Anda di halaman 1dari 32

Obat Gagal Jantung

PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskuler masih menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) mencatat lebih dari 17,5 juta jiwa di dunia meninggal akibat penyakit
kardiovaskuler, 7,3 juta diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung iskemik (PJI) yang salah
satu gejalanya merupakan sindrom koroner akut (SKA). Sedangkan prevalensi pasien yang
menderita penyakit jantung koroner (PJK) yang didefinisikan sebagai infark miokard sebanyak
2% di Indonesia dan 2,1% di Jawa Barat (Riskesdas, 2013).
Sindrom koroner akut adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya
iskemia mendadak pada miokard akibat hilangnya aliran darah ke otot jantung, sehingga
menyebabkan berhentinya suplai oksigen bagi sel-sel jantung (David & Neil, 2005). Dalam
keadaan normal, pembuluh darah arteri koroner dapat mengalirkan darah hampir 10% dari curah
jantung per menit, yaitu kira-kira 50-70 ml darah per 100 gram otot jantung (miokard). Sedangkan
dalam keadaan penyempitan pembuluh darah koroner (stenosis) yang mencapai 70% dalam
kondisi stres dan aktivitas fisik berlebihan, aliran darah koroner tidak dapat mencukupi kebutuhan
otot jantung yang mengakibatkan iskemia (Kusmana & Hanafi, 2003). Padahal efisiensi jantung
sebagai pompa bergantung pada nutrisi dan oksigenasi otot jantung melalui sirkulasi koroner
(Price & Wilson, 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Persentase Ketepatan Penggunaan Kombinasi Kaptopril dengan Furosemid Terhadap
Pasien Gagal Jantung Kongestif di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher Jambi
Jumlah
No Ketepatan Persentase
(pasien/obat)
1 Tepat Pasien 19/41 100 %
2 Tepat Indikasi 19/41 100 %
3 Tepat Dosis 19/41 100 %
4 Tepat Interval 19/41 100 %
5 Tepat Saat Penggunaan obat 19/41 60,98 %

Dari data penelitian yang diperoleh, ditemukan semua pasien gagal jantung kongestif memiliki
penyekait penyerta, yaitu CHF+gangguan hati (cardiacliver, suspense hepatoma dan
hipoalbuminemia) sebesar 21,05 %, CHF + obstruksi dyspnoe 15,80 %, CHF + hipertensi 10,53%,
CHF + atrial fibrilasi 10,53 %, CHF + dislipidemia 10,53 %, CHF + angina pektoris 5,26 %, CHF
+ DM tipe II 5,26 %, CHF + bronkopneumonia 5,26%, CHF + SOPT 5,26 %, CHF + enteritis akut
5,26 %, dan CHF + orthopnea 5,26 %.
Dari data penelitian yang kami peroleh, Berdasarkan tingkat keparahan penyakit
ditemukan CHF grade I sebesar 0 %, CHF grade II sebesar 26,32 %, CHF grade III
sebesar 52,63 %, CHF grade IV sebesar 21,05 %. Persentase tingkat keparahan yang
besar adalah CHF grade III yaitu sebesar 52,63 % ini karena pada umumnya pasien CHF
yang berobat ke rumah sakit telah menunjukan gejala seperti sesak napas, bengkak pada
tungkai, kelelahan dan memiliki aktivitas fisik yang sangat terbatas sehingga sangat
membutuhkan penanganan rawat inap. Kemudian persentase CHF grade II yaitu sebesar
26,32 % ini karena pada CHF grade II terdapat beberapa jaringan pada jantung
mengalami kerusakan seperti terjadi infarkmiokard dan disfungsi ventrikel kiri, yang
kemungkinan berisiko mengalami gagal jantung sedangkan gejala timbul apabila pasien
melakukan aktivitas fisik biasa dan akan nyaman pada saat istirahat artinya gejala belum
terlalu jelas, hal inilah yang mungkin menyebabkan pasien lebih sedikit dirawat dirumah
sakit. Pada CHF grade IV persentasenya lebih sedikit dari pasien CHF grade III, hal ini
dikarenakan pada pasien ini pada saat istirahat saja gejala-gejala sudah tampak dan
sedikit saja melakukan aktifitas dapat memperberat gejala, sehingga pasien harus
mendapatkan penanganan khusus dari petugas medis dan beberapa pasien meninggal.
Menurut NYHA (New York Heart Association) kaptopril digunakan untuk semua
pasien gagal jantung kongestif mulai dari grade I sampai dengan grade IV sedangkan
furosemid hanya digunakan pada pasien CHF mulai dari grade II sampai dengan grade
IV. Hal ini karena pada CHF grade I tidak menunjukkan adanya gejala udem atau retensi
cairan sehingga penggunaan furosemid tidak direkomendasikan, sedangkan penggunaan
kaptopril pada pasien gagal jantung tanpa gejala obat ini diberikan untuk menunda atau mencegah
terjadinya gagal jantung, mengurangi resiko infarkmiokard dan kematian mendadak.
Dalam penggunaan obat kaptopril dan furosemid terhadap pasien gagal jantung
kongestif berdasarkan jenis kelamin, yang paling banyak menderita gagal jantung
kongestif dan mendapat terapi kombinasi kaptopril dengan furosemid adalah pasien lakilaki
sebesar 63,16 % sedangkan pada perempuan sebesar 36,84%.
Penggunaan kaptopril di kontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif terhadap ACE-
Inhibitor lainnya (misalnya pasien mengalami angioedema selama pengobatan dengan ACE-
inhibitor lainnya), kehamilam, wanita menyusui, dan stenosis arteri renalis (Kemenkes,2012),
sedangkan furosemid kontraindikasi pada pasien yang mengalami defisiensi kalium (hipokalemia),
pasien yang hipersensitif terhadap furosemid, glumerulonefritis akut, wanita hamil, dan anuria
Pada analisis ketepatan indikasi dari data yang ada ditemukan bahwa yang tepat
indikasi sebesar 100% sedangkan yang tidak tepat sebesar 0%. Tepat indikasi berarti
obat yang diberikan sesuai dengan gejala dan diagnosa penyakit yang diderita oleh
pasien. Dimana gejala utama gagal jantung kongestif adalah sesak nafas (terutama ketika
bekerja), dan kelelahan, orthopnea, dyspnea, batuk, dan tingginya produksi cairan
menyebabkan kongesti dan edema perifer yang bermanifestasi bengkak pada tungkai
kaki [10].
Pada analisis ketepatan dosis, ditemukan yang tepat dosis sebesar 100%, dan
tidak tepat dosis sebesar 0%. Dalam penelitian ini ketepatan dosis didapatkan untuk
masing-masing obat. Besar dosis ditentukan berdasarkan literatur, dengan menyetarakan
bersihan kreatinin masing-masing pasien. Perhitungan bersihan kreatinin (CrCL)
menggunakan rumus Cocroft dan Gault, hal ini dikarenakan berat badan pasien berada
dalam rentang indeks ideal yang dihitung menggunakan tinggi badan pasien.
Berdasarkan literatur, penyesuaian dosis pasien CHF yang menggunakan obat
kaptopril dan furosemid yang mengalami kerusakan ginjal yaitu bila kadar ClCr berada
diantara rentang 10-50ml/menit maka penyesuaian dosisnya adalah dosis diturunkan 75% dari
dosis normal. Sementara jika nilai CrCl<10 ml/menit dosis diturunkan 50% dari
dosis normal, sebagai contoh pada pasien dengan inisial YA (pasien nomor 12) diberikan
kaptopril dengan dosis perhari 3x25 mg, nilai CrCl 19,92 ml/menit. Dosis yang diberikan
tepat dikarenakan masih berada dalam rentang dosis yang boleh diberikan meskipun
dosis telah diturunkan 75% dari dosis normal.
Pada analisis ketepatan interval, ditemukan yang tepat interval pemberian sebesar
100% dan tidak tepat interval sebesar 0%. Dikatakan tepat interval pemberian, jika
interval pemberian obat kaptopril dan furosemid sesuai dengan interval penggunaan obat
berdasarkan Drug Information Handbook, Edisi 17 (2009). Ketepatan interval pemberian
obat pada penelitian ini ditentukan berdasarkan literatur dan mempertimbangkan keadaan
klinis pasien.
Sebagai contoh Pada pasien nomor 10, berinisial RI dengan nomor MR 611597 pasien
berusia 62 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas 4 hari yang lalu, nyeri dada dan bengkak
pada kedua tungkai. Setelah di diagnosa pasien menderita CHF grade IV+dispnoe+ DC. Pada
pemeriksaan laboratorium, Nilai SCr 3,0 mg/dl dan nilai CrCL 23,47 ml/menit. Pasien di beri obat
injeksi lasix 2 x 1 amp. Lasix yang berisi furosemide merupakan diuretik kuat yang digunakan
pada pasien CHF untuk menghilangkan udem akibat retensi cairan mendapatkan peningkatan dosis
furosemid atau interval pemberian diperpendek untuk membantu kerja ginjal sebagaimana yang
terjadi pada pasien gagal ginjal kronis yang telah sampai pada stage V yang harus dilakukan
peningkatan dosis yang diakibatkan fungsi nefron hanya 10 % sehingga membutuhkan bantuan
furosemid untuk meringankan kerja ginjal.
OPTIMASI FORMULASI TABLET SUSTAINEDRELEASE NIFEDIPIN
KOMBINASI NATRIUM ALGINAT DAN HPMC K15M SEBAGAI MATRIKS
MUKOADHESIF SECARA SIMPLEX LATTICE DESIGN
PENDAHULUAN
Nifedipin digunakan untuk obat angina dan hipertensi pada golongan calcium channel blocker.
Nifedipin memiliki waktu paruh 2-4 jam, dosis yang biasa diberikan sebanyak 10-30 mg. Nifedipin
terabsorpsi baik di lambung (Sweetman 2002) sehingga nifedipin dapat dibuat tablet sustained
release. (Formulation and Evaluation of Mucoadhesive Microspheres of nifedipin, Radha et al.).
Sustained release dirancang agar melepaskan zat aktif secara perlahan-lahan dengan waktu
diperpanjang. Mukoadhesif adalah sistem obat dapat menempel dan melekat pada mukosa
lambung menggunakan polimer larut air sehingga terjadi basorbsi (Bahaudin et al. 2010).
Sustained release yang digunakan dalam pembuatan tablet nifedipin mukoadhesif adalah sustained
release dengan pendekatan gastroretentive drug delivery system yaitu pelepasan zat aktif di
lambung berbasis polimer bioadhesif.
Bahan
Nifedipin Micronized ( Dexa Medica), PVP, HPMC K15M (Colorcon), Avicel PH 101, Natrium
lauryl sulfat, Na alginat, Mg stearat, PVP, aquadestila(CV. Agung jaya) dan metanol (CV. Agung
jaya).
Alat
Spektrometri UV-Vis (Hitachi 2000), timbangan listrik (Ohause 2000), pH meter (Hana
Instrument), friabilator(Erweka Gmb-Htype TA), mesin tablet (single punch), hardness
tester(stokes skala 1-15 kg), mortir dan stamper, ayakan mesh 18 dan 30, dissolution tester.
Pembuatan Tablet Lepas Lambat Mukoadhesive
Nifedipin dicampur dengan kombinasi matriks natrium alginat dan HPMC K15M yang
sesuai pada masing-masing proporsi yang telah ditentukan ditambahkan dengan avicel PH 101
hingga homogen dengan menggunakan tumbler dengan putaran 25 rpm selama 16 menit.
Campuran serbuk dipadatkan menjadi massa yang jumlahnya besar (slug) setelah itu dihancurkan
hingga membentuk granul berukuran kecil. Hasil penghancuran diayak dengan ayakan pada mesh
no.18 kemudian hasil ayakan granul ditambahkan magnesium stearat selanjutnya granul dikempa
dengan kekerasan 12-14 kg .
Tabel I. Formula Tablet Mukoadhesif Nifedipin
F1(100:
Bahan F2 (75:25) F3 (50:50) F4 (25:75) F5 (0:100)
0)
Nifedipin 20,00 20,00 20,00 20,00 20,00
Na alginat 25,00 33,75 27,50 18,75 10,00
HPMC K 15 45,00 36,25 42,50 51,25 60,00
Avicel PH
145,00 145,00 145,00 145,00 145,00
101
PVP 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50
Mg stearat 2,50 2,50 2,50 2,50 2,50
Bobot tablet 250,00 250,00 250,00 250,00 250,00

 Uji Waktu Alir


 Uji Kelembaban
 Uji Kekerasan
 Uji Kerapuhan
 Uji Mukoadhesif
 Uji Disolusi
 Simplex Lattice Design
Pembahasan
Keberhasilan pengobatan angina pectoris pada pasien membutuhkan kecermatan. Mulai dari
memperhatikan factor-faktor yang menyebabkan angina pectoris sampai pemberian terapi yang
oktimal bagi pasien. Obat-obatan yang lazim digunakan dalam pengobatan prpfilaksis adalah
nitroglycerin, beta-blockers, diuretic, Nifedipin obat-obat antiaritmia, obat antihipertensi
mungkin dapat berguna dalam kasus-kasus lain.
Sampel
Semua pasien yang terkena angina pectoris, dengan berbagai tipe :
1. Initial
2. Stable
3. Progressive
4. Preinfarction
Kesulitan Dalam Penilaian Terapi Obat
 Banyaknya variable dan factor yang mempengaruhi angina
 Kepatuhan pasien dalam pemberian terapi
 Kemampuan, skill dokter dalam pemberian terapi. (Pendekatan dengan pasien, dosis
obat)
 Terdapatnya penyakit pemberat lainnya.
Manajemen Faktor Pemberat
 Emosional pasien
 Tanggapan Psychophysiologic
 Behavioral idiosyncracies
 Motivasi
 Olahraga, instruksi diet

PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. KARIADI SEMARANG

PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan salah satu factor resiko utama untuk penyakit jantung koroner, kejadian
stroke, gagal ginjal kronik, dan gagal jantung kongestif (Supari, 2003). Menurut pengamatan
WHO selama 10 tahun terakhir, terlihat bahwa jumlah penderita hipertensi yang dirawat di
berbagai rumah sakit di Semarang meningkat lebih dari 10 kali lipat (Kodim, 2001).
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas
akibat tekanan darah tinggi dengan menurunkan tekanan darah serendah mungkin sampai tidak
mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup, sambil dilakukan pengendalian
faktor-faktor resiko kardiovaskuler lainnya (Setiawati dan Bustami, 1995). Tekanan darah
ditentukan oleh dua factor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung adalah
hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup. Besar isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi
miokard dan alir balik vena. (Setiawati dan Bustami, 1995). Tekanan ini supaya darah mencapai
seluruh organ dan jaringan, kembali ke jantung (Tjay dan Rahardja, 2002) untuk mengangkut
oksigen dan zat-zat gizi (Astawan, 2006).
Hipertensi disebabkan oleh peningkatan resistensi perifer total karena penyempitan arteri
kecil. Perubahan tekanan darah diatur oleh reflex baroreseptor, sedangkan jalur renin-
angiotensinaldosteron untuk mengontrol garam, cairan, dan tekanan darah (Thomas, 2003).
Tekanan darah meningkat ketika terjadi tekanan sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg.
Hipertensi merupakan kerusakan heterogen yang disebabkan oleh penyebab khusus (hipertensi
sekunder) atau karena penyebab yang tidak diketahui (hipertensi primer atau esensial) (Wells et
al., 2000). Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali
bila tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg dan/atau tekanan darah sistolik (TDS) > 210
mmHg. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh
nilai rata-rata TDD > 90 mmHg dan/atau TDS > 140 mmHg (Setiawati dan Bustami, 1995).
Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa resiko kerusakan ginjal, jantung, dan otak
berkaitan secara langsung dengan besarnya peningkatan tekanan darah. Perlu dicatat bahwa
hipertensi dinyatakan berdasar tekanan darah dan bukan gejala yang dilaporkan penderita.
Hipertensi esensial terjadi empat kali lebih banyak pada orang kulit hitam dibanding kulit putih,
dan lebih sering pada pria umur pertengahan dibanding wanita pada kelompok umur yang sama
(Myceck et al.,2001). Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit
kardiovaskuler dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas terhadap
natrium, kepekaan terhadap stres, peningkatan reaktivitas vaskuler (terhadap vasokonstriktor), dan
resistensi insulin (Setiawati dan Bustami, 1995). Penyebab khusus hipertensi hanya bisa
ditetapkan pada sekitar 10 – 15% pasien (Benowitz,2001). Hipertensi ini disebut hipertensi
sekunder.
Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit
endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain (Setiawati dan Bustami, 1995). Patofisiologi
penyakit hipertensi masih belum jelas. Sejumlah pasien (2 – 5%) mempunyai penyakit ginjal atau
adrenal yang merupakan penyebab peningkatan tekanan darah (Beevers et al.,2001).
Beberapa faktor yang mendukung peningkatan hipertensi primer, di antaranya, (1)
gangguan saraf, reseptor adrenergik, atau baroreseptor, (2) abnormalitas ginjal, (3)
abnormalitas humoral, (4) defisiensi sintesis substansi vasodilator pada endotelium vaskuler,
seperti prostasiklin, bradikinin, dan oksida nitrit, atau peningkatan produksi substansi
vasokonstriktor seperti angiotensin II dan endotelin I. Penyebab utama kematian pada hipertensi
adalah komplikasi serebrovaskuler, kardiovaskuler, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian
sebelum waktunya berhubunga dengan parahnya peningkatan tekanan darah (Wells et al., 2000).
Gejala yang sering ditemukan pada peninggian tekanan darah adalah sakit kepala,
epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang,
dan pusing (Mansjoer dkk., 2001).
Pasien yang obesitas setiap berkurangnya 10 kg dari berat badan dapat menurunkan 5 – 20
mmHg dari Tekanan Darah Sistolik (TDS). Mengkonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran
serta mengurangi konsumsi garam dan lemak total dapat menurunkan TDS sebesar 8 – 14 mmHg.
Berolah raga fisik paling tidak 30 menit/hari dapat menurunkan 4 – 9 mmHg dari TDS
(Saseen dan Carter, 2005).
Untuk membuat penggunaan obat antihipertensi yang rasional, tempat dan mekanisme
kerjanya harus dimengerti (Isselbacher dkk., 2000). Rumah sakit merupakan unit pelayanan
kesehatan yang banyak mempekerjakan sumber daya manusia/medik, paramedik, administrasi,
dan teknis. Tanggung jawab rumah sakit dalam garis besarnya dapat dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu:
1. Personalia, termasuk sikap dan tindakan atau kelalaian semua orang yang terlibat dalam
kegiatan rumah sakit.
2. Pelayanan kesehatan di rumah sakit.
3. Sarana dan peralatan medis maupun non medis (Yusmainita, 2001; Azwar, 1996; Muninjaya,
1999).
CARA PENELITIAN
Bahan Penelitian
Rekam medik pasien rawat inap di RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan diagnosis utama
hipertensi periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2005.
Alat Penelitian
Lembar pengumpul data dan alat tulis Standar dari SPM RSUP Dr. Kariadi
Semarang, The JNC 7 Report dan literatur lain yang terkait dengan penelitian
Jalannya Penelitian
Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data dimulai dengan seleksi rekam medik dari pasien
dengan diagnosis utama hipertensi yang dirawat inap di RSUP Dr. Kariadi Semarang dari
tanggal 1 Januari sampai 31 Desember 2005. Dari semua kasus hipertensi yang berjumlah 811
kasus, hanya 100 kasus yang masuk kriteria inklusi, yaitu hipertensi sebagai diagnosis
utama. Sedangkan pada 708 kasus lainnya hipertensi tercatat sebagai penyakit penyerta atau
diagnosis tambahan. Data ketiga pasien dengan diagnosis utama hipertensi yang meninggal
dalam waktu kurang dari 24 jam juga tidak diikutsertakan dalam penelitian. Berdasarkan nomor
rekam medik tersebut kemudian dicari catatan mediknya di ruang penyimpanan rekam medik.
Tahap Pencatatan Data Pencatatan data berupa nomor rekam medik, nama pasien, umur, jenis
kelamin, diagnosa utama dan penyerta, tanggal masuk dan tanggal keluar rumah sakit,
pemeriksaan fisik, data pemberian obat, dan keadaan pulang. Tahap Identifikasi Pasien Data
pada rekam medik yang telah didapat diklasifikasikan guna melihat pola penggunaan obat
antihipertensi pada pasien hipertensi di instalasi rawat inap RSUP Dr. Kariadi Semarang,
kemudian dibandingkan dengan standar baku penelitian yang digunakan. Hal tersebut
dilakukan untuk melihat ketepatan penggunaan obat yang meliputi tepat indikasi, tepat obat,
tepat pasien dan tepat dosis. Selain itu dilihat juga outcome/luaran pasien terhadap pengobatan
yang telah diberikan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
Analisis Data
Analisis dalam penelitian ini mengikuti rancangan deskriptif non eksperimental. Data yang
diperoleh meliputi nomor rekam medik, nama pasien, umur, jenis kelamin, diagnosa utama dan
penyerta, tanggal masuk dan tanggal keluar rumah sakit, pemeriksaan fisik, data pemberian
obat (nama obat, dosis, dan frekuensi pemberian), kemudian diolah menjadi bentuk persentase
dan disajikan dalam bentuk tabel atau diagram.
Data obat yang digunakan juga diolah secara deskriptif evaluatif untuk memperoleh gambaran
pola penggunaan obat yang meliputi pemilihan golongan dan jenis obat. Dalam penelitian ini,
selain digunakan SPM RSUP Dr. Kariadi Semarang, juga digunakan The JNC 7 Report dan
literatur lain untuk melengkapi kekurangan informasi obat yang terdapat dalam SPM tersebut.
Data yang diperoleh kemudian diolah menjadi bentuk persentase dan disajikan dalam bentuk
tabel atau diagram.
Evaluasi penggunaan obat dilakukan pada obat antihipertensi, meliputi ketepatan indikasi,
ketepatan obat, ketepatan pasien, dan ketepatan dosis. Evaluasi dilakukan dengan cara
membandingkan data penggunaan obat pada setiap pasien rawat inap dengan standar penelitian
yang digunakan. Data yang diperoleh kemudian diolah menjadi bentuk persentase dan disajikan
dalam bentuk tabel atau diagram. Outcome/luaran pengobatan pada pasien dievaluasi
berdasarkan keadaan pasien saat keluar rumah sakit, yang meliputi kondisi umum dan
penurunan tekanan darah pasien ke nilai target terapi, yaitu < 140/90 mmHg atau < 130/80
mmHg pada penderita diabetes mellitus dan penyakit ginjal, serta lama rawat pasien. Data
evaluasi outcome/luaran pengobatan pada pasien diolah menjadi persentase dan disajikan dalam
bentuk tabel atau diagram.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Kariadi Semarang
Periode Januari – Desember 2005
1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin
Hasil pengelompokkan berdasarkan jenis kelamin terdapat 100 kasus yang terdiri dari 64
pasien wanita dan 36 pasien laki-laki (lihat gambar I).

2. Distribusi pasien berdasarkan umur


Karakteristik umur pasien pada penelitian ini dibagi ke dalam empat kelompok umur, yaitu
0 – 18 tahun, 19 – 40 tahun, 41 – 65 tahun, dan lebih dari 65 tahun, untuk melihat hubungan
peningkatan umur terhadap tingkat prevalensi hipertensi. Persentase kejadian hipertensi
terjadi pada kelompok umur 19 – 40 tahun, yaitu sebesar 61%. Pasien dengan umur lebih
dari 65 tahun persentasenya lebih rendah, yaitu sebesar 23%. Persentase pasien kelompok
umur 41 – 65 tahun sebesar 14%. Persentase pasien kelompok umur 0 – 18 tahun paling
rendah yaitu hanya sekitar 2% ( lihat gambar2).

3. Distribusi pasien berdasarkan tekanan darah


The JNC 7 Report mengklasifikasikan tekanan darah kedalam empat tingkatan, yaitu
normal, prehipertensi, hipertensi tingkat 1, dan hipertensi tingkat 2. Selain klasifikasi
tersebut, pada penelitian ini ada tambahan satu kategori, yaitu hipertensi
sistolik terisolasi.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit
mengalami hipertensi tingkat 2, yaitu sebanyak 79%. Pasien hipertensi tingkat 1 sebanyak
16% dan hipertensi sistolik terisolasi sebanyak 4%. Pasien yang masuk rumah sakit dengan
tekanan darah pada tingkat prehipertensi hanya 1% (lihat tabel I).

Tabel II. Distribusi Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta


Tabel III. Persentase Penggunaan Golongan Antihipertensi (n = 100)

4. Distribusi Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta


Hipertensi Tanpa Penyulit
Pasien yang penyakit penyertanya tidak mempengaruhi pemilihan obat antihipertensinya
termasuk di dalamnya adalah pasien HHD (Hypertensive Heart Disease) dan pasien dengan
penyakit lain, meliputi: cephalgia, epistaksis, vertigo, febris, penyakit-penyakit saluran
pencernaan (gastroesophagal attack (GEA), gastritis, dan konstipasi), penyakit tulang
(osteoarthritis dan osteoporosis), dll
Hipertensi dengan penyulit
Pasien dengan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi pemilihan obat
antihipertensinya. Penyulit tersebut adalah Penyakit Jantung Iskemik (IHD), Gagal Jantung,
Hipertensi Diabetik, Penyakit Ginjal kronik, Penyakit Serebrovaskuler (Stroke), Penyakit
saluran pernafasan meliputi asma, bronkitis (akut dan kronis), dan penyakit paru obstruksi
kronis (PPOK), Kondisi khusus lain, meliputi obesitas dan sindroma metabolic
Tabel IV. Data Pasien Yang Mengalami Ketidaktepatan Indikasi
(dislipidemia), Left Ventricular Hypertrophy (LVH), Peripheral Arterial Disease (PAD),
pasien lanjut usia, hipotensi postural, demensia, pasien wanita (kehamilan), pasien anak dan
dewasa anak, dan krisis hipertensi (emergensi dan urgensi) (Chobanian et al., 2003).
5. Pola penggunaan antihipertensi
Obat-obat yang dewasa ini digunakan untuk terapi hipertensi terdiri dari delapan golongan
obat antihipertensi dan setiap golongan ada beberapa jenis obat yang berbeda baik secara
sifat farmakologinya maupun farmakodinamikanya. Obat yang sering digunakan di RSUP
Dr. Kariadi Semarang meliputi golongan diuretika, penghambat ACE, penghambat reseptor
(α dan β) adrenergik, adrenolitik sentral, dan penghambat kanal kalsium (lihat tabel III).
Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat Antihipertensi
1. Evaluasi ketepatan indikasi pada penggunaan antihipertensi
Obat disebut tepat indikasi jika obat diberikan berdasarkan keadaan medis pasien dan
terapi farmakologi benar-benar diperlukan (tidak ada respon terhadap modifikasi gaya
hidup). Dua kasus mengalami ketidaktepatan indikasi, yaitu kasus nomor 40 dan 87. Hasil
evaluasi data menunjukkan persentase pasien yang mengalami ketepatan indikasi adalah
98% (lihat gambar 3).
2. Evaluasi ketepatan obat pada penggunaan antihipertensi
Ketepatan obat adalah kesesuaian pemilihan golongan dan jenis obat dengan pilihan obat
pada SPM RSUP Dr. Kariadi Semarang dan The JNC 7 Report. Semua data pasien
hipertensi baik tanpa penyulit maupun dengan penyulit di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.
Kariadi Semarang tahun 2005 menunjukkan bahwa 81 kasus dinyatakan tepat obat
dan 19 kasus dinyatakan tidak tepat obat (lihat gambar 4).
3. Evaluasi ketepatan pasien pada penggunaan antihipertensi
Obat disebut tepat pasien jika obat yang diberikan tidak kontraindikasi dengan kondisi
fisiologis dan patologis pasien secara individu, dalam hal ini termasuk penyakit penyerta.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 62 kasus tepat pasien dan 38 kasus tidak tepat
pasien (lihat gambar 5).
4. Evaluasi ketepatan dosis pada penggunaan antihipertensi
Evaluasi ketepatan dosis berkaitan dengan cara pemberian, besar dosis, frekuensi, dan lama
pemberian, serta cara pemakaian yang paling aman, efektif, dan mudah diikuti oleh pasien.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa 95 pasien mengalami ketepatan dosis (lihat gambar 6).
Outcome/luaran pengobatan
Outcome/luaran pengobatan yang dimaksud adalah keberhasilan pengobatan pada pasien
yang terdiagnosis hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Kariadi Semarang. Indikator
keberhasilan suatu pengobatan di rumah sakit salah satunya dapat dilihat dari keadaan
pasien saat keluar dari rumah sakit tersebut. Pada gambar 8 dapat dilihat keadaan pasien saat keluar
dari rumah sakit. Sebanyak 69 pasien membaik dan 31 pasien sembuh (lihat gambar 7).
Outcome/luaran pengobatan juga dilihat dari perkembangan tanda-tanda fisik pasien. Data
tandatanda fisik pasien yang menjadi parameter keberhasilan pengobatan pada penelitian ini
adalah penurunan tekanan darah pasien ke nilai target.
Menurut The JNC 7 Report, tekanan darah target yang harus dicapai pasien hipertensi
supaya tidak mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup adalah < 140/90
mmHg. Sedangkan untuk pasien hipertensi dengan diabetes dan gagal ginjal, tekanan darah target
yang harus dicapai adalah < 130/80 mmHg. Lima puluh pasien bias mencapai tekanan darah target,
sedangkan 50 pasien lainnya meskipun sudah mengalami penurunan tekanan darah tetapi belum
dapat mencapai tekanan darah target. Selain keadaan pulang pasien, tingkat keberhasilan
pengobatan juga bisa dilihat dari lama rawat pasien di rumah sakit. Data lama rawat pasien
dapat dilihat pada tabel VI.
AMIODARON SEBAGAI OBAT ANTI ARITMIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP
FUNGSI TIROID
Pendahuluan
Amiodaron adalah obat aritmia yang saat ini banyak digunakan pada keadaan aritmia
mulai dari atrial fibrilasi paroksismal sampai takiaritmia ventrikuler yang mengancam hidup.
Potensi dan kegunaan amiodaron sudah diteliti dalam beberapa uji klinis besar. Hasil studi
European Myocardial Infarction Amiodarone Trial (EMIAT) dan Canadian Amiodaron
Myocardial Infarction Arrhytmia Trial (CAMIAT) menunjukkan bahwa pemberian amiodaron
dapat menurunkan kematian akibat aritmia dan ventrikular fibrilasi (VF) yang diresusitasi setelah
kejadian infark jantung. GESICA dan CHF-STAT, uji klinis yang meneliti pemberian amiodarone
pada pasien gagal jantung menunjukkan bahwa obat ini aman diberikan pada pasien gagal jantung.
Dengan berbagai bukti dari uji klinis ini, penggunaan amiodarone makin meningkat dalam
mengatasi aritmia.1,2 Penggunaan amiodaron ternyata juga dikaitkan dengan efek samping yang
bias berakibat fatal. Amiodaron dan metabolitnya yang bersifat lipofilik didistribusikan ke
berbagai jaringan. Karena ini, efek samping amiodaron dapat melibatkan berbagai organ seperti
kulit, mata, hati, paru, saraf dan tiroid.1,3 Amiodaron mempunyai beberapa efek terhadap fungsi
tiroid bahkan tanpa adanya tirotoksikosis atau hipotiroidisme. Amiodaron dapat meningkatkan
kadar tiroksin (T4), reverse triiodothyronine (rT3), thyroid stimulating hormone (TSH), dan
menurunkan triiodotironin (T3). Walaupun terjadi perubahan pola hormon tiroid, pasien yang
mendapat amiodaron dapat terus berada dalam keadaan eutiroid. Kelainan tiroid, baik
tirotoksikosis maupun hipotiroidisme, keduanya dapat menyebabkan perburukan pada pasien yang
sudah mengalami aritmia sehingga penting sekali untuk memonitor fungsi tiroid pada mereka yang
mendapatkan terapi amiodaron.4-8 Pengaruh amiodaron terhadap fungsi tiroid yang meliputi
pengaruhnya terhadap metabolisme dan sintesis hormon tiroid, perubahan pola hormon tiroid, dan
kelainan tiroid yang diinduksi oleh amiodaron, perlu dipahami dengan baik untuk efisiensi
tatalaksana kelainan tiroid akibat amiodaron.
AMIODARON SEBAGAI OBAT ARITMIA
Struktur kimia
Amiodaron adalah derivat benzofuran yang mengandung dua atom iodium per molekul.
Amiodaron mengandung iodium sebanyak 37% dari beratnya. Sekitar 10% molekul ini mengalami
deiodinasi perhari. Karena mengandung iodium, amiodarone berpotensi menyebabkan disfungsi
tiroid.
Dosis pemeliharaan sebesar 200-600 mg per hari melepaskan 6-21 mg iodium bebas per
harinya. Beban iodium ini jauh melebihi rekomendasi World Health Organisation (WHO) terhadap
asupan optimal iodium per hari yaitu 0,15-0,3 mg per hari. Pada pasien yang diberi amiodaron,
kadar iodium anorganik di urin dan plasma ditemukan meningkat 50-100 kali melebihi kebutuhan
iodium harian.5-8
Farmakokinetik
Amiodaron bersifat sangat lipofilik dan didistribusikan ke berbagai jaringan seperti
jaringan adiposa, miokardium, hati dan paru-paru. Sekitar 35-65% obat ini diabsorbsi setelah
pemberian oral. Waktu bekerjanya setelah pemberian oral berlangsung lambat dan kadar yang
stabil dalam darah (amiodaronisasi) mungkin belum tercapai selama beberapa bulan, kecuali bila
dosis besar diberikan pada awal pemakaian. Bahkan dengan pemberian intravena, efek penuh
elektrofisiologisnya lambat tercapai. Saat pemberian awal secara intravena amiodarone intravena
seakan cepat ‘menghilang’ dari plasma karena redistribusi ke jaringan bukan karena eliminasi
keluar dari tubuh. Karena redistribusi di jaringan ini dibutuhkan loading dose sebelum
konsentrasinya stabil (steady state) di jaringan. Amiodaron tidak
diekskresikan melalui ginjal namun melalui kelenjar lakrimal, kulit, dan traktus biliaris. Sebagian
besar (66-75%) dieliminasi melalui empedu dan feses.3,5-7 Amiodaron mengalami metabolism di
hati menjadi metabolit aktif, yaitu desetil amiodaron (DEA). Terdapat variasi individual antara
konsentrasi amiodaron dan desetil amiodaron yang dihubungkan dengan supresi antiaritmik. Kadar
terapeutik dalam plasma sampai saat ini belum didefinisikan dengan pasti, mungkin berkisar antara
1,0-2,5 mg/ml dan hampir semuanya (95%) terikat dengan protein. Kadar yang lebih tinggi
(> 2,5 mg/ml) dihubungkan dengan meningkatnya toksisitas.5-7
Pada analisis jaringan post mortem, ditemukan konsentrasi amiodaron yang bervariasi di
berbagai jaringan. Konsentrasi amiodaron intratiroid dan DEA ditemukan 14mg/kg dan 64mg/kg,
sedangkan di jaringan lain yaitu adiposa sebesar 316 mg/kg dan 76 mg/kg , hepar 391 mg/kg dan
2354 mg/kg. Dalam satu studi, pada 8 pasien setelah pemberian amiodaron jangka panjang
eliminasi terminal waktu paruh rata-rata 52,6 ± 23,7 hari untuk amiodaron dan 61,2 ± 31,2 untuk
DEA. Di studi lain ditemukan eliminasi waktu paruh adalah 40 + 10 hari untuk amiodaron dan 57
+ 27 hari untuk DEA. Hasil di atas menjelaskan mengapa setelah penghentian amiodaron obat dan
metabolitnya tetap ada untuk jangka waktu yang lama. 3,7
Indikasi
Efek antiaritmia amiodaron merupakan hasil interaksinya dengan sistem konduksi jantung.
Penggolongan obat antiaritmia dibagi menjadi empat kelas berdasarkan mekanisme ionic dan
reseptor obat pada proses potensial aksi di sistem konduksi jantung. Amiodaron termasuk golongan
III, yaitu obat aritimia yang terutama bekerja di saluran K+ sehingga memperpanjang durasi
potensial aksi dan interval QT. Mekanisme kerja amiodaron juga meliputi aktivitas obat aritmia
kelas I, II, dan IV sehingga disebut sebagai obat aritmia dengan spektrum luas
dan cukup efektif digunakan pada berbagai macam aritmia.1 Di antaranya adalah paroksismal
supraventrikuler aritmia sebagai agen pilihan kedua setelah adenosin dan calcium channel blocker
nondihidropiridin, sebagai obat kardioversi untuk fibrilasi atrium, dan sebagai pilihan utama untuk
takiaritmiaventrikuler.1
Amiodaron direkomendasikan untuk beberapa keadaan, antara lain: terapi pada VT tanpa
nadi atau VF yang refrakter terhadap defibrilasi; terapi VT polimorfik atau takikardia dengan QRS
kompleks yang lebar yang tidak diketahui sebabnya; kontrol VT dengan hemodinamik stabil
apabila kardioversi tidak berhasil, sangat berguna terutama bila fungsi ventrikel kiri menurun;
sebagai obat tambahan pada kardioversi supraventrikular takikardia atau paroksismal
supraventrikular takikardi; dapat digunakan untuk terminasi takikardia atrial multifocal atau
ektopik dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik; dapat digunakan untuk kontrol denyut
jantung pada atrial fibrilasi atau atrial flutter bila terapi lain tidak efektif.8
Dosis
Pada keadaan di mana efek antiaritmia amiodaron dibutuhkan cepat, dosis awal oral (loading dose)
dapat sebesar 800-1600 mg/hari dalam 3-4 dosis sedangkan secara intravena dalam satu hari dapat
diberikan sampai 1000 mg. Pada keadaan yang lebih ringan amiodaron oral diberikan dengan dosis
awal 600 mg per hari. Loading dose ini dapat diberikan selama 7-14 hari sampai
aritmia dapat dikontrol lalu diturunkan lagi menjadi 400-800 mg/hari untuk satu sampai
tiga minggu berikutnya. Besar dosis pemeliharaan yang diberikan untuk jangka panjang tergantung
dari aritmianya; pada atrial flutter atau fibrilasi atrial dosisnya dapat lebih kecil yaitu 100 mg/hari
dibandingkan dengan 200-400 mg/hari untuk control aritmia ventrikuler.1
Efek samping
Penggunaan amiodaron telah dihubungkan dengan beberapa efek samping kardiak
dan non kardiak. Amiodaron dapat menyebabkan blok pada nodus SA atau AV sehingga dapat
menyebabkan bradikardia berat dan membutuhkan alat pacu jantung permanen. Bradikardia ini
jarang terjadi dan biasanya terjadi pada pasien dengan dis-fungsi nodus SA atau blok AV. Dari
satu meta-analisa, amiodaron hanya dihentikan pada 1,6% pasien karena bradikardia.
Pemberian amiodaron juga dapat menyebabkan Torsade de Pointes, namun dari beberapa studi
amiodaron insidens komplikasi ini cukup rendah (< 0,5%). Insidens komplikasi ini dihubungkan
dengan keadaan pemanjangan interval QT, hipokalemia atau toksisitas digitalis.1,2 Pada organ non
kardiak, amiodaron dapat menyebabkan fotosensitivitas di kulit, deposit mikro di kornea, toksisitas
paru, hepatotoksisitas, neuropati perifer, tirotoksikosis dan hipotiroidisme. Pada dosis yang
besar (> 400mg/hari), pneumonitis dan fibrosis paru dapat terjadi pada 10-17% pasien. Efek pada
paru ini mungkin tergantung dosis dan jarang sekali terjadi pada dosis < 200 mg/hari. Uji klinis
Amiodarone Trials Meta-Analysis Investigators melaporkan sebanyak 1% pasien yang mendapat
komplikasi ini dengan penggunaan amiodarone selama satu tahun. Studi ini juga melaporkan
persentase efek samping lain yaitu 0,6% untuk toksisitas hati, 0,3% untuk neuropati perifer, dan
0,9% untuk tirotoksikosis. Hipotiroidisme ternyata lebih sering terjadi, yaitu sebanyak 6% pasien.
AMIODARON DAN FUNGSI TIROID
Amiodaron dan metabolitnya DEA mempengaruhi hormon tiroid pada kelenjar tiroid, jaringan
perifer, dan mungkin pada pituitari. Aksi amiodaron ini menyebabkan peningkatan T4, rT3 dan
TSH, namun menurunkan kadar T3. Baik hipotiroidisme maupun tirotoksikosis dapat terjadi pada
pasien yang diberi amiodaron.
Efek amiodaron terhadap sintesis hormon tiroid
Iodium dalam jumlah besar yang dilepas selama metabolisme amiodaron menyebabkan inhibisi
adaptif ambilan iodium oleh tiroid dan biosintesis hormon tiroid (efek Wolff-Chaikoff). Walaupun
efek ini jelas terjadi dalam dua minggu pertama terapi, paparan lebih lanjut terhadap iodium akan
menormalkan kembali sintesis hormone tiroid. Kemampuan tiroid untuk lepas dari efek Wolff
Chaikoff melindungi seseorang dari kemungkinan hipotiroid yang disebabkan oleh efek ini.5-7,9
Efek amiodaron terhadap metabolism hormon tiroid
Di dalam jaringan, amiodaron mempunyai kemampuan spesifik menghambat deiodinasi T4 oleh
enzim 5’ monodeiodinasi. Perubahan konsentrasi serum dari T4, T3, rT3 dan TSH yang
disebabkan amiodarone ini bersifat dose-dependent.5,6 Amiodaron menghambat aktivitas
5’monodeiodinase tipe I secara kuat dan menyebabkan penghambatan konversi fraksional T4
menjadi T3. Menurunnya proses ini dapat diamati pada hampir semua jaringan, namun paling
nyata di kelenjar tiroid dan hati. Aksi inhibisi ini menetap selama beberapa bulan setelah terapi
amiodaron, sehingga selama periode ini konsentrasi T3 plasma dan jaringan menurun, sedangkan
konsentrasi T4 meningkat. Perubahan konsentrasi hormon tiroid ini dapat dideteksi sekitar dua
minggu setelah pemberian amiodaron.4,5,7 Amiodaron secara tidak langsung mempengaruhi
metabolisme tiroid dengan cara menghambat masuknya hormon tiroid ke dalam sel. Hasil dari
studi kinetik menunjukkan transfer T4 dari plasma ke jaringan seperti di hati menurun. Hal ini
mengurangi simpanan substrat T4 intrasel sehingga menurunkan produksi T3. Penurunan selektif
transport T4 di hati juga ditunjukkan pada hepatosit tikus dan gangguan ambilan T3 diobservasi
terjadi di sel-sel pituitari.7,9,10
Perubahan kadar hormon TSH bukan hanya disebabkan oleh perubahan kadar hormon
tiroid. Ternyata amiodaron dapat mempengaruhi sintesis dan sekresi TSH langsung di tingkat
pituitari. Amiodaron atau DEA menghambat 5’ monodeiodinase tipe II di pituitari. Perubahan TSH
ini bahkan dapat dideteksi pada hari pertama pemberian amiodaron dengan dosis loading
intravena. Selama pemakaian jangka panjang dengan amiodaron, fluktuasi kadar TSH dapat terjadi
pada pasien dengan klinis eutiroid.
Efek sitotoksik amiodaron terhadap kelenjar tiroid
Chiovato et al. melaporkan efek sitotoksik amiodaron terhadap sel tiroid, yaitu terjadinya
lisis folikel tiroid manusia, yang bertambah pada peningkatan konsentrasi amiodaron (Gambar 2).
Studi dengan hewan coba memperlihatkan amiodaron juga bersifat sitotoksik terhadap sel-sel
jaringan lain. Data ini menunjukkan bahwa amiodarone mempunyai efek langsung sitotoksik
terhadap sel-sel tiroid. DEA yang merupakan metabolit utama amiodaron ternyata bersifat
lebih sitotoksik terhadap sel-sel tiroid.
Gambar 2. Efek sitotoksik amiodaron terhadap folikel tiroid manusia. Batang hitam menunjukkan
sel yang viable; batang putih menunjukkan sel yang lisis. Sumber: Chiovato et al, 1994.
Pada hewan coba tikus, terdapat perubahan histopatologik sel-sel tiroid yang
mengindikasikan efek sitotoksik amiodaron. Perubahan ini termasuk distorsi yang nyata pada
arsitektur tiroid, apoptosis, nekrosis, badan inklusi, lipofusinogenesis, infiltrasi makrofag, dan
pembengkakan retikulum endoplasma yang nyata. Kelainan yang serupa juga dideteksi pada
organ-organ lain, seperti hati, paru-paru, jantung, kulit, kornea, saraf tepi dan leukosit; nampaknya
dihubungkan dengan pemberian obat jangka panjang. Pada hewan coba anjing, perubahan
subseluler tiroid tidak terdeteksi pada pemberian amiodaron intravena dosis tinggi. Kelainan nyata
baru terjadi setelah pemberian injeksi berulang selama satu minggu.7
Efek amiodaron terhadap autoimunitas kelenjar tiroid
Efek amiodaron terhadap autoimunitas kelenjar tiroid masih dalam perdebatan. Studi
prospektif pada 37 pasien secara random diberikan plasebo dan amiodaron. Antibodi antitiroid
peroksidase dalam serum ditemukan de novo pada 6 dari 13 (55%) pasien yang menerima
amiodaron, namun tidak pada satupun pasien yang menerima plasebo. Autoantibodi yang
ditemukan di awal pemberian amiodaron ini tidak terdeteksi setelah enam bulan penghentian obat.
Fenomena ini mungkin diakibatkan oleh efek toksik amiodaron yang menyebabkan pelepasan
autoantigen tiroid dan memicu reaksi autoimun. Beberapa studi lain menemukan
hasil yang berbeda. Safran et al tidak menemukan peningkatan insiden autoantibodi antitiroid pada
47 pasien yang menerima amiodaron. Foresti et al menemukan autoantibodi tiroid titer rendah
pada 2 dari 23 pasien yang mendapat amiodaron.7
Profil hormon tiroid pada pemberian amiodarone
Perubahan metabolisme tiroid yang disebabkan amiodaron seperti yang telah dideskripsikan
sebelumnya menjelaskan bahwa tes fungsi tiroid pada pasien eutiroid yang menerima amiodaron
mempunyai kisaran berbeda dengan pasien eutiroid yang tidak diberikan amiodaron. Efek akut
pemberian amiodaron terhadap fungsi tiroid pada 24 pasien dengan artimia diteliti selama 10 hari
pertama terapi. Kadar TSH diobservasi sejak awal terapi dan didapatkan peningkatan lebih awal
secara bermakna selama studi, dan mencapai nilai 2,7 kali dari nilai basal saat hari kesepuluh.
Kadar T3 total menurun progresif mulai dari hari kedua studi sedangkan rT3 meningkat secara
progresif dan bermakna, paralel dengan kenaikan TSH.

Nilai rT3 mencapai dua kali dari nilai basal pada hari ke-10. Hal ini diikuti oleh peningkatan kadar
T4 total dan T4 bebas yang bermakna, dimulai dari hari keempat terapi. Kenaikan ini mungkin ka-
rena stimulasi langsung oleh TSH dan penurunan bersihan T4.5-7
Setelah 1-4 bulan terapi amiodaron, kadar serum T4 meningkat, rata-rata 40% di
atas kadar sebelum terapi. Kadar TSH sering kali kembali ke nilai normal setelah pemberian
amiodaron secara kronik (> 3 bulan). Normalisasi kadar TSH serum terjadi saat konsentrasi T4
meningkat dan mencukupi untuk mengatasi blok produksi T3. Namun
konsentrasi TSH dapat menurun bila terapi amiodaron diberikan dalam jangka waktu
yang lebih lama. Efek amiodaron terhadap profil hormon tiroid pada pasien eutiroid
dirangkum pada Tabel 1.
GANGGUAN FUNGSI TIROID YANG DIINDUKSI AMIODARON
Pemahaman yang cermat mengenai mekanisme terjadinya hipotiroidisme dan tirotoksikosis yang
diinduksi amiodaron, gambaran klinis dan tatalaksana sangat dibutuhkan dalam penanganan yang
efektif.
Hipotiroidisme yang diinduksi oleh amiodaron (amiodarone-induced hypothyroidism, AIH)
AIH disebabkan oleh ketidakmampuan tiroid melepaskan diri dari efek WolffChaikoff.
Biosintesis hormon tiroid terganggu karena hambatan persisten pada organifikasi iodium
intratiroid, yang dibuktikan oleh hasil positif dari tes pelepasan perklorat (perchlorate discharge
test) pada pasien AIH. Hal ini mungkin terjadi pada pasien yang memang fungsi tiroidnya
abnormal (seperti tiroiditis autoimun) sebelum terapi amiodaron. Autoantibodi tiroid yang positif
ditemukan pada 40% pasien yang mengalami hipotiroid setelah pemberian amiodaron. Hal ini
menunjukkan bahwa kelebihan beban iodium dapat menyebabkan penyakit tiroid subklinis
bermanifestasi klinis sebagai kegagalan fungsi tiroid.5-7 Insidens AIH bervariasi namun terjadi
lebih sering di area dengan asupan iodum yang cukup. Risiko meningkat pada wanita dengan rasio
wanita : laki-laki 1,5 : 1, dan risiko relatifnya sebesar 7,9. Insiden juga meningkat pada populasi
usia tua. AIH dapat timbul pada pasien dengan tiroid yang normal atau yang sudah ada kelainan.
Risiko relatif timbulnya AIH ditemukan 13 kali lebih tinggi pada wanita dengan antibody
mikrosomal tiroid atau antibodi tiroglobulin yang positif. Risiko relatif timbulnya AIH sebesar 7,3
dengan adanya antibody antitiroid. Studi lain menunjukkan terjadinya AIH dengan pemakaian
amiodaron jangka panjang pada 5 dari 7 pasien dengan antibodi antitiroid yang positif.4-7,13 Risiko
timbulnya hipotiroidisme ini tidak tergantung pada dosis amidaron kumulatif atau harian. AIH
dapat berlangsung sementara atau menetap. Kelainan yang menetap hampir selalu dihubungkan
dengan kelainan tiroid yang sudah ada sebelumnya.
Lain halnya dengan tirotoksikosis yang dapat muncul kapan saja selama terapi atau setelah
terapi dihentikan, hipotiroidisme biasanya terjadi pada awal terapi dan jarang terjadi setelah 18
bulan pertama terapi.5-7 Gambaran klinis hipotiroidisme biasanya tidak jelas. Pasien dengan AIH
sering mengeluhkan rasa lelah, letargi, tidak tahan dingin, dan kulit yang kering. Diagnosis
AIH dikonfirmasi dengan peningkatan konsentrasi TSH (biasanya > 20mU/l) disertai kadar T4
bebas yang rendah. Konsentrasi T3 serum merupakan indikator yang tidak dapat diandalkan untuk
diagnosis karena pada pasien eutiroid kadarnya bisa rendah, sedangkan pada pasien hipotiroidisme
kadar T3 bisa dalam kisaran normal. Walaupun terdapat beban iodium yang besar pada terapi
amiodaron, umumnya pasien AIH mempunyai hasil ambilan iodium radioaktif yang meningkat.
Tirotoksikosis yang diinduksi oleh amiodaron (amiodarone-induced
thyrotoxycosis/AIT)
AIT ditemukan pada 2-12% pasien yang diberikan amiodaron. Beberapa studi
menununjukkan insiden yang bervariasi, tergantung asupan iodium dalam populasi. Pada beberapa
studi, AIT lebih sering terjadi pada populasi dengan diet rendah iodium (contoh: Eropa Tengah)
dibandingkan populasi dengan asupan iodium cukup (contoh: Amerika Utara dan Inggris)
(Gambar 3). Hipotiroidisme lebih banyak terjadi pada area dengan asupan iodium cukup seperti di
Worcester, Amerika Serikat, sedangkan hipertiroidisme lebih banyak terjadi di area dengan asupan
iodium yang rendah seperti di Tuscany, Italia Utara. Namun, salah satu studi di Belanda yang
melibatkan subjek eutiroid dalam area di mana asupan iodium dinilai cukup, insiden AIT dua kali
lebih banyak dari AIH.

Gambar 3. Prevalensi hipertiroidisme dan hipotiroidisme yang diinduksi amiodaron pada


area dengan defisiensi iodium di Tuscany Utara, Italia dan di area dengan asupan iodium yang
cukup di Worcester, Massachussets, Amerika Serikat. Gambar dikutip dari E. Martino et al.: Ann
Intern Med 101:28–34, 1984
AIT dapat terjadi mendadak, saat awal atau bahkan setelah beberapa tahun terapi
amiodaron. Trip et al melaporkan durasi rata-rata terjadinya AIT adalah 3 tahun setelah dimulainya
terapi amiodaron. Mariotti et al melaporkan AIT terjadi 21-47 bulan setelah terapi amiodaron. Hal
ini mungkin terjadi karena amiodaron dan metabolitnya disimpan di dalam jaringan sehingga
efeknya menetap untuk jangka waktu yang lama setelah amiodaron dihentikan. Seperti halnya
hipotiroidisme, tidak terdapat hubungan antara dosis kumulatif amiodaron dengan insiden
tirotoksikosis. Pada pasien dengan kelainan tiroid, tirotoksikosis mungkin merupakan akibat
dari kelebihan sintesis hormon tiroid yang diinduksi oleh iodium (AIT tipe I). Patogenesisnya
terkait dengan efek beban iodium yang berlebihan pada kelenjar tiroid yang abnormal seperti nodul
otonom atau penyakit Grave yang laten. Karena perubahan mekanisme autoregulasi intrinsik yang
mengatur metabolisme iodium di tiroid, hipertiroid terjadi pada kelebihan iodium pada mereka
yang rentan (susceptible). Pada pasien dengan abnormalitas tiroid (struma difusa atau noduler,
penyakit Grave yang laten) terjadi peningkatan ambilan iodium radioaktif (radioactive iodium
uptake/ RAU) selama 24 jam lebih tinggi. Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dengan color
flow Doppler, didapatkan gambaran tiroid yang hiperfungsi dan hipervaskuler. Pada pasien dengan
fungsi kelenjar tiroid normal, tirotoksikosis disebabkan oleh kerusakan kelenjar sehingga terjadi
pelepasan hormon tiroid yang sudah dibentuk ke dalam sirkulasi (AIT tipe II). Studi histopatologik
memperlihatkan terjadinya kerusakan folikel, vakuolisasi sitoplasma, dan fibrosis jaringan tiroid.
Temuan interleukin-6 (IL-6) yang meningkat bermakna pada pasien AIT tipe II mendukung
penjelasan mengenai proses destruktif akibat inflamasi. Pada pasien AIT tipe I kadar IL-6 normal
atau sedikit meningkat. Tirotoksikosis pada pasien AIT tipe II biasanya self limiting, dan dapat
dijelaskan dengan efek sitotoksik amiodaron. Saat konsentrasi amiodaron melebihi ambang
tertentu, kerusakan sel menyebabkan tirotoksikosis karena kebocoran hormon ke aliran darah.
Konsentrasi amiodaron intratiroid juga menurun dan terjadi perbaikan menuju keadaan eutiroid.
Kadang-kadang hipotiroidisme terjadi akibat destruksi folikel yang berlebihan dan pasien
membutuhkan substitusi hormon tiroksin. Terjadinya tirotoksikosis dicurigai bila pasien yang
diberi amiodaron mengalami penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, berkeringat banyak,
tremor, sinus takikardia atau perburukan aritmia. Namun beberapa pasien mungkin saja tidak
mengalami gejala klasik tirotoksikosis. Bila timbul aritmia supraventrikular seperti takikardia
atrial atau atrial fibrilasi, maka AIT perlu dicurigai sebagai penyebabnya. Timbulnya tirotoksikosis
seringkali tidak dapat diprediksi, dapat terjadi mendadak dan eksplosif tanpa temuan biokimia
subklinis sebelumnya, sehingga sangat penting untuk memberikan edukasi mengenai gejala
tirotoksikosis dan untuk mendapatkan pengobatan secepatnya. Terjadi peningkatan kadar T4
serum, dengan TSH serum seringkali tertekan bahkan sampai tidak terdeteksi. Kadar serum T3
dapat saja normal atau meningkat. Walaupun pembedaan antara kedua bentuk AIT sering tidak
mudah, namun hal ini penting untuk pemberian terapi yang tepat. Studi RAU pada tiroid dapat
sangat membantu. Ambilan 24 jam biasanya normal sampai tinggi pada pasien AIT tipe I, namun
rendah pada AIT tipe II. Pengukuran kadar IL-6 juga merupakan indikator, yang di masa depan
mungkin bisa digunakan untuk membedakan kedua tipe AIT. Color flow Doppler sonography
dapat digunakan untuk membedakan AIT tipe I dan tipe II dimana aliran darah parenkim
meningkat pada AIT tipe I dan nihil pada AIT tipe II. Tabel 2 merangkum perbedaan AIT tipe I
dan II.
TATALAKSANA KELAINAN TIROID YANG DIINDUKSI AMIODARON (AIH
DAN AIT)
Tatalaksana AIH
AIH dapat ditangani dengan cara menghentikan terapi amiodaron atau pemberian subsitusi
hormon tiroid. Penghentian amiodaron mungkin tidak dapat dilakukan karena adanya indikasi,
terutama dalam penanganan takiaritmia ventrikular. Alternatif yang lebih aman adalah
memberikan substitusi hormon terapi, dimulai dengan 25-50 µg laevothyroxine per hari, dan
ditingkatkan dengan interval 4-6 minggu sampai gejala berkurang dan target T4 serum tercapai.
Tujuan terapi adalah meningkatkan T4 sampai batas atas dari kisaran normal, sesuai dengan
gambaran pasien eutiroid yang men dapat terapi amiodaron. Penting diperhatikan bahwa pada
pasien dengan amiodarone kadar serum TSH nya dapat meningkat ringan walaupun sudah diberi
substitusi hormon tiroid yang cukup. Pada beberapa studi kecil, terapi dengan perklorat
menunjukkan bahwa fungsi tiroid kembali normal dengan cepat pada pasien AIH. Obat ini
menghambat masuknya iodium ke kelenjar tiroid, sehingga mengurangi efek inhibisi sintesis yang
diakibatkan kelebihan iodium. Namun karena toksisitas perklorat dapat terjadi pada pemakaian
jangka panjang atau dengan dosis tinggi (> 1 g/hari), penggunaanya tidak direkomendasikan
karena adanya alternative pengobatan AIH yang lebih aman dan efektif yaitu dengan substitusi
hormon tiroid. Tidak adanya gejala hipotiroidisme atau antibodi tiroid pada pasien dengan kadar
serum TSH yang meningkat moderat (< 20 mU/l) namun T4 bebas meningkat atau normal tinggi,
merefleksikan perubahan parameter fungsi tiroid yang diinduksi oleh amiodaron atau hipotiroid
subklinis. Pada kondisi ini pasien belum memerlukan terapi substitusi tiroid namun perlu dipantau
fungsitiroidnya.
Tatalaksana AIT
Tidak seperti hipotiroidisme yang relatif lebih mudah diobati dengan terapi subtitusi,
manajemen tirotoksikosis lebih sulit dan bisa bervariasi individual. Pasien dengan tirotoksikosis
ringan dan kelenjar tiroid normal atau terdapat struma kecil, perbaikan dapat terjadi cepat setelah
penghentian amiodaron. Tindakan ini dimungkinkan bila aritmia jantung tidak mengancam hidup
dan dapat dikendalikan dengan obat antiaritmia lainnya. Terapi definitif juga diberikan seperti
tionamid, dosis tinggi kortikosteroid, perklorat, litium, plasmafaresis, dan operasi.5-7 Pada pasien
dengan kelenjar tiroid abnormal dan AIT tipe I yang berat, tionamid dapat menghambat sintesis
hormon tiroid. Pada keadaan ini diperlukan dosis tinggi (sebagai contoh: carbimazole atau
metimazole 40-60 mg/hari, atau propiltiourasil 600-800 mg/hari). Walaupun dosis dapat
diturunkan pada kebanyakan kasus setelah 6-12 minggu, terapi antitiroid jangka panjang diberikan
pada pasien yang tetap memakai amiodaron. Beberapa peneliti lebih memilih melanjutkan terapi
antitiroid untuk menghambat sintesis hormon daripada menghentikan terapi amiodaron.
Bila tirotoksis berat dan pemberian tionamid tidak adekuat dalam mengatasi tirotoksikosis,
potasium perklorat dengan dosis 250 mg setiap 6 jam dapat diberikan untuk kontrol yang efektif.
Perklorat secara kompetitif menghambat iodium yang masuk kelenjar tiroid melalui simporter
Na+/I-, namun tidak berefek melalui proses iodinasi. Perklorat dikonsentrasikan oleh jaringan
tiroid dengan cara serupa seperti halnya iodium, namun tidak mengalami metabolisme di kelenjar
maupun jaringan. Kombinasi potasium perklorat dan metimazole nampaknya efektif pada pasien
dengan tirotoksikosis berat, kemungkinan besar karena perklorat menghambat transpor iodium ke
dalam tiroid, sementara metimazole menghambat sintesis hormon dalam jaringan tiroid. Perklorat
harus diturunkan dosisnya (tapering off) dan dihentikan setelah periode 4-6 minggu, sedangkan
metimazol dilanjutkan sampai keadaan eutiroidisme tercapai. Penggunaan jangka panjang
perklorat tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan efek samping yang berat yaitu anemia
aplastik, agranulositosis, dan gangguan fungsi ginjal. Insidens toksisitas perklorat meningkat bila
dosis lebih dari 1 g/hari.
Dalam salah satu studi kecil, penambahan litium karbonat (900-1350 mg/hari selama 4-6
minggu) dilaporkan dapat mempercepat tercapainya keadaan eutiroid pada pasien dengan
tirotoksikosis berat. Belum diteliti pemakaian jangka panjang litium bila amiodaron terus diberikan
pada pasien. Pada pasien dengan kelenjar tiroid normal (AIT tipe II), tirotoksikosis biasanya hanya
sementara dan membaik apabila amiodaron dihentikan. Kadang-kadang remisi spontan dapat
terjadi walaupun pemberian amiodaron diteruskan. Tionamid tanpa atau dengan potassium
perklorat bukanlah terapi yang tepat untuk AIT tipe II yang di sebabkan tiroiditis destruktif. Steroid
adalah terapi pilihan pada keadaan ini. Selain mempunyai efek anti-iflamasi, steroid juga dapat
menghambat aktivitas enzim 5’deiodinase. Steroid telah digunakan pada pasien AIT dengan dosis
yang berbeda (15-80 mg prednison atau 3-6 mg dexametason per hari) dan dengan durasi berkisar
7-12 minggu.
Rekurensi tirotoksikosis dapat terjadi bila terapi steroid dihentikan, sehingga pada keadaan
ini pemberian steroid harus dimulai lagi. Untuk pasien AIT bentuk campuran (AIT tipe I dan II)
kombinasi metimazol, potasium perklorat, dan steroid mungkin efektif. Pada beberapa keadaan
dimana tidak ada respon dengan obat-obatan dan terapi amiodaron harus diteruskan, tiroidektomi
total atau subtotal perlu dipertimbangkan dalam mengendalikan tirotoksikosis. Setelah tindakan
ini, terapi amiodaron dapat diberikan.5-7 Iodium radioaktif biasanya tidak efektif dalam manajemen
pasien AIT karena konsentrasi iodium yang tinggi mengakibatkan ambilan radioisotop tidak
adekuat. Namun pada pasien dengan struma difusa atau noduler mungkin saja mempunyai ambilan
iodium radioaktif yang normal atau tinggi; pada mereka ini terapi ablasi mungkin berespons. Pada
pasien dengan riwayat AIT dan memerlukan terapi amiodaron lagi (setelah penghentian terapi ini),
ablasi dengan radioiodium perlu dipertimbangkan untuk menghindari AIT. Plasmaferesis telah
dicoba dengan hasil yang baik pada pasien dengan tirotoksikosis berat dan tidak berespon terhadap
medikamentasosa. Tujuan tindakan ini untuk menghilangkan kelebihan hormon tiroid. Terapi ini
kadang-kadang berhasil namun efeknya hanya sementara dan diikuti oleh eksaserbasi AIT.
Pemantauan fungsi tiroid pada pasien yang diberi amiodarone
Sangat penting untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah terapi dengan amiodaron.
Evaluasi meliputi pemeriksaan fisik kelenjar tiroid, tes fungsi tiroid dan bila perlu USG tiroid.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan di awal sebagai data dasar dan untuk mendeteksi adanya
kelainan tiroid. Tes fungsi tiroid dievaluasi setelah tiga bulan terapi amiodaron. Pada pasien
eutiroid, tes fungsi tiroid saat evaluasi ini merupakan nilai rujukan sebagai perbandingan
selanjutnya. Dalam follow-up selanjutnya hanya kadar serum TSH dievaluasi, sedangkan indeks
tiroid lainnya diperiksa bila hasil TSH abnormal atau bila ada kecurigaan klinis terjadi disfungsi
tiroid.5-7 Gambar 6 memperlihatkan rangkuman algoritme pemantauan fungsi tiroid pada pasien
yang menerima amiodaron.
Daftar Pustaka
DiMarco JP, Gersh BJ, Opie LH. Antiarrhythmic drugs and strategy. In Opie Drug of
the Heart (Sixth Edition). WB Saunders: Philadelphia, 2005; p.236-42.
Conolly SJ. Evidence-based analysis of amiodaron efficacy and safety. Circulation.
1999;100:2025-34.
Adams PC, Holt DW, Morley AR, Callaghan J, Campbel RW. Amiodarone and its
desethyl metabolite: tissue distribution and morphology changes during long-term therapy.
Circulation. 1985;72:1064-75.
Harjai K, Licata A. Effects of amiodarone on thyroid function. Annals of Internal
Medicine. 1997;126:63-73.
Loh KC. Amiodarone-induced thyroid disordes; a clinical review. Postgrad Med J.
2000;76:133-40.
Newman CM, Price A, Davies, Gray TA. Amiodarone and the thyroid: a practical guide
to the management of thyroid dysfunction induced by amiodarone therapy. Heart. 1998;79:121-7.
Martino E, Bartalena L, Bogazzi F. The effect of amiodarone on the thyroid. Endocrine
Reviews. 2001;22(2):240-54.
Hazinski MF, Cummins RO, Field JM, editors. Handbook of Emergency Cardio-
vascular Care for Healthcare Providers (ACLS). American Heart Association. 2000;55.
Seely EW, Williams GH. The heart in endocrine disorders. In: Braunwald E, Zipes D,
Libby P, editors. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine (Sixth Edition).
Philadelphia: WB Saunders Company, 2003; p.2159- 60
David, E., & Neil, R. (2005). Cardiology. (1sted). London: Elseiver.
Huffman, J.C., Celano, C.M., & Januzzi, J.L. (2010). The Relationship Between
Depression, Anxiety, and Cardiovascular Outcomes in Patients with Acute Coronary Syndromes.
Neuropsychiatric Disease and Treatment, 123-136.
Ihdaniyati, A.I. (2009). Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Mekanisme Koping pada
Pasien Gagal jantung Kongestif di RSU Pandan Arang Boyolali. Berita Ilmu
Keperawatan.1(4): 19-24.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: DKI
B.A. Agus. Dkk. 2012. Makalah Eksipien Dalam Sediaan Farmasi Polimer Mukoadhesif.
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Depok. Hlm 1-62.
Banker, G.S., and Rhodes, Ch.T. 1990. Modern Pharmaceutics. Second Edition. Revised
and Expanded. Marcel Dekker, Inc. Hlm 635.
Chien, Y.W. 1992. Novel Drug Delivery System. Second Edition. Revised and Expended.
Marcel Dekker. Hlm 1.
Chien Y.W. Novel Drug Delivery Systems. Second edition. Revised and expanded. Marcel
dekker Inc. 2006. 139-140.
Carvalho Chiva Flavina, Bruschi.L.M, Evangelista.C.R, Germiao Daflon. M.P.2010.
Mucoadhesive drug delivery systems. Brazilian Journal of Pharmaceutical Sciences. Vol.46, n.1,
Hlm 1-18.
Astawan, M, 2006, Cegah Hiper.tensi dengan Pola Makan, http://depkes.go.id, diakses
tanggal 10 Oktober 2006
Azwar, A, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi III, 23-25, Binarupa Aksara,
Jakarta.
Beevers, G., Lip, G.Y.H., O’Brien, E., 2001, The Pathophysiology of Hypertension,
http://www.bmj.com, diakses tanggal 27 Januari 2006.
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, J.L.,
Jones, D.W., and Materson, J.B., 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (The JNC 7 Report),
www.jama.com, diakses tanggal 24 Januari 2006.
Isselbacher, K.J., Baunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S., and Kasper, B.L.,
2000, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, diterjemahkan oleh Ahmad H. Asdie, Vol.
III, Edisi XIII, 1256-1271, Salemba Medika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai