Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gonore adalah salah satu penyakit menular seksual paling umum yang
disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae (Irianto, 2014). Neisseria
gonorrhoeae (N. Gonorrhoeae) merupakan bakteri diplokokkus gram negatif dan
manusia merupakan satu-satunya faktor host alamiah untuk gonokokus, infeksi
gonore hampir selalu ditularkan saat aktivitas seksual (Sari et al., 2012). Menurut
Irianto (2014) bahwa setiap tahunnya kasus gonore lebih banyak terjadi pada
wanita daripada pria.
Ties et al. (2015) memperkirakan setiap tahun terdapat 78 juta penderita
baru penyakit menular seksual dan pada tahun 2012 tercatat data yang diperoleh
untuk penderita baru penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria
gonorrhoeae sebanyak 78,3 juta diseluruh dunia. Kementerian Kesehatan
Indonesia pada tahun 2007 dan 2011 melakukan survei yang dikenal dengan nama
surveilans terpadu biologis dan perilaku (STBP) dilakukan di 11 provinsi dan 33
kota di Indonesia. Hasil STBP 2007 yang ditulis Mustikawati et al. (2009)
menyebutkan prevalensi penyakit gonore berjumlah 4.339 kasus terdiri dari wanita
pekerja seks langsung (WPSL) sebanyak 1.872 kasus, wanita pekerja seks tidak
langsung (WPSTL) sebanyak 1.105 kasus, waria sebanyak 512 kasus dan lelaki
seks lelaki (LSL) sebanyak 850 kasus. Hasil STBP 2011 yang ditulis oleh
Kementerian Kesehatan RI (2011)a menyebutkan prevalensi penyakit gonore
berjumlah 4.644 kasus terdiri dari WPSL sebanyak 2.279 kasus, WPSTL sebanyak
1.484 kasus, waria sebanyak 468 kasus dan LSL sebanyak 413 kasus. Dalam
profil kesehatan provinsi Jawa Tengah yang ditulis oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah (2014) menyebutkan bahwa jumlah kasus baru penyakit menular
seksual pada tahun 2011 sebanyak 10.752 kasus, tahun 2012 sebanyak 8.671
kasus, tahun 2013 sebanyak 10.471 kasus.

1
2

Heryani (2011) telah melakukan penelitian terhadap penderita gonore


meliputi insidensi, karakteristik dan penatalaksanaan pengobatan pada periode
2008-2010 di RS Al-Islam Bandung. Hasil penelitian tersebut dari 83 data rekam
medis penderita gonore, insidensi tertinggi yaitu pada tahun 2010 (48,2%),
mayoritas penderita gonore adalah laki-laki dengan usia kategori dewasa 25-40
tahun (54,22%), bekerja sebagai wiraswasta (38,55%) dan berstatus telah menikah
(53,01%), mayoritas penatalaksanaan adalah pemberian antibiotik siprofloksasin
(33,74%).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui definisi, klasifikasi, mekanisme, dan penatalaksanaan Urethritis
Gonorrheae.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk memenuhi tugas kepaniteraan di bagian Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin RSUD dr. Slamet, Garut,

2. Untuk memenuhi syarat mengikuti ujian di bagian bagian Ilmu Kesehatan


Kulit & Kelamin RSUD dr. Slamet, Garut,
BAB II
Tinjauan Pustaka

a. Definisi gonore
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2015), gonore
adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Neisseria
gonorrhoeae yang dapat menginfeksi baik pria dan wanita yang
mengakibatkan infeksi pada alat kelamin, rektum dan tenggorokan.

b. Klasifikasi gonore
Centers for Disease Control and Prevention (2015) mengklasifikasikan
gonore menjadi 4 golongan yaitu:
1) Infeksi gonokokal non komplikasi/ Uncomplicated Gonococcal Infections.
Infeksi gonokokal yang termasuk dalam golongan ini adalah infeksi
gonokokal urogenital (serviks, uretra dan rektum), faring dan gonokokal
konjungtivitis. Contoh infeksi gonokokal non komplikasi untuk lebih jelas
ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Contoh infeksi gonokokal non komplikasi (A) infeksi gonokokal serviks
(B) infeksi gonokokal uretra (C) infeksi gonokokal faring (D) infeksi gonokokal
konjungtivis (Centers for Disease Control and Prevention, 2005).
2) Infeksi gonokokal diseminasi/ Disseminated Gonococcal Infections.
Infeksi gonokokal diseminasi ditandai dengan munculnya lesi pada
kulit, arthritis dan seringkali komplikasi perihepatitis, endokarditis dan
meningitis. Contoh infeksi gonokokal diseminasi untuk lebih jelas
ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh infeksi diseminasi gonokokal (A) infeksi gonokokal lesi pada
jari (B) infeksi gonokokal lesi pada kaki (C) infeksi gonokokal arthritis (Centers
forDisease Control and Prevention, 2005).

3) Infeksi gonokokal pada neonatus/ Gonococcal Infections Among Neonates.


Infeksi gonokokal dapat menjadi masalah serius bagi ibu hamil yang
terinfeksi dikarenakan dapat mengakibatkan ophtalmia neonatorum/
infeksi konjungtivitis pada bayi baru lahir sehingga terjadi kebutaan pada
bayi baru lahir. Infeksi gonokokal pada neonatus terdiri dari ophtalmia
neonatorum dan gonococcal scalp abscesses, untuk lebih jelas ditunjukkan
pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Contoh infeksi gonokokal neonatus (A) ophtalmia


neonatorum (B) gonococcal scalp abscesses (Centers for
DiseaseControl and Prevention, 2005)

4) Infeksi gonokokal pada bayi dan anak/ Gonococcal Infections Among


Infants and Children.
Golongan klasifikasi ini sama dengan golongan infeksi gonokokal non
komplikasi dan infeksi gonokokal diseminasi, tetapi golongan ini dibuat untuk
memberikan panduan pengobatan yang lebih efektif berdasarkan usia.
.
c. Etiologi dan morfologi
Infeksi gonore disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae. Bakteri
Neisseria gonorrhoeae bersifat gram negatif, yang terlihat di luar atau di
dalam sel polimorfonuklear (leukosit), tidak tahan lama di udara bebas, cepat
mati pada keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39° C dan tidak tahan
terhadap zat desinfektan (Jawas & Murtiastutik, 2008).

Gambar 4. Bakteria Neisseria gonorrhoeae (Centers for Disease Control and


Prevention, 2005).

Kumar (2012) membagi bakteri Neisseria gonorrhoeae menjadi 4


macam morfologi koloni yaitu T1, T2, T3, T4. Koloni T1 dan T2 kecil dan
memiliki pili sedangkan koloni T3 dan T4 lebih besar, lebih datar dan tidak
memiliki pili. Pili akan memfasilitasi adhesi cocci ke permukaan mukosa dan
meningkatkan virulen sehingga strain yang memiliki pili (T1 dan T2) lebih
efisien serta memiliki virulensi yang lebih tinggi dibandingkan non pili (T3
dan T4). Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi
inflamasi. Hanya pili tipe I dan II yang patogen terhadap manusia.

d. Faktor resiko
Manhart et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan beberapa faktor
resiko penularan infeksi gonore antara lain:
1) Usia muda (18-39 tahun)
2) Berganti-ganti pasangan seksual
3) Homoseksual
4) Status sosial ekonomi yang rendah
5) Mobilitas penduduk yang tinggi
6) Tidak menggunakan kondom
7

7) Seks anal
8) Memiliki riwayat penyakit menularseksual

e. Gejala klinik

Gejala klinis pada gonorrhea secara umum


Pada laki-laki :
 Rasa terbakar dan nyeri ketika miksi
 Peningkatan frekuensi urin dan urgensi
 Keluar Discharge dari penis (warna putih, kuning atau hijau)
 Kemerahan atau bengkak pada ujung penis(urethra)
 Testikel yang bengkak
 Pada gonorrhea faringitis(timbul radang tenggorokan)

Gejala pada wanita jarang terjadi atau biasanya nonspesifik


 Discharge Vagina
 Rasa terbakar dan nyeri ketika miksi
 Peningkatan frekuensi miksi
 Nyeri tenggorokan pada faringitis gonorrhea
 Nyeri saat koitus
 Nyeri berat pada abdomen bagian bawah
 Demam
Dapat terjadi infeksi sistemik seperti demam, ruam maupun gejala yang
menyerupai arthritis (NCBI, 2012).

f. Diagnosis
Kementerian Kesehatan RI (2011)b memberikan pedoman tentang tata
cara melakukan diagnosis gonore yang terdiri dari:
1) Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan oleh tenaga medis atau paramedis dengan
menanyakan beberapa informasi terkait penyakit kepada pasien untuk
membantu menentukan faktor resiko pasien, menegakkan diagnosis sebelum
melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di daerah sekitar genital pria atau
wanita dengan bantuan lampu sorot yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
ahli. Jenis pemeriksaan yang dilakukan pada wanita dan pria memiliki
perbedaan seperti:
a) Pasien wanita, diperiksa dengan berbaring pada meja ginekologik
dengan posisi litotomi. Pemeriksaan dilakukan dengan memisahkan
kedua labia dan diperhatikan adanya tanda kemerahan, pembengkakan,
luka/ lecet, massa atau duh tubuh vagina (cairan yang keluar dari dalam
vagina, bukan darah dan bukan air seni).
Gambar 5. Posisi litotomi (Kementerian Kesehatan RI, 2011) b.

b) Pasien pria, diperiksa dengan posisi duduk/ berdiri. Pemeriksaan


dilakukan dengan melihat pada daerah penis adanya tanda kemerahan,
luka/ lecet, duh tubuh uretra (cairan yang keluar dari uretra, bukan
darah dan bukan air seni) dan lesi lain. Pada pasien pria sebelum
dilakukan pemeriksaan diharapkan untuk tidak berkemih selama 1 jam
(3 jam lebih baik).
3) Pengambilan spesimen
Pengambilan spesimen berdasarkan Kementerian Kesehatan RI
(2011)b dengan gejala duh tubuh uretra terdiri dari:
Pasien laki-laki, pengambilan bahan duh tubuh genitalia dengan
sengkelit steril atau dengan swab berujung kecil.

Gambar 6. Pengambilan spesimen pada pria (Kementerian Kesehatan

RI, 2011)b.

b) Pasien wanita sudah menikah, pengambilan spesimen dilakukan dengan


menggunakan spekulum steril yang dimasukkan kedalam vagina.
c) Pasien wanita belum menikah, pengambilan spesimen dilakukan tidak
menggunakan spekulum karena dapat merusak selaput darahnya, tetapi
9

digunakan sengkelit steril untuk pengambilan spesimen dari dalam


vagina.
4) Pemeriksaan laboratorium
Menurut Daili (2009), pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan
cara:
a) Pemeriksaan gram
Pemeriksaan gram dengan menggunakan sediaan langsung dari
duh uretra yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi terutama
pada duh uretra pria, sedangkan duh endoserviks memiliki sensitivitas
yang tidak terlalu tinggi. Pemeriksaan ini akan menunjukkan
Neisseria gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram negatif dan
dapat ditemukan di dalam maupun luar sel leukosit.
b) Kultur bakteri
Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya dilakukan pada
media pertumbuhan Thayer-Martin yang mengandung vankomisin
untuk menekan pertumbuhan kuman gram positif dan kolimestat
untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif dan nistatin untuk
menekan pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan
pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga
sangat dianjurkan dilakukan pada pasien wanita.
c) Tes definitif
Tes definitif dengan oksidasi akan ditemukan semua Neisseria
gonorrhoeae yang mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang
semula bening menjadi merah muda sampai merah lembayung,
sedangkan pada tes fermentasi dapat dibedakan N.gonorrhoeae yang
hanya dapat meragikan glukosa saja.
d) Tes betalaktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan tampak
perubahan warna koloni dari kuning menjadi merah.
1
0

e) Tes thomson
Tes ini dilakukan dengan menampung urin setelah bangun pagi
ke dalam 2 gelas dan tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama
ke gelas kedua. Hasil dinyatakan positif jika gelas pertama tampak
keruh sedangkan gelas kedua tampak jernih.
5) Pemeriksaan lain
Jenis pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk menunjang
diagnosis gonore sesuai Kementerian Kesehatan RI (2011)b terdiri dari
pemeriksaan bimanual dan pemeriksaan anoskopi.

g. Penatalaksana gonore
Penatalaksana gonore menurut Kemenkes RI (2011)b dilakukan secara
kombinasi yaitu terhadap kuman gonokokus (N.gonorrhoeae dan non gonokokus
(Chlamydia trachomatis) yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Penatalaksanaan gonore dilakukan dengan pemberian salah satu terapi
antibiotik yang disebabkan oleh kuman gonokokus yaitu sefiksim, levofloksasin,
kanamisin, tiamfenikol, dan seftriakson yang dikombinasikan dengan salah satu
antibiotik untuk kuman non gonokokus yaitu azitromisin, doksisiklin, dan eritromisin.
Pemberian kombinasi antibiotik tersebut diatur dalam Permenkes No. 874
Tahun 2011c Tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik. Tujuan pengobatan
kombinasi pada penyakit gonore menurut Knodel (2008) karena gonore
merupakan penyakit koinfeksi dengan klamidia.
h. .Prognosis
Bila di tangani dengan tepat,prognosis dari penyakit ini cukup baik untuk di
lakukan pentalaksanaan dan bisa di lakukan pencegahan dari penyebaran penyakit ini
(Siregar,2005).
Quo ad vitam: ad bonam
Quo ad functionam: ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
(Siregar, 2005)
i. Komplikasi
Komplikasi dari penyakit ini di bedakan dari wanita dan pria dan juga di lihat
dari infeksi pertama yang terjadi serta dari susunan anatominya (Djuanda,2002).
Pada pria dengan infeksi pertama uretritis terdapat komplikasi lokal dan
ascenden. Komplikasi lokal terdiri dari penyakit tysonitis, parauteritis, littritis,
cowperitis. Sedangkan komplikasi ascenden terdiri dari penyakit prostatitis,
vesikulitis, funikulitis, vas deferentitis, epididimitis, dan trigonitis (Djuanda,2002).
Tysonitis
Kelenjar Tyson adalah kelenjar yang menghasilkan smegma. Infeksi biasanya
terjadi pada penderita dengan preputium yang sangat panjang dan kebersihan yang
kurang baik. Diagnosis dibuat berdassarkan ditemukannnya butir pus atau
pembengkakan pada daerah frenulum yang nyeri tekan. Bila duktus tertutup akan
timbul abses dan merupakan sumber infeksi laten (Daili, 2010).
Parauretritis
Sering pada orang dengan orifisium uretra eksternum terbuka atau hipospadia.
Infeksi pada duktus ditandai dengan butir pus pada kedua muara parauretra (Daili,
2010).
Littritis
Tidak ada gejala khusus, hanya pada urin ditemukan benang-benang atau butir-
butir. Bila salah satu saluran tersumbat, dapat terjadi abses folikular. Didiagnosis
dengan uretroskopi (Daili, 2010).
Cowperitis
Bila hanya duktus yang terkena biasanya tanpa gejala. Kalau infeksi terjadi pada
kelenjar Cowper dapat terjadi abses. Keluhan berupa nyeri dan adanya benjolan pada
daerha perineum disertai rasa penuh dan panas, nyeri pada waktu defekasi, dan
disuria. Jika tidak diobati abses akan pecah melalui kulit perineum, uretra, atau
rektum dan mengakibatkan proktitis (Daili, 2010).
Asenden:
Prostatitis
Prostatitis akut ditandai dengan perasaan tidak enak pada daerah perineum dan
suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing samapi hematuri, spasme otot uretra
sehingga terjadi retensi urin, tenesmus ani, sulit buang air besar, dan obstipasi.Pada
pemeriksaan teraba pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan, dan
didapatkan fluktuasi bila telah terjadi abses. Jika tidak diobati, abses akan pecah,
masuk ke uretra posterior atau ke arah rektum mengakibatkan proktitis (Daili, 2010).
Bila prostatitis menjadi kronik, gejalanya ringan dan intermiten, tetapi kadang-
kadang menetap. Terasa tidka enak pada perineum bagian dalam dan rasa tidak enak
bila duduk terlalu lama. Pada pemeriksaan prostat terasa kenyal, berbentuk nodus, dan
sedikit nyeri pada penekanan. Pemeriksaan dengan pengurutan prostat biasanya sulit
menemukan kuman diplokok atau gonokok (Daili, 2010).
Vesikulitis
Vesikulitis adalah radang akut yang mengenani vesikula seminalis dan duktus
ejakulatorius, dapat timbul menyertai protatitis akut atau epididimitis akut. Gejala
subyektif menyerupai gejala prostatitis akut, berupa demam, polakisuria, hematuria
terminal, nyeri pada waktu ereksi atau ejakulasi, dan spasme mengandung darah. Pada
pemeriksaan melalui rektum dapat diraba vesikula seminalis yang membengkak dan
keras seperti sosis, memanjang di atas prostat. Ada kalanya sulit menemukan batas
kelenjar prostat yang membesar (Daili, 2010).
Vas deferentitis/funikulitis
Gejala berupa perasaan nyeri pada daerah abdomen bagian bawah pada sisi yang
sama (Daili, 2010).
Epididimitis
Epididimitis akut biasanya unilateral, dan setiapepididimitis biasanya disertai
derefentitis. Keadaan yang mempermudah timbulnya epididimitis adalah trauma pada
uretra posterior yang disebabkan oleh salah penanganan atau kelalaian penderita
sendiri. Faktor yang mempenngaruhi keadaan ini antara lain irigasi yang terlalu sering
dilakukan, cairan irigator terlalu panas atau terlalu pekat, instrumentasi yang kasar,
pengurutan prostat yang berlebihan, atau aktivitas seksual dan jasmani yang
berlebihan. Epididimitis dan tali spermatika membengkak dan teraba panas, juga
testis, sehingga menyerupai hidrokel sekunder. Pada penekanan terasa nyeri sekali.
Bila mengenai kedua epididimitis dapat menngakibatkan sterilitas (Daili, 2010).
Trigonitis
Infeksi asenden dari uretra posterior dapat mengenai trigonum vesika urinaria.
Trigonitis menimbulkan gejala poliuria, disuria terminal, dan hematuria (Daili, 2010).

Sama seperti pria, wanita pun di lihat dari infeksi pertama nya serta terdapat
komplikasi lokal dan ascenden. Infeksi pertama uretritis dapat menimbulakan
komplikasi lokal seperti parauteritis, dan bartholitis dan bila yang terjadi infeksi
pertama servisitis maka dapat terjadi komplikasi ascenden nya berupa salpingitis dan
P.I.D (Djuanda,2002).
Infeksi pertama Uretritis
Komplikasi
Lokal:
Parauretritis
Kelenjar parauretra dapat terkena, tetapi abses jarang terjadi.
Bartholinitis
Labium mayor pada sisi yang terkena membengkak, merah dan nyeri tekan.
Kelenjar Bartholin membengkak, terasa nyeri sekali bila penderita berjalan dan
penderita sukar duduk. Bila saluran kelenjar tersumbat dapat timbul abses dan dapat
pecah melalui mukosa atau kulit. Kalau tidka diobati dapat terjadi rekuren atau
menjadi kista. (Daili, 2010)

Infeksi pertama Servisitis


Asenden:
Salpingitis
Peradangan dapat bersifat akut, subakut atau kronis. Ada beberapa faktor
predisposisi, yaitu:
1. masa puerpurium (nifas)
2. dilatasi setelah kuretase
3. pemakaian IUD, tindakan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
Cara infeksi lanngsung dari serviks melalui tuba Fallopii sampai pada daerah
salping dan ovarium sehingga dapat menimbulkan penyakit radang panggul (PRP)
(Daili, 2010). Infeksi PRP ini dapat menimbulkan kehamilan ektopik dan sterilitas.
Kira-kira 10% wanita dengan gonore akan berakhir dengan PRP. Gejalanya terasa
nyeri pada abdomen bawah, duh tubuh vagina, disuria, dan menstruasi yang tidak
teratur dan abnormal. Harus dibuat diagnosis banding dengan beberapa penyakit lain
yang menimbulkan gejala hampir sama, misalnya: kehamilan di luar kandungan,
apendisitis akut, abortus septik, endometriosis, ileitis regional, dan divertikulitis.
Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pungsi kavum Douglas dan dilanjutkan
kultur atau dengan laparoskopi mikroorganisme. Selain mengenai alat-alat genital,
gonore juga dapat menyebabkan infeksi (Daili, 2010)

Terdapat juga komplikasi diseminata pada pria dan wanita dapat berupa artritis,
miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis dan dermatitis. Sedangkan kelainan
yang timbul akibat hubungan kelamin selain cara genito-genital dapat berupa
orofaringitis,proktitis dan konjungtivitis (Djuanda, 2002) .
Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal
genitalia. (Daili, 2010; Harkness, 2012).

j. Pencegahan
 Jangan bergonta-ganti pasangan seks
 Gunakan alat pengaman semisal kondom dengan benar setiap kali
melakukan hubungan seksual
 Batasi kontak seksual dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA

 Braun, Carie A. Anderson, Cindy. 2007. Pathophysiology: Functional


Alterations in Human Health. Baltimore: Lippincot Williams and
Wilkins
 Brill, John R. 2010. Diagnosis and Treatment of Urethritis in Men.
American Family Physician Volume 81(7): 873 – 878.
 Burn, Tony et al. 2010. Rook’s Textbook of Dermatology. UK :
Blackwell Publishing.
 Centers for Disease Control and Preventif, 2008. Gonorrhea -
CDC Fact Sheet . 25Juni 2009

 Daili, S.F., 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Djuanda, Adhi. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
 Djuanda, Adhi, Mochtar H, Siti Aisah dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta; Badan penerbit FKUI. hal : 363-79.2.
 Farer H. 2005. Perawatan Maternitas. EGC. Jakarta

 Harkness, A.H., 2012. The Pathology of Gonorrhoea. Br J Vener Dis,


24, pp.137-47.
 Jawas, Fitri Abdullah, Dwi Murtiastutik. 2008. Penderita Gonore di
Divisi Penyakit Menular Seksual Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002-2006. Surabaya :
Dep/SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin, FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo.
 Zenilman, Jonathan. Shahmanesh , Mohsen. 2012. Sexually Transmitted
Infections: Diagnosis, Management, and Treatment. Sudbury: Jones and
Barlett Learning

Anda mungkin juga menyukai