Anda di halaman 1dari 12

REFLEKSI KASUS

STEVENS-JOHNSON SYNDROME

Pembimbing:

dr. Retno Indrastiti, SpKK

Disusun Oleh:

Reyhansyah Rachmadhyan (H2A014016)

Agal Bima Santoso (H2A014048)

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu reaksi mukokutaneus yang


bersifat mengancam jiwa. Insidensi sindrom ini diperkirakan berkisar antara 1-6
kasus/juta populasi per tahun. SSJ dapat menyerang segala usia dengan risiko
meningkat pada usia di atas dekade ke 4 serta pada keadaan immunodefisiensi dan
penderita kanker. Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, dengan angka
mortalitas berkisar 5-12%. Oleh karena itu, perlu penatalaksanaan yang tepat dan
cepat sehingga jiwa pasien dapat ditolong.1
Sindrom Steven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput
lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai
berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dan dapat disertai purpura.1
Definisi lain menyatakan bahwa SSJ termasuk penyakit kulit dan mukosa yang akut
dan berat yang diakibatkan oleh reaksi intoleran terhadap obat dan beberapa
infeksi.3,4
Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya
Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat
yang sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan
analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya
merupakan golongan obat lain seperti amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin,
dan seftriakson.5
Diagnosis SSJ 90% ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis yang cermat untuk mengetahui penyebab SSJ terutama obat yang
diduga sebagai penyebab.
2. Pemeriksaan klinis berupa pemeriksaan gejala prodromal, kelainan kulit,
mukosa mulut serta mata.
3. Pemeriksaan adanya infeksi yang mungkin sebagai penyebab SSJ.4,5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh
trias kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum berat.
Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated
hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.
Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat
sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia. Pasien mungkin mengeluhkan
ruam pembakaran yang dimulai secara simetris pada wajah dan bagian atas dari torso
tubuh. Selain itu, ada beberapa tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain:
a. Eritema
b. Edema
c. Sloughing
d. Blister atau vesikel
e. Ulserasi
f. Nekrosis.4

2.2. Patofisiologi
Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh
kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgG, serta
reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang
spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan

3
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat
limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.1
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA,
C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab
berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun
spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut
dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau
produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau
jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi
yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta
mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan
klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas
mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga
mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan
epidermis.7
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress
hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.8

2.3. Etiologi
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun penyebab
yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan
dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh. Ada pula yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan
disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang

4
sama.1
Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25%
karena infeksi dan penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas yang
dihasilkan adalah penyebab mayoritas yangsangat besar dari kasus SJS. Dalam angka
absolut kasus, alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di Eropa dan Israel,
dan sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian setidaknya 200 mg.10
Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa faktor
yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:
1. Obat-obatan
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan
antipiretik (penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan
SJS antara lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide,
Tetrasiklin, Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat, Pirazolon,
Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat
(Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-
jamuan.1
2. Infeksi
a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus,
HIV, Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma
venereum, rickettsia dan variola.
b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis,
mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus.
c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.9
3. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.9
4. Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain

5
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma,
Myeloma, dan Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.1

2.4. Manifestasi Klinis


Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat
akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk
berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung selama 1-
14 hari.1 Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal.4 Gejala awal
tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan
peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa lemah, serta penurunan
kesadaran.1
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson,
antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel,
dan bula.1 Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target
atau targetoid lesions.
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom
Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona
warna dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan
luas juga ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson.11
Lesi yang muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut
menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi sekunder.4
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda
Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang

6
tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan
menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson.
Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic Epidermal Necrolysis
(SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN).11,12
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan
esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian
genital.13 Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema,
pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.4
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan
mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang
dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau
kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi juga dapat timbul
pada mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga
menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada
saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air
kecil.12
c. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.
Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat
merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat
menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata.
Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.4,13

2.5. Diagnosis
Dokter sering dapat mengidentifikasi sindrom Stevens-Johnson berdasarkan
riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan tanda-tanda khas gangguan dan gejala.

7
Untuk mengkonfirmasi diagnosis, dokter akan mengambil sampel jaringan kulit
pasien (biopsi) untuk diperiksa di bawah mikroskop.14
Infiltras sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas
di epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat ditemui pada
pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain dari kulit
yang juga dapat ditemukan antara lain:
a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolar lecet
subepidermal
b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular
c. Apoptosis keratinosit
d. CD4+ T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit mendominasi di
epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar disusupi
oleh CD8+ T limfosit.4
Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:
a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan sel-sel
plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar dinding
pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T Helper
b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif
dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4

2.6. Diagnosis Banding


Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS:
1. Eritema multiformis (EM)
Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat membedakan EM dengan
SJS ialah luas permukaan tubuh yang terkena. Pada EM ialah <10% sedangkan
pada SJS ialag >30%.
2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson.
 Pada NET

8
terdapat Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan
keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat.
3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa
Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat meniru
awal SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan mukosa kurang
tapi nyeri kulit pada TEN menonjol.
4. Erupsi Pustural Obat
Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis
(AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET. AGEP
merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly centered pustules yang sering
dimulai di leher dan daerah intertriginosa.
5. Erupsi Fototoksik
Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan sinar
matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling umum
yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat
pemakaian oral. Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi
fototoksik, yang dapat menyebabkan pengelupasan epidermis luas.
6. Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai
elaborasi dari Grup A streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS hadiah
dengan keterlibatan lebih menonjol dari beberapa sistem organ.
7. Staphylococcal scalded skin syndrome
SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari
selaput lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang
mengungkapkan peluruhan hanya lapisan atas epidermis.15

9
2.7. Penatalaksanaan
Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol nyeri.
Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal itu adalah
hal yang paling penting dalam mengobati SJS. Karena sulit untuk menentukan mana
obat yang dapat menyebabkan masalah tersebut.4
Perawatan suportif
Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SJS. Perawatan suportif
mungkin dapat di terima saat dirawat di rumah sakit meliputi:
a. Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat mengakibatkan
kerugian yang signifikan cairan dari tubuh, menggantikan cairan merupakan
bagian penting dari pengobatan.
b. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat mereka
sembuh. Tim medis akan mengeliminasi kulit mati, dan kemudian menempatkan
krim dengan anestesi topikal di atas area yang terkena, jika diperlukan.
c. Perawatan mata, karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus mencakup
konsultasi dengan seorang spesialis mata (ophthalmologist).4
Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi:
a. Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan
b. Antihistamin untuk meredakan gatal
c. Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan
d. Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.4
Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari dalam
pengobatan SJS:
a. Kortikosteroid intravena
Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan
mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari ketika
gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat meningkatkan risiko
komplikasi.

10
b. Imunoglobulin intravena (IVIG)
Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan tubuh
Anda menghentikan proses SJS.
c. Pencangkokan kulit
Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu
menghilangkan kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau
menggunakan pengganti kulit sintetis mungkin diperlukan untuk membantu
penyembuhan. Perawatan ini jarang diperlukan.
Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda
mungkin mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang parah,
pemulihan penuh mungkin memakan waktu beberapa bulan.4

2.8. Prognosis
Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit. Ketika
permukaan tubuh mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase tingkat
kematianya adalah sekitar 1-5%. Namun ketika pengelupasan kulit lebih dari 30%
maka tingkat presentase kematiannya adalah sekitar 25-35% bahkan bisa mencapai
50%. Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari variabel
yang berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut
jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan tingkat bikarbonat. Untuk usia penderita
biasanya lebih dari 40 tahun selain itu bisa juga dilihat dari keganasan yang
ditimbulkan, denyut jantung >120, kadar glukosa >14 mmol / L, kadar BUN >10
mmol / L, dan tingkat bikarbonatnya < 20 mmol / L.
Di setiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa
melihat tingkat mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1 presentasenya
adalah 3.2%, skor 2 presentasenya adalah 12.1% , skor 3 presentasenya adalah
35.3%, skor 4 presentasenya adalah 58.3%, skor 5 atau lebih presentasenya adalah
90%.4

11
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff, Klaus, et al. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th


Edition. Page: 349-354. McGraw Hill: USA.
2. Djuanda, Adi, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 5 dengan Perbaikan. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.
3. Murniastutik, Dwi, et al. 2009. Atlas of Skin and Venereal Diseases.
Airlangga University Press: Surabaya.
4. Suyoso S. et al., 2005. Steven Johnson-Syndrome dalam Pedoman Diagnosis
dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Edisi 3. Rumah Sakit
Umum Dokter Soetomo: Surabaya.
5. Harsono Ariyanto. 2006. Sindroma Steven-Johnson Syndrome: Diagnosis dan
Penatalaksanaan dalam Continuing Education XXXVI. Hotel JW Marriot:
Surabaya. Available at: www.pediatrik.com/pkb/061022023053-dkjm139.pdf.
Diakses pada tanggal 26 Maret 2015.
6. Deyakapato. 2008. Sindroma Steven Johnson. Available at :
http://deyakapato.blogspot.com/2008/10/sindrom-stevens-johnson.html. Diakses
tanggal 26 Maret 2015.
7. K. Devi, et al. 2005 Carbamazepine - The Commonest Cause of Toxic
Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome: A study of 7 Years.
Indian Journal of Dermatology, Venerology and Leprosy vol. 71 p: 325-328.

12

Anda mungkin juga menyukai