Anda di halaman 1dari 3

Guru Zaman Now, Guru yang Rajin Baca

Kegemaran saya membaca buku akhir-akhir ini cukup tinggi sejak berakhirnya gelaran
Pameran Buku di Prambanan Islamic Fair di MBS, 17-21 Januari 2018 yang lalu.

Alhamdulillah atas izin istri tercinta anggaran membeli buku pada Januari saat itu harus
mengalami pembengkakan, alhasil beberapa buku baru hadir melengkapi koleksi berjajar

di lemari buku sebagian bahkan belum sempat saya buka. Alhamdulillah, kebiasaan
membaca inilah yang akhirnya memudahkan saya untuk menulis, rasa-rasanya dari ribuan

kosa kata yang saya baca dan masuk dalam otak saya ini ibarat peluru yang siap meluncur

deras saat saya sedang asyik menuangkan ide-ide saya dalam sebuah tulisan.

Bagi kita selaku pendidik yang diamanahi tugas mulia menebarkan pengetahuan kepada
para santri, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berhenti belajar. Saya selalu menyimak

dan merenungkan ungkapan yang selalu disampaikan sang pendiri MBS ini ustadz Nashir,
bahwa faaqidusy syai-i laa yu'thiih, seseorang yang tidak memiliki, tak akan bisa

memberi". Seorang guru yang setiap hari berbagi ilmu, tidak akan mampu memberi ilmu
tanpa dia memililki tambahan pengetahuan baru. Bayangkan sebuah analogi sederhana

jika kita bertemu seorang pengemis, yang miskin untuk keperluan hidup sehari-hari saja
sulit, bisakah kita meminta uang Rp 10 juta rupiah darinya?, Kita paksa sampai
berdarahpun ia tetap tak akan bisa memberikan uang Rp 10 juta yang kita minta.
Mengapa, ya karena ia memang tak punya uang tersebut.

Sekali lagi, faaqidusy syai-i laa yu'thiih, orang yang tidak memiliki tidak akan bisa

memberi. Ulama zaman dulu bahkan sangat ketat dalam pengajaran ilmu. Dalam sebuah

riwayat, Abu Yusuf yang sudah merasa cukup ilmunya, membuka majelis ta'lim sendiri,
dan meninggalkan majelis ta'lim gurunya, Abu Hanifah. Abu Hanifah, ulama yang

memiliki bashirah (mata hati) yang tajam, melihat Abu Yusuf belum matang ilmunya.
Akhirnya, diutuslah oleh beliau seseorang, untuk hadir di majelisnya Abu Yusuf.
Dititipkannya beberapa pertanyaan ke orang tersebut untuk diajukan ke Abu Yusuf, yang

kemungkinan besar tak akan mampu dijawab Abu Yusuf. Di majelis Abu Yusuf, utusan
Abu Hanifah menanyakan satu persoalan, kemudian dijawab Abu Yusuf. "Anda salah",

kata orang tersebut, kemudian ia jelaskan jawabannya yang benar, yang telah diajarkan
Abu Hanifah. Diajukannya lagi pertanyaan demi pertanyaan, setiap dijawab Abu Yusuf,

orang tersebut selalu menyatakan salah, dan ia berikan jawabannya yang benar. Akhirnya
Abu Yusuf sadar bahwa orang tersebut adalah utusan Abu Hanifah, karena tanggapan-

tanggapannya menunjukkan kedalaman ilmu yang hanya dimiliki Abu Hanifah. Akhirnya
Abu Yusuf kembali mengikuti majelisnya Abu Hanifah.

Siapapun kita di MBS ini, sebagai pimpinan, guru, satpam, sopir, tukang kebun, pegawai

dapur, memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri. Terlebih
bagi kita seorang pendidik, membaca buku adalah satu cara menjaga semangat dan

mengembangkan keilmuan, pada masa menteri pendidikan dijabat oleh Anies Baswedan,
dulu ada satu program yang cukup bagus untuk para pendidik. Program Guru Pembelajar,

satu program yang harus berhenti karena menjadi korban kebijakan ganti menteri ganti
program. Seorang guru pembelajar wajib membaca sebuah buku hingga tuntas minimal

satu buku setiap bulannya. Saya kira sudah menjadi pemahaman bersama bahwa guru
zaman now adalah mereka yang mampu mengupgrade kemampuan dirinya dengan
perkembangan zaman sekarang. Salah satu caranya tentu saja adalah dengan membaca
buku.

Sayang seribu sayang, kalau kita melihat perkembangan zaman now, diluar sana

fenomena yang ada pada sesama pendidik yang bergelut setiap hari dengan dunia
keilmuan bersama siswa nyatanya belum banyak yang punya kebiasaan membaca buku.

Kalaupun ada mereka lebih suka membaca buku semalam untuk persiapan materi
mengajar besok. Kurang apalagi saat ini, memperoleh sebuah buku tidak perlu datang
ke toko buku, dengan perkembangan tekhnologi informasi, membeli buku cukup dari
dalam rumah melalui kecanggihan handphone kita. Situs belanja online sudah bertebaran,
dan ini cukup membantu kita untuk mendapatkan buku yang kita inginkan. Selain itu,

buku-buku juga sudah banyak diedarkan dalam bentuk digital ebook, tinggal klik
download dan kita bisa membacanya.

Bagi saya, terkadang alasan kesibukan pekerjaan dan tugas-tugas menjadikan waktu saya

cukup sempit dan tidak sempat membaca. Namun sebenarnya ini hanya soal budaya,
sekali lagi ini soal budaya dan minat membaca kita yang masih rendah, berdasarkan Data

dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)


menunjukkan, persentase minat baca anak Indonesia hanya 0,01 persen. Artinya, dari

10.000 anak bangsa, hanya satu orang yang senang membaca. Ah tentu ini data yang
perlu di cari lebih dalam kebenaranya. Terlepas dari benar atau salah data tersebut, intinya

minat baca kita masih rendah.


Kebiasaan membaca tidak bisa terbentuk secara tiba-tiba. Sehingga perlu pembinaan

sejak sekarang, kalau guru sudah hobby membaca, dia akan memotivasi para siswa untuk
ikut rajin membaca. Bagi lembaga pendidikan seperti MBS ini, peran para ustadz ustadzah

selaku orangtua di pesantren sangat penting menumbuhkan minat dan kebiasaan gemar
membaca. Dalam setiap kesempatan di kelas saya selalu memotivasi kepada para santri

untuk anak tidak pernah lupa membaca. Memang idealnya kebiasaan ini dimulai dengan
membaca minimal 10 menit sebelum kegiatan belajar dimulai agar. So, tidak ada alasan
lagi untuk menunda-nunda membaca buku, jadi guru bukan hanya menguasai materi,
tapi juga mampu menguasai dunia. Gerakan literasi, membaca dan menulis harus kita

tumbuhkan di MBS ini . Jadilah pribadi yang memiliki, karena sesungguhnya seseorang
tidak akan bisa memberi kalau dirinya tidak memiliki faaqidusy syai-i laa yu'thiih.

Anda mungkin juga menyukai