Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3
kehidupan diseluruh kota besar didunia dan diperkirakan 16.000 kasus
kematian akibat trauma per tahun. Trauma pada penduduk sipil masih
tetap merupakan penyebab kematian pada seluruh kelompok umur
terutama pada usia produktif yaitu kelompok umur dibawah umur 45
tahun. Lebih dari setengah pasien-pasien trauma merupakan akibat
kecelakaan lalu lintas, selebihnya akibat terjatuh, luka tembak dan luka
tusuk, keracunan, luka bakar, dan tenggelam.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian
pada pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat
mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di
jalan raya (Baheram, 2007).Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh
cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari
2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal
dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami
disabilitas permanen (Widiyanto, 2007). Angka kejadian cedera kepala
pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini
disebabkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif
sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah
disamping penanganan pertama yang belum benar benar rujukan yang
terlambat (Smeltzer & Bare, 2002).
Sedangkan insiden penderita trauma toraks diperkirakan 12
penderita per seribu populasi per hari dan kematian yang disebabkan oleh
trauma toraks sebesar 20-25% . Dan hanya 10-15% penderita trauma
tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar
hanya memerlukan tindakan sederhana untuk menolong korban dari
ancaman kematian.
Canadian Study dalam laporan penelitiannya selama 5 tahun pada
"Urban Trauma Unit" menyatakan bahwa insiden trauma tumpul toraks

1
sebanyak 96.3% dari seluruh trauma toraks, sedangkan sisanya sebanyak
3,7% adalah trauma tajam. Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks
masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%). Sedangkan
mortalitas pada setiap trauma yang disertai dengan trauma toraks lebih
tinggi (15.7%) dari pada yang tidak disertai trauma toraks (12.8%)
Pengelolaan trauma toraks, apapun jenis dan penyebabnya tetap harus
menganut kaidah klasik dari pengelolaan trauma pada umumnya yakni
pengelolaan jalan nafas, pemberian ventilasi dan kontrol hemodinamik .
Trauma abdomen menempati peringkat ketiga sebagai penyebab
kematian akibat trauma setelah cedera kepala dan cedera pada dada.
Trauma abdomen merupakan penyebab yang cukup signifikan bagi angka
kesakitan dan kematian. Trauma abdomen adalah suatu kondisi yang sulit
untuk dievaluasi, baik di lapangan maupun di rumah sakit. Meskipun
cedera intraabdomen merupakan suatu penyebab kematian mayor yang
dapat dicegah, kemungkinan cedera abdomen harus segera diketahui dan
ditangani. Pada penilaian abdomen , prioritas maupun metode apa yang
terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma , berat dan lokasi trauma
maupun status hemodinamik penderita. Trauma tajam abdomen sering
memerlukan intervensi bedah. Trauma tumpul (cedera akibat olah raga,
kecelakaan motor) meskipun tampak lebih ringan, namun potensial
menyebabkan kematian.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Trauma?
2. Bagaimana Prinsip Penanganan Trauma Kepala?
3. Bagaimana Prinsip Penanganan Trauma Thorax?
4. Bagaimana Prinisp Penanganan Trauma Abdomen?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Trauma.
2. Untuk Mengetahui Prinsip Penanganan Trauma Kepala.
3. Untuk Mengetahui Prinsip Penanganan Trauma Thorax.
4. Untuk Mengetahui Prinsip Penanganan Trauma Abdomen.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Trauma
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau
emosional (Dorland, 2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya
atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker,
2001). Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang
dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah
menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma
yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001)..

B. Prinsip Penangan Utama Trauma Kepala


1. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks.Gangguan
yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti
defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis
lainnya.Hal ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai
berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam,
termasuk tengkorak dan otak (Soertidewi, 2006).Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas (Arif, 2000).
2. Klasifikasi Cedera Kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya
gejala yang muncul setelah cedera kepala.Ada beberapa klasifikasi
yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepaka. Cedera
kepaladiklasifikasikan dalam berbagi aspek,secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
a. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus.Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan

3
kecelakaan mobil- motor, jatuh atau pukulan benda tumpul.Cedera
kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.Adanya
penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
b. Beratnya Cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera kepala
1) Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan )
kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde.
2) Cedera Kepala Sedang (CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograde
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
3) Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan
atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3. Penatalaksanaan Cedera Kepala
Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan
untuk memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika
mentosa digunakan untuk menurunkan oedem otak bila terdapat
oedem pada gambaran profil CT Scan pada pasien .Penurunan aktifitas
otak juga dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan pada cedera
kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan induksi
koma.Pasien yang mengalami kejang diberikan terapi profilaksis.
a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena
ditujukan untuk mempertahankan status cairan dan menghindari
dehidrasi.Bila ditemukan peningkatan tekanan intracranial yang
refrakter tanpa cedera difus, autoregulasibaik dan fungsi
kardiovaskular adekuat, pasien bisa diberikan barbiturat.
Mekanisme kerja barbiturat adalah dengan menekan metabolisme

4
serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah
serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari
peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst. Kureshi dan Suarez
menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro
trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan
tekanan intrakranial, mempertahankan volume intravaskular
volume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam
dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor
pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai
dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.
b. Terapi Nutrisi
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami
hipermetabolik, kehilangan kurang lebih 15% berat badan
tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan
meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism
istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi
protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding
dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
c. Terapi Prevensi Kejang
Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut,
peningkatan TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan
neuro transmiter yang dapat mencegah berkembangnya kejang
onset lambat (mencegah efek kindling).Pemberian terapi profilaksis
dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu
pertama.Faktor-faktor terkait yang harus dievaluasi pada terapi
prevensi kejang adalah kondisi pasien yang hipoglikemi, gangguan
elektrolit, dan infeksi.
4. Penanganan Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan
peringatan apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2
jam), mual dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung
atau telinga, nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada

5
ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor,
penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu
pelan, pola nafas yang abnormal.
5. Penanganan Cedera Kepala Sedang
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan
Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala
Postrauma Amnesia(PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0
apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada
amnesia.
Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang
menjadi :
a. Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan
dizziness
b. Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia
post trauma
c. Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan
muntah.
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat
penanganan Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala
terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala,
gangguan konsentrasi dan dizziness. Penatalaksanaan utamanya
ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan
modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi) untuk disfungsi
kognitif ,dan psiko edukasi .
6. Penanganan Cedera Kepala Berat
Diagnosis dan penanganan yang cepat
meliputi:
1) Primary survey : stabilisasi cardio
pulmoner
2) Secondary survey : penanganan cedera sistemik,
pemeriksaan mini neurologi dan ditentukan perlu penanganan
pembedahan atau perawatan di ICU.

6
C. Prinsip Penanganan Utama Trauma Thorax
1. Definisi trauma thorax
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga
thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax
ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau
bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding
thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF
bedah, 1994).
2. Etiologi
a. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax.
b. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding
thorax.
3. Gejala umum trauma thorak
Gejala yang sering dilihat pada trauma torak adalah :
a. nyeri dada, bertambah pada saat inspirasi
b. sesak nafas
c. klien menahan dadanya dan bernafas pedek.
d. Pembengkakan local dan krepitasi pada saat palpasi
e. Dyspnea, takypnea
f. Takikardi
g. Hypotensi
h. Gelisah dan agitasi
i. sianotik dengan tanda trauma torak atau jejas pada dadanya.

Lebih dari 90 % trauma toraks tidak memerlukan tindakan


pembedahan berupa torakotomi, akan tetapi tindakan penyelamatan
dini dan tindakan elementer perlu dilakukan dan diketahui oleh setiap
petugas yang menerima atau jaga di unit gawat darurat. Tindakan
penyelamatan dini ini sangat penting artinya untuk prognosis pasien
dengan trauma toraks. Tindakan elementer ini adalah :

7
a. Membebaskan dan menjamin kelancaran jalan nafas.
b. Memasang infus dan resusitasi cairan.
c. Mengurangi dan menghilangkan nyeri.
d. Memantau keasadaran pasien.
e. Melakukan pembuatan x-ray dada kalau perlu dua arah.

Trauma torak yang memerlukan tindakan dan atau pembedahan


gawat/ segera adalah yang menunjukkan :

a. Obstruksi jalan nafas


b. Hemotorak massif
c. Tamponade pericardium / jantung
d. Tension pneumotorak
e. Flail chest
f. Pneumotorak terbuka
g. Kebocoran bronkus dan trakeobronkial.

4. Penanganan kegawatdaruratan

ATLS menggunakan pendekatan primary dan secondary survey.


Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada
jam-jam pertama setelah terjadinya trauma.

a. Primary survey

Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan


menyiapkan metoda perawatan individu yang mengalami multiple
secara konsisten dan enjaga tim agar tetap berfokus pada prioritas
keperawatan. Masalah-masalah yag mengancam nyawa terkait
jalan nafas, sirkulasi, dan status kesadaran pasien diidentifikasi, di
evaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit sejak
dating di unit gawat darurat.

8
Komponen primary survey :

a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Disability
e. Exposure and environment

a. Airway

Penilaian jalan nafas merupakan langkah pertama pada penanganan


pasien trauma. Penilaian jalan nafas dilakukan bersamaan dengan
menstabilkan leher. Tahan kepala dan leher pada posisi netral dengan
tetap mempertahankan leher dengan menggunakan servical collar dan
meletakkan pasien pada spine board.

Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara


melalui pita suara. Jika tidak ada suara buka jalan nafas pasien dengan
menggunakan chin lift atau maneuver modified jaw thrust. Periksa
orofaring, jalan nafas mungkin terhalang sebagian atau sepenuhnya
oleh cairan (darah,saliva,muntahan) atau serpihan kecil seperti gigi,
makanan atau benda asing. Intervensi sesuai dengan kebutuhan
(suction, reposisi) dan kemudian evaluasi kepatenan jalan nafas.

Alat-alat untuk mempertahankan jalan nafas seperti nasofaring,


orofaring, LMA, pipa trakea, combitube atau cricothyotomy mungkin
dibutuhkan untuk membuat dan mempertahankan kepatenan jalan
nafas.

b. Breathing

Untuk menilai pernafasan perhatikan proses respirasi sontan dan


catat kecepatan, kedalaman serta usaha untuk melakukannya, periksa
dada untuk mengetahui penggunaan otot bantu nafas dan gerakan naik
turunnya dinding dada secara simetris saat respirasi.

9
Cedera tertentu misalnya luka terbuka, flail chest dapat dilihat
dengan mudah. Lakukan auslkultasi suara pernafasan bila didapatkan
adanya kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan bahwa pasien
yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada dalam kondisi
hipoksia sampai terbukti sebaliknya.

Intervensi keperawatan :

1) Oksigen tambahan untuk semua pasien.


2) Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan
3) Pertahankan posisi pipa trakea
4) Bila terdapat trauma thorak, tutup luka dada selama proses
penghisapan, turunkan tekanan pneumotoraks, stabilisasi bagian-
bagian yang flail dan masukkan pipa dada.
5) Perlu dilakukan penilaian ulang status pernafasan pasien.

c. Circulation

Penilaiaan primer mengenai status sirkulasi pasien trauma


mencakup evaluasi adanya perdarahan, denyut nadi dan perfusi.

1) Perdarahan

Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang massif dan


tekan langsung daerah tersebut. Jika memungkinkan, naikkan daerah
yang mengalami perdarahan sampai diatas etinggian jantung.
Kehilangan darah dalam jumlah bear dapat terjadi didalam tubuh.

2) Denyut nadi

Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada atau tidaknya nadi,


kualitas, laju dan ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat
secara langsung setelah terjadi trauma. Raba denyut nadi karotis.
Sirkulasi di evaluasi melalui auskultasi apical. Cari suara denguban
jantung yang menandakan adanya penyumbatan pericardial. Mulai dari

10
tindakan pertolongan dasar sampai dengan lanjut untuk pasien yang
tidak teraba denyut nadinya.

3) Perfusi kulit

Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit basah,
pucat, sianosis atau bintik-bintik mungkin menandakan keadaan syok
hipovolemik. Cek warna, suhu kulit, adanya keringat dan crt. Waktu
crt adalah ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak, tetapi
kegunaannya berkurang seiring dengan usia pasien dan menurunnya
kondisi kesehatan. Namun demikian, semua tanda-tanda syok terjadi
belum tentu akurat dan tergantung pada pengkajian. Selain kulit tanda-
tanda hipoperfusi juga Nampak pada organ lain, misalnya oliguria,
perubahan tingkat esadaran, takikardi dan distritmia. Selain itu perlu
diperhatikan juga adanya penggelembungan atau pengempisan
pembuluh darah di leher yang tidak normal. Mengembalikan volume
sirkulasi darah mrupakan tindakan yang penting untuk dilakukan
dengan segera.

Berikan 1-2 liter cairan isotonic kristaloid solution (0,9% normal


salin atau ringer laktat). Ada anak-anak pemberian berdasarkan berat
badan yaitu 20 ml per kg bb. Dalam pemberian caran perlu
diperhatikan repon pasien dan setiap 1 ml darah yang hilang
dibutuhkan 3 ml cairan kristaloid.

d. Disability

Tigkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan mnemonic AVPU.


Sebagai tambahan, cek kondisi pupil, ukuran, kesamaan dan reaksi
terhadap cahaya. Pada saat survey primer, penilaian neurologis hanya
dilakukan secara singkat. Pasien yang memiliki resiko hipoglikemia,
misalkan pasien dengan dm. harus di cek kadar gula dalam darahnya.
Apabila didpat kondisi hipoglikemi berat maka bias diberikan dextrose
3%. Adanya penurunan tingkat kesadaran akan dilakukan pengkajian

11
lebih lanjut pada survey sekunder. GCS dapat dihitung segera setelah
pemeriksaan survey sekunder. Mnemonic AVPU meliputi : aware
(sadar), verbal (berespons terhadap suara),pain (berespon terhadap
rangsang nyeri), unresponsive (tidak berespon).

e. Exposure dan environment control (pemaparan dan control


lingkungan)

Exposure, Lepas semua pakaian klien secara cepat untuk


memeriksa cedea, perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan
kondisi klien secara umum, catat kondisi tubuh atau adanya zat bau
kimia seperti alcohol, bahan bakar atau urine.

Environmental control, Klien harus dilindungi dari hipotermia.


Hipotermia penting karena ada kaitannya dengan vaso kontriksi
pembuluh darah dan koagulopati. Pertahankan atau kembalikan suhu
normal tubuh dengan mengeringkan klien dan gunakan lampu
pemanas, selimut, pelindung kepala, system penghangat udara, dan
berikan cairan.

f. Secondary survey

Pada survey ini dilakukan pemeriksaan lengkap head to toe.


Apabila ditemukan masalah maka tidak akan dilakukan tindakan
dengan segera, akan dicatat dan diprioritaskan untuk tindakan
selanjutnya. Pada secondary survey ini dilakukan tindakan sebagai
berikut :

1. Full set of vital signs, five intervensions and facilication of


family presence

Pemeriksaan tanda-tanda vital adalah hal dasar untuk


menentukan tindakan selanjutnya. 5 intervensi meliputi :

1) Pemasangan monitor jantung

12
2) Pasang nasogastrik tube
3) Pasang foley kateter
4) Pemeriksaan laboratorium
5) Pasang oksimetri

Memfasilitasi kehadiran keluarga berarti memberikan


kesempatan untuk bersama klien walaupun klien dalam
keadaan gawat darurat. Berdasarkan kesepakatan emergency
nurses association, keluarga diberikan kesempatan untuk
bersama dengan pasien selama proses invasive dan resusitasi.
Pihak medis harus mempunyai standar prosedur tentang
bagaimana cara menenangkan, mendukung dan memberikan
informasi pada anggota keluarga.

2. Give comfort measures

Korban trauma sering mengalami masalah terkait dengan


kondisi fisik dan psikologisnya. Metode farmakologis dna non
farmakologis banyak digunakan untuk menurunkan rasa nyeri
dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat dalam tim
trauma harus bias mengenali keluhan dan melaukan intervensi
bila dibutuhkan.

3. History and head to toe examination

History, Jika klien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian


pada pasien unuk mendapa informasi tentang riwayat kesehatan
klien, anggota keluarga juga bias menjadi sumber informasi.
Informasi penting tentang bagaimana proses terjadinya trauma
harus diperoleh dari klien atau keluarganya untuk
mempermudah dalam menentukan tindakan selanjutnya.

Head, Pada kepala dilakukan inspeksi secara sitematis, palpasi


tengkorak untuk mendapatkan fragmen tulang yang tertekanm

13
hematoma, laserasi dan nyeri. Ekimosis di belakang telinga
atau didaerah periorbital adalah indikasi adanya fraktur
tengkorak bacilar.

Face. Inspeksi wajah degan seksama. Perhatikan apakah ada


cairan keluar dari telinga, hidung, mata dan mulut. Cairan jenih
yang keluar dari hidung dan telinga diasumsikan sebagai cairan
serebrospinal.

Neck. Inspeksi leher klien dan pastikan bahwa pada saat


pengkajian leher klien tidak bergerak. lakukan inspeksi dan
palpasi terhadap adanya luka, jejas ekimosis, distensi pembuluh
darah leher, udara dibawah kulit dan dviasi trakea.

Chest. Inspeksi dada untuk mengetahui adanya


ketidaksimetrisan, perubahan bentuk, traua penetrasi atau luka
lain, lakukan auskultasi jantung dan paru. Palpasi dada untuk
mengetahui adanya perubahan bentuk, udara dibawah kulit dan
area lebam/jejas.

Abdomen. Inspeksi perut untuk mengetahui adanya memar,


massa, pulsasi atau obyek yang menancap. Perhatikan adanya
pengeluaran isi perut, auskultasi suara perut di 4 kuadran dan
secara lembut palpasi dinding perut untuk memeriksa adanya
kekakuan, nyeri, rebound pain.

Pelvis. Periksa panggul untuk mengetahui adanya perdarahan,


lebam, jejas, perubahan bentuk, atau trauma penetrasi. Pada
laki-laki periksa adanya priapism, sedangkan pada wanita
periksa adanya pendarahan. Inspeksi daerah perineum terhadap
adanya darah, feses atau adanya darah dan untuk mengetahui
posisi prostat.

14
Ekstremitas. Periksa keempat tungkai untuk mengetahui
adanya perubahan bentu, dislokasi, ekimosis, pembengkakan,
atau adanya luka lain. Periksa sensorik, motorik dan kondisi
neurovascular pada masing-masing ekstremitas. Lakukan
palpasi untuk mengetahui adanya jejas, lebam, krepitasi dan
ketidaknormalan suhu.

4. Inspect the posterior surfaces

Dengan tetap mempertahankan kondisi tulang belakang


dalam kondisi netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini
membutuhkan beberapa orang anggota tim. Pemimpin tim
menilai keadaan posterior klien dengan mecari tanda-tanda
jejas, lebam, perubahan warna atau luka terbuka. Palpasi tulang
belakang untuk mencari tonjolan, perubahan bentuk,
pergeseran atau nyeri.

Pemeriksaan rectal dapat dilakukan pada tahap ini apabila


belum dilakukan pada saat pemeriksaan panggul dan pada saat
kesempatan ini juga dapat digunakan untuk mengambil baju
klien yang berada dibawah tubuh klien. Apabila pada
pemeriksaan tulang belakang tidak ditemukan adanya kelainan
atau ganggguan dank lien dapat terlentang makan backboard
dapat diambil.

5. Monitoring dan evaluasi

Setelah secondary survey selesai dilakukan, prioritaskan


klien dan rawat cedera sesuai dengan waktunya. Beberapa
cedera tertentu yang ditemukan pada saat survey sekunder
dapat dinilai dengan mendetail dan terfokus. Klien yang
mengalami rauma thorak harus melakukan pemeriksaan thorak
secara teratur. Pada saat klien trauma berada di unit gawat
darurat, nilai ulang kien secara regular dan teratur untuk

15
mengetahui penurunan kondisi atau cedera yang tidak
terdeteksi sebelumnya.

D. Prinsip Penanganan Utama Trauma Abdomen

1. Trauma Abdomen

Secara umum trauma abdomen dibedakan menjadi trauma tumpul dan


trauma tembus.

a. Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada


abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat
diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi
(perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak
memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi
dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di
bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat
menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi atau
pada organ padat berupa perdarahan. Cedera deselerasi sering
terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah tabrakan badan
masih melaju dan tertahan suatu benda keras sedangkan bagian
tubuh yang relatif tidak terpancang bergerak terus dan
mengakibatkan robekan pada organ tersebut. Pada intraperitoneal,
trauma tumpul abdomen paling sering menciderai organ limpa (40-
55%), hati (35-45%), dan usus halus (5-10%). Sedangkan pada
retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal, dan
organ yang paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter
b. Trauma Tembus Abdomen ( Penetrans). Trauma tembus
abdomen adalah trauma yang ditandai dengan adanya penetrasi ke
dalam rongga peritoneum atau rongga retroperitoneum8 atau
rongga pelvis9 yang mengakibatkan kerusakan pada isi abdomen.
Secara umum, luka tembus pada trauma abdomen terjadi pada
jarak interkostal (intercostal space / ICS) kelima sampai perineum.
Trauma tembus pada bagian torakoabdominal adalah trauma yang

16
terjadi diantara ICS 5 dan batas kosta. Luka pada cedera
torakoabdominal biasanya mulai dari dada dan menembus
diafragma masuk ke abdomen. Dikatakan trauma tembus pada
bagian posterior abdomen apabila perlukaan dimulai pada bagian
posterior dari garis aksila dan kebanyakan menembus rongga
retroperitoneum. Selain itu, massa yang besar pada panggul dan
otot bagian belakang akan menjadi penyulit dalam diagnosis dan
kemungkinan jarang terjadi cedera organ .Luka tembus pada
trauma tembus abdomen disebabkan luka tusuk dan luka tembak.
c. Luka Tusuk
Akibat trauma tusuk (Stab Wound / SW) tergantung dari
daerah trauma, arah trauma, dan kekuatan tusukan serta panjang
dan ukuran dari tusukan. Mekanismenya bisa berupa sayatan dan
robekan pada jaringan. Luka tusuk akan menyebabkan kerusakan
jaringan karena laserasi atau terpotong. Luka tusuk tersering
mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan
colon (15%).
Luka tusuk biasanya terjadi pada kuadran kiri atas
abdomen, disusul kuadran kanan atas, dan kuadran bawah.
Kebanyakan luka tusuk tidak menyebabkan cedera intraabdomen
yang serius meskipun terjadi penetrasi ke peritoneum. Lebih dari
70% kasus luka tusuk pada bagian anterior abdomen yang
menembus peritoneum, hanya setengahnya yang mengalami cedera
serius
d. Luka Tembak
Luka tembak menyebabkan kerusakan yang lebih besar,
yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar
energi kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh
organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling
sering mengenai usus halus (50%), usus besar (40%), hepar (30%)
dan pembuluh darah abdominal (25%).

17
Luka tembak dibedakan menjadi luka “gunshot” atau pistol
(Gun Shot Wound / GSW) dan sejenisnya, serta luka “shotgun”.
Potensial luka GSW berhubungan erat dengan energi kinetik dari
peluru yang mengenai pasien (KE = ½ MV dimana M = massa ,
dan V = kecepatan). Mekanisme luka tembak lebih kompleks,
tergantung pada energi kinetik yang tesimpan pada proyektil dan
kemampuannya untuk meledakkan benda-benda di sekitarnya.
Luka tembak kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi
kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya
efek tambahan berupa temporary cavitation, dan dapat pecah
menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan organ lainnya.
”Proyektil Velocity” adalah kemampuan proyektil untuk
mengakibatkan kerusakan (luka), berdasarkan ini maka senjata api
dikenal dengan ” Low, Medium, High velocity”, ini ditentukan oleh
”Muzzle velocity” yaitu untuk low velocity < 305 m/detik, medium
305 – 610 m/detik, high > 610 m/detik.”Low velocity projectil”
menyebabkan robekan langsung dan trauma ”crushing” pada
jaringan lokal. Secara khas , hanya luka masuk terlihat dan terdapat
peluru di dalamnya .”High velocity projectil” ketika menyebabkan
kerusakan dan ”chrusing” pada jaringan lokal juga menyebabkan
kerusakan jaringan dengan cavitasi (terowongan).
Shotgun dirancang untuk menembak target kecil yang
bergerak cepat. Energi kinetik yang sampai ke pasien tergantung
dari ukuran peluru yang digunakan, jumlah peluru, jenis dan
jumlah bubuk serta konstriktor yang digunakan. Tetapi variabel
yang terpenting adalah jarak objek dan penembak. Peluru shotgun
ketika meninggalkan ujung senjatanya akan menyebar membentuk
pecahan tembakan yang lebih kecil. Semakin dekat dengan
penembak, luka yang dihasilkan lebih berat dan kemungkinan
menyebabkan kematian lebih besar. Semakin jauh jarak tembak
maka pelurunya akan menyebar dan dapat menurunkan mortalitas.

18
Namun debris yang dihasilkan dari luka yang banyak akan
meningatkan morbiditas.
2. Penatalaksanaan Trauma Abdomen
Kunci sukses untuk penanganan trauma abdomen adalah adanya
kecurigaan yang besar untuk trauma abdomen (high index of suspicion)
yaitu pemeriksa harus menganggap bahwa ada kerusakan organ intra
abdomen. Dan pemeriksa harus menentukan apakah perlu intervensi
operasi segera atau tidak. Untuk diketahui bahwa lebih kurang 75 % -
90 % luka tembak abdomen memerlukan tindakan operasi segera, 25
% - 35 % untuk luka tusuk abdomen, dan hanya 15 % - 20 % untuk
trauma tumpul abdomen.
Penanganan pertama pada pasien trauma abdomen dimulai dengan
primary survey : A (Airway dengan kontrol servikal), B (Breathing), C
(Circulation dengan kontrol perdarahan), D (Disability), E (Exposure)
kemudian dilanjutkan dengan secondary survey . Pada primary survey
dilakukan penilaian :
a. Airway dengan kontrol servikal : harus dievaluasi derajat
patensinya, reflex proteksi, benda asing sekresinya dan derajat
cederanya dengan tetap memperhitungkan ada tidaknya cedera
cervical.
b. Breathing : yaitu menilai derajat pernafasan pasien berdasarkan
frekuensi dan kedalaman pernafasan atau adanya retraksi otot
pernafasan.
c. Circulation dengan kontrol perdarahan : dinilai dengan menilai
tingkat kesadaran pasien, warna kulit, dan suhu tubuh. Pada pasien
dengan shock hemoragik pada mulanya akan gelisah dan koma jika
perdarahan terus terjadi. Tanda vital seperti denyut nadi, tekanan
darah, frekuensi nafas tidak cukup sensitif dan spesifik pada syok
hemoragik.
d. Disability : penilaian awal dengan menilai defisit neurologi
sebelum pemberian sedatif. Penilaian berdasarkan GCS dan
kekuatan 4 extremitas.

19
e. Exposure : pada pasien trauma harus dinilai ada tidaknya cedera
lain yang dapat meperberat morbiditas.
Nasogastric tube dipasang jika tidak ada kontraindikasi untuk
dekompresi dan menilai ada tidaknya darah. Jika pasien mengalami
cedera maksilofacial maka digunakan orofaringeal tube.Folley kateter
dipasang dan urine diambil untuk pemeriksaan hematuria mikroskopik.
Jika ada kecurigaan cedera urethra atau buli-buli pada fraktur pelvis
maka dilakukan uretrogram retrograde sebelum melakukan
pemasangan kateter.

20
BAB III
PENUTUP

i. Kesimpulan

ii. Saran

21

Anda mungkin juga menyukai