Ginjal
Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang masing- masing
dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin. Ginjal tidak dapat membentuk
nefron baru, oleh sebab itu, pada trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan
terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron
biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini seharusnya tidak mengancam
jiwa karena adanya proses adaptif tubuh terhadap penurunan fungsi faal ginjal.
Setiap nefron memiliki 2 komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus
(kapiler glomerulus) dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubulus
merupakan saluran panjang yang mengubah cairan yang telah difiltrasi menjadi urin dan
dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari jaringan kapiler glomerulus
bercabang dan beranastomosis yang mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira
60mmHg), dibandingkan dengan jaringan kapiler lain.

14
Gambar 11. Kapiler Glomerulus
Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus
dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus
masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang
terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian dilanjutkan dengan ansa
Henle (Loop of Henle). Pada ansa Henle terdapat bagian yang desenden dan asenden.
Pada ujung cabang asenden tebal terdapat makula densa. Makula densa juga memiliki
kemampuan kosong untuk mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus distal, urin
menuju tubulus rektus dan tubulus koligentes modular hingga urin mengalir melalui
ujung papilla renalis dan kemudian bergabung membentuk struktur pelvis renalis.
Fungsi ginjal yaitu
1. Membuang bahan sisa terutama senyawaan nitrogen seperti urea dan kreatinin yang
dihasilkan dari metabolisme makanan oleh tubuh, bahan asing dan produk sisa.
2. Mengatur keseimbangan air dan elektrolit
3. Mengatur keseimbangan asam dan basa.
4. Menghasilkan renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah.
5. Menghasilkan eritropoietin yang mempunyai peran dalam proses pembentukan
eritrosit di sumsum tulang.
6. Produksi dan ekskresi urin
Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi
glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus.
1. Filtrasi glomerulus
Proses penyaringan besar-besaran plasma (hampir bebas protein) dari kapiler
glomerulus ke dalam kapsula bowman. Filtrasi darah terjadi di glomerulus, dimana
jaringan kapiler dengan struktur spesifik dibuat untuk menahan komonen selular dan
medium-molekular-protein besar kedalam vascular system, menekan cairan yang

15
identik dengan plasma di elektrolitnya dan komposisi air. Cairan ini disebut filtrate
glomerular.
Struktur kapiler glomerular terdiri atas 3 lapisan yaitu : endothelium capiler,
membrane dasar, epiutelium visceral. Endothelium kapiler terdiri satu lapisan sel yang
perpanjangan sitoplasmik yang ditembus oleh jendela atau fenestrate.
Dinding kapiler glomerular membuat rintangan untuk pergerakan air dan solute
menyebrangi kapiler glomerular. Tekanan hidrostatik darah didalam kapiler dan
tekanan oncotik dari cairan di dalam bowman space merupakan kekuatn untuk proses
filtrasi. Normalnya tekanan onkotik di bowman space tidak ada karena molekul
protein yang medium-besar tidak tersaring. Rintangan untuk filtrasi (filtration barrier)
bersifat selektif permeable. Normalnya komponen seluler dan protein plasmatetap
didalam darah, sedangkan air dan larutan akan bebas tersaring.
Pada umunya molekul dengan raidus 4nm atau lebih tidak tersaring, sebaliknya
molekul 2 nm atau kurang akan tersaring tanpa batasan. Bagaimanapun karakteristik
juga mempengaruhi kemampuan dari komponen darah untuk menyebrangi filtrasi.
Selain itu beban listirk (electric charged ) dari sretiap molekul juga mempengaruhi
filtrasi. Kation ( positive ) lebih mudah tersaring dari pada anionBahan-bahan kecil
yang dapat terlarut dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium,
klorida, bikarbonat, garam lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari
endapan.Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer) yang
komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein.

Tekanan darah kapiler glomerulus adalah gaya utama yang menginduksi filtrasi
glomerulus. Gaya-gaya yang berperan dalam filtrasi glomerulus, yaitu:
A. Tekanan Darah Kapiler Glomerulus
Tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus,
bergantung pada kontraksi jantung dan resistensi terhadap aliran darah yang
ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Gaya ini merupakan satu-satunya
gaya yang mendorong filtrasi. Tekanan darah kapiler glomerulus, dengan nilai
rata-rata diperkirakan sebesar 55 mmHg.

Gambar 12. Gaya- Gaya dalam Filtrasi Glomerulus

16
B. Tekanan Koloid Plasma
Gaya ini ditimbulkan oleh distribusi tidak seimbang protein-protein plasma
dikedua sisi membrane glomerulus karena tidak dapat dilfiltrasi. Besar gaya
osmotic ini diperkirakan sebesar 30 mmHg.
C. Tekanan Hidrostatik Kapsul Bowman
Tekanan yang ditimbulkan oleh cairan di bagian awal tubulus, diperkirakan
sekitar 15 mmHg. Tekanan ini, cenderung mendorong cairan keluar kapsul
Bowman melawan filtrasi cairan di glomerulus menuju kapsul Bowman.

Jumlah filtrat yg dibentuk per satuan waktu dikenal sebagai Laju Filtrasi Glomerulus.
LFG normal 125 ml/menit atau 180 L/hari. LFG dipengaruhi oleh :
- Tekanan filtrasi netto, yaitu tekanan dan aliran darah ginjal
- Koefisien filtrasi, yaitu luas permukaan kapiler glomerulus yang dapat
melakukan filtrasi dan permeabilitas membran kapiler-kapsula Bowman.
Mekanisme kontrol dalam mengatur LFG berfungsi untuk menyesuaikan aliran darah
glomerulus dengan mengatur jari-jari arteriol aferen.
a. Otoregulasi
Perubahan spontan LFG akan dicegah oleh mekanisme regulasi instrinsik yang
dilakukan oleh ginjal, yaitu dengan mengubah-ubah caliber arteriol aferen sehingga
resistensi terhadap aliran pembuluh ini dapat disesuaikan.
Mekanisme :
 Tekanan darah meningkat → LFG meningkat → Konstriksi arteriol aferen
→ penurunan aliran darah ke dalam glomerulus → LFG kembali normal.
 Tekanan darah menurun → LFG menurun → Dilatasi arteriol aferen →
darah banyak masuk → tekanan darah glomerulus meningkat → LFG
kembali normal.

b. Kontrol simpatis ekstrinsik


Kontrol ekstrinsik yang diperantai oleh sinyal system saraf simpatis ke arteriol
aferen, ditujukan untuk mengatur tekanan darah arteri. Sistem saraf parasimpatis
tidak memiliki pengaruh apapun pada ginjal. Pada control ini, reflex baroreseptor
yang berada di arkus aorta dan sinus karotis mempengaruhi LFG dalam regulasi
jangka panjang tekanan darah arteri.
Mekanisme autoregulasi LFG-tubulo glomerular feedback
 Ada 2 mekanisme umpan balik :
- Mekanisme umpan balik vasodilator arteriol afferent
- Mekanisme umpan balik vasokonstriktor arteriol efferent

Kombinasi kedua umpan balik ini disebut Tubuloglomerular feedback


 Mekanisme umpan balik vasodilator afferent
Aliran filtrat glomeruli yang sangat sedikit ke dalam tubuli  konsentrasi
ion Cl pada macula densa   dilatasi arteriol afferent  aliran darah renal
 ke glomerulus  tekanan gromerulus   laju filtrasi glomerulus
kembali 
 Mekanisme umpan balik vasokonstriktor arteriol efferent
Laju filtrasi glomerulus rendah  reabsorpsi berlebihan ion Cl 
konsentrasi ion Cl pada makula densa   sel juxtaglomerular sekresi renin

17
 pembentukan angiotensin II  Angiotensin II menimbulkan konstriksi
pada arteriol afferent  tekanan glomerulus meningkat  laju filtrasi
glomerulus kembali normal

2. Reabsorpsi tubulus

Gambar 13. Proses Reabsropsi pada Tubulus


Perpindahan zat dari lumen tubulus menuju plasma kapiler peritubulus. Tubulus
proksimal bertanggung jawab terhadap reabsorbsi bagian terbesar dari filtered solute.
Kecepatan dan kemampuan reabsorbsi dan sekresi dari tubulus renal tiak sama.
Tubulus proksimal tersusun dan mempunyai hubungan dengan kapiler peritubular
yang memfasilitasi pergherakan dari komponen cairan tubulus melalui 2 jalur :
- Jalur transeluler, kandungan (substance) dibawa oleh sel dari cairn tubulus
melewati epical membrane plasma dan dilepaskan ke cairan interstisial
dibagian darah dari sel, melewati basolateral membrane plasma.
- Jalur paraseluler, kandungan yang tereabsorbsi melewati jalur paraseluler
bergerak dari cairan tubulus menuju zonula ocludens yang merupakan struktur
permeable yang mendempet sel tubulus proksimal satu daln lainnya.
Paraselluler transport terjadi dari difusi pasif.
Di tubulus proksimal terjadi transport Na melalui Na, K pump. Di kondisi optimal,
Na, K, ATPase pump manekan tiga ion Na kedalam cairan interstisial dan
mengeluarkan 2 ion K ke sel, sehingga konsentrasi Na di sel berkurang dan
konsentrasi K di sel bertambah. Selanjutnya disebelah luar difusi K melalui canal K
membuat sel polar. Jadi interior sel bersifat negative . pergerakan Na melewati sel
apical difasilitasi spesifik transporters yang berada di membrane. Pergerakan Na
melewati transporter ini berpasangan dengan larutan lainnya dalam satu pimpinan
sebagai Na (contransport) atau berlawanan pimpinan (countertransport).
Substansi diangkut dari tubulus proksimal ke sel melalui mekanisme ini ( secondary
active transport ) termasuk gluukosa, asam amino, fosfat, sulfat, dan organic anion.
Pengambilan active substansi ini menambah konsentrasi intraseluler dan membuat
substansi melewati membrane plasma basolateral dan kedarah melalui pasif atau
difusi terfasilitasi. Reabsorbsi dari bikarbonat oleh tubulus proksimal juga di
pengaruhi gradient Na.
18
Hampir 99% dari cairan filtrate direabsorpsi kembali bersama zat-zat yang terlarut
didalam cairan filtrate tersebut. Akan tetapi tidak semua zat-zat yang terlarut dapat
direabsorpsi dengan sempurna, antara lain glukosa dan asam amino. Mekanisme
terjadinya reabsorpsi pada tubulus melalui dua cara yaitu:
a. Transfort aktif
Zat-zat yang mengalami transfort aktif pada tubulus proksimal yaitu ion Na+,
K+, PO4-, NO3-, glukosa dan asam amino. Terjadinya difusi ion-ion khususnya
ion Na+, melalui sel tubulus kedalam pembuluh kapiler peritubuler disebabkan
perbedaan ptensial listrik didalam ep-itel tubulus (-70mvolt) dan diluar sel (-3m
volt). Perbedaan electrochemical gradient ini membentu terjadinya proses
difusi. Meningkatnya difusi natrium diesbabkan permiabilitas sel tubuler
terhadap ion natrium relative tinggi. Keadaan ini dimungkinkan karena terdapat
banyak mikrovilli yang memperluas permukaan tubulus. Proses ini memerlukan
energi dan dapat berlangsung terus-menerus.

b. Transfor pasif
Terjadinya transport pasif ditentukan oleh jumlah konsentrasi air yang ada pada
lumen tubulus, permiabilitas membrane tubulus terhadap zat yang terlarut
dalam cairan filtrate dan perbedaan muatan listrikpada dinding sel tubulus. Zat
yang mengalami transfor pasif, misalnya ureum, sedangkan air keluar dari
lumen tubulusmelalui prosese osmosis. Perbedan potensial listrik didalam
lumen tubulus dibandingkan diluar lumen tubulus menyebabkan terjadinya
proses dipusi ion Na+ dari lumen tubulus kedalam sel epitel tubulus dan
selanjutnya menuju kedalam sel peritubulus. Bersamaan dengan perpindahan
ion Na+ diikuti pula terbawanya ion Cl-, HCO3- kedalam kapiler peritubuler.
Kecepatan reabsorsi ini ditentukan pula oleh perbedaan potensial listrik yang
terdapat didalam dan diluar lumen tubulus.
Sedangkan sekresi tubulus melalui proses: sekresi aktif dan sekresi pasif. Sekresi
aktif merupakan kebalikan dari transpor aktif. Dalam proses ini terjadi sekresi dari
kapiler peritubuler kelumen tubulus. Sedangkan sekresi pasif melalui proses difusi.
Ion NH3- yang disintesa dalam sel tubulus selanjutnya masuk kedalam lumen tubulus
melalui proses difusi. Dengan masuknya ion NH3- kedalam lumen tubulus akan
membantu mengatur tingkat keasaman cairan tubulus. Kemampuan reabsorpsi dan
sekresi zat-zat dalam berbagai segmen tubulus berbeda-beda.
3. Sekresi Tubulus
Proses ketiga ginjal. Sekresi tubulus adalah pemindahan selektif bahan-bahan dari
kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini adalah rute kedua bagi masuknya
bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah. Hanaya sekitar 20% plasma yang mengalir
melalui kapiler glomerulus difiltrasi dalam kapsula bowman, sisanya 80% mengalir
melalui arteriol eferen ke dalam kapiler pertubulus. Secara cepat dengan mengekstraksi
sejumlah bahan tertentu dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler peritubulus
dan memindahkan ke bahan yang sudah ada di tubulus sebagai urin.

19
Gambar 14. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
3. Memahami dan Menjelaskan Glomerulonefritis
3.1 Definisi
Glomerulonefritis merupakan suatu penyakit ginjal yang disebabkan oleh proses
inflamasi pada struktur glomerular sehingga sel darah merah dan protein keluar ke dalam
urin.
Glomerulonefritis akut atau juga disebut glomerulonefritis akut pasca streptokokus
(GNAPS) adalah peradangan glomerulus yang ditandai dengan proliferasi dan inflamasi
glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-Hemolytic Streptococci (GABHS) dan
ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oligouria yang
terjadi secara akut.

3.2 Klasifikasi
1. Glomerulonefritis Kongenital atau Herediter
a. Sindrom Alport
Adalah suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulopati
progresif familial yang sering disertai tuli syaraf dan kelainan mata
b. Sindrom Nefrotik Kongenital
Adalah sindrom nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir,
dengan gejala seperti proteinuria masif, sembab dan hipoalbunemia
Klasifikasi sindrom nefrotik konenital
 Idiopatik : sindrom nefrotik kongenital tipe finlandia, sklerosis mesangal difus,
jenis lain
 Sekunder : sifilis kongenital, infeksi perinatal, intoksikasi merkuri
 Sindrom : sindrom drash dan sindrom malformasi lain

20
2. Glomerulonefritis Primer
Yakni apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal itu sendiri
A. GN NON-PROLIFERATIF
a. Glomerulonefritis Lesi Minimal (GNLM)
Merupakan salah satu bentuk yang sering dikaitkan dengan sindrom
nefrotik dan disebut pula sebagai neefrosis lupoid. Pada pemeriksaan MC
menunjukkan gambaran glomerulus yang normal. Endapan Ig atau
komplemen tidak ditemukan pada pemeriksaan MI sedangkan pada
pemeriksaan ME menunjukkan fusi atau hilanagnya foot processes sel
epitel viseral glomerulus.

b. Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (GSFS)


Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik dengan gejala
proteinuria masif, hipertensi, hematuria, dan sering disertai gangguan
fungsi ginjal. Pemeriksaan MC menunjukkan sklerosis glomerulus yang
mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi kapiler glomerulus
terjadi pada segmen glomerulus dan dingding kapiler mengalami kolaps.
Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari Ig M dan komplemen C3.
Glomerulus yang lain dapat normal atau membesar dan pada sebagian
kasus ditemukan penambahan sel.

c. Glomerulonefritis Membranosa (GNMN)


GNMN atau nefropati membranosa sering merupakan penyebab sindrom
nefrotik. Sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui (idiopatik)
sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi hepatitis virus B atau
C, tumor ganas, atau akibat obat misalnya preparat emas, penisilinamin,
obat anti inflamasi non-steroid. Pemeriksaan MC tidak menunjukkan
kelainana yang berarti dan pemeriksaan MIF menunjukkan deposit Ig G
dan komplemen C3 berbentuk glandural pada dinding kapiler glomerulus.
Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi spike-like pada MBG.
Gamabaran histopatologi pada pemeriksaan MC, MIF, ME sangat
terganatung pada stadium penyakit.

B. GN PROLIFERATIF
a. Glomerulonefritis Membrano-Proliferatif (GNMP)
Dibagi menjadi primer yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) dan
sekunder akibat infeksi kronik, krioglobulinemia, dan penyakit autoimun
sistemik. GNMP atau GN mesongio-kapiler dapat bermanifestasi klinis
SN atau sindrom nefritik akut. Pada pemeriksaan serologis ditemukan
kadar komplemen rendah atau hipokomplemenemia. Pemeriksaan MC
menunjukkan penebalan dinding kapiler dan penambahan matriks
mesangial. Pulasan periodic acid Schiff (PAS) ditemukan MBG yang
terbelah (splitting) disebut double contour atau tram-track appearance.
Pada pemeriksaan MIF memperlihatkan endapan C3, biasanya disertai
properdin, C1q, C4, dan C2. Endapan Ig G dan Ig M dapat pula ditemukan
dan endapan Ig A sewaktu-waktu.

21
b. Glomerulonefritis Progresif Cepat (GNPC)
Mempunyai etiologi dan patogenesis yang berbeda tergantung
penyebabnya, misalnya GN pasca infeksi Streptococcus, sindrom
Goodpasture, lupus nefritis, vaskulitis, krioglobulinemia atau idiopatik.
Gambaran histopatologis secara khas ditemukan kresen selular pada
sebagian besar glomerulus. Kresen berasal dari proliferasi sel epitel
parietal dan viseral glomerulus, infiltrasi fibroblas, limfosit dan monosit,
serta endapan fibrin.
Nefropati Ig A dan nefropati Ig M juga dikelompokkan dalam GN
ploriferatif. Nefropati Ig A merupakan bentuk yang sering ditemukan pada
GN mesangio-proliferatif dan juga penyebab hematuria asimtomatik.
Gambaran histopatologi pada pemeriksaan MC bervariasi mulai dari
ringan hingga kronik lanjut. Pemeriksaan MIF menunjukkan endapan Ig
A terutama ditemukan pada mesangium dan sedikit pada dinding kapiler
glomerulus.

3. Berdasarkan derajat penyakitnya


a. Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan komplek antigen dan
antibodi di kapiler – kapiler glomerulus. Komplek biasanya terbentuk 7 – 10
hari setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus (glomerulonephritis
pascastreptococcus ) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain.

b.Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel – sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang
tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering
timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis
yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria (protein
dalam urin) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah diabetes mellitus
dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan
jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes
yang mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal jangka
panjang yang kurang baik.

3.3 Epidemiologi
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus sering terjadi pada anak usia 5-12 tahun,
jarang pada anak di bawah 3 tahun. Penyebabnya karena pada usia 5-12 tahun merupakan
usia sekolah, di mana mudah terpapar dengan agen infeksi. Sekitar 97% kasus GNAPS
terjadi di negara berkembang dan berkurang di negara industri atau negara maju. Terbukti,
selama 2-3 dekade terakhir, kejadian GNAPS telah menurun di Amerika Serikat dan juga di
negara lain, seperti Jepang, Eropa Tengah, Inggris Raya dan Korea Selatan. Hal ini berkaitan
dengan kondisi higiene yang baik, lingkungan yang sehat, serta penggunaan antibiotik.
WHO memperkirakan kasus GNAPS terjadi kira-kira 472 000 kasus setiap tahunnya
secara global dengan 5000 kematian setiap tahunnya. Kira-kira 404.000 kasus di laporakan

22
terjadi pada anak-anak dan 456 terjadi pada negara berkembang. Umumnya GNAPS terjadi
pada daerah beriklim tropis dan biasanya berdampak pada anak-anak dengan tingkat
ekonomi yang rendah.
Penyakit ini biasanya terjadi secara sporadik tetapi peningkatan insidensi kasus terjadi
secara epidemik pada tempat dengan komunitas yang memiliki populasi tempat tinggal di
lingkungan yang padat penduduk, higiene kurang baik, kondisi dengan insidens malnutrisi
yang tinggi.
Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Sebanyak 68,9% penderita GNAPS berasal
dari keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah dan 82% pada keluarga berpendidikan
rendah. Selain faktor kuman Streptokokus β-hemoliticus grup A strain nephritogenic,
terjadinya GNAPS dipengaruhi juga oleh beberapa faktor pejamu seperti usia, jenis kelamin,
keadaan sosial ekonomi, genetik, status gizi. dan musim. Musim juga merupakan faktor yang
dapat memengaruhi kejadian GNAPS sebab infeksi tenggorokan lebih sering terjadi pada
musim dingin, awal musim semi, dan musim hujan sedangkan piodermia lebih sering terjadi
pada akhir musim panas dan musim gugur. Pasien yang berjenis kelamin laki-laki memiliki
perbandingan yang lebih tinggi di bandingkan perempuan. Hal ini mungkin disebabkan
karena anak laki-laki lebih sering berada di luar rumah sehingga rentan terpapar dengan
kuman penyebab infeksi.
3.4 Etiologi
Sebagian besar etiologi GN tidak diketahui kecuali yang disebabkan oleh infeksi beta
Streptococcus pada GN pasca infeksi Streptococcus atau akibat virus hepatitis C. Faktor
presipitasi misalnya infeksi atau pengaruh obat atau pajanan toksin yang dapat menginisiasi
terjadinya respon imun yang serupa yang menyebabkan GN dengan mekanisme yang sama.
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska Streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus
grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi
kulit 8-14 hari setelah infeksi Streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman
Streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska
Streptokokus berkisar 10-15%.
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi
terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari
streptokokus, penyebab lain diantaranya:
- Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi dll
- Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika dll.
- Parasit : malaria dan toksoplasma.
STREPTOCOCCUS
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk
pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan bakteri yang

23
heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan oleh
Streptococcus hemolisis β kumpulan A. Kumpulan ini diberi spesies nama S. pyogenes.
S. pyogenes β-hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:
a. Streptolisin O
Adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan
tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen.
Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika
pertumbuhan dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng
agar darah. Sterptolisisn O bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibody
yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh setiap sterptokokus yang
menghasilkan sterptolisin O. Antibody ini menghambat hemolisis oleh sterptolisin
O. Fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum
antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan
menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar
antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang
hipersensitifitas.

b. Streptolisin S
Adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptokokus yang
tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan antigen, tetapi
zat ini dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum
manusia dan hewan dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan
sterptokokus. Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit.
Penyakit yang sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan
glomerulonephritis.

Gambar 15. Bakteri Streptococcus

3.5 Patofisiologi dan Patogenesis


PATOFISIOLOGI
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi
glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut
akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan
menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan
tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan

24
menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan
bahwa retensi Na dan air didukung oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di
glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal

25
2.faring atau kulit
Infeksi Proliferasi dan kerusakan glomerolus
3.
oleh streptokokus secara progresif

Reaksi antigen antibodi Glomerolusnefritis akut Pengendapan fibrin dan pembentukan


jaringan parut pada glomerolus
Pengendapan
kompleks antigen Glomerulosklerosis Membran Glomerolus menebal
antibody di kapiler
kapiler glomerolus
Respon
Gastrointestinal :

Penurunan GFR Penumpukan toksik Respon hematologis -Ureum pada


urekemik didalam darah produksi saluran cerna
ketidakseimbangan eritroprotein
- Penurunan cairan dan elekrolit menurun, - Peradangan
vol. urin trombositopenia mukosa saluran
- Retensi cerna
cairan dan Hipertensi Respon asidosis
natrium sistemik matabolik dan sindrom Masa hidup sel
- Peningkatan uremia pada system darah merah Napas bau
aldosteron saraf dan pernafasan. pendek, ammonia,
Beban Kerja
jantung kehilangan sel stomatitis,ulkus
- Pernafasan kussmaul
MK: meningkat darah merah lambung
- Letargi, kesadaran
Kelebihan meningkat,
menurun pembekuan
Vol. Cairan
- Edema sel otak darah menurun Mual muntah,
Curah meningkat anoreksia
Jantung
MK: Penurunan - Disfungsi cerebral
menurun
curah jantung, - Neuropati perifer
penurunan Anemia Intake nutrisi
perfusi jaringan tidak adekuat
MK: Penurunan perfusi MK: Gangguan MK:
celebral pola nafas Resiko MK:
Vol cairan meningkat, cidera Ketidakseimbangan
hipenatremia, Perubahan proses nutrisi kurang dari
Respon psikologis
hiperkalemia, pH berfikir, deficit kebutuhan
prognosis penyakit Sesak
menurun, neurologik
tindakan dialisa
hiperpospatemia, dan
koping maladaktif
hipokalsemia kelelahan

Gangguan konsep diri


MK: intoleransi
Respon hiperkalemia, MK: Resiko tinggi (gambaran diri),
aktivitas
kerusakan impuls saraf, Aritmia,Resiko Kecemasan, Pemenuhan
gangguan konduksi Tinggi Kejang informasi
elektrikal otot ventrikel

26
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air, sehingga
dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS
tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur
ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik
hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga
hormon tersebut meningkat.

PATOGENESIS
Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit kompleks imun.
Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk penyakit imunologik
adalah:
- Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik . - Kadar
imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.
- Kadar komplemen C3 menurun dalam darah. - Adanya endapan IgG dan C3 pada
glomerulus.
- Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah. Pada pemeriksaan hapusan
tenggorok (throat swab) atau kulit (skin swab) tidak selalu ditemukan GABHS.
Hal ini mungkin karena penderita telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah
sakit. Juga lamanya periode laten menyebabkan sukarnya ditemukan kuman
streptokokus.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, maka organisme tersering yang berhubungan
dengan GNAPS ialah Group A β-hemolytic streptococci . Penyebaran penyakit ini
dapat melalui infeksi saluran napas atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik
secara sporadik atau epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS

27
menyebabkan penyakit ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena
hanya serotipe tertentu dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya
mengandung protein M atau T (terbanyak protein tipe M).
Serotipe GABHS yang berhubungan dengan GNAPS
Serotipe terbanyak Serotipe terbanyak
pada Faringitis pada piodermi

Tipe M 1,3,4,12,25,49 2,49,55,57,60

Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan 2 bentuk antigen yang berperan pada


GNAPS yaitu :
1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPℓr) NAPℓr dapat diisolasi dari
streptokokus grup A yang terikat dengan plasmin. Antigen nefritogenik ini dapat
ditemukan pada jaringan hasil biopsi ginjal pada fase dini penderita GNAPS.
Ikatan dengan plasmin ini dapat meningkatkan proses inflamasi yang pada
gilirannya dapat merusak membran basalis glomerulus
2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB). SPEB merupakan antigen
nefritogenik yang dijumpai bersama – sama dengan IgG komplemen (C3 ) sebagai
electron dense deposit subepithelial yang dikenal sebagai HUMPS.
Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui :
1. Soluble Antigen-Antibody Complex Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi
NAPℓr sebagai antigen dan antibodi anti NAPℓr larut dalam darah dan mengendap
pada glomerulus.
2. Insitu Formation : Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena
antigen nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen. Teori insitu
formation lebih berarti secara klinik oleh karena makin banyak HUMPS yang
terjadi makin lebih sering terjadi proteinuria masif dengan prognosis buruk.

Imunitas Selular : Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena
dijumpainya infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal.
Infiltrasi sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi ICAM – I dan
LFA – I, yang pada gilirannya mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak
membran basalis glomerulus.

3.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi tidak
jarang anak datang dengan gejala berat.. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus
mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi
Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh.
Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi
berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan
ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan
azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi
hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata

28
dibagian anggotaGFR biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja biasanya normal)
akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema
dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium.
Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema
paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya
tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan payah jantung
kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam.
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian pada
akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal,
maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila
keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi
sekali pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala
infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang.
Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme
masih belum diketahui dengna jelas.
Kriteria klinik yang paling sering ditemukan :
1. Periode Laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode
1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan
periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di
bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka
harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari
glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein
atau Benign recurrent haematuria.
2. Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan
jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun
pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau
berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini
terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang
tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan
berat badan.
Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke
jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedangkan
hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian

29
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging
atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu
pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai
beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya
menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria
mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh.
Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan
proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk
dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.
4. Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar
mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama
dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada
kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg).
Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet
yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat
menyebabkan ensefalopati hipertensiyaitu hipertensi yang disertai gejala serebral,
seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang- 5UKK
Nefrologi IDAI 2012kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan
ensefalopati hipertensi berkisar 4-50%.
Dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistolik dan atau diastolik tiga kali
berturut-turut di atas persentil 95 menurut umur dan jenis kelamin. Praktisnya:
- Hipertensi ringan jika tekanan darah diastolik 80-95 mmHg
- Hipertensi sedang jika tekanan darah diastolik 95-115 mmHg
- Hipertensi berat jika tekanan darah diastolik lebih dari 115 mmHg
Gejala klinis lainnya:
1. Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi
urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun
atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria
umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria
yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis
yang jelek.
2. Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi
pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat
hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi
walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan
terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan
air sehingga terjadi hipervolemia.
 Edem paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat
bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya

30
terlihat secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas,
sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah
halus. Keadaan ini disebut acute pulmonaryedema yang umumnya terjadi
dalam minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik
ini menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak
diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis
yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik
toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini
biasanya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks dapat
berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan
radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi
Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan (LDK).
Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura
81,6%, sedangkan Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing-masing
0,3% dan 52%. Bentuk yang tersering adalah bendungan paru. Kardiomegali
disertai dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa
berdiri sendiri atau bersama-sama. Pada pengamatan 48 penderita GNAPS
yang dirawat di departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS.
Pelamonia di Makassar sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan
56,4% kongesti paru, 48,7% edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan
radiologik paru yang ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari
bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura, oleh karena adanya
ronki basah dan edema paru. Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologik
paru pada GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari,
sedangkan pada bronkopnemonia atau pneumonia diperlukan waktu lebih
lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah kelainan radiologik paru dapat
membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak patognomonik.
Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan
oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.
3. Gejala umum
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan
anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat
edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

3.7 Diagnosis dan Diagnosisi Banding


DIAGNOSIS
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada umumnya
kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut: Gejala-gejala klinik :
- Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case
dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan
gejala-gejala khas GNAPS
- Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa adanya torak
eritrosit, hematuria & pr Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk
streptokokus ß hemolitikus grup Aoteinuria.

31
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin
(hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan penderita
GNAPS.
1. Anamnesis
Hal pertama yang harus di tanyakan adalah identitas pasien, riwayat penyakit
secara umum, khususnya pernah mengalami infeksi bakteri, terutama
streptococcus, riwayat kesehatan keluarga, riwayat sosial dan ekonomi, pernah
mengkonsumsi OAINS, preparat emas, heroin, ataupun imunosupresif dan
apakah terdapat edema tungkai atau pun kelopak mata.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien dengan SNA, pemeriksaan fisik dan tekanan darah kadang dalam
batas normal; tetapi kebanyakan pada pemeriksaan ditemukan adanya edema,
hipertensi, dan oliguria.
- Edema sering pada daerah muka, terutama daerah periorbital
- Hipertensi sering ditemukan pada 80% kasus SNA
- Hematuria, baik pada pemeriksaan makroskopik atau mikroskopik
- Skin rash
- Kelainan neurologis ditemukan pada kasus hipertensi malignant atau hipertensi
encepalopaty.
- Artritis
- Tanda-tanda lain : Faringitis, Impetigo, ISPA, Murmur (menunjukan adanya
endokarditis), Nyeri perut, Kenaikan berat badan, Purpura palpebra pada pasien
dengan Henoch Schoenlein purpura
3. Pemeriksaan Penunjang
LABORATORIUM
1. Urin
a. Proteinuria
Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++,
jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus
dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria
makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2
gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2
gram/m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan
dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria
bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala
klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih
terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan
kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan biopsi
ginjal untuk membuktikannya.
b. Hematuria
Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada,
karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling
penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis.
Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat
pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan
bantuan yang sangat penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab
torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus
32
(glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula
dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.
2. Darah
a. Reaksi Serologis
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap
produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi
yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASO),
antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B).
Titer ASO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa,
karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS.
Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang
meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus
sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14
sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke-
3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO jelas
meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh
streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat
pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini
titer ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi. Hal
ini diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi
pembentukan antibodi terhadap streptokokus sehingga infeksi
streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus menyebabkan titer
ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah
infeksi melalui kulit.
b. Aktivasi Komplemen
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut
serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi
streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam
tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering diperiksa
kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis
melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun.
Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu
pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8
minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar
komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses
kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano
proliferatif atau nefritis lupus.
c. Laju Endap Darah (LED)
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala
klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan
sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS
dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah menghilang.
GAMBARAN PATOLOGI
Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik
perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena,
sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa.

33
Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan
lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula
infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak
teratur. Terdapat gumpalan humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh
globulin-gama, komplemen dan antigen Streptococcus.

Gambar 16. Histopatologi gelomerulonefritis dengan mikroskop cahaya


pembesaran 20×

Keterangan gambar : Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop cahaya


(hematosylin dan eosin dengan pembesaran 25×). Gambar menunjukkan pembearan
glomerular yang membuat pembesaran ruang urinary dan hiperselluler. Hiperselluler
terjadi karnea proliferasi dari sel endogen dan infiltasi lekosit PMN.

Gambar 17. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop cahaya


pembesaran 40×

Gambar 18. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop electron

34
Keterangan gambar : gambar diambil dengan menggunakan mikroskop electron.
Gambar menunjukjan proliferadi dari sel endothel dan sel mesangial juga infiltrasi
lekosit yang bergabung dnegan deposit electron di subephitelia. (lihat tanda panah)

Gambar 19. Histopatologi glomerulonefritis dengan immunofluoresensi


Keterangan gambar : gambar diambil dengan menggunakan mikroskop
immunofluoresensi dengan pembesaran 25×. Gambar menunjukkan adanya deposit
immunoglobulin G (IgG) sepanjang membran basalis dan mesangium dengan
gambaran ”starry sky appearence”.
DIAGNOSIS BANDING
Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti GNAPS.
1. Penyakit ginjal
a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat
berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat
penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-
3 hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas
meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis.
b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter
(sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign recurrent
haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi.
Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan
dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun kalau ada berlangsung
sangat singkat.
c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak.
Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut
dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi
pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang
menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS
umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya
meninggal karena gagal ginjal.

35
2. Penyakit-penyakit sistemik
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-
Schöenlein, eritematosusdan endokarditis bakterial subakut.Ketiga penyakit ini
dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria,
proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok negatif
dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen dan
artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada SLE terdapat
kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada
GNAPS, sedangkan pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau oliguria. Biopsi
ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang kelainan histologiknya
bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal.
3. Penyakit-penyakit infeksi
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh Group
A β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA yang
timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO.
Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya.

3.8 Tatalaksana
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul
dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak
dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti
sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu
dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan
hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan
sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila masih
dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan lanjut pada
waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak
tidak dapat bermain dan jauh dari temantemannya, sehingga dapat memberikan
beban psikologik.
2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan
makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi
sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak
0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada
penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang
dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-
25 ml/kgbb/ hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal
(10 ml/kgbb/hari).
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan.
Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit
positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin
dengan alasan biakan negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus.
Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk
rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi
medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu

36
Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi
terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.
4. Obat
Efektivitas penggunaan obat imunosupresif pada glomerolusnefritis masih belum
seragam. Pengobatan imunosupresif mempertimbangkan beberapa fsktor seperti
etiologi, faktor pasien, efek samping dan prognosis. Kortikosteroid efektif untuk
beberapa glomerolusnefritis karena dapat menghambat sitokin proinflamasi.
Pengobatan lanjutan dengan kombinasi kortikosteroid dan imunosupresif lain
diperlukan pada glomerolusnefritis yang resisten dan tergabntung steroid atau
kambuh berulang. Siklofosfamid, klorambusil dan azatioprin diketahui mempunyai
efek antiproliferasi dan dapat menekan inflamasi glomerulus.
Diuretik diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi.
5. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan,
dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat
atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid.
Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.
b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan
dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa
kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa
tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid
atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada keadaan asupan
oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-
0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada
hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi)
dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali
atau diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat
digabung dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb)
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian
kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi
natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau
Kayexalate untuk mengikat kalium.
PEMANTAUAN
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejalagejala seperti
edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala
laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan. Kadar C3 yang menurun
(hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan
hematuria dapat menetap selama 6 bln–1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melacak adanya proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat
menetap hingga 6 bulan, sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1
tahun. Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria yang
berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan untuk

37
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat
hematuria mikroskopik dan atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun
atau sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu
atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi ginjal.
Rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak
Meskipun GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting disease, masih
terdapat kasus-kasus yang perjalanan penyakitnya tidak khas sebagai GNAPS, sehingga
memerlukan rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak untuk tindakan khusus (antara lain
biopsi ginjal). Indikasi rujukan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Gejala-gejala tidak khas untuk GNAPS :
- Periode laten pendek - Adanya penyakit ginjal dalam keluarga
- Pernah mendapat penyakit ginjal sebelumnya
- Usia di bawah 2 tahun atau di atas 12 tahun
2. Adanya kelainan-kelainan laboratorik yang tidak khas untuk GNAPS :
- Hematuria makroskopik > 3 bulan
- Hematuria mikroskopik > 12 bulan
- Proteinuria > 6 bulan - Kadar komplemen C3 tetap rendah > 3 bulan
- Laju Filtrasi Glomerulus < 50% menetap > 4 bulan
- Kadar komplemen C4 rendah, ANCA (+), ANA (+), anti ds DNA (+) atau anti
GBM (+)

3.9 Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut
dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau
anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis
peritoneum kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang.
Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme
pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma.
Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap
dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik
yang menurun.
5. Gagal ginjal akut.
6. Gagal jantung.
7. Edem paru.
Jangka panjang
1. Abnormalitas urinalisis (microhematuria)
2. Gagal ginjal kronik
3. Sindrom nefrotik

38
3.10 Pencegahan
 Perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan bersih dengan sabun,
merawat kebersihan kulit, segera mengobati infeksi kulit terutama yang disebabkan
oleh Skabies.
 Perlu dilakukan pemeriksaan adanya faktor risiko infeksi GNAPS terhadap siapa
saja yang kontak dekatdengan pasien seperti tinggal serumah atau seasrama dalam
jangka waktu 2 minggu sebelum onset penyakit.

3.11 Prognosis
Jejas glomerulus yang terjadi pada GN sering tidak dapat pulih kembali sehingga
menyebabkan fibrosis glomerulus akibat proses inflamasi. Pada GN bentuk akut biasanya
membaik dengan sedikit atau tanpa kerusakan ginjal yang permanen. Kekambuhan sering
terjadi pada GNLM walaupun tidak sesering pada anak-anak walaupun biasanya fungsi
ginjal masih dalam keadaan normal. Pada GSFS dalam waktu 5-20 tahun dapat terjadi
progresivitas penyakit menuju PGTA. Suatu laporan menyebutkan 50% kasus GSFS
berkembang menjadi PGTA dalam waktu 5 tahun. Perbaikan spontan dapat terjadi pada
sebagian GNMN walaupun sebagian yang lain mempunyai prognosis yang buruk.
Sebagian besar diperkirakan 95% pasien akan sembuh sempurna dan 2% meninggal
selama fase akut, 2% menjadi glomelurusnefritis kronik. Diuresis akan menjadi normal
kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya sembab dan
secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen
serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap
terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien.
Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok yang
terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna
sangat baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria
ringan yang persisten. Sebaliknya prognosis glomerulonefritis akut pascastreptokok pada
dewasa kurang baik.
Prognosis jangka panjang glomerulonefritis akut pascastreptokok baik. Beberapa
penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis penyakit ginjal yang secara
cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum pulih dan hematuria
mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti secara seksama oleh karena
masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstra-
kapiler dan gagal ginjal kronik.

39
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 3. Jakarta: EGC
Dr.H.Achmad Sofwan, Mkes,PA., Dr.Edward Syam, MKes. (2019). SISTEM URINARIUS,
SISTEM UROGENITALE (APPARATUS UROGENITALIS) : 1-13
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. Jakarta: EGC
Hidayani,Agung R.E., Umboh,Adrian., Gunawan,Stefanus. (2016). Profil glomerulonefritis
akut pasca streptokokus pada anak yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan AnakRSUPProf.
Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic. Vol 4. No 2. Diakses melalui:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/14678/14246 pada 17 Maret
2019.
Kapita Selekta Kedokteran : Glomerulonefritis Akut, Edisi Ke – 2 , Media Aesculapius FKUI,
1982, 601 – 602.
Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathophysiology 9th ed. 2013. Philadelphia:
Elsevier Sanders.
M.I Made Raditya. (2013). REFARAT GLOMERULONEFRITIS AKUT (GNA). Diakses
melalui:
https://www.academia.edu/7902428/GLOMERULONEFRITIS_AKUT_GNA_REFRAT_M
AKALAH_MADE_RADITYA pada 17 Maret 2019.
Prodjosudjadi, Wiguno. (2017). GLOMERULONEFRITIS. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi VI. InternaPublishing : Jakarta Pusat : 2074-2080
Paulsen, F. (2011). Sobotta Atlas of Human Anatomy: Internal Organ 15th Edition.
Munich:Elsevier Urban & Fischer
Prof.Dr.Syarifuddin Rauf, dr., Sp.A., Prof.Husein Albar, dr., Sp.A., et al. (2012).
KONSENSUS GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOCOCCUS. Unit Kerja
Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Diakses melalui:
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-Glomerulonefritis-
Akut.pdf pada 17 Maret 2019.
Richard E. Behrman, Victor C. Vaughn : Glomerulonefritis Akut Dalam Nelson Textbook of
Pediatrics, Alih Bahasa dr. R.F. Maulana, M.Sc ; EGC, Jakarta, 1992, 89 – 104.
Sherwood, Lauralee. 2015.. Fisiologi Manusia :Sistem Kemih. Ed. 8. Jakarta : EGC
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Glomerulonefritis Akut, Ilmu Kesehatan Anak,
Buku Kuliah 2, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jilid 2, jakarta, 1985, 835 – 839.

40

Anda mungkin juga menyukai