5. Istinbath Ayat
Dari ayat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Harta fa’i itu pada dasarnya dan dalam kenyataannya diproyeksikan untuk kemaslahatan
umum seperti yang dipraktikkan melalui kebijakan dan kebajikan Rasulullah, kemudian
untuk masyarakat miskin tertentu dalam hal ini keluarga Nabi sendiri (khusus Bani Hasyim
dan Bani Abdul Muthalib), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
2) Tujuan utama dari pembagian harta fai (ke dalam lima bagian) yang dilakukan secara
profesional, proporsional, dan prosedural itu, semata-mata untuk mencegah kemungkinan
peredaran harta kekayaan yang selalu dan selamanya berada di dalam genggaman segelintir
orang-orang kaya.
3) Semua dan setiap hukum yang dilakukan Rasulullah, wajib diikuti oleh umatnya. Sebaliknya,
setiap hukum yang dilarang oleh Rasulullah, wajib dijauhi oleh umatnya.
4) Mengikuti hukum Rasulullah itu merupakan bagian dari perintah ketakwaan kepada Allah,
melanggarnya tergolong ke dalam perbuatan dosa yang akan disiksa oleh Allah.
Menurut Ibnu Abi Najih yang dikutip oleh Al-Qurtubi bahwa harta itu ada tiga macam:
1) Ghanimah, yaitu harta yang didapatkan oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir melalui
peperangan, pemaksaan dan penaklukan.
2) Fai’, yaitu harta orang kafir yang diberikan kepada kaum muslimin secara sukarela tanpa ada
peperangan dan pengerahan (kuda dan unta), seperti: kompensasi perdamaian, pajak, kharaj
dan usyuur yang diambil dari pedagang-pedagang kafir. Demikian pula dengan harta yang
ditinggalkan orang kafir, atau harta warisan salah seorang dari mereka yang mennggal di
negeri Islam, sementara dia tidak mempunyai ahli waris.
3) Sadakah, yaitu harta yang diambil dari kaum muslimin untuk menyucikan harta mereka,
misalnya sedekah dan zakat.
Adapun harta sedekah, harta ini diberikan kepada fakir, miskin dan amil sebagimana
yang telah Allah jelaskan dalam surat Al-Bara’ah (at-Taubah ayat 90). Sedangkan
harta ghanimah, pada awal-awal islam harta ini diberikan kepada Nabi Muhammad SAW
dimana beliau melakukan apapun yang beliau kehendaki pada harta itu, tentunya dengan
petunjuk dari Allah SWT (QS. Al-Anfal ayat 41).
Adapun harta fa’I, pembagiannya sama dengan pembagian khumus. Menurut Imam
Malik, pembagian itu diserahkan kepada imam (penguasa). Jika dia (penguasa) berpendapat
bahwa kedua harta itu (fa’I dan Khumus)harus disimpan untuk sesuatu yang akan menimpa
kaum muslimin, maka dia berhak melakukan itu. Tapi jika dia (penguasa) berpendapat bahwa
keduanya atau salah satunya harus dibagikan, maka dia dapat membagikan sepenuhnya
kepada orang-orang.
Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara orang-orang fakir dan budak. Namun
pembagian itu harus dimulai dengan orang-orang fakir baik yang laik-laki dam perempuan,
sampai merela cukup. Karib kerabat rasul juga harus diberika bagiannya dari harta fa’I sesuai
dengan pendapat sang imam (penguasa). Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu.
Harta yang diambil dari suatu daerah harus dibagikan seluruhnya didaerah tersebut,
dan tidak boleh dialihkan ke daerah yang lain sampai penduduk didaerah itu terpenuhi atau
cukup. Setelah itu, barulah harta itu boleh dialihkan ke daerah lain yang paling dekat, kecuali
bila didaerah lain terdapat penceklik yang sangat, maka harta itu boleh dialihkan kepada
orang-orang yang mengalami penceklik itu, dimana mereka berada. Hal ini sebagaimana
yang dilakukan oleh Umar bin Khathab pada tahun kelabu, dimana paceklik berlangsung
selama lima atau enam tahun.
Dalam teori tersebut diatas, jika melihat pengertian fa’I, maka salah satu termasuk
pada kategori fa’I adalah pajak. Karena pajak ini diperoleh tanpa peperangan,
sebagaimana fa’I dalam bidang perekonomian Kas Negara yang paling strategis adalah sector
pajak. Dengan pajak ini, hendaknya seorang penguasa memanfaatkannya untuk kepentingan
Negara dan rakyatnya terutama kalangan yang lemah dan miskin. Sehingga dengan masuknya
pajak, maka kesejahteraan akan terwujud.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Al-Quran telah menekankan bahwa kaum muslim tidak boleh menahan kekayaan dan
pendapatan mereka hanya untuk diri mereka sendiri. Melainkan setelah memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka secukupnya, mereka harus melaksanakan kewajiban-kewajiban
terhadap keluarga dekat mereka, para tetangga serta orang-orang lain di dalam komunitas
tersebut. Orang-orang yang berpunya secara khusus diperintahkan untuk memperhatikan
kepentingan-kepentingan fakir miskin.
Surat Al-Hasyr ayat 7 menegaskan prinsip yang mengatur pembagian kekayaan dalam
sistem kehidupan islami. Bahwa kekayaan itu harus dibagi-bagikan ke seluruh kelompok
masyarakat dan bahwa kekayaan itu tidak boleh menjadi komoditi yang beredar di antara
orang-orang kaya saja. Al-Quran telah menetapkan aturan tertentu guna mencapai sasaran
keadilan dalam pendistribusian kekayaan dalam masyarakat. Al-Quran telah melarang riba
dan telah memperkenalkan hukum-hukum waris, yang membatasi kekuasaan si pemilik harta
kekayaan dan mendorongnya untuk mendistribusikan seluruh harta miliknya dikalangan
kerabat dekat setelah ia wafat. Kemudian langkah-langkah positif diambil untuk
menyebarkan kekayaan di kalangan penduduk melalui pengutan wajib zakat, sistem infaq dan
sumbangan, sebagaian (dalam bentuk bantuan) untuk orang-orang miskin dan lemah dari
penghasilan negara.
B. Saran
Menurut kami dalam mengatur kekayaan yang ada disekeliling kita haruslah dengan
kesadaran sendiri apalagi jika sudah mengetahui mengenai pendistribusian harta. Terlebih
peran pemerintah pun sangat diperlukan. Dan sebaiknya kerabat dekat terlebih dahulu yang
diutamakan. Karena apabila pendistribusiannya merata maka kemakmuran dan kesejahteraan
akan tercapai dan harta tidak akan berkeliling di pihak-pihak kaya saja.
DAFTAR PUSTAKA
BERBAGI
@@@@@@
سو ِل ُ لر سو ِل ِه ِم ْن أَ ْه ِل ا ْلقُ َرى فَ ِلله ِه َو ِل ه ُ علَى َر َما أَفَا َء ه
َ َُّللا
س ِبي ِل َك ْي ََل ين َوا ْب ِن ال ه ِ سا ِك َ َو ِلذِي ا ْلقُ ْربَى َوا ْليَتَا َمى َوا ْل َم
سو ُل ُ الر اء ِم ْن ُك ْم َو َما َءاتَا ُك ُم ه ِ َُون دُولَةً بَ ْي َن ْاْل َ ْغنِيَ يَك
شدِي ُد َ َّللا ِإ هن ه
َ َّللا َ ع ْنهُ فَا ْنت َ ُهوا َواتهقُوا ه َ فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم
ب ِ ا ْل ِعقَا
Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja
yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian,
tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya. (QS al-Hasyr [59] 7).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Mâ afâ’a Allâh ‘alâ Rasûlih min ahl al-qurâ (apa saja harta
rampasan [fay’] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota). Secara bahasa, kata afâ’a berarti radda (mengembalikan).1 Dengan kata
tersebut seolah ingin dikatakan, sesungguhnya harta dan perhiasan itu diciptakan
Allah Swt. sebagai sarana bagi hamba untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ketika harta
itu digunakan tidak pada fungsinya atau dikuasai oleh orang kafir yang
menggunakannya tidak pada fungsinya, maka harta itu telah keluar dari tujuan awal
diciptakan. Sebaliknya, ketika harta itu beralih kepada Muslim yang
membelanjakannya untuk kebaikan, berarti telah kembali pada tujuan semula.
Menurut kebanyakan mufassir, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat
sebelumnya.2 Dalam ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al-fay’ (QS
al-Hasyr [59]: 6). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-fay’adalah semua harta yang
diambil dari kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan; tanpa mengerahkan
pasukan unta dan kuda; seperti halnya harta Bani Nadhir.3 Semua harta yang
mereka tinggalkan itu disebut al-fay’. Ketentuan itu tidak hanya berlaku pada harta
Bani Nadhir, namun juga semua yang negeri yang ditaklukkan dengan cara yang
sama, yakni tanpa mengerahkan kuda maupun unta.4Jika dalam ayat 6
disebutkan minhum (dari mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7
digunakan kata yang lebih bersifat umum: min ahl al-qurâ (dari penduduk kota-kota).
Artinya, semua negeri yang ditaklukkan tanpa melalui peperangan.5
Selanjutnya dijelaskan mengenai alokasi harta fay’ itu. Allah Swt. berfirman: fa li
Allâh wa li al-Rasûl wa li dzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîna wa [i]bn al-
sabîl (maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan).
1. li Allâh (untuk Allah). Dialah yang berhak menetapkan alokasi harta rampasan
itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Allah Swt. telah memberikan harta
tersebut kepada Rasulullah saw.; otoritas pembagiannya pun diserahkan
kepada Beliau. Sekalipun ungkapan fa li Allâh wa li al-Rasûl seolah tampak
memberikan makna adanya dua bagian, sesungguhnya itu untuk menunjukkan
satu bagian.9 Tidak ada perbedaan pendapat bahwa setelah Beliau wafat,
bagian tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.10
2. dzî al-qurbâ (kaum kerabat Rasul). Kerabat Rasulullah saw. yang dimaksudkan
adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib.11 Dua kerabat Rasulullah saw. itu,
baik kaya maupun miskin, berhak mendapat bagian harta rampasan. Menurut
para mufassir, hal itu karena mereka tidak dibolehkan menerima
harta sedekah.12
3. al-yatâmâ (anak-anak yatim). Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh
ayahnya. Status yatim itu terus berlangsung hingga mereka balig. Kata ath-
Thabari, mereka adalah anak-anak kaum Muslim yang membutuhkan dan tidak
memiliki harta.13
4. al-masâkîna (orang-orang miskin). Yang dimaksud adalah orang yang tidak
mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, sedikit pakaian atau makanan.
Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup
kaum fakir. Menurut al-Biqai, dua kelompok tersebut, yakni fakir dan miskin,
jika hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya.
Kedua kelompok itu baru dibedakan jika disebutkan bersama-sama.14
5. ibn al-sabîl. Yang dimaksud adalah orang yang kehabisan bekal dalam
perjalanan menuju ke tempat tinggalnya sehingga dia membutuhkan harta
yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuannya. Ath-Thabari memberikan
catatan, perjalanan yang dilakukan itu bukan dalam rangka maksiat kepada
Allah Swt.15
Allah Swt. berfirman: Wamâ âtâkum al-Rasûl fakhudzûhu wamâ nahâkum ‘anhu fa
[i]ntahû (apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa dia larang atas
kalian, tinggalkanlah). Dalam konteks ayat ini, kalimat itu bermakna: Semua
harta ghanîmah dan fay’ yang diberikan oleh Rasulullah saw., ambillah. Sebaliknya,
yang Beliau larang, tinggalkanlah.17 Kendati konteks dan sebab turunnya ayat ini
berkenaan dengan pembagian ghanîmah dan fay’, hukumnya berlaku umum dan
mencakup semua perkara yang dibawa Rasulullah saw., baik perintah maupun
larangan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana ditetapkan dalam kaidah: al-
‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzh wa lâ bi khushûsh as-sabab (Pengertian dalil ditetapkan
berdasarkan keumuman ungkapannya, bukan karena kekhususan sebabnya).18
Kata al-îtâ’ (memberi) dalam kalimat tersebut bermakna al-amr (perintah).
Alasannya, kebalikan dari kata al-îtâ’ adalah an-nahy, yakni kalimat wamâ nahâkum
‘anhu fa [i]ntahû (apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah). Lawan dari kata al-
nahy tidak lain adalah al-amr, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
« ُع ْنه ْ إِ َذا أ َ َم ْرت ُ ُك ْم ِبأ َ ْم ٍر فَأْت ُ ْوا ِم ْنهُ َماا
َ ست َ َط ْعت ُ ْم َو َما نَ َه ْيت ُ ُك ْم
ْ َ»ف
ُاجتَنِبُ ْوه
Jika aku memerintah kalian dengan suatu perintah, jalankanlah semampu
kalian. Jika aku melarang kalian dengan suatu larangan, jauhilah (HR al-Bukhari).19
Allah Swt. berfirman: wa[i]ttaqû Allâh (Bertakwalah kalian kepada Allah). Kalimat ini
menegaskan perintah sebelumnya. Perintah ini wajib karena adanya sanksi atas
orang yang tidak bersedia mengerjakannya. Sanksi itu berupa azab yang pedih.
Allah Swt. berfirman: Inna Allâh syadîd al-‘iqâb (Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya).
Totalitas Islam
Kandungan ayat ini menjadi bukti kongkret totalitas Islam dalam mengatur seluruh
aspek kehidupan. Pengaturan mengenai harta fay’ dan ghanîmah jelas menunjukkan
bahwa Islam juga tidak hanya berkutat dalam urusan privat dan abai terhadap
urusan publik, sebagaimana yang dituduhkan kaum Liberal.
Kandungan ayat ini juga membantah klaim sebagian orang yang menolak
disyariatkannya Daulah Islam. Sebab, keberadaan harta fay’ dan ghanîmah terkait
erat dengan jihad dan institusi negara. Sulit dibayangkan umat Islam bisa
mendapatkan harta fay’ jika umat Islam tidak memiliki negara yang kuat sehingga
membuat kaum kafir menjadi gentar dan menyerahkan harta kekayaannya. Jika
umat Islam tidak memiliki negara, yang terjadi adalah sebaliknya. Alih-alih membuat
kaum kafir merasa gentar dan menyerahkan hartanya kepada Muslim, justru mereka
menjarah harta umat Islam tanpa ada perlawanan yang memadai, sebagaimana
yang terjadi saat ini.
Keberadaan harta ghanîmah juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas jihad fi
sabililah. Dalam pelaksanaan jihad, tentu dibutuhkan seorang pemimpin yang
memberikan komando kepada seluruh kaum Muslim, memobilisasi tentara dan
rakyat, mengatur strategi perang, dan aneka kebijakan dalam peperangan. Itu
semua menunjukkan keniscayaan adanya kepemimpinan dalam suatu negara.
Demikian juga distribusi harta tersebut. Setelah wafatnya Rasulullah saw, wewenang
dan otoritas distribusi harta fay’ dan ghanîmah ada di tangan Imam atau Khalifah.
Dialah yang diserahi tugas oleh syariah untuk mengelola dan mendistribuskan harta
itu demi kemaslahatan kaum Muslim. Ketentuan itu juga menunjukkan wajibnya
keberadaan Khalifah. Realitas itu jelas menggugurkan klaim sebagian orang yang
mengingkari wajibnya Khilafah.
Ayat ini juga memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan. Kekayaan yang
diciptakan Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh hanya dinikmati
segelintir orang saja. Lagi-lagi, mekanisme ini bisa diwujudkan jika ada institusi
negara yang berwenang atasnya.
Ayat ini juga menolak penerapan Islam yang hanya nilai-nilainya saja, sementara
ketentuan hukumnya bisa mengadopsi dari mana pun. Ayat ini menegaskan: Wamâ
âtâkum al-Rasûl fakhudzûhu wamâ nahâkum ‘anhu fa [i]ntahû (Apa saja yang Rasul
berikan kepada kalian, terimalah; apa saja yang dia larang, tinggalkanlah). Itu
artinya, seluruh ketentuan syariah harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan.
Tidak boleh dibedakan hukum ibadah dengan mu’âmalât atau uqûbât (sanksi-sanksi
hukum). Pasalnya, ayat ini bersifat umum; meliputi semua perkara yang ditetapkan
syariah. Ketentuan ini wajib. Siapa pun yang menolaknya diancam dengan azab
yang pedih, sebagaimana firman-Nya: Wa[i]ttaqû Allâh. Inna Allâh syadîd al-
‘iqâb (Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya).