Tugas Farmakoogi
Tugas Farmakoogi
PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskuler masih menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) mencatat lebih dari 17,5 juta jiwa di dunia meninggal akibat penyakit
kardiovaskuler, 7,3 juta diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung iskemik (PJI) yang salah
satu gejalanya merupakan sindrom koroner akut (SKA). Sedangkan prevalensi pasien yang
menderita penyakit jantung koroner (PJK) yang didefinisikan sebagai infark miokard sebanyak
2% di Indonesia dan 2,1% di Jawa Barat (Riskesdas, 2013).
Sindrom koroner akut adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya
iskemia mendadak pada miokard akibat hilangnya aliran darah ke otot jantung, sehingga
menyebabkan berhentinya suplai oksigen bagi sel-sel jantung (David & Neil, 2005). Dalam
keadaan normal, pembuluh darah arteri koroner dapat mengalirkan darah hampir 10% dari curah
jantung per menit, yaitu kira-kira 50-70 ml darah per 100 gram otot jantung (miokard). Sedangkan
dalam keadaan penyempitan pembuluh darah koroner (stenosis) yang mencapai 70% dalam
kondisi stres dan aktivitas fisik berlebihan, aliran darah koroner tidak dapat mencukupi kebutuhan
otot jantung yang mengakibatkan iskemia (Kusmana & Hanafi, 2003). Padahal efisiensi jantung
sebagai pompa bergantung pada nutrisi dan oksigenasi otot jantung melalui sirkulasi koroner
(Price & Wilson, 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Persentase Ketepatan Penggunaan Kombinasi Kaptopril dengan Furosemid Terhadap
Pasien Gagal Jantung Kongestif di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher Jambi
Jumlah
No Ketepatan Persentase
(pasien/obat)
1 Tepat Pasien 19/41 100 %
2 Tepat Indikasi 19/41 100 %
3 Tepat Dosis 19/41 100 %
4 Tepat Interval 19/41 100 %
5 Tepat Saat Penggunaan obat 19/41 60,98 %
Dari data penelitian yang diperoleh, ditemukan semua pasien gagal jantung kongestif memiliki
penyekait penyerta, yaitu CHF+gangguan hati (cardiacliver, suspense hepatoma dan
hipoalbuminemia) sebesar 21,05 %, CHF + obstruksi dyspnoe 15,80 %, CHF + hipertensi 10,53%,
CHF + atrial fibrilasi 10,53 %, CHF + dislipidemia 10,53 %, CHF + angina pektoris 5,26 %, CHF
+ DM tipe II 5,26 %, CHF + bronkopneumonia 5,26%, CHF + SOPT 5,26 %, CHF + enteritis akut
5,26 %, dan CHF + orthopnea 5,26 %.
Dari data penelitian yang kami peroleh, Berdasarkan tingkat keparahan penyakit
ditemukan CHF grade I sebesar 0 %, CHF grade II sebesar 26,32 %, CHF grade III
sebesar 52,63 %, CHF grade IV sebesar 21,05 %. Persentase tingkat keparahan yang
besar adalah CHF grade III yaitu sebesar 52,63 % ini karena pada umumnya pasien CHF
yang berobat ke rumah sakit telah menunjukan gejala seperti sesak napas, bengkak pada
tungkai, kelelahan dan memiliki aktivitas fisik yang sangat terbatas sehingga sangat
membutuhkan penanganan rawat inap. Kemudian persentase CHF grade II yaitu sebesar
26,32 % ini karena pada CHF grade II terdapat beberapa jaringan pada jantung
mengalami kerusakan seperti terjadi infarkmiokard dan disfungsi ventrikel kiri, yang
kemungkinan berisiko mengalami gagal jantung sedangkan gejala timbul apabila pasien
melakukan aktivitas fisik biasa dan akan nyaman pada saat istirahat artinya gejala belum
terlalu jelas, hal inilah yang mungkin menyebabkan pasien lebih sedikit dirawat dirumah
sakit. Pada CHF grade IV persentasenya lebih sedikit dari pasien CHF grade III, hal ini
dikarenakan pada pasien ini pada saat istirahat saja gejala-gejala sudah tampak dan
sedikit saja melakukan aktifitas dapat memperberat gejala, sehingga pasien harus
mendapatkan penanganan khusus dari petugas medis dan beberapa pasien meninggal.
Menurut NYHA (New York Heart Association) kaptopril digunakan untuk semua
pasien gagal jantung kongestif mulai dari grade I sampai dengan grade IV sedangkan
furosemid hanya digunakan pada pasien CHF mulai dari grade II sampai dengan grade
IV. Hal ini karena pada CHF grade I tidak menunjukkan adanya gejala udem atau retensi
cairan sehingga penggunaan furosemid tidak direkomendasikan, sedangkan penggunaan
kaptopril pada pasien gagal jantung tanpa gejala obat ini diberikan untuk menunda atau mencegah
terjadinya gagal jantung, mengurangi resiko infarkmiokard dan kematian mendadak.
Dalam penggunaan obat kaptopril dan furosemid terhadap pasien gagal jantung
kongestif berdasarkan jenis kelamin, yang paling banyak menderita gagal jantung
kongestif dan mendapat terapi kombinasi kaptopril dengan furosemid adalah pasien lakilaki
sebesar 63,16 % sedangkan pada perempuan sebesar 36,84%.
Penggunaan kaptopril di kontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif terhadap ACE-
Inhibitor lainnya (misalnya pasien mengalami angioedema selama pengobatan dengan ACE-
inhibitor lainnya), kehamilam, wanita menyusui, dan stenosis arteri renalis (Kemenkes,2012),
sedangkan furosemid kontraindikasi pada pasien yang mengalami defisiensi kalium (hipokalemia),
pasien yang hipersensitif terhadap furosemid, glumerulonefritis akut, wanita hamil, dan anuria
Pada analisis ketepatan indikasi dari data yang ada ditemukan bahwa yang tepat
indikasi sebesar 100% sedangkan yang tidak tepat sebesar 0%. Tepat indikasi berarti
obat yang diberikan sesuai dengan gejala dan diagnosa penyakit yang diderita oleh
pasien. Dimana gejala utama gagal jantung kongestif adalah sesak nafas (terutama ketika
bekerja), dan kelelahan, orthopnea, dyspnea, batuk, dan tingginya produksi cairan
menyebabkan kongesti dan edema perifer yang bermanifestasi bengkak pada tungkai
kaki [10].
Pada analisis ketepatan dosis, ditemukan yang tepat dosis sebesar 100%, dan
tidak tepat dosis sebesar 0%. Dalam penelitian ini ketepatan dosis didapatkan untuk
masing-masing obat. Besar dosis ditentukan berdasarkan literatur, dengan menyetarakan
bersihan kreatinin masing-masing pasien. Perhitungan bersihan kreatinin (CrCL)
menggunakan rumus Cocroft dan Gault, hal ini dikarenakan berat badan pasien berada
dalam rentang indeks ideal yang dihitung menggunakan tinggi badan pasien.
Berdasarkan literatur, penyesuaian dosis pasien CHF yang menggunakan obat
kaptopril dan furosemid yang mengalami kerusakan ginjal yaitu bila kadar ClCr berada
diantara rentang 10-50ml/menit maka penyesuaian dosisnya adalah dosis diturunkan 75% dari
dosis normal. Sementara jika nilai CrCl<10 ml/menit dosis diturunkan 50% dari
dosis normal, sebagai contoh pada pasien dengan inisial YA (pasien nomor 12) diberikan
kaptopril dengan dosis perhari 3x25 mg, nilai CrCl 19,92 ml/menit. Dosis yang diberikan
tepat dikarenakan masih berada dalam rentang dosis yang boleh diberikan meskipun
dosis telah diturunkan 75% dari dosis normal.
Pada analisis ketepatan interval, ditemukan yang tepat interval pemberian sebesar
100% dan tidak tepat interval sebesar 0%. Dikatakan tepat interval pemberian, jika
interval pemberian obat kaptopril dan furosemid sesuai dengan interval penggunaan obat
berdasarkan Drug Information Handbook, Edisi 17 (2009). Ketepatan interval pemberian
obat pada penelitian ini ditentukan berdasarkan literatur dan mempertimbangkan keadaan
klinis pasien.
Sebagai contoh Pada pasien nomor 10, berinisial RI dengan nomor MR 611597 pasien
berusia 62 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas 4 hari yang lalu, nyeri dada dan bengkak
pada kedua tungkai. Setelah di diagnosa pasien menderita CHF grade IV+dispnoe+ DC. Pada
pemeriksaan laboratorium, Nilai SCr 3,0 mg/dl dan nilai CrCL 23,47 ml/menit. Pasien di beri obat
injeksi lasix 2 x 1 amp. Lasix yang berisi furosemide merupakan diuretik kuat yang digunakan
pada pasien CHF untuk menghilangkan udem akibat retensi cairan mendapatkan peningkatan dosis
furosemid atau interval pemberian diperpendek untuk membantu kerja ginjal sebagaimana yang
terjadi pada pasien gagal ginjal kronis yang telah sampai pada stage V yang harus dilakukan
peningkatan dosis yang diakibatkan fungsi nefron hanya 10 % sehingga membutuhkan bantuan
furosemid untuk meringankan kerja ginjal.
OPTIMASI FORMULASI TABLET SUSTAINEDRELEASE NIFEDIPIN
KOMBINASI NATRIUM ALGINAT DAN HPMC K15M SEBAGAI MATRIKS
MUKOADHESIF SECARA SIMPLEX LATTICE DESIGN
PENDAHULUAN
Nifedipin digunakan untuk obat angina dan hipertensi pada golongan calcium channel blocker.
Nifedipin memiliki waktu paruh 2-4 jam, dosis yang biasa diberikan sebanyak 10-30 mg. Nifedipin
terabsorpsi baik di lambung (Sweetman 2002) sehingga nifedipin dapat dibuat tablet sustained
release. (Formulation and Evaluation of Mucoadhesive Microspheres of nifedipin, Radha et al.).
Sustained release dirancang agar melepaskan zat aktif secara perlahan-lahan dengan waktu
diperpanjang. Mukoadhesif adalah sistem obat dapat menempel dan melekat pada mukosa
lambung menggunakan polimer larut air sehingga terjadi basorbsi (Bahaudin et al. 2010).
Sustained release yang digunakan dalam pembuatan tablet nifedipin mukoadhesif adalah sustained
release dengan pendekatan gastroretentive drug delivery system yaitu pelepasan zat aktif di
lambung berbasis polimer bioadhesif.
Bahan
Nifedipin Micronized ( Dexa Medica), PVP, HPMC K15M (Colorcon), Avicel PH 101, Natrium
lauryl sulfat, Na alginat, Mg stearat, PVP, aquadestila(CV. Agung jaya) dan metanol (CV. Agung
jaya).
Alat
Spektrometri UV-Vis (Hitachi 2000), timbangan listrik (Ohause 2000), pH meter (Hana
Instrument), friabilator(Erweka Gmb-Htype TA), mesin tablet (single punch), hardness
tester(stokes skala 1-15 kg), mortir dan stamper, ayakan mesh 18 dan 30, dissolution tester.
Pembuatan Tablet Lepas Lambat Mukoadhesive
Nifedipin dicampur dengan kombinasi matriks natrium alginat dan HPMC K15M yang
sesuai pada masing-masing proporsi yang telah ditentukan ditambahkan dengan avicel PH 101
hingga homogen dengan menggunakan tumbler dengan putaran 25 rpm selama 16 menit.
Campuran serbuk dipadatkan menjadi massa yang jumlahnya besar (slug) setelah itu dihancurkan
hingga membentuk granul berukuran kecil. Hasil penghancuran diayak dengan ayakan pada mesh
no.18 kemudian hasil ayakan granul ditambahkan magnesium stearat selanjutnya granul dikempa
dengan kekerasan 12-14 kg .
Tabel I. Formula Tablet Mukoadhesif Nifedipin
F1(100:
Bahan F2 (75:25) F3 (50:50) F4 (25:75) F5 (0:100)
0)
Nifedipin 20,00 20,00 20,00 20,00 20,00
Na alginat 25,00 33,75 27,50 18,75 10,00
HPMC K 15 45,00 36,25 42,50 51,25 60,00
Avicel PH
145,00 145,00 145,00 145,00 145,00
101
PVP 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50
Mg stearat 2,50 2,50 2,50 2,50 2,50
Bobot tablet 250,00 250,00 250,00 250,00 250,00
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan salah satu factor resiko utama untuk penyakit jantung koroner, kejadian
stroke, gagal ginjal kronik, dan gagal jantung kongestif (Supari, 2003). Menurut pengamatan
WHO selama 10 tahun terakhir, terlihat bahwa jumlah penderita hipertensi yang dirawat di
berbagai rumah sakit di Semarang meningkat lebih dari 10 kali lipat (Kodim, 2001).
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas
akibat tekanan darah tinggi dengan menurunkan tekanan darah serendah mungkin sampai tidak
mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup, sambil dilakukan pengendalian
faktor-faktor resiko kardiovaskuler lainnya (Setiawati dan Bustami, 1995). Tekanan darah
ditentukan oleh dua factor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung adalah
hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup. Besar isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi
miokard dan alir balik vena. (Setiawati dan Bustami, 1995). Tekanan ini supaya darah mencapai
seluruh organ dan jaringan, kembali ke jantung (Tjay dan Rahardja, 2002) untuk mengangkut
oksigen dan zat-zat gizi (Astawan, 2006).
Hipertensi disebabkan oleh peningkatan resistensi perifer total karena penyempitan arteri
kecil. Perubahan tekanan darah diatur oleh reflex baroreseptor, sedangkan jalur renin-
angiotensinaldosteron untuk mengontrol garam, cairan, dan tekanan darah (Thomas, 2003).
Tekanan darah meningkat ketika terjadi tekanan sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg.
Hipertensi merupakan kerusakan heterogen yang disebabkan oleh penyebab khusus (hipertensi
sekunder) atau karena penyebab yang tidak diketahui (hipertensi primer atau esensial) (Wells et
al., 2000). Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali
bila tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg dan/atau tekanan darah sistolik (TDS) > 210
mmHg. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh
nilai rata-rata TDD > 90 mmHg dan/atau TDS > 140 mmHg (Setiawati dan Bustami, 1995).
Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa resiko kerusakan ginjal, jantung, dan otak
berkaitan secara langsung dengan besarnya peningkatan tekanan darah. Perlu dicatat bahwa
hipertensi dinyatakan berdasar tekanan darah dan bukan gejala yang dilaporkan penderita.
Hipertensi esensial terjadi empat kali lebih banyak pada orang kulit hitam dibanding kulit putih,
dan lebih sering pada pria umur pertengahan dibanding wanita pada kelompok umur yang sama
(Myceck et al.,2001). Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit
kardiovaskuler dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas terhadap
natrium, kepekaan terhadap stres, peningkatan reaktivitas vaskuler (terhadap vasokonstriktor), dan
resistensi insulin (Setiawati dan Bustami, 1995). Penyebab khusus hipertensi hanya bisa
ditetapkan pada sekitar 10 – 15% pasien (Benowitz,2001). Hipertensi ini disebut hipertensi
sekunder.
Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit
endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain (Setiawati dan Bustami, 1995). Patofisiologi
penyakit hipertensi masih belum jelas. Sejumlah pasien (2 – 5%) mempunyai penyakit ginjal atau
adrenal yang merupakan penyebab peningkatan tekanan darah (Beevers et al.,2001).
Beberapa faktor yang mendukung peningkatan hipertensi primer, di antaranya, (1)
gangguan saraf, reseptor adrenergik, atau baroreseptor, (2) abnormalitas ginjal, (3)
abnormalitas humoral, (4) defisiensi sintesis substansi vasodilator pada endotelium vaskuler,
seperti prostasiklin, bradikinin, dan oksida nitrit, atau peningkatan produksi substansi
vasokonstriktor seperti angiotensin II dan endotelin I. Penyebab utama kematian pada hipertensi
adalah komplikasi serebrovaskuler, kardiovaskuler, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian
sebelum waktunya berhubunga dengan parahnya peningkatan tekanan darah (Wells et al., 2000).
Gejala yang sering ditemukan pada peninggian tekanan darah adalah sakit kepala,
epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang,
dan pusing (Mansjoer dkk., 2001).
Pasien yang obesitas setiap berkurangnya 10 kg dari berat badan dapat menurunkan 5 – 20
mmHg dari Tekanan Darah Sistolik (TDS). Mengkonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran
serta mengurangi konsumsi garam dan lemak total dapat menurunkan TDS sebesar 8 – 14 mmHg.
Berolah raga fisik paling tidak 30 menit/hari dapat menurunkan 4 – 9 mmHg dari TDS
(Saseen dan Carter, 2005).
Untuk membuat penggunaan obat antihipertensi yang rasional, tempat dan mekanisme
kerjanya harus dimengerti (Isselbacher dkk., 2000). Rumah sakit merupakan unit pelayanan
kesehatan yang banyak mempekerjakan sumber daya manusia/medik, paramedik, administrasi,
dan teknis. Tanggung jawab rumah sakit dalam garis besarnya dapat dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu:
1. Personalia, termasuk sikap dan tindakan atau kelalaian semua orang yang terlibat dalam
kegiatan rumah sakit.
2. Pelayanan kesehatan di rumah sakit.
3. Sarana dan peralatan medis maupun non medis (Yusmainita, 2001; Azwar, 1996; Muninjaya,
1999).
CARA PENELITIAN
Bahan Penelitian
Rekam medik pasien rawat inap di RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan diagnosis utama
hipertensi periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2005.
Alat Penelitian
Lembar pengumpul data dan alat tulis Standar dari SPM RSUP Dr. Kariadi
Semarang, The JNC 7 Report dan literatur lain yang terkait dengan penelitian
Jalannya Penelitian
Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data dimulai dengan seleksi rekam medik dari pasien
dengan diagnosis utama hipertensi yang dirawat inap di RSUP Dr. Kariadi Semarang dari
tanggal 1 Januari sampai 31 Desember 2005. Dari semua kasus hipertensi yang berjumlah 811
kasus, hanya 100 kasus yang masuk kriteria inklusi, yaitu hipertensi sebagai diagnosis
utama. Sedangkan pada 708 kasus lainnya hipertensi tercatat sebagai penyakit penyerta atau
diagnosis tambahan. Data ketiga pasien dengan diagnosis utama hipertensi yang meninggal
dalam waktu kurang dari 24 jam juga tidak diikutsertakan dalam penelitian. Berdasarkan nomor
rekam medik tersebut kemudian dicari catatan mediknya di ruang penyimpanan rekam medik.
Tahap Pencatatan Data Pencatatan data berupa nomor rekam medik, nama pasien, umur, jenis
kelamin, diagnosa utama dan penyerta, tanggal masuk dan tanggal keluar rumah sakit,
pemeriksaan fisik, data pemberian obat, dan keadaan pulang. Tahap Identifikasi Pasien Data
pada rekam medik yang telah didapat diklasifikasikan guna melihat pola penggunaan obat
antihipertensi pada pasien hipertensi di instalasi rawat inap RSUP Dr. Kariadi Semarang,
kemudian dibandingkan dengan standar baku penelitian yang digunakan. Hal tersebut
dilakukan untuk melihat ketepatan penggunaan obat yang meliputi tepat indikasi, tepat obat,
tepat pasien dan tepat dosis. Selain itu dilihat juga outcome/luaran pasien terhadap pengobatan
yang telah diberikan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
Analisis Data
Analisis dalam penelitian ini mengikuti rancangan deskriptif non eksperimental. Data yang
diperoleh meliputi nomor rekam medik, nama pasien, umur, jenis kelamin, diagnosa utama dan
penyerta, tanggal masuk dan tanggal keluar rumah sakit, pemeriksaan fisik, data pemberian
obat (nama obat, dosis, dan frekuensi pemberian), kemudian diolah menjadi bentuk persentase
dan disajikan dalam bentuk tabel atau diagram.
Data obat yang digunakan juga diolah secara deskriptif evaluatif untuk memperoleh gambaran
pola penggunaan obat yang meliputi pemilihan golongan dan jenis obat. Dalam penelitian ini,
selain digunakan SPM RSUP Dr. Kariadi Semarang, juga digunakan The JNC 7 Report dan
literatur lain untuk melengkapi kekurangan informasi obat yang terdapat dalam SPM tersebut.
Data yang diperoleh kemudian diolah menjadi bentuk persentase dan disajikan dalam bentuk
tabel atau diagram.
Evaluasi penggunaan obat dilakukan pada obat antihipertensi, meliputi ketepatan indikasi,
ketepatan obat, ketepatan pasien, dan ketepatan dosis. Evaluasi dilakukan dengan cara
membandingkan data penggunaan obat pada setiap pasien rawat inap dengan standar penelitian
yang digunakan. Data yang diperoleh kemudian diolah menjadi bentuk persentase dan disajikan
dalam bentuk tabel atau diagram. Outcome/luaran pengobatan pada pasien dievaluasi
berdasarkan keadaan pasien saat keluar rumah sakit, yang meliputi kondisi umum dan
penurunan tekanan darah pasien ke nilai target terapi, yaitu < 140/90 mmHg atau < 130/80
mmHg pada penderita diabetes mellitus dan penyakit ginjal, serta lama rawat pasien. Data
evaluasi outcome/luaran pengobatan pada pasien diolah menjadi persentase dan disajikan dalam
bentuk tabel atau diagram.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Kariadi Semarang
Periode Januari – Desember 2005
1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin
Hasil pengelompokkan berdasarkan jenis kelamin terdapat 100 kasus yang terdiri dari 64
pasien wanita dan 36 pasien laki-laki (lihat gambar I).
Nilai rT3 mencapai dua kali dari nilai basal pada hari ke-10. Hal ini diikuti oleh peningkatan kadar
T4 total dan T4 bebas yang bermakna, dimulai dari hari keempat terapi. Kenaikan ini mungkin ka-
rena stimulasi langsung oleh TSH dan penurunan bersihan T4.5-7
Setelah 1-4 bulan terapi amiodaron, kadar serum T4 meningkat, rata-rata 40% di
atas kadar sebelum terapi. Kadar TSH sering kali kembali ke nilai normal setelah pemberian
amiodaron secara kronik (> 3 bulan). Normalisasi kadar TSH serum terjadi saat konsentrasi T4
meningkat dan mencukupi untuk mengatasi blok produksi T3. Namun
konsentrasi TSH dapat menurun bila terapi amiodaron diberikan dalam jangka waktu
yang lebih lama. Efek amiodaron terhadap profil hormon tiroid pada pasien eutiroid
dirangkum pada Tabel 1.
GANGGUAN FUNGSI TIROID YANG DIINDUKSI AMIODARON
Pemahaman yang cermat mengenai mekanisme terjadinya hipotiroidisme dan tirotoksikosis yang
diinduksi amiodaron, gambaran klinis dan tatalaksana sangat dibutuhkan dalam penanganan yang
efektif.
Hipotiroidisme yang diinduksi oleh amiodaron (amiodarone-induced hypothyroidism, AIH)
AIH disebabkan oleh ketidakmampuan tiroid melepaskan diri dari efek WolffChaikoff.
Biosintesis hormon tiroid terganggu karena hambatan persisten pada organifikasi iodium
intratiroid, yang dibuktikan oleh hasil positif dari tes pelepasan perklorat (perchlorate discharge
test) pada pasien AIH. Hal ini mungkin terjadi pada pasien yang memang fungsi tiroidnya
abnormal (seperti tiroiditis autoimun) sebelum terapi amiodaron. Autoantibodi tiroid yang positif
ditemukan pada 40% pasien yang mengalami hipotiroid setelah pemberian amiodaron. Hal ini
menunjukkan bahwa kelebihan beban iodium dapat menyebabkan penyakit tiroid subklinis
bermanifestasi klinis sebagai kegagalan fungsi tiroid.5-7 Insidens AIH bervariasi namun terjadi
lebih sering di area dengan asupan iodum yang cukup. Risiko meningkat pada wanita dengan rasio
wanita : laki-laki 1,5 : 1, dan risiko relatifnya sebesar 7,9. Insiden juga meningkat pada populasi
usia tua. AIH dapat timbul pada pasien dengan tiroid yang normal atau yang sudah ada kelainan.
Risiko relatif timbulnya AIH ditemukan 13 kali lebih tinggi pada wanita dengan antibody
mikrosomal tiroid atau antibodi tiroglobulin yang positif. Risiko relatif timbulnya AIH sebesar 7,3
dengan adanya antibody antitiroid. Studi lain menunjukkan terjadinya AIH dengan pemakaian
amiodaron jangka panjang pada 5 dari 7 pasien dengan antibodi antitiroid yang positif.4-7,13 Risiko
timbulnya hipotiroidisme ini tidak tergantung pada dosis amidaron kumulatif atau harian. AIH
dapat berlangsung sementara atau menetap. Kelainan yang menetap hampir selalu dihubungkan
dengan kelainan tiroid yang sudah ada sebelumnya.
Lain halnya dengan tirotoksikosis yang dapat muncul kapan saja selama terapi atau setelah
terapi dihentikan, hipotiroidisme biasanya terjadi pada awal terapi dan jarang terjadi setelah 18
bulan pertama terapi.5-7 Gambaran klinis hipotiroidisme biasanya tidak jelas. Pasien dengan AIH
sering mengeluhkan rasa lelah, letargi, tidak tahan dingin, dan kulit yang kering. Diagnosis
AIH dikonfirmasi dengan peningkatan konsentrasi TSH (biasanya > 20mU/l) disertai kadar T4
bebas yang rendah. Konsentrasi T3 serum merupakan indikator yang tidak dapat diandalkan untuk
diagnosis karena pada pasien eutiroid kadarnya bisa rendah, sedangkan pada pasien hipotiroidisme
kadar T3 bisa dalam kisaran normal. Walaupun terdapat beban iodium yang besar pada terapi
amiodaron, umumnya pasien AIH mempunyai hasil ambilan iodium radioaktif yang meningkat.
Tirotoksikosis yang diinduksi oleh amiodaron (amiodarone-induced
thyrotoxycosis/AIT)
AIT ditemukan pada 2-12% pasien yang diberikan amiodaron. Beberapa studi
menununjukkan insiden yang bervariasi, tergantung asupan iodium dalam populasi. Pada beberapa
studi, AIT lebih sering terjadi pada populasi dengan diet rendah iodium (contoh: Eropa Tengah)
dibandingkan populasi dengan asupan iodium cukup (contoh: Amerika Utara dan Inggris)
(Gambar 3). Hipotiroidisme lebih banyak terjadi pada area dengan asupan iodium cukup seperti di
Worcester, Amerika Serikat, sedangkan hipertiroidisme lebih banyak terjadi di area dengan asupan
iodium yang rendah seperti di Tuscany, Italia Utara. Namun, salah satu studi di Belanda yang
melibatkan subjek eutiroid dalam area di mana asupan iodium dinilai cukup, insiden AIT dua kali
lebih banyak dari AIH.