Anda di halaman 1dari 50

PROPOSAL THESIS

PENGARUH FULL DAY SCHOOL TERHADAP MOTIVASI


BELAJAR DENGAN EMOTIONAL INTELLIGENCE SEBAGAI
VARIABEL MODERATOR

Oleh:
Oky Urtya Dani
NIM 091614253029

PROGRAM STUDI MAGISTER


PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengembangkan seluruh potensi yang
ada dalam diri manusia, yaitu melalui proses pembelajaran. Menurut Rohati (2012:58),
pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas dan mampu berkompetisi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga pendidikan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh hasil
maksimal. Untuk meningkatkan kualitas dan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) bisa
dilakukan dengan cara peningkatan mutu pendidikan.

Brown (dalam Abu Ahmadi, 2016: 85), mengemukakan, “Pendidikan adalah proses
secara sadar di mana perubahan-perubahan di dalam tingkah laku dihasilkan di dalam diri
melalui kelompok. Pendidikan juga sebagai salah satu upaya untuk menciptakan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berguna bagi bangsa dan negara”. Pendidikan
merupakan sebuah interaksi yang terdiri dari beberapa indikator sehingga membentuk suatu
sistem, yaitu antara lain, peserta didik, guru, metode, kurikulum, sarana, dan aspek
lingkungan yang terkait untuk mencapai kompetensi pembelajaran. Campbell (1979)
menyatakan bahwa, sistem merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling
berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.

Pemerintah Indonesia selama ini telah melakukan beberapa upaya untuk menunjang
keberhasilan di bidang pendidikan, seperti program-program baru, fasilitas dan tenaga
pengajar profesional, serta yang paling menjadi fokus adalah kurikulum pendidikan. Syah
(2003:133) mengatakan bahwa pendekatan belajar (approach to learning), strategi belajar,
dan metode belajar adalah faktor-faktor yang menentukan tingkat efisiensi kegiatan belajar
dan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini kurikulum dirancang untuk memberikan pengalaman
belajar serta mengembangkan potensi siswa. Semua kegiatan belajar yang dilakukan baik di
dalam ruangan kelas maupun di luar kelas disebut kurikulum (Darwyn Syah, 2007).
Kurikulum sebagai pengalaman belajar mengandung arti bahwa kegiatan belajar tidak hanya
berlangsung dalam ruangan kelas, akan tetapi juga bisa berlangsung di luar ruangan kelas.

Sesuai dengan data yang ada sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004,
dan 2006 (Taqwim Islami, Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia,
http://taqwimislamy.com/index.php/en/57-kurikulum/297-sejarah-perkembangan-kurikulum-
diindonesia). Pemerintah melakukan perubahan kurikulum tersebut guna meningkatkan
kualitas pendidikan. Gagasan terbaru Pemerintah tentang kurikulum pendidikan adalah
mengeluarkan sistem pendidikan baru, yaitu 5 hari sekolah atau disebut Full Day School.
Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 23 Tahun 2017 pasal 2 yang berbunyi “Hari
Sekolah dilaksanakan 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam selama 5 hari dalam 1 minggu”.
Kebijakan tersebut diberlakukan pada tahun ajaran baru 2017/2018.

(Miller, 2005:1) menyatakan bahwa, Full Day School adalah sebuah sistem
pembelajaran dimana siswa datang ke sekolah sejak pagi hingga sore untuk belajar dan
bersosialisasi (Miller, 2005:1). Dalam sistem pembelajaran ini memberikan alokasi waktu
yang lebih panjang kepada siswa. Para guru memberikan keleluasaan kepada siswa untuk
mengembangkan kreatifitas belajar sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan dengan
mengacu pada standar nasional. Menurut Basuki dalam (Syukur, 2008:5), sistem
pembelajaran Full Day School selain pengembangan kreatifitas juga terdapat 3 ranah belajar
yaitu kognitif, akektif, dan psikomotorik. Dengan prioritas target yang bervariasi tentunya
dibutuhkan faktor-faktor penunjang untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut.

Menurut Basuki (dalam Syukur, 2008:5) terdapat beberapa unsur dalam penerapan
sistem Full Day School yaitu, (1) pengaturan jadwal mata pelajaran untuk ketertiban belajar
mengajar, (2) strategi pembelajaran yaitu pola umum mewujudkan proses pembelajaran yang
diyakini efektifitasnya untuk mencapai tujuan pembelajaran, serta (3) sarana dan prasarana
yang memadai yaitu media pembelajaran yang merupakan alat yang digunakan oleh guru
dalam proses pembelajaran untuk membantu penyampaian pesan pembelajaran serta
komponen yang terdapat dalam pembelajaran seperti fasilitas belajar, buku sumber, alat
pelajaran dan bahan pelajaran. Kesimpulannya, untuk memaksimalkan penerapan sistem Full
Day School, maka diperlukan fasilitas penunjang untuk mengakomodasi setiap kegiatan
selama proses pembelajaran di sekolah.

Menurut Kevin Carmody dan Zane Berge (2005:3), “education can be defined as an
activity undertaken or initatied to effect changes in knowledge, skill, and attitudes of
individuals, groups or communities”. Artinya bahwa pendidikan itu dapat didefinisikan
sebagai kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh perubahan dalam pengetahuan,
kemampuan, dan sikap dari individu, kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, dibutuhkan
sebuah alat, dalam hal ini adalah kurikulum yang tepat untuk mengakomodasi tujuan tersebut.
Keberhasilan dalam sebuah proses pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal dari dalam diri siswa adalah
kecerdasan emosional. Sumadiredja (2014:22) mengemukakan bahwa, “Menurut laporan The
National Center for Clinical Infan Program, elemen paling kritis bagi keberhasilan siswa
belajar di sekolah adalah memahami bagaimana caranya, resep pokoknya adalah kepercayaan
diri, kepenasaran, tujuan, mengendalikan diri, keterhubungan,kapasitas untuk berkomunikasi,
dan kemampuan bekerja sama, ini semua merupakan aspek kecerdasan emosional. Perubahan
serta inovasi mutlak diperlukan. Akan tetapi, hal ini juga dapat berpengaruh pada efisiensi
serta efektifitas suatu inovasi apabila terlalu sering dilakukan perubahan. Kurikulum
pendidikan yang berubah –ubah akan dapat mempengaruhi kemampuan siswa dalam
beradaptasi.

Terdapat sebuah satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antar siswa yang belajar
dengan guru yang mengajar. Guru memiliki peranan yang strategis dan penting dalam
menentukan kualitas pembelajaran yang akan dilaksanakannya (Sanjaya, 2008:198). Salah
satu peran guru yang paling penting adalah untuk dapat memotivasi siswa untuk antusias
selama kegiatan belajar mengajar. Dalam setiap proses pembelajaran, tentunya siswa
memiliki motivasi belajar yang berbeda-beda, maka guru harus dapat menganalisa serta
mengarahkan siswa untuk selalu belajar agar dapat mencapai target yang diiinginkan.
Motivasi merupakan proses memperhitungkan intensitas, arah, dan ketekunan seseorang
dalam mencapai sebuah tujuan (Robbins, 2001). Motivasi mempunyai peran yang sangat
krusial dalam proses pembelajaran.

Menurut Ahmadi, et al (2004) prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan


hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal)
maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Dalam dunia pendidikan, proses belajar
mengajar terdiri dari suatu rangkaian kegiatan yang menyeluruh dan melibatkan berbagai
faktor dan kondisi di sekitarnya, sehingga berhasil atau tidaknya kegiatan belajar mengajar
tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Ngalim Purwanto (1997 :
102), “Proses pembelajaran untuk meraih prestasi belajar banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik berasal dari dalam dirinya maupun yang berasal dari luar dirinya”. Faktor yang
berasal dari diri siswa disebut dengan faktor individual, sedangkan faktor yang berasal dari
luar individu disebut dengan faktor sosial.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya, Winarni (2014) berpendapat bahwa terdapat
dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, yaitu faktor internal (dalam) dan faktor
eksternal (luar). Dari beberapa literatur diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar
sangat dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian ini faktor eksternal dan
internal dihimpun dalam beberapa variabel yakni stres akademik, kecerdasan emosional dan
motivasi belajar.

Menurut Sardiman (2011:84) fungsi motivasi ada 3. Pertama, mendorong manusia


untuk berbuat, menjadi penggerak atau motor yang melepas energi. Motivasi dalam hal ini
merupakan penggerak dari setiap kegiatan yang dikerjakan. Dalam hal ini sebagai pemicu
kepada siswa untuk memulai proses pembelajaran. Kedua, menentukan arah perbuatan, yakni
ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan
kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. Ketiga, menyeleksi
perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan
perbuatan-perbuatan yang tidak ada manfaat bagi tujuan tersebut. Selain sebagai penggerak
dan penentu arah, motivasi juga berfungsi sebagai alat untuk menentukan prioritas tujuan
dalam mencapai target.

Untuk memperoleh hasil belajar yang baik maka perlu adanya motivasi belajar yang
baik pula. Dari pemaparan di atas maka, dapat diketahui bahwa hasil belajar dapat
dipengaruhi oleh motivasi siswa dalam belajar. Menurut Sardiman (2001:73), “Motivasi
belajar adalah merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual”. Dengan adanya
motivasi belajar dalam diri peserta didik, dapat menimbulakn rasa senang dan semangat
untuk belajar. Peserta didik yang memiliki motivasi belajar yang kuat, akan mempunyai
banyak energi untuk melakukan kegitan belajar. Sehingga dengan adanya motivasi belajar
dalam diri peserta didik akan dapat mendorong hasil belajar yang baik.

Selain dipengaruhi oleh motivasi belajar, hasil belajar juga dapat dipengaruhi oleh
kecerdasan siswa dalam proses belajar. Kecerdasan yang dimiliki oleh siswa dapat dibedakan
menjadi tiga golongan yaitu, kecerdasan inetelektual, kecerdasan emosioanal dan kecerdasan
spiritual.

Selama ini, banyak orang beranggapan untuk sukses dalam belajar dan mendapatkan
hasil yang optimal diperlukan Intellectual Quotient (IQ) yang tinggi. Hal ini karena IQ
merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan
menghasilkan hasil belajar yang optimal. Kenyataannya, dalam proses pembelajaran di
sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat memperoleh hasil belajar yang setara
dengan kemampuan intelektualnya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan intelektual
tinggi tetapi memperoleh hasil belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun
kemampuan intelektualnya relatif rendah, dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi. Itu
sebabnya taraf intelektual bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan
keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Goleman (2003:44)
menyatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80 % di pengaruhi oleh faktor lain. Adapun faktor lain ini salah satunya adalah
kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ).

Goelman (2003 : 45) mendefinisikan bahwa, “Kecerdasan emosional adalah


kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur
suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir;
berempati dan berdoa”. Sehingga dalam kecerdasan emosional dalam diri siswa yakni
meliputi kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati,
mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan untuk bekerja sama.

Motivasi dalam dunia pendidikan salah satunya dapat digambarkan sebagai motivasi
belajar. Motivasi belajar merupakan faktor psikologis yang berperan dalam hal
menumbuhkan semangat belajar pada suatu individu. Menurut Clayton Alderfer dalam
Hamdhu (2011), “motivasi belajar adalah kecenderungan siswa dalam melakukan segala
kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi atau hasil belajar sebaik
mungkin. Hal ini sesuai dengan Teori Abraham Maslow pada poin kelima, yaitu keinginan
untuk mencapai serta mengembangkan potensi diri. Setiap individu mempunyai target yang
berbeda-beda. Semakin banyak target yang dicapai, maka diperlukan faktor-faktor pendukung
untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan. Menurut Slameto (2003:54), keberhasilan siswa
dalam belajar dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
berasal dari dalam diri sendiri, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri siswa. Faktor
yang berasal dari luar meliputi faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat serta lingkungan keluarga. Motivasi belajar siswa dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah faktor fasilitas belajar. Lingkungan sekolah disini
meliputi fasilitas belajar yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan fasilitas
yang memadai akan meningkatkan semangat seseorang untuk mencapai target. Fasilitas
adalah segala sesuatu yang memudahkan anak didik (Djamarah, 2006:46). Jam belajar yang
relatif lebih lama dalam sistem Full Day School terkadang membuat siswa merasa bosan dan
tidak antusias dalam mengikuti pembelajaran, fasilitas belajar yang mendukung kegiatan
belajar peserta didik akan menyebabkan proses belajar mengajar menyenangkan dan
memperoleh hasil belajar yang diharapkan.

Menurut Murut Lussier (1996) dalam (Hamid, 2014), Abraham Maslow


mengklasifikan kebutuhan manusia menjadi lima tingkat jenjang yaitu: (1) Kebutuhan
fisiologis. (2) Kebutuhan rasa aman meliputi kebutuhan akan keselamatan kerja,
kelangsungan pekerjaan dan jaminan hari tua. (3) Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan
beraffiliasi dan berinteraksi lebih dengan orang lain. (4) Kebutuhan penghargaan meliputi
keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi yang dicapai, pengakuan dari orang lain atas
kemampuan dan keahlian. (5) Kebutuhan aktualisasi diri adalah hirarki kebutuhan tertinggi.
Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi diri seseorang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka rumusan masalah pada


penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh antara Full Day School terhadap motivasi


belajar ?
2. Apakah terdapat pengaruh antara Full Day School terhadap motivasi
belajar dengan Emotional Intelligence sebagai variabel intervening ?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk :
1. Menguji pengaruh Full Day School terhadap motivasi belajar.
2. Menguji pengaruh Full Day School terhadap motivasi belajar dengan
Emotional Intelligence sebagai variabel intervening.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian teori di
bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia terkait Full Day School, motivasi
belajar serta Emotional Intelligence.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai Full Day
School, motivasi belajar dan peran Emotional Intelligence sebagai faktor yang
mengintervensi hubungan antara kedua variabel tersebut. Selain itu, penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan referensi maupun sebagai tambahan informasi bagi pihak-pihak terkait,
khususnya yang terkait dengan praktik pengembangan sumber daya manusia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Motivasi Belajar

2.1.1 Definisi Motivasi

Motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam seorang individu yang ditandai
dengan timbulnya reaksi dan kemauan untuk mencapai tujuan. Menurut Santrock (2007),
motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Motivasi merupakan
suatu wujud dari kemauan seseorang yang membuat orang melakukan sesuatu,
mempertahankan sikap tersebut,serta membantu mereka untuk menyelesaikan tugas dan
mencapai target tersebut. Motivasi digunakan untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah
perilaku (pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi
yang sesungguhnya (Pintrich, 2003).

Setiap individu mempunyai tekad dan kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini
menjadi indikator yang nantinya akan berdampak pada individu dalm mencapai sebuah
tujuan. Menurut Slavin yang dikutip oleh Catharina Tri Anni, et al. (2006: 156), motivasi
merupakan proses internal yang mengaktifkan, memandu, dan memelihara perilaku seseorang
secara terus-menerus. Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu motivum, yang artinya alasan
sesuatu terjadi, alasan tentang sesuatu hal itu bergerak atau berpindah. Kata motivum
diartikan dalam bahasa Inggris yaitu motivation (Djiwandono, 2006). Pada dasarnya motivasi
itu terjadi karena adanya keinginan untuk memenuhi faktor-faktor yang belum terpenuhi
(Schiffman, 2007).

Mempunyai tujuan yang disertai dengan kemampuan yang memadai tidak akan
berpengaruh signifikan apabila tidak mempunyai tekad untuk mewujudkannya. Tekad dalam
hal ini dapat diartikan sebagai motivasi. Motivasi merupakan sesuatu yang membuat individu
bergerak, memunculkan tingkah laku untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan
yang diharapkan (Sobur, 2003). Karena dalam hal ini motivasi merupakan penyebab
munculnya sinergi antara tujuan serta kemampuan yang dimiliki individu perilaku manusia
untuk bekerja secara optimal dalam mencapai tujuan. Motivasi adalah suatu proses yang
menentukan tingkah kegiatan, intensitas, konsistensi,serta arah umum dari tingkah laku
manusia (Slameto, 2010:120).

Motivasi belajar menjadi salah satu faktor yang turut menentukan keefektifan dalam
proses pembelajaran. Peserta didik yang mempunyai kemampuan akademik yang baik tidak
akan dapat mengaplikasikannya secara optimal jika tidak disertai dengan motivasi belajar
yang kuat. Peserta didik akan belajar dengan sungguh-sungguh jika memiliki motivasi belajar
yang tinggi.

Motivasi belajar merupakan kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk


pemenuhan diri, dan kebutuhan untuk mandiri (McCown, Driscoll, & Ropp, 1997). Setiap
individu memiliki indikator-indikator yang berbeda dalam merefleksikan motivasi. Dalam hal
motivasi belajar, dapat dilihat dari keinginannya untuk berprestasi atau ingin
mengaktualisasikan dirinya serta ingin mandiri. Selanjutya McCown, et al. (1997)
mengatakan bahwa pada konsep motivasi belajar adalah suatu disposisi siswa yang ditandai
dengan 3 ciri yang terdiri dari (1) adanya keinginan dan inisiatif sendiri untuk belajar, (2)
adanya keterlibatan dengan sungguh-sungguh mengerjakan tugas yang diberikan, dan (3)
adanya komitmen untuk terus belajar.

Menurut teori belajar Maslow dalam “Natural unfoldmen/self actualization” dalam


Muhaimin (1996), menjelaskan bahwa, belajar itu berpusat pada kehendak, kesadaran dan
aktifitas peserta didik serta minat yang cukup darinya. Penjelasan tersebut mempunyai arti
bahwa semua proses pembelajaran hingga mencapai hasil belajar akan sangat dipengaruhi
oleh kemauan/kehendak dari seseorang. Tinggi rendahnya motivasi akan berpengaruh pada
sikap seseorang untuk bagaimana menghadapi setiap tantangan yang muncul demi mencapai
target yang maksimal (hasil belajar). Kesimpulannya adalah awal mula belajar berawal dari
motivasi yang timbul pada suatu individu.

Menurut Hanafiah (2010: 26), motivasi merupakan kekuatan (power motivation),


daya pendorong (driving force) atau alat pembangunan kesediaan dan keinginan yang kuat
dalam diri peserta didik untuk belajar secara aktif, kreatif, efektif, inovatif dan menyenangkan
dalam rangka perubahan perilaku, baik dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Tujuan
utama dalam kegiatan pendidikan adalah mendapatkan hasil akhir dari kegiatan itu sendiri,
yaitu prestasi belajar. Winkel (2005: 160), menyebutkan motivasi belajar adalah keseluruhan
daya penggerak psikis didalam siswa yang menimbulkan kegiatan belajar itu demi mencapai
suatu tujuan.

Proses pembelajaran merupakan suatu wujud sinergi antara beberapa komponen,


misalnya antara pengajar dan peserta didik, serta pihak penyelenggara pendidikan (sekolah).
Sekolah harus mampu memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan
motivasi belajar peserta didik. Menurut Uno (2007:3), unsur yang mendukung disini yaitu (1)
adanya hasrat dan keinginan berhasil. (2) adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar. (3)
adanya harapan dan cita-cita masa depan. (4) adanya penghargaan dalam belajar. (5) adanya
kegiatan yang menarik dalam belajar. (6) adanya lngkungan belajar yang kondusif, sehingga
memungkinkan seseorang siswa dapat belajar dengan baik.

2.1.2 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

Motivasi belajar berhubungan dengan tekad atau kemauan yang dimiliki oleh seorang
peserta didik. Setiap individu mempunyai motivasi masing-masing mengapa ingin mencapai
suatu tujuan tertentu. Apabila tujuan tersebut dapat terpenuhi, maka akan menimbulkan
kepuasaan. Dalam suatu kegiatan pendidikan, setiap pserta didik akan berusaha untuk
mencapai target yang ditentukan dengan hasil yang sebaik-baiknya, yaitu berupa prestasi
belajar. Hal yang membedakan adalah bagaimana setiap individu dapat membangkitkan
motivasi masing-masing demi mencapai tujuan yang ditetapkan, khususnya dalam dunia
pendidikan. Setiap peserta didik mempunyai motivasi yang berbeda-beda dalam menghadapi
tuntutan serta tekanan yang datang. Menurut Santrock (2007), motivasi sendiri mempunyai
dua aspek, yaitu :

1. Motivasi Ekstrinsik, yaitu melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain
(cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif
eksternal seperti imbalan dan hukuman. Misalnya, murid belajar keras dalam
menghadapi ujian untuk mendapatkan nilai yang baik. Terdapat dua kegunaan dari
hadiah, yaitu sebagai insentif agar mau mengerjakan tugas, dimana tujuannya adalah
mengontrol perilaku siswa, dan mengandung informasi tentang penguasaan keahlian.
2. Motivasi Intrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu
sendiri (tujuan itu sendiri). Misalnya, murid belajar menghadapi ujian karena dia
senang pada mata pelajaran yang diujikan itu. Murid termotivasi untuk belajar saat
mereka diberi pilihan, senang menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan
mereka, dan mendapat imbalan yang mengandung nilai informasional tetapi bukan
dipakai untuk kontrol, misalnya guru memberikan pujian kepada siswa. Terdapat dua
jenis motivasi intrinsik, yaitu:
 Motivasi Intrinsik berdasarkan determinasi diri dan pilihan personal. Dalam
pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka melakukan sesuatu karena
kemauan sendiri, bukan karena kesuksesan atau imbalan eksternal. Minat
intrinsik siswa akan meningkat jika mereka mempunyai pilihan dan peluang
untuk mengambil tanggung jawab personal atas pembelajaran mereka.
 Motivasi Intrinsik berdasarkan pengalaman optimal. Pengalaman optimal
kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu dan berkonsentrasi penuh saat
melakukan suatu aktivitas serta terlibat dalam tantangan yang mereka anggap
tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah.

Seorang peserta didik yang terdorong secara intrinsik akan secara alami timbul hasrat
untuk mempelajari tentang segala hal-hal baru seputar topik atau subjek tersebut. Potensi
yang ada dalam peserta didik akan secara otomatis muncul dan dapat diaplikasikan dalam
setiap proses pembelajaran. Kepuasan yang didapatkan peserta didik disini tidak terutama
dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat penghargaan. Di sisi lain kepuasan tersebut
lebih bersifat memberikan kenyamanan serta rasa aman karena peserta didik merasa
mempelajari topik atau subjek yang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Hal ini tentunya
akan berdampak pada hasil akhir, yaitu prestasi belajar. Sebaliknya, mereka yang lebih
terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung mengejar kepuasaan yang bersifat
penghargaan. Sepserti yang disebutkan pada uraian sebelumnya, yaitu nilai atau reward yang
didapatkan apabila mencapai target yang telah ditetapkan. Potensi kemampuan yang dimiliki
oleh peserta didik diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari pihak lain,
dalam hal ini adalah pengajar.

Menurut Slameto (2010: 26), motivasi belajar dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu :

1. Dorongan kognitif, yaitu kebutuhan untuk mengetahuhi, mengerti, dan memecahkan


masalah. Dorongan ini timbul di dalam proses interaksi antara siswa dengan tugas/
masalah.
2. Harga diri, yaitu ada siswa tertentu yang tekun belajar dan melaksanakan tugas-tugas
bukan terutama untuk memperoleh pengetahuan atau kecakapan, tetapi untuk
memperoleh status dan harga diri.
3. Kebutuhan berafiliasi, yaitu kebutuhan untuk menguasai bahan pelajaran/ belajar
dengan niat guna mendapatkan pembenaran dari orang lain/ teman-teman. Kebutuhan
ini sukar dipisahkan dengan harga diri.

Menurut Sardiman (2010: 83), motivasi yang ada pada diri setiap manusia itu
memiliki delapan ciri-ciri dintaranya sebagai berikut, a) tekun menghadapi tugas (dapat
bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai, b) ulet
menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk
berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya), c)
menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah “untuk orang dewasa (misalnya
masalah pembangungan agama, politik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi,
penentangan terhadap setiap tindak kriminal, amoral, dan sebagainya), d) lebih senang
bekerja mandiri, e) cepat bosan terhadap tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat
mekanisme, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif, f) dapat mempertahankan
pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu), g) tidak mudah melepaskan hal yang diyakini
itu, h) senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.

2.1.3 Aspek – Aspek dalam Motivasi Belajar

Motivasi dapat menjadi masalah krusial dalam pendidikan. Hal ini terkait dengan
motivasi bagi peserta didik yang dapat mengembangkan kreatifitas dan inisiatif, dapat
mengarahkan ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar. Menurut Yohanie (2015: 48),
motivasi merupakan kekuatan yang dapat mendorong seseorang melakukan kegiatan untuk
mencapai tujuan. Tinggi rendahnya motivasi belajar siswa seringkali dikaitkan dengan
keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai hasil belajar. Motivasi belajar yang baik,
memiliki aspek-aspek (Chernis dan Goleman, 2001), sebagai berikut :

1. Dorongan Mencapai Sesuatu

Salah satu faktor utama munculnya motivasi adalah dimana suatu individu terdorong
keinginan atau hasrat untuk mencapai standart atau kriteria yang telah ditetapkan
demi memperoleh kepuasan. Dalam hal ini tentunya adalah prestasi belajar (raport).
Motivasi belajar memiliki peranan dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan
semangat untuk belajar (Sardiman, 2016).

2. Komitmen

Siswa yang mempunyai kesadaran bahwa sebagai seorang siswa, tugasnya adalah
untuk belajar. Kesadaran untuk mengesampingkan hal-hal lain yang dapat
mempengaruhi kontinuitas dalam proses belajar, baik dalam tugas individu maupun
kelompok. Siswa yang memiliki motivasi yang tinggi, belajarnya lebih baik
dibandingkan dengan para siswa yang memiliki motivasi belajar rendah, siswa yan
memiliki motivasi tinggi akan tekun dalam belajar dan terus belajar secara kontinu
tanpa mengenal putus asa serta dapat mengesampingkan hal-hal yang dapat
mengganggu kegiatan belajar (Hawley Yusu, 2003: 14).

3. Inisiatif

Inisiatif merupakan salah satu proses dalam motivasi. Siswa harus mempunyai
kesiapan untuk mengambil tindakan atau sikap untuk melakukan sesuatu atas peluang
atau kesempatan yang ada. Siswa yang memiliki inisiatif tentunya memiliki
pemahaman bahwa tugas-tugas yang diberikan adalah salah satu proses untuk
mencapai target (prestasi) tanpa menunggu dorongan dari pihak lain (orang tua, guru).
Siswa yang memiliki inisiatif, merupakan siswa yang sudah memiliki pemikiran dan
pemahaman sendiri untuk melakukan sesuatu berdasarkan kesempatan yang ada.
Motivasi merupakan kekuatan atau daya dorong yang menggerakkan sekaligus
mengarahkan kehendak dan perilaku seseorang dan segala kekuatannya untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, yang muncul dari keinginan memenuhi
kebutuhannya (Anthonius, 2002: 264).

4. Optimis

Kesadaran diri untuk menerima kegagalan serta tidak menyerah untuk terus mencoba
adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa. Nilai yang
kurang memuaskan serta kesulitan untuk memahami materi yang disampaikan justru
memupuk hasrat untuk terus meningkatkan kualitas dalam proses belajar. Siswa yang
memiliki sikap-sikap tersebut akan memicu dirinya sendiri untuk dapat mencapai
target yang lebih baik secara terus menerus. Menurut Clayton Alderfer (dalam Hamdu
& Agustina, 2011), motivasi belajar adalah kecenderungan siswa dalam melakukan
kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi atau hasil belajar
sebaik mungkin.

Siswa yang memiliki motivasi belajar akan benar-benar memperhatikan materi yang
disampaikan. Memiliki sikap untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk
mendapatkan prestasi belajar semaksimal mungkin. Selain itu, siswa tersebut juga memiliki
kontinuitas yang baik dalam proses belajar, mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, serta
selalu memiliki kemauan untuk mencari strategi-strategi jitu demi mengakomodasi hasrat
belajar tersebut. Brophy (2004) menjelaskan bahwa, motivasi belajar lebih mengutamakan
respon kognitif, yaitu kecenderungan siswa untuk mencapai aktivitas akademis yang
bermakna dan bermanfaat serta mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas
tersebut.

2.1.4 Unsur-Unsur Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar

Motivasi dapat berupa suatu kekuatan baik dari luar maupun dalam yang
menggerakan manusia untuk bersikap dengan cara tertentu, hal ini memperlihatkan bahwa
motivasi muncul karena adanya suatu kebutuhan. Apabila kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi, maka akan menimbulkan suatu kepuasan. Motivasi merupakan keadaan internal
seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu (Ismail, 2007: 181).
Motivasi belajar merupakan salah satu aspek psikis yang membantu dan mendorong
seseorang untuk mencapai tujuannya. Menurut Brophy (2004), terdapat lima faktor yang
dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa, yaitu, a) harapan, b) instruksi langsung, c)
umpan balik (feedback) yang tepat, d) penguatan dan hadiah, serta e) hukuman.

Sebagai pendukung kelima faktor di atas, Sardiman (2000) menyatakan bahwa bentuk
dan cara yang dapat digunakan untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar adalah:

 Pemberian Angka, hal ini disebabkan karena banyak siswa belajar dengan tujuan
utama yaitu untuk mencapai angka/nilai yang baik.
 Persaingan/Kompetisi, hal ini merupakan cara yang umum digunakan untuk
menyesuaikan mutu/standar yang akan diterapkan.
 Ego-involvement, yaitu menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan
pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan
mempertaruhkan harga diri.
 Memberi Ulangan, hal ini disebabkan karena para siswa akan menjadi giat belajar
kalau mengetahui akan ada ulangan.
 Memberitahukan Hasil, hal ini akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar
terutama kalau terjadi kemajuan.
 Pujian, tentunya hal ini adalah sebuah bentuk “reward” atas pencapaian yang
didapatkan. Terlepas dari hasil yang didapatkan, hal ini mempunyai pengaruh
langsung terhadap tingkat kepuasan.
 Hukuman, sebagai sebuah “reinforcement” yang efisien apabila diberikan secara tepat
dan bijak.
 Hasrat untuk belajar, adanya hasrat untuk belajar, berati ada unsur kesengajaan, ada
maksud untuk belajar. Motivasi yang muncul secara natural akan berpotensi
menghasilkan pencapaian yang lebih baik.
 Minat, motivasi erat hubungannya dengan minat. Motivasi muncul karena ada
kebutuhan, begitupun sebaliknya dengan minat.
 Tujuan yang diakui, dengan memahami tujuan yang harus dicapai, akan menimbulkan
gairah untuk terus belajar.

Seseorang cenderung melakukan sesuatu berdasarkan pada apa hasil yang akan diraih
jika berhasil melakukannya. Dalam dunia akademik, penghargaan yang diberikan atas sebuah
pencapaian adalah salah satu solusi untuk menumbuhkan hasrat untuk belajar pada siswa.
Motivasi untuk terlibat adalah langkah awal untuk mengembangkan ke-mampuan akademik
(Irvin, Meltzer and Dukes, 2007: 5).

2.2 Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional)

2.2.1 Definisi Kecerdasan

Dalam pemahaman di masyarakat, kecerdasan identik dikaitkan sebagai kemampuan


secara intelektual yang ditandai dengan kemampuan akademis yang tinggi. Kecerdasan sering
disebut dengan istilah inteligensi. Inteligensi berasal dari kata Latin intelligence yang berarti
menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (Ahmadi, 2009:89). Menurut Wechsler
dalam Uno (2008:59) mendifinisikan kecerdasan sebagai totalitas kemampuan seseorang
untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan
dengan efektif. Menurut Robert S. Feldman (2012: 344), intelegensi adalah sebuah kapasitas
untuk memahami dunia, berpikir rasional, dan menggunakan akal dalam menghadapi
tantangan. Setiap individu mempunyai tingkat inteligensi yang berbeda- beda. Hal ini dapat
terlihat dengan bagaimana seseorang merespon tekanan atau masalah yang dihadapi.

Baharuddin dan Wahyuni (2008:146) mengemukakan bahwa kecerdasan adalah


kemampuan yang dibawa sejak sejak lahir, yang kemampuan seseorang untuk memecahkan
persoalan yang nyata dan dalam situasi yang bermacam-macam. Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh Gardner (2007: 11) bahwa, kecerdasan adalah kemampuan untuk
menyelesaikan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai dalam suatu budaya.
Armstrong (2013:6), mendefinisikan kecerdasan sebagai berikut: (a) kemampuan untuk
memecahkan suatu masalah; (b) kemampuan untuk menciptakan masalah baru untuk
dipecahkan; serta (c) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu
pelayanan yang berharga dalam suatu kebudayaan masyarakat.

Menurut M. Alisuf Sabri (2006: 112), kecerdasan merupakan suatu kemampuan


umum individu yang menunjukkan kualitas kecepatan, ketepatan dan kebehasilannya dalam
bertindak berbuat atau memecahkan masalah yang dihadapi. Seperti disebutkan sebelumnya,
tingkat kecerdasan dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya kemampuan, kecepatan,
serta ketepatan yang dimiliki seseorang melalui perbuatan dan tindakan dalam memecahkan
suatu masalah serta kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang solutif dan
sustainable. Thobroni dan Mustofa (2005: 49) menyatakan bahwa kecerdasan merupakan
kemampuan untuk menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak ,
memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.

2.2.2 Definisi Emosi

Emosi berasal dari kata kerja bahasa latin yaitu movere yang berarti menggerakan
atau bergerak, ditambah dengan awalan e sehingga memberi arti kecenderungan untuk
bertindak (Goleman, 2016). Hal serupa juga dikemukakan oleh Efendi (2005) yang
mendefinisikan emosi sebagai suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis, serta suatu rangkaian kecenderungan untuk bertindak. Terdapat
delapan jenis emosi yang dapat dialami oleh setiap orang, seperti yang dikemukakan oleh
Goleman (2016) yaitu amarah, rasa sedih, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan
juga malu.

Daniel Goleman (1995:411) dalam Rini Hildayani menyatakan bahwa, emosi merujuk
pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Menurut Crow and Crow (dalam Sunarto 2002:
149) emosional adalah sebagai berikut “An Emotion, is an affective experience that
accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup states in
the individual, and that shows it self in his overt behavior” (emosional, adalah pengalaman
afektif yang menyertai penyesuaian batin umum, keadaan mental dan fisiologis yang
dijadikan satu dalam individu dan itu ditunjukkan sendiri dalam perilaku sehari-harinya).

Menurut Kaplan dalam (Djaali, 2008:37) emosi adalah keadaan perasaan yang
kompleks mengandung komponen kejiwaan, badan dan perilaku yang berkaitan dengan affect
dan mood. Affect merupakan ekspresi sebagai tampak oleh orang lain dan dapat bervariasi
sebagai respons terhadap perubahan emosi, sedangkan mood adalah suatu perasaan yang
meluas, meresap dan terus menerus yang secara subjektif dialami dan dikatakan oleh individu
dan juga dilihat oleh orang lain.

Menurut Crow and Crow (dalam Sunarto, 2002: 149), “An Emotion, is an affective
experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological
stirredup states in the individual, and that shows it self in his overt behavior” (emosional
adalah pengalaman afektif yang menyertai penyesuaian batin umum, keadaan mental dan
fisiologis yang dijadikan satu dalam individu dan itu ditunjukkan sendiri dalam perilaku
sehari-harinya). Reuven Bar-On dalam Uno (2008:69) menjelaskan bahwa kecerdasan
emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan nonkognitif yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan
lingkungan.

Kecerdasan emosional dapat memotivasi siswa dalam belajar. Shapori dalam Uno
(2008:67) mengemukakan kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada keuletan,
optimisme, motivasi diri, dan antusiasme. Siswa dapat mengembangkan potensi dan
keterampilan yang dimilikinya. J.P Du Preez dalam (Anthony Dio Martin, 2003: 91) emosi
adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Setiap individu cenderung mempunyai
sifat dan emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil
persepsi terhadap situasi.

Dari beberapa pendapat peneliti di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah ciri
khas yang terdapat pada setiap individu yang menggambarkan tentang kondisi psikologis
individu. Emosi dapat dikenali dan dinilai oleh orang lain, salah satunya adalah dengan
mengamati bagaimana tindakan yang dilakukan oleh suatu individu untuk mengekspresikan
apa yang ada di dalam pikiran mereka berdasarkan pada fenomena yang mereka jumpai.
Contoh yang paling mudah untuk mengenali emosi salah satunya dengan mengamati kegiatan
sehari-hari. Emosi sering direfleksikan dengan bagaimana kepekaan diri, kemampuan
menjalin hubungan, serta memahami serta memberikan respon atas apa yang diterima dari
orang lain.

2.3 Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)

Lawrence E. Shapiro (1997:5) menyatakan bahwa istilah Emotional Intelligence


(kecerdasan emosional) pertama kali dikemukakan oleh dua ahli psikologi yakni, Peter
Salovey dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk memaparkan kualitas-
kualitas emosional yang berperan penting bagi keberhasilan suatu individu. Salovey dan
Mayer (dalam Casmini, 2012:20) mendefinisikan Emotional Intelligence sebagai “himpunan
bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi
baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan
informasi ini untuk mengembangkan pikiran dan tindakan”. Definisi tersebut mempunyai arti
bahwa dalam setiap individu terdapat aspek kecerdasan selain kecerdasan akademik yang
mempunyai peran yang sama untuk menentukan faktor keberhasilan seseorang. Winanti
(2007), menjelaskan bahwa kecerdasan emosional berkaitan dengan pengarahan tindakan
seseorang dalam kehidupan pribadi maupun sosial.

Setiap individu mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mengelola


kecerdasan emosional. Goleman (2003:512), dalam bukunya yang berjudul “Kecerdasan
Emosional untuk Mencapai Puncak Prestasi” mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampaun mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungan dengan orang lain. Doug Lennick mengatakan bahwa yang diperlukan untuk
sukses dimulai dengan keterampilan intelektual, tetapi juga memerlukan kecakapan emosi
untuk memanfaatkan potensi bakat mereka secara penuh (Goleman, 2007: 36). Pendapat
serupa juga dinyatakan oleh Amstrong (dalam Tadkiroatun : 2011) bahwa, Emotional
Intelligence dapat didefinisikan sebagai kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak
berdasarkan pemahaman tersebut.

Howard Gardner (dalam Adi W., 2002) mendefinisikan kecerdasan sebagai: (1)
kemampuan untuk memecahkan suatu masalah; (2) kemampuan untuk menciptakan masalah
baru untuk dipecahkan; (3) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu
pelayanan yang berharga dalam suatu kebudayaan masyarakat. Kemudian Howard Gadner
menyatakan ada delapan jenis kecerdasan pada diri manusia, yaitu: kecerdasan linguistik,
kecerdasan logika-matematika, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal,
kecerdasan musikal, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik, dan kecerdasan
naturalis.

Menurut Cooper dan Swaf (dalam Efendi, 2005: 172) pada buku Executive EQ
mendefinisikan kecerdasan emosional sebagaimana berikut. “Emotional Intelligence is the
ability to sense, understand, and effectively apply the power and acumen of emotions as a
source of human energy, information, connection, and influence” (kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara afektif mengaplikasikan kekuatan
serta kecerdasan emosi sebagai sebuah sumber energi manusia, informasi, hubungan dan
pengaruh).

Berdasarkan beberapa pendapat peneliti di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan


emosional (Emotional Intelligence) adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol,
mengolah, serta mengaplikasikan informasi yang diperoleh tersebut untuk mengembangkan
potensi yang ada dalam individu tersebut agar terus berkembang. Hal ini tidak hanya berlaku
untuk individu tersebut, namun juga bagaimana individu tersebut ketika berinteraksi dengan
orang lain. Salah satu contohnya adalah dalam hal menyelesaikan suatu masalah yang
melibatkan beberapa pihak, maka dituntut suatu solusi/tindakan yang akan berdampak tidak
hanya satu pihak tertentu, namun semuanya.

2.2.2 Komponen - Komponen Kecerdasan Emosional

Secara harfiah, kecerdasan digambarkan sebagai suatu hal yang menggambarkan


kepandaian, kecapakapan maupun kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengolah suatu informasi
menjadi suatu pengetahuan kemudian mengaplikasikannya dalam memecahkan suatu
masalah. Alfred Binnet (dalam Susanto, 2016: 15) membagi kecerdasan (intellegence) ke
dalam tiga aspek kemampuan, yaitu: direction, adaptation, dan criticism. (1) direction,
artinya kemampuan untuk memusatkan kepada suatu masalah yang dipecahkan, (2)
adaptation, artinya kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap suatu masalah yang
dihadapinya secara fleksibel di dalam menghadapi masalah, (3) criticism, artinya kemampuan
untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya
sendiri.

Pendapat lain dikemukakan oleh Salovey (dalam Goleman, 1999:513) yang


menyebutkan beberapa pondasi dasar kecerdasan emosi antara lain:

1. Knowing your emotions, Kemampuan seseorang untuk “mengenal diri sendiri”


merupakan inti dari kecerdasan emosional, yaitu kesadaran untuk mengontrol diri
sendiri. Seseorang yang mengenali emosi dirinya akan peka terhadap suasana hati,
ia akan memiliki kejernihan pikiran sehingga seseorang itu akan mendiri dan
yakin batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus dan cenderung
berfikir positif tentang kehidupan (Goleman, 2003:65).
2. Managing your own emotions, Ketika seseorang telah mampu untuk “mengenali
diri sendiri”, secara tidaklangsung akan mampu untuk mengambil sikap
bagaimana mengontrol emosi dalam diri mereka. Ketepatan dalam menentukan
respon emosional terhadap suatu hal akan berdampak pada kecakapan dalam
menengani suatu masalah. Kemampuan mengelola emosi berdampak positif
terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu memulihkan kembali
tekanan emosi (Najati, 2002:166).
3. Motivating yourself, motivasi merupakan faktor penggerak dalam diri seseorang
yang membuat individu mengambil suatu tindakan. Motivasi merupakan salah
satu faktor krusial yang erat hubungannya dengan keberhasilan. Kemampuan
untuk mengontrol emosi dalam diri sendiri adalah faktor yang sangat penting
untuk mencapai tujuan dalam menentukan prioritas pada target mana yang ingin
dicapai.tingkat keberhasilan seseorang seringkali dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan seseorang dalam mengelola motivasi terhadap diri sendiri.
4. Recognizing and understanding other people’s emotions (Emphaty), keberhasilan
tentunya membutuhkan kontribusi dan kerjasama dari orang lain. Seseorang yang
memiliki empati cenderung peka terhadap fenomena sosial yang tersembunyi dan
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain.
Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dan persepektif orang lain
sebagai dasar untuk membangun hubungan interpersonal yang sehat. Menurut
Mustaqim (2001:156) ciri-ciri empati adalah sebagai berikut:
 Ikut merasakan, kepekaan untuk mengetahui perasaan orang lain
 Dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin kita mengetahui emosi diri
sendiri maka semakin terampil kita membaca emosi orang lain
 Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih penting sering diungkapkan
melalui bahasa isyarat
 Mengambil pesan yaitu kemampuan dalam menyimpulkan informasi yang
diperoleh
5. Managing relationships, ie., managing the emotions of others, seseorang yang
telah mampu mengeloal emosi terlihat ketika terjadi interkasi dengan orang lain.
Emosi yang dikelola dengan baik secara tidak langsung akan berpengaruh pada
kualitas hubungan antara seseorang dengan orang lain. Seringkali tinggi
rendahnya kecerdasan emosional seseorang dapat dinilai dari hal di atas. Menurut
Claude Stainer (dalam Agustian, 2004:100), ada beberapa upaya untuk
meningkatkan kualitas dalam berinteraksi yaitu, 1) membuka hati, 2) menjelajahi
dataran emosi, dan 3) mengambil tanggung jawab.

Alfred Binnet (dalam Susanto, 2016: 15) membagi kecerdasan (intellegence) ke


dalam tiga aspek kemampuan, yaitu: direction, adaptation, dan criticism. (1) direction,
artinya kemampuan untuk memusatkan kepada suatu masalah yang dipecahkan, (2)
adaptation, artinya kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap suatu masalah yang
dihadapinya secara fleksibel di dalam menghadapi masalah, (3) criticism, artinya kemampuan
untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya
sendiri.

Kecerdasan Emosional (EI) bersinergi dengan Keterampilan Kognitif (IQ). Tanpa


kecerdasan emosional (Emotional Intelligence), seseorang tidak akan biasa menggunakan
potensi yang terdapat dalam dirinya secara maksimum, khususnya kemampuan kognitif.
Sering dijumpai seseorang dengan kemampuan kognitif yang sangat baik, ternyata tidak
mampu mendapatkan target yang diharapkan. Salah satunya adalah ketidakmampuan dalam
mengelola serta menganalisa tekanan yang datang dengan tepat karena kurangnya kecerdasan
emosional. Doug Lennick menjelaskan bahwa yang diperlukan untuk sukses dimulai dengan
keterampilan intelektual, tetapi juga memerlukan kecakapan emosi untuk memanfaatkan
potensi bakat mereka secara penuh (Goleman, 2007:36).

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Menurut pendapat yang dijelaskan beberapa ahli, terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosinal seseorang yaitu, faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal berasal dari setiap individu itu sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi
kecerdasan emosional adalah faktor eksternal yaitu yang datang dari diri luar individu. Sejak
kecil seseorang mempelajari keterampilan sosial dasar maupun emosional dari orang tua dan
kaum kerabat, tetangga, teman bermain, lingkungan pembelajaran di sekolah dan dari
dukungan sosial lainnya (Goleman, 2003:57). Kemampuan dalam mengontrol serta
menentukan emosi akan sangat berpengaruh dalam kemampuan suatu individu bagaimana
merespon fenomena yang ada di sekitarnya, baik positif maupun negatif. Hal ini tentunya
akan berdampak pada perkembangan individu tersebut. Goleman (2003:59) menjelaskan
bahwa, mengerjakan keterampilan emosi sangat penting untuk mempersiapkan belajar dan
hidup (Goleman, 2003:59).

Menurut Goleman (dalam Zubaedi, 2013: 48) kecerdasan emosional dipengaruhi oleh
tiga faktor, yaitu :

1. Faktor Otak. Bagian otak manusia yang disebut sistem limbik merupakan pusat
emosional. Amigdala menjadi bagian penting dalam mengatur kehidupan yang
berkaitan dengan masalah-masalah emosional. Pemisahan amigdala dari bagian-
bagian otak lainnya akan menyebabkan seseorang tidak mampu dalam menangkap
makna emosional dari suatu peristiwa. Faktor otak ini dapat menjadi faktor internal
kecerdasan emosional.
2. Faktor Pola Asuh Orang Tua. Terdapat tiga bentuk pola asuh orang tua terhadap
anaknya, yaitu otoriter, permisif, dan otoritatif. Orang tua memegang peranan penting
terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. Goleman berpendapat
lingkungan keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak untuk mempelajari
emosional. Faktor ini dapat menjadi faktor eksternal kecerdasan emosional.
3. Faktor Lingkungan Sekolah, sekolah adalah sebuah manajemen yang terdiri dari
beberapa perangkat yang mempunyaiperanan masing-masing. Sebagai contoh, setiap
guru mempunyai metode pengajaran serta gaya kepemimpinan masing-masing yang
tentunya berdampak pada perkembangan peserta didik. Faktor ini ini adalah salah satu
dari faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan


orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain (Daniel Goleman,
2003:512). Huggins-Cooper (2013: 57) menyebut kecerdasan interpersonal sebagai
kecerdasan sosial, dengan memiliki kecerdasan sosial membantu kita untuk memahami
perasaan, motivasi, dan intense orang lain.

Kecerdasan emosional dan kecerdasan akademik menyangkut kemampuan serta


karakteristik yang berbeda tetapi saling melengkapi. Kecerdasan akademik lebih dikenal yaitu
kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan Intelligence Quotient (IQ).
Menurut Daniel Goleman, (2009:45), kecerdasan emosional merupakan kemampuan
seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi,
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa. Emotional Intelligence (kecerdasan emosional) mempunyai fungsi sebagai
“pendamping” IQ, sebagai pengendali tekanan yang datang yang tidak dapat hanya dengan
mengandalkan kecerdasan akademik (IQ) yang baik.

Dalam proses pembelajaran di sekolah, banyak orang berpendapat bahwa untuk


meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient
(IQ) yang tinggi, Karena intelegensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan
dalam belajar sehingga menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam
Winkel (1997:529) hakikat intelegensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan
mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai
tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. Kecerdasan emosional
yang dimiliki siswa dapat mengendalikan siswa menjadi lebih baik dan dapat mengontrol
emosi.

2.2.4 Aspek – Aspek Kecerdasan Emsosional (Emotional Intelligence)

Kecerdasan emosional menjadi salah satu atribut yang memiliki peranan krusial
dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan emosional berperan dalam kemampuan
mengendalikan emosi serta beradaptasi dengan lingkungan. Kecerdasan emosional
(Emotional Intelligence) sangat berkaitan dengan dimensi-dimensi psikologis seperti
perhatian, minat, konsentrasi, sikap, motivasi, dan kondisi psikologis yang perlu dikenali dan
dikelola secara baik. Stephen Neale dkk (2008:27) membagi kecerdasan emosional menjadi 2
aspek yaitu kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal.

Aspek intrapersonal terdiri dari :

1. Self Regard/penghargaan terhadap diri sendiri, yaini seberapa besar seseorang


menghargai dirinya sebagai individu.
2. Self Awareness/kesadaran terhadap diri sendiri, yaini sebuah intuisi atau perasaan
dalam memahami diri sendiri.
3. Self Management/manajemen diri, merupakan pengendalian diri yang meliputi
pengendalian emosi, kepribadian kuat, tujuan/cita-cita, fleksibilitas, hubungan
antarpribadi dan konsisten/dapat dipercaya.

Sementara aspek interpersonal terdiri dari :

1. Regard For Others/menghargai orang lain, yakni seberapa besar seseorang


menghargai orang lain dari. apa yang mereka perbuat.
2. Awareness of Other/kesadaran terhadap orang lain, yakni bagaimana sesorang
menunjukan empati atau kepedulian terhadap orang lain serta mendengarkan atau
memahami perasaan orang lain.
3. Relationship Management/manajemen hubungan, yaitu meliputi kepercayaan, cara
pandang seimbang, ekpresi dan kontrol emosi, kemampuan menangani masalah, serta
ketergantungan terhadap orang lain.

Secara umum, kecerdasan emosional dapat diamati dari perilaku seseorang. Orang yang
memiliki kecerdasan emsoional yang baik cenderung mampu untuk “mengorganisir” emosi.
Mempunyai intuisi yang baik untuk menempatkan emosi dalam waktu dan tempat secara
tepat. Mampu berbaur dengan baik dalam beragam model lingkungan, senantiasa antusias
berhubungan dengan orang lain, serta mampu menghargai orang lain.

Setiap individu dapat meningkatkan kecerdasan emosional masing-masing. Untuk


mencapai hal tersebut, selain komitmen dari dalam diri sendiri juga membutuhkan partisipasi
dari orang lain dan lingkungan. Terdapat beberapa dimensi dalam kecerdasan emosional yang
dapat dieksplorasi untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Menurut Safaria (2005: 24-
25), terdapat tiga dimensi kecerdasan emosional, yaitu :

1. Kepekaan Sosial (Social Sensivity), kemampuan seseorang dalam mengamati


perubahan reaksi pada orang lain, dimana perubahan tersebut ditunjukan secara verbal
ataupun non verbal. Seseorang yang mempunyai sensivitas yang tinggi akan cepat dan
mudah menyadari perubahan reaksi dari orang lain, baik reaksi positif dan negatif.
 Sikap Empati, mempunyai dua komponen kognitif dan satu komponen afektif.
Dua komponen kognitif itu adalah pertama, kemampuan individu
mengidentifikasi dan melabelkan perasaan orang lain. Kedua, kemampuan
individu dalam mengasumsikan perspektif orang lain. Satu komponen afektif
adalah kemampuan dalam meresponsifkan emosi.
 Prososial, istilah yang digunakan oleh para ahli sebagai psikologi sebuah
tindakan moral yang harus dilakukan secara kultural seperti berbagi,
membantu seseorang yang membutuhkan, bekerja sama dengan orang lain,
dan mengungkapkan simpati.
2. Pemahaman Sosial (Social Insight), kemampuan seseorang dalam mencari solusi
suatu masalah yang efektif dalam interaksi sosial, sehingga masalah tersebut tidak lagi
menjadi penghambat dalam relasi sosial yang telah dibangun seseorang. Unsur-unsur
pokok dalam social insight adalah kesadaran diri, kesadaran diri yang baik akan
mampu memahami diri anak baik keadaan internal seperti emosi dan eksternal seperti
cara berpakaian dan cara berbicara.
 Berkembangnya Kesadaran Diri, Safaria (2005: 46) mendefinisikan kesadaran diri
sebagai kecenderungan individu untuk dapat menyadari dan memperhatikan aspek
diri internal maupun aspek diri eksternalnya. Aspek diri internal (privat) berkaitan
dengan kemampuan individu dalam menyadari kemampuan internalnya seperti
pikiran, perasaan, emosi-emosi, pengalaman, dan tindakan-tindakan yang diambil.
Sedangkan aspek diri eksternal (publik) adalah kemampuan individu untuk
menyadari penampilan, pola interaksi dengan lingkungan sosial, dan menyadari
situasi yang terjadi di sekeliling individu.
 Pemahaman Situasi Sosial dan Etika Sosial, Etika adalah suatu kaidah sosial yang
mengatur mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Safaria (2005: 65-67) menjelaskan untuk sukses dalam membina dan
mempertahankan sebuah hubungan, individu perlu memahami norma-norma
sosial yang berlaku. Dalam bersosialisasi individu harus memahami kaidah moral.
Ada perbuatan yang harus dilakukan dan ada pula perbuatan yang tidak boleh
dilakukan.
 Pemecahan masalah secara efektif, Semakin tinggi kemampuan seseorang dalam
memecahkan masalah, maka akan semakin positif hasil yang akan didapatkan dari
penyelesaian konflik antar pribadi tersebut. Safaria (2005: 67) menjelaskan setiap
individu membutuhkan keterampilan dalam memecahkan masalah secara efektif,
apalagi jika masalah tersebut berkaitan dengan konflik interpersonal.
3. Komunikasi Sosial (Social Communication), kemampuan individu untuk berasimilasi
dalam suatu proses komunikasi (komunikasi nonverbal, verbal, maupun komunikasi
melalui penampilan fisik) dalam menjalin hubungan antar satu dengan lainnya.
 Kemampuan berkomunikasi dengan santun, Safaria (2005: 132) menjelaskan
komunikasi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses penyampaian informasi,
pengertian dan pemahaman antara pengirim dan penerima. Kesimpulannya,
setiap informasi yang disampaikan melalui perantara sinyal, lambang, atau
kode mengandung arti untuk mencapai kesamaan serta pemahaman antara satu
sama lain.
 Kemampuan mendengarkan efektif, Safaria (2005: 165) menyatakan bahwa
mendengarkan adalah proses aktif menerima rangsangan (stimulus) telinga
(aural) dalam bentuk gelombang gelombang suara.

2.4 Full Day School

2.4.1 Pengertian Full Day School

Full Day School secara etimologi berasal dari Bahasa Inggris, yaitu terdiri dari kata
full berarti penuh dan day artinya hari (John M. Echols, Hassan S, 2003). Dari pengertian
keduanya, full day school adalah sekolah atau kegiatan belajar yang dilakukan sehari penuh.
Sukur Basuki dalam (Baharudin, 2010: 221) menyatakan bahwa dalam Full Day School,
sebagian waktunya digunakan untuk program pelajaran yang suasananya informal,
menyenangkan bagi siswa, dan membutuhkan kreativitas serta inovasi dari pendidik.
Sismanto (2007) dalam artikel “Menakar Kapitalisasi Full Day School”, mengungkapkan
bahwa Full Day School merupakan sekolah sepanjang hari dengan proses pembelajaran yang
dimulai dari pukul 06.45-15.00 WIB dengan durasi istirahat setiap 2 jam mata pelajaran.

Miller (2005:1) menyatakan, full day school adalah sebuah program dimana siswa
datang ke sekolah sejak pagi hingga sore untuk belajar dan bersosialisasi. Jadi, siswa selama
sehari penuh berada dalam sekolah dan melakukan segala aktivitas pembelajaran di sekolah.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Wiwik Sulistyaningsih (2008: 59) bahwa, sekolah
bertipe full day ini berlangsung hampir sehari penuh lamanya, yakni dari pukul 08.00 pagi
hingga 15.00 sore.

Full Day School dapat diartikan dengan sekolah sepanjang hari atau proses belajar
mengajar yang dilakukan mulai pukul 06.45-15.00 dengan waktu istirahat setiap dua jam
sekali. Belajar efektif bagi anak itu hanya 3-4 jam sehari (dalam suasana formal) dan 7-8 jam
sehari (dalam suasana informal) (Salim, 2009). Sekolah dapat mengatur jadwal pelajaran
dengan leluasa, disesuaikan dengan bobot mata pelajaran dan ditambah dengan pendalaman
materi. Pengaturan jadwal mata pelajaran dan pendalaman merupakan hal yang diutamakan
dalam Full Day School (Baharudin, 2010: 221).

Hilalah (2009: 22) menjelaskan bahwa, full day school merupakan suatu proses
pembelajaran yang dilaksanakan sehari penuh yang menerapkan dasar integrated curriculum
dan integrated activity yang berarti hampir seluruh aktivitas anak berada di sekolah, mulai
dari belajar, makan, bermain, dan ibadah di kemas dalam dunia pendidikan. Full day school
mengandung arti sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran atau kegiatan belajar
mengajar sehari penuh dengan memadukan sistem pengajaran yang intensif yakni dengan
menambah jam pelajaran untuk mendalam materi pelajaran serta pengembangan diri dan
kreativitas (Nurhidayati, 2017).

Berdasarkan pada pendapat para peneliti diatas, maka dapat disimpulkan bahwa full
day school adalah sebuah inovasi sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran
sepanjang hari sejak pagi hingga sore dimana seluruh aktivitasnya dilakukan di sekolah,
dengan porsi kegiatan yang lebih menarik dan variatif. Kegiatan proses pembelajaran tidak
hanya proses tatap muka seperti umumnya kelas reguler, akan tetapi ditambah dengan
memberikan kegiatan belajar yang aktif dan menyenangkan bagi siswa. Full day scholl
menekankan pada pengembangan serta pendalaman materi pembelajaran, serta
menumbuhkan kreatifitas siswa.

2.4.2 Tujuan Full Day School

Setiap lembaga pendidikan yang ingin mencapai kesuksesan, haruslah menetapkan


tujuan yang akan dicapai. Menurut Arikunto (1993), secara umum lembaga pendidikan
mempunyai tujuan telah dirumuskan dalam berbagai tingkat tujuan, diantaranya yaitu :

1) Tujuan Pendidikan Nasional yaitu tujuan yang hendak dicapai melalui upaya
pendidikan secara menyeluruh. Tujuan pendidikan ini merupakan tujuan umum yang
telah ditentukan oleh pemerintah dan tertera di dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara.

2) Tujuan Institusional yaitu tujuan yang dirumuskan dan hendak dicapai oleh suatu
lembaga pendidikan. Tujuan institusional ini sudah bersifat khusus sesuai dengan apa
yang dihasilkan oleh lembaga tersebut.
3) Tujuan Kurikuler adalah tujuan pendidikan yang akan dicapai melalui bidang studi
tertentu. Dengan kata lain, tujuan kurikuler adalah tujuan untuk tiap-tiap bidang studi.
Dan tujuan kurikuler ini lebih mengarah pada pembentukan pribadi siswa. Di dalam
rumusan tujan kurikuler dapat diketahui bahwa aspek-aspek pribadi yang akan dibina
dan dikembangkan melalui pendidikan bidang studi yang bersangkutan, kepribadian
yang dibina dan dikembangkan tersebut selalu meliputi aspek, yaitu pengetahuan,
ketrampilan dan sikap.

4) Tujuan Instruksional adalah tujuan yang akan dicapai melalui kegiatan pengajaran.
Tujuan instruksional ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan instruksional umum dan
tujuan instruksional ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan instruksional umum dan
tujuan instruksional khusus. Tujuan instruksional umum adalah tujuan yang akan
dicapai melalui pokok-pokok bahasan, sedangakan tujuan instruksional khusus yaitu
tujuan yang akan dicapai oleh guru dalam pertemuannya dengan siswa di kelas.

Konsep dasar dari sistem pendidikan full day school adalah integrated curriculum dan
integrated activity dengan tujuan meningkatkan tidak hanya kemampuan kognitif, akan tetapi
juga aspek kecerdasan lainnya, misalnya kreatifitas. Kurikulum yang digunakan merupakan
perpaduan antara kurikulum yang ditetapkan pemerintah dan metode pembelajaran yang
diadaptasi untuk mengakomodasi sitem pendidikan full day school. Hal ini berarti bahwa
dengan mengimplementasikan sistem full day school melalui penambahan durasi belajar serta
metode pembelajaran yang lebih variatif akan lebih meningkatkan kualitas hasil belajar.
Menurut Elicker dan Marthur (dalam Priyono, 2009:1) anak yang sekolah full day memiliki
kesiapan belajar yang lebih tinggi daripada anak-anak yang sekolah setengah hari, sehingga
secara tidak langsung hal ini akan berpengaruh pada prestasi anak.

Dionisios Loukeris et al (2009: 162) menyatakan bahwa holoimero school atau full
day school juga dapat dikatakan sebagai full day school memiliki tujuan pelaksanaan
pendidikan. “The basic targets of the operation of the holoimero school are as follows:

 The reinforcement of knowledge and skills that students are taught in the morning
syllabus (study, additional teaching interventions in Language and Mathematics,
consolidating teaching, individualised programmes by the schoolteachers of the
afternoon classes)
 The enrichment of the morning syllabus with more subjects of particular cultural and
social importance (English Language, Sports, Music, Dance, Theatrical Studies, Arts,
New technologies in Education), according to the students’ needs and interests,
taught by specialised teachers.

Dionisios Loukeris dkk (2009: 162) mengungkapkan bahwa tujuan pelaksanaan


pendidikan holoimero school (full day school) adalah untuk menguatkan pengetahuan dan
keterampilan siswa (belajar, intervensi mengajar tambahan bahasa dan matematika, mengajar
konsolidasi, program individual oleh guru sekolah dari kelas sore).

Dalam sebuah sistem terdapat bagian-bagian yang saling bersinergi serta bekerja
bersama-sama dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Dick, Carey and Carey (2009: 2)
menyatakan, “A system is technically a set of interrelated parts, all a which work together
toward a defined goal”. (Sebuah sistem merupakan cara berhubungan dari masing- masing
bagian, bekerja secara bersama-sama dalam mencapai tujuan). Reigeluth (1999: 144)
menjelaskan bahwa, “learning is knowledge contruction, is based on the idea that learning
occurs when a learner actively constructs a knowledge representation in working memory”.
(Belajar merupakan proses pembentukan ilmu pengetahuan, prinsip ini didasari pada sebuah
pemikiran bahwa belajar terjadi ketika seorang pembelajar secara aktif melakukan
pembentukan/ membangun ilmu pengetahuan baru pada memori).

Menurut Dick, Carey and Carey (2009: 2), “The instruction process has focused upon
the interactive component of the process, namely, the time instructors and learneds comes
together whit the hope that learning will occur.” (Proses pembelajaran terfokus pada proses
interaksi antara komponen- komponen pembelajar, memberikan pemaknaan secara bersama-
sama antara guru dan siswa dengan harapan akan dapat mencapai hasil yang optimal).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah memerlukan sistem
pembelajaran yang tepat dan efektif. Adaptasi kurikulum pemerintah dengan sistem full day
school merupakan salah satu upaya untuk mencapai hasil yang optimal dari proses
pembelajaran tersebut.

Secara umum, tujuan sistem pembelajaran full day school adalah untuk memberikan
dasar yang kuat dalam mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan/Intelegence Quotient
(IQ), Emosional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) melalui berbagai metode yang
variatif dan inovatif. Kurikulum full day school didesain untuk mengembangkan kreatifitas
yang mencakup integritas dan kondisi tiga ranah (ranah kognitif, afektif dan psikomotorik)
(Arikunto, 1993).
2.5. Hubungan antara Full Day School dengan Motivasi Belajar

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer dalam hidup. Setelah keluarga,
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal diharapkan memiliki kualitas yang diharapakan
serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Berawal dari kebutuhan dan
mobilitas masyarakat yang tinggi muncullah konsep pendidikan baru yang dinamakan full
day school (Sukur Basuki, 2007). Baharudin (2009: 224) menyatakan bahwa sekolah yang
bersistem full day school tidak hanya berbasis sekolah formal, namun juga informal. Sistem
pengajaran yang diterapkan sangat menyenangkan (tidak kaku dan monoton). Menurut Salim
dalam (Nurhidayati, 2017) sistem full day school adalah sebuah sistem pembelajaran yang
dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sehari penuh dengan memadukan
sistem pembelajaran secara intensif dengan memberikan tambahan waktu khusus untuk
pendalaman selama lima hari dan sabtu diisi dengan relaksasi atau kreativitas.

Di sisi lain, secara logika, durasi belajar yang lama akan dapat mengakomodasi tujuan
pengembangan serta pendalaman materi, akan tetapi hal ini secara tidak langsung akan
berpengaruh pada minat belajar seseorang. Dengan penambahan durasi belajar, peserta didik
akan memerlukan tambahan tenaga, maka akan berdampak pada aspek psikologis peserta
didik. Menurut Hamiyah dan Jauhar (2014:102), motivasi belajar merupakan kekuatan mental
yang mendorong terjadinya proses belajar, lemahnya motivasi atau tiadanya motivasi belajar
akan melemahkan kegiatan belajar. Respon berbeda akan muncul, misalnya pro kontra akan
penerapan kebijakan full day school, kemudian berpotensi mempengaruhi motivasi belajar.

Sistem full day school menerapkan beberapa kegiatan tambahan yang berbeda
dibandingkan sekolah reguler. memerlukan tenaga ekstra yang akan berpengaruh pada
motivasi belajar siswa. Menurut (Dalyono, 2015), seseorang yang belajar dengan motivasi
kuat, akan melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan sungguh-sungguh, penuh gairah
atau semangat. Sebaliknya, belajar dengan motivasi yang lemah, akan malas bahkan tidak
mau mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan pelajaran.

Sistem full day school seringkali menimbulkan rasa bosan pada siswa. Sistem
pembelajaran dengan pola full day school membutuhkan kesiapan baik fisik, psikologis,
maupun intelektual yang bagus (Hasan, 2006: 115). Durasi waktu belajar yang lebih lama
serta porsi kegiatan yang lebih cenderung menyebabkan kejenuhan pada siswa. Hal ini
memberikan dampak yang berbeda bagi peserta didik. Bagi yang sudah siap secara psikis dan
psikologis, akan merespon sistem ini dengan antusias, sebaliknya hal ini akan berdampak
negatif bagi peserta didik yang belum siap. Peserta didik akan kurang termotivasi, merasa
terbebani serta memerlukan adaptasi lagi dengan sistem kurikulum yang baru. Peserta didik
akan kesulitan untuk mengontrol tenaga dan pikiran mereka selama proses pembelajaran.
Motivasi belajar membuat siswa lebih efisien mengatur waktu dan efektif dalam belajar
(Cobb dalam (Agus Akhmadi, 2012).

Biggs dan Tefler dalam Setyowati (2007) mengemukakan, motivasi belajar pada
siswa dapat menjadi lemah, lemahnya motivasi atau tiadanya motivasi belajar akan
melemahkan kegiatan, sehingga prestasi belajar akan menjadi rendah. Menurut Mc. Donald
(dalam Sardiman, 2014) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai
dengan munculnya “feeling” dan didahuli dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.

2.6. Hubungan Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) dengan Full Day


School

Setiap individu memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi, kemudian


memberikan respon atau tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki.
Kemampuan tersebut sering disebut dengan inteligensi. Menurut Robert S. Feldman (2012:
344), intelegensi adalah sebuah kapasitas untuk memahami dunia, berpikir rasional, dan
menggunakan akal dalam menghadapi tantangan. Sistem full day school menuntut peserta
didik untuk memiliki kondisi psikis dan psikologis yang baik dan terkoordinasi dengan tepat.
Menurut Elicker dan Marthur (dalam Priyono, 2009:1) anak yang sekolah full day memiliki
kesiapan belajar yang lebih tinggi daripada anak-anak yang sekolah setengah hari, sehingga
secara tidak langsung hal ini akan berpengaruh pada prestasi anak.

Dalam proses pembelajaran, pemahaman umum menganggap Intellectual Quotient


(IQ) sebagai faktor utama dalam mencapai prestasi yang baik. Faktanya, seringkali dijumpai
fenomena dimana peserta didik yang tidak dapat memperoleh hasil belajar yang setara
dengan kemampuan intelektualnya. Di sisi lain terdapat peserta didik yang walaupun
kemampuan intelektualnya relatif rendah, dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi.
Goleman (2003 : 45) mendefinisikan Kecerdasan emosional (emotional intelligence) sebagai
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta berempati dan berdoa.
Goleman (2003:44) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20%
bagi kesuksesan, sedangkan 80 % di pengaruhi oleh faktor lain. Adapun faktor lain ini salah
satunya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI).

Penelitian yang dilakukan Roy, et al (2013) mengenai Emotional Intelligence


Academic Achievement Motivation Among Adolescents: A Relationship Study. Dalam
penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat pengaruh positif antara kecerdasan emosional
(emotional intelligence) dan motivasi belajar. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa
siswa dengan motivasi rendah, menengah dan tinggi mempunyai kecerdasan emosional yang
berbeda. Sehingga pada penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat
motivasi belajar maka berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan emosional. Hasil
penelitian yang serupa juga ditemukan oleh Nasir dan Masrur (2010) dalam penelitiannya
yang berjudul An Exploration of Emotional Intelligence of the Students of IIUI in Relation to
Gender, Age and Academic Achievement. Penelitian ini meneliti tentang hubungan
kecerdasan emosional (emotional intelligence) dengan gender, umur dan prestasi belajar.
Penelitian ini membuktkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara kecerdasan emosional
dan prestasi belajar.

2.7. Hubungan Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) dengan Motivasi


Belajar

Emotional Intelligence (EI) menjadi faktor utama selain IQ dalam mencapai prestasi
belajar. Dalam setiap proses pembelajaran, belajar tidak hanya menyangkut peserta didik
dengan buku saja, tetapi juga melibatkan hubungan antara peserta didik dengan yang lain,
serta hubungan antara peserta didik dengan guru. Menurut Salovey dan Mayer dalam
Khodijah (2014), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali emosi diri
sendiri, mengelola, dan mengungkapkan emosi diri sendiri dengan tepat, memotivasi diri,
mengenali orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.

Emotional Intelligence (kecerdasan emosional) mempengaruhi kesiapan seseorang


untuk berpikir dan bertindak dengan suatu cara tertentu. Hal ini berlaku pada kesiapan peserta
didik dalam beradaptasi dengan sistem pendidikan yang baru. Emosi dapat berakhir ketika
perhatian seseorang dialihkan pada masalah yang berbeda, akan tetapi emosi dapat
berlangsung ketika terjadi perubahan masalah yang signifikan (Brewer & Hewstone, 2004).
Motivasi belajar tidak hanya menjadi pendorong untuk mencapai prestasi yang baik, akan
tetapi di dalam motivasi belajar juga terkandung pemahaman dan perkembangan dalam
belajar (Santrock, 2010). Menurut Heward (1996), karakteristik motivasi belajar yang baik di
antaranya adalah keinginan belajar, menyelidiki, serta mencari lebih banyak informasi.

Peserta didik akan lebih termotivasi dalam belajar apabila mereka menemukan
“ketertarikan”. Motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik secara ekstrinsik dan intrinsik (McCown, 1997). Motivasi ekstrinsik adalah hal
atau keadaan yang datang dari luar individu, sehingga dapat meningkatkan motivasi intrinsik
yang dapat mendorong individu untuk belajar. Salah satunya adalah interkasi yang baik antar
peserta didik dan dengan pengajar. Menurut Lynn (2002), kecerdasan emosional merupakan
dimensi dari kecerdasan yang bertanggung jawab dalam mengatur diri sendiri dan hubungan
dengan orang lain. Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan untuk mengenali emosi
diri sendiri dan orang lain, memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi diri
sendiri dengan baik dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2016) Motivasi
intrinsik adalah hal atau keadaan yang datang dari dalam individu yang dapat mendorong
individu tersebut untuk melakukan kegiatan belajar, salah satunya adalah aspek emosi
(McCown, 1997).

2.7 Penelitian Terdahulu

Comparative Study of Part-Time and Full-Time Students, Emotional Intelligence,


Psychological Well-Being and Life Satisfactions in the Era of New Technology Farhana Wan
Yunus, Sharifah Muzlia Syed Mustafa, Norsidah Nordin, Melissa Malik Faculty of
Education, Universiti Teknologi MARA, Malaysia Many students who enroll in distance
learning programs claimed that they feel very stressful when completing their assignments,
poor performance and difficulties to cope with studies and work. This study compared the
part-time distance learning students and the full-time students’ emotional intelligence,
psychological well-being and life satisfaction. This study employed a survey method
involving 67 students. The finding revealed that there was a significant difference in
emotional intelligence between the part-time and the full time students. However, there were
no significant differences in psychological well-being and life satisfaction between the two
groups of students. Implications and recommendations are discussed accordingly.

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN


3.1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual menjelaskan secara teoritis tentang bagaimana hubungan teori-


teori di dalam variabel-variabel penelitian yang ingin diteliti, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat. Berikut model konseptual dengan penjelasan yang berhubungan dengan
setiap variabel.

Faktor yang mempengaruhi


motivasi belajar (Santrock,
2007)

Motivasi Intrinsik motivasi internal untuk melakukan sesuatu


demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri).

Motivasi melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu


full day school merupakan suatu proses Ekstrinsik yang lain (cara untuk mencapai tujuan)
pembelajaran yang dilaksanakan sehari
penuh yang menerapkan dasar
integrated curriculum dan integrated
activity (Hilalah, 2009: 22)

Full Day School (X) Motivasi Belajar (Y)


(McCown, et al, 1997)
(Miller, 2005:1)

Emotional Intelligence (Z)


(Goleman, 2003:512) Prestasi Belajar

Menurut Usmara (2006), motivasi adalah suatu kumpulan kekuatan tenaga yang
berasal baik dari dalam maupun luar individu yang memulai sikap dan menetapkan bentuk,
arah, serta intensitasnya. Hal ini mengandung arti bahwa motivasi adalah dorongan yang
berasal dari dalam maupun luar seorang individu untuk mengambil suatu keputusan dalam
memenuhi suatu target yang ingin dicapai. Menurut McClelland (Usmara, 2006)
menyebutkan bahwa dalam motivasi terdapat tiga kebutuhan pada manusia antara lain,
Kebutuhan Berprestasi (Need For Achievement), Kebutuhan Berafiliasi (Need For Afiliation)
dan Kebutuhan Kekuasaan (Need For Power). Motivasi dapat berupa suatu kekuatan baik
dari luar maupun dalam yang menggerakan manusia untuk bersikap dengan cara tertentu, hal
ini memperlihatkan bahwa motivasi muncul karena adanya suatu kebutuhan. Apabila
kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, maka akan menimbulkan suatu kepuasan. Motivasi
belajar mendorong seseorang untuk mencapai prestasi belajar sebaik mungkin. Clayton
Alderfer (dalam Hamdu & Agustina, 2011) menjelaskan bahwa motivasi belajar adalah
kecenderungan siswa dalam melakukan kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk
mencapai prestasi atau hasil belajar sebaik mungkin. Dorongan yang muncul untuk
mendapatkan hasil atau prestasi belajar adalah faktor yang melatarbelakangi suatu individu
untuk melakukan suatu kegiatan belajar mengajar. Sedangkan menurut Hodgetts dan Luthans
(dalam Usmara, 2006) mengemukakan bahwa motivasi sebagai proses psikologis melalui
keinginan yang belum terpuaskan, yang diarahkan ke pencapaian tujuan/insentif.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan motivasi belajar adalah kurikulum
pendidikan yang dapat merangsang serta mengakomodasi kebutuhan peserta didik. Menurut
Nurhidayati (2017), Full Day School mengandung arti sistem pendidikan yang menerapkan
pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar sehari penuh dengan memadukan sistem
pengajaran yang intensif yakni dengan menambah jam pelajaran untuk mendalami materi
pelajaran serta pengembangan diri dan kreativitas (Nurhidayati, 2017). Diharapkan dengan
menambah durasi belajar, maka akan dapat mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar
sehingga mencapai prestasi belajar sebaik mungkin. Full Day School merupakan sebuah
sistem pembelajaran yang dilakukan dalam waktu sehari penuh, yaitu dilaksanakan dari pukul
06.45-15.00. Program ini menerapkan sistem pembelajaran secara intensif yaitu dengan
memberikan waktu khusus selama lima hari untuk pendalaman materi dan satu hari untuk
kegiatan ekstrakulikuler (Sururi, 2012).

Di sisi lain, sistem ini juga terdapat kelemahan, yaitu durasi pembelajaran yang relatif
lama terkadang membuat peserta didik merasa bosan dan kurang antusias dalam mengikuti
pembelajaran. Faktor lainnya adalah sistem pendidikan ini membutuhkan waktu bagi peserta
didik untuk beradaptasi mengingat waktu penerapannya yang bisa dikatakan dalam proses.
Setiap peserta didik memiliki pola pembelajaran yang berbeda-beda dalam memotivasi diri
sendiri dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Menurut (Dalyono, 2015), seseorang
yang belajar dengan motivasi kuat, akan melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan
sungguh-sungguh, penuh gairah atau semangat. Sebaliknya, belajar dengan motivasi yang
lemah, akan malas bahkan tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan
pelajaran. Salah satu hal yang berpengaruh dalam motivasi belajar adalah Emotional
Intelligence (Kecerdasan Emosional). Kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence
adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi,
mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana
hati dan menjaga agar beban tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdoa
(Goleman, 2005). Dalam Goleman (2005) seorang ahli psikologi “Gardner” berpendapat ada
dua macam kerangka kerja kecerdasan emosional yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan.
Kemudian masing-masing dari kecakapan tersebut memiliki ciri-ciri tertentu yang digabung
menjadi lima ciri. Adapun kelima ciri kecerdasan emosional seseorang menurut Goleman
(2005) yakni: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial.

Penelitian ini berfokus pada pengaruh Full Day School terhadap motivasi belajar
peserta didik yang berdampak pada antusiasme serta prestasi belajar yang dicapai dengan
Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) sebagai variabel intervening. Full Day
School sebagai variabel bebas diasumsikan mempunyai pengaruh terhadap motivasi belajar
sebagai variabel terikat. Emotional Intelligence sebagai variabel intervening, yaitu variabel
yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen (bebas) dengan
dependen (terikat), tetapi tidak dapat diamati dan diukur. Variabel intervening mengemuka
sebagai sebuah fungsi variabel independen yang berlaku dalam situasi apapun, serta
membantu mengonsepkan dan menjelaskan pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen (Sekaran, 2011).

3.2 Hipotesis

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dibuat hipotesis teoretik dalam penelitian
ini. Yaitu adalah sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh yang signifikan antara kurikulum Full Day School terhadap
Prestasi Belajar Siswa SMA Negeri 1 Plemahan, Kediri
2. Terdapat pengaruh yang signifikan antara Motivasi Belajar terhadap Prestasi
Belajar Siswa SMA Negeri 1 Plemahan, Kediri
3. Terdapat pengaruh yang signifikan antara kurikulum Full Day School dan
Motivasi Belajar Siswa terhadap Prestasi Belajar Siswa SMA Negeri 1
Plemahan, Kediri
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang mengkaji satu permasalahan


dan melihat kemungkinan kaitan atau hubungan antar variabel dalam permasalahan yang
ditetapkan (Indrawan & Yaniawati, 2014). Hubungan antar variabel yang akan diteliti di
penelitian ini termasuk hubungan kausalitas yaitu hubungan antar variabel di mana perubahan
satu variabel menyebabkan perubahan variabel lainnya tanpa adanya kemungkinan akibat
sebaliknya (Indrawan & Yaniawati, 2014).

Penelitian ini menggunakan metode survei untuk teknik pengumpulan data dan
menggunakan instrumen penelitian kuesioner. Metode survei melibatkan pengumpulan dari
sampel elemen yang diambil dari populasi melalui kuesioner dengan tujuan untuk
mengetahui atau menemukan hubungan sebab-akibat antar variabel yang diteliti (Indrawan &
Yaniawati, 2014).

4.2 Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel mengacu pada karakteristik atau atribut seseorang atau organisasi yang dapat diukur
atau diamati dan bervariasi (Creswell, 2014). Penelitian ini melibatkan tiga variabel yaitu,

a. Variabel Independen (X), adalah variabel yang mungkin menyebabkan atau


mempengaruhi hasil dari variabel itu sendiri, variabel dependen (Y) (Creswell, 2014).
Variabel independen atau bebas (X) dalam penelitian ini adalah job insecurity.

b. Variabel Dependen (Y), adalah hasil atau hasil pengaruh dari variabel independen (X)
(Creswell, 2014). Variabel dependen atau terikat (Y) dalam penelitian ini adalah motivasi.
c. Variabel Moderator (Z) adalah variabel yang mempengaruhi arah dan / atau kekuatan
hubungan antara variabel independen (X) dan variabel dependen

(Y) (Thompson, 2006) dalam (Creswell, 2014). Variabel moderator dalam penelitian ini
adalah employabilty.

4.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Motivasi

Menurut Herzberg dalam Robbins (1996), motivasi kerja adalah sikap seseorang terhadap
pekerjaannya agar memunculkan rasa puas terhadap kinerjanya. Motivasi dalam penelitian ini
diukur dengan indikator sebagai berikut:

Tabel 4.1. Indikator Motivasi

Motivasi Intrinsik Motivasi Ekstrinsik

Prestasi Kebijakan dan adminstrasi perusahaan Pengakuan Supervisi

Isi Pekerjaan Kondisi Kerja

Tanggung Jawab Gaji

Kemajuan Hubungan Kerja

Keamanan

Job Insecurity

De Witte (2005) menyatakan bahwa Job Insecurity adalah persepsi yang dimiliki seseorang
akan ancaman kehilangan pekerjaan dan menimbulkan kecemasan terkait ancaman
tersebut.Job insecurity di penelitian ini diukur menggunakan alat ukur Job Insecurity
Questionnaire (JIQ) yang dikembangkan oleh De Witte (2000).

Employability

Employability adalah kemampuan seseorang untuk tetap bertahan dengan pekerjaan saat ini
ditengah perubahan dalam lingkungan kerja dan mencari atau memperoleh pekerjaan yang
diinginkan di pasar kerja. Employability dalam penelitian ini akan diukur dengan skala yang
dikembangkan oleh Rothwell dan Arnold (2007) yaitu Self-perceived employability scale
yang terdiri dari 16 item.

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian

4.4.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu untuk diteliti dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sujarweni, 2014). Populasi mungkin terdiri dari semua individu atau bagian
tertentu dalam sebuah kelompok (Singh, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah
karyawan PT. X yang berjumlah 90 orang.

4.4.2 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang terpilih dan bisa merepresentasikan populasi
tersebut (Yusuf, 2014). Penentuan sampel yang merepresentasikan populasi dilakukan
dengan menggunakan teknik pengambilan sampel atau sampling. Penelitian ini menggunakan
teknik probability sampling dimana seluruh anggota populasi memiliki peluang yang sama
untuk dijadikan sampel (Juliandi dkk, 2014). Berkaitan dengan penentuan besaran sampel,
penelitian ini mengacu pada formulasi Krejcie dan Morgan dengan rumus sebagai berikut:

 2 .N.P(1  P)
n
(N  1).d 2   2 .P(1  P)

Keterangan:

n = besar sampel yang diinginkan

2 = nilai Chi Squares (3,841)

N = jumlah populasi

P = proporsi populasi (0,5)

d = derajat ketelitian yang diterima dalam proporsi (5%)


Krejcie and Morgan (1970) menyederhanakan penentuan besaran sampel dengan
sebuah tabel yang memastikan penentuan sampel yang baik. Tabel 4.2 memberikan
generalisasi untuk penentuan besaran sampel. Berdasarkan tabel Krejcie dan Morgan dengan
P = 0.5, d = 5%, tingkat kepercayaan sebesar 95% dan jumlah populasi 90 orang maka
jumlah besaran sampel untuk penelitian ini adalah 73 orang.

Tabel 4.2. Daftar Perkiraan Besaran Sampel Menurut Krejcie dan Morgan

Jenis probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah stratified
random sampling yang digunakan apabila dalam suatu populasi memiliki beberapa kelompok
yang karakteristiknya berbeda seperti jenjang pendidikan atau jabatan (Juliandi dkk, 2014).
Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan sampel kelompok seperti:

p
n   s

Keterangan :

n = Sampel Kelompok P = Populasi Keseluruhan

p = Populasi Kelompok s = Sampel yang telah ditentukan

4.5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik survei dengan menyebarkan kuisioner kepada


responden untuk mengumpulkan data. Berikut adalah instrumen penelitian untuk mengukur
masing – masing variabel dalam penelitian ini.

4.5.1. Alat Ukur Job Insecurity

Job Insecurity Questionnaire (JIQ) yang disusun oleh De Witte (2000) digunakan sebagai alat
ukur job insecurity dalam penelitian ini. JIQ mengukur persepsi karyawan terhadap
ketidakamanan kerja yang merangkum dimensi kognitif dan afektif dari job insecurity. Skala
ini terdiri dari 11 item dengan 5 skala pengukuran dari 1 = sangat tidak setuju hingga 5 =
sangat setuju. 11 item pertanyaan dibagi menjadi 5 item yang berkaitan dengan dimensi
kognitif job insecurity seperti, “Saya pikir saya akan dapat terus bekerja disini”. Sedangkan 6
item berkaitan dengan dimensi afektif job insecurity seperti, “Saya khawatir saya akan
kehilangan pekerjaan saya”.

Tabel 4.4. Blue Print skala pengukuran Job Insecurity

Variabel Dimensi No. Item Σ

Job Insecurity Kognitif 1,2,3,4,10,11 6

Afektif 5,6,7,8,9 5
Jumlah 11

4.5.2. Alat Ukur Motivasi

Motivasi dalam penelitian ini diukur menggunakan 11 indikator teori motivasi yang
dikembangkan oleh Herzberg yang masuk dalam 2 dimensi yaitu motivasi intrinsik dan
ekstrinsik. Dimensi motivasi intrinsik terdiri dari 5 indikator dan dimensi intrinsik terdiri dari
6 indikator Alat ukur ini menggunakan skala Likert dari 1 = sangat tidak setuju hingga 5 =
sangat setuju.

Tabel 4.5. Blue Print skala pengukuran Motivasi

Variabel Dimensi Indikator No. Item Σ

Kebijakan dan Administrasi Perusahaan 1,2 2

Supervisi 3,4 2

Motivasi

Ekstrinsik
Kondisi Kerja 5,6 2

Gaji 7,8 2

Hubungan Kejra 9,10 2

Intrinsik

Tanggung Jawab 17,18 2

Kemajuan 19,20 2

Isi Pekerjaan 21,22 2

Jumlah 22

4.5.3. Alat Ukur Employability

Untuk Employability dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh
Rothwell dan Arnold (2007). Alat ukur ini terdiri dari dua dimensi employability yaitu,
internal dan eksternal yang masing – masing memiliki 2 indikator. Skala ini terdiri dari 16
item dan berbentuk skala Likert dari 1 = sangat tidak setuju hingga 5 = sangat setuju.
Tabel 4.6. Blue Print skala pengukuran Employability

Variabel Dimensi Indikator No. Item Σ

Employability

Internal

Self-evaluation di organisasi tempat individu bekerja Persepsi terhadap nilai dari pekerjaan di
organisasi tempat individu bekerja

Self-evaluation diluar organisasi tempat individu

1,2,3,4 4
9,10 2

5,6,7,8 4

Eksternal

bekerja

Persepsi terhadap nilai dari pekerjaan di luar organisasi tempat individu bekerja

11,12,13, 6

14,15,16

Jumlah 16

4.6. Validitas dan Reliabilitas

Validitas berkaitan dengan kesesuaian antara suatu konsep dengan indikator yang
dingunakan untuk mengukurnya (Priyono, 2016). Uji validitas digunakan untuk mengukur
validitas dari hasil jawaban kuesioner yang menunjukkan kedalaman pengukuran suatu alat
ukur. Dalam penelitian ini jenis uji validitas yang digunakan adalah validitas konstruk. Proses
yang dilakukan dalam penentuan validitas dimulai dengan melakukan analisis terhadap teori,
kemudian membuat hipotesis mengenai hubungan antara variabel – variabel (Priyono, 2016).
Ketentuan yang diterapkan adalah bahwa sebuah item kuesioner dinyatakan valid jika nilai r
memiliki tingkat signifikan kurang dari 5% (Silalahi, 2012).

Reliabilitas adalah derajat sejauh mana ukuran menciptakan respon yang sama
sepanjang waktu dan lintas situasi. Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur konsistensi
responden dalam menjawab kuesioner. Uji reliabilitas akan dilakukan dengan menggunakan
uji statistik cronbach’s alpha () dengan ketentuan bahwa variabel yang diteliti dinyatakan
reliabel apabila nilai cronbach’s alpha ( ) adalah di atas 0,6 (Gumilar, 2007).

4.7. Teknik Analisis Data

4.7.1 Uji Asumsi

a) Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu data normal atau
tidak (Hamdi & Bahruddin, 2014). Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah
variabel bebas dengan variabel terikat mempunyai distribusi normal atau tidak. Uji
normalitas dinyatakan normal apabila nilai signifikan lebih besar dari 0,05.
Sebaliknya jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka data tersebut tidak normal
(Hamdi & Bahruddin, 2014). Uji yang dilakukan untuk melihat normalitas
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.

b) Uji Multikolinieritas

Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi


ditemukan adanya korelasi variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya
tidak terjadi korelasi variabel independen (Nisfiannoor, 2009). Untuk mendeteksi ada
atau tidaknya multikolinieritas di dalam model regresi adalah sebagai berikut:

1) Jika angka tolerance lebih dari 0,10 dan nilai VIF yang kurang dari 10, maka
tidak terjadi multikolinieritas.
2) Jika angka tolerance kurang dari 0,10 dan nilai VIF lebih besar dari 10, maka
terjadi multikolinieritas.
c) Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi terjadi
ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Suatu
regresi dikatakan heterokedastisitas apabila diagram pancar residual membentuk pola
tertentu. Regresi dikatakan terbebas dari heterokedastisitas dan memenuhi persyaratan
uji asumsi jika diagram panccar residual tidak membentuk suatu pola tertentu.

4.7.2 Analisis Regresi Linier Berganda

Menurut Kazmier (2005) Analisis regresi merupakan salah satu analisis yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain dalam analisis
regresi, variabel yang mempengaruhi disebut Independent Variable (variabel bebas) dan
variabel yang dipengaruhi disebut Dependent Variable (variabel terikat).

Uji Interaksi (Moderated Regression Analysis) yaitu aplikasi dari regresi linear
berganda dimana dalam persamaannya mengandung unsur interaksi (perkalian dua/lebih
variabel independen). Berikut persamaan yang digunakan dalam Moderated Regression
Analysis :

Y = α + β1X + e (i)

Y = α + β1X + β2Z + e (ii)

Y = α + β1X + β2Z + β3XZ + e (iii)

Keterangan:

Y = Motivasi Belajar

α = konstanta

β1,2,3 = koefisien regresi

X = Full Day School

Z = Emotional Intelligence

X.Z = bentuk interaksi antara Full Day School dan Emotional Intelligence
e = faktor eror

4.7.3 Uji Hipotesis

4.7.3.1 Koefisien secara simultan (Uji F)

Uji F merupakan pengujian dalam statistik yang digunakan untuk menguji besarnya pengaruh
semua variabel dependen secara berganda terhadap variabel independen. Adapun langkah-
langkah dalam uji F ini adalah sebagai berikut:

 Membuat hipotesis, yaitu:

H0 : Full Day School berpengaruh terhadap motivasi belajar dengan


Emotional Intelligence sebagai variabel moderator.

H1 : Full Day School tidsk berpengaruh terhadap motivasi belajar


dengan Emotional Intelligence sebagai variabel moderator.

Menetapkan besarnya nilai α (level of significance) yaitu 0,05. Untuk menguji hipothesis
yang diajukan diterima atau ditolak dengan menggunakan uji t maka kriterianya adalah
sebagai berikut:

 Apabila t hitung < t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak pada signifikansi α = 0.05
 Apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima pada signifikansi α = 0.05

4.7.3.2 Koefisien secara parsial (Uji t statistic)

Uji t (test significance individual parameter) digunakan untuk menguji pengaruh variabel
bebas terhadap variabel terikat secara parsial. Adapun langkah-langkah dalam uji t ini adalah
sebagai berikut:

 Membuat hipotesis, yaitu:

H0: b1 = 0 berarti full day school tidak berpengaruh terhadap motivasi belajar

H1 : b1 ≠ 0 berarti full day school berpengaruh terhadap motivasi belajar

H0 : b2 = 0 berarti emotional intelligence tidak berpengaruh terhadap

motivasi belajar
H1 : b2 ≠ 0 berarti emotional intelligence berpengaruh terhadap motivasi

belajar

nilai α (level of significance) yaitu 0,05.

Untuk menguji hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak dengan menggunakan uji t maka
kriterianya adalah sebagai berikut:

 Apabila t hitung < t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak pada signifikansi α = 0.05
 Apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima pada signifikansi α = 0.05

4.7.3.3 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi digunakan untuk menunjukkan besarnya sumbangan variabel X


terhadap variabel Y. Nilai R2 atau r² berada di antara 0 dan 1 yang mempunyai arti yaitu bila
R2 atau r² = 1, artinya menunjukkan variabel bebas mampu menjelaskan variable terikat
100% dan pendekatan model yang digunakan adalah tepat. Bila R2 atau r² = 0, artinya
menunjukkan bahwa variabel bebas tidak mampu menjelaskan variabel terikat. Semakin
tinggi nilai R2 atau r² dan atau semakin mendekati 1, maka semakin baik model yang
digunakan (Siagian & Sugiarto,2005).

Anda mungkin juga menyukai