Anda di halaman 1dari 12

.

Tafsir Al-Quran Surat Al-Hasyr Ayat 7


1. Ayat dan Terjemahannya
َ‫سبِي ِل َك ْي ََل يَ ُكونَ دُولَةً َبيْن‬
‫ين َواب ِْن ال ه‬ َ ‫سو ِل َو ِلذِي ْالقُ ْربَ ٰى َو ْاليَتَا َم ٰى َو ْال َم‬
ِ ‫سا ِك‬ ‫سو ِل ِه ِم ْن أ َ ْه ِل ْالقُ َر ٰى فَ ِلله ِه َو ِل ه‬
ُ ‫لر‬ ‫َما أَفَا َء ه‬
ُ ‫َّللاُ َعلَ ٰى َر‬
ِ ‫شدِيد ُ ْال ِعقَا‬
‫ب‬ ‫سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنت َ ُهوا ۚ َواتهقُوا ه‬
‫َّللاَ ۖ ِإ هن ه‬
َ َ‫َّللا‬ ُ ‫الر‬ ِ ‫ْاْل َ ْغنِ َي‬
‫اء ِم ْن ُك ْم ۚ َو َما آت َا ُك ُم ه‬
Artinya :
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
2. Makna Global
Pokok pembicaraan ayat diatas adalah seputar hokum fa’I, yaitu harta rampasan
perang yang diperoleh dari musuh. muslimin.Sedangkan harta rampasan itu untuk Allah,
untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan. Cara pembagian tersebut merupakan wujud keadilan distribusi harta,
dengan tujuan supaya harta tersebut tidak beredar di antara orang-orang kaya saja.
Bertaqwalah kepada Allah dengan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT. Asas
pemerataan ekonomi dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam Al-
Quran dianjurkan supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani Al-Quran. Pada
saat yang bersamaan, ayat ini juga sekaligus mengingatkan umat dan masyarakat supaya
menjauhi aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh Rasulullah.
3. Asbab Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukan bahwa surat al-Anfaal turun di waktu terjadi
peperangan Badar (Ramadhan 2H/624M), sementara surat al-Hasyr diturunkan pada waktu
peperangan bani Nadhir (4H/625M). Kaum yahudi bani Nadhir adalah penduduk yang dahulu
di zaman Nabi Muhammad bertempat tinggal dan berkebun kurma di luar kota Madinah.
Karena pengkhianatan mereka kepada Rasulullah, maka Rasul pun mengepung
mereka dan mengusirnya seraya Rasul membolehkan mereka membawa harta kekayaannya
sejauh yang mereka mampu mengangkutnya dengan binatang-binatang mereka, dengan
catatan mereka tidak diperbolehkan membawa senjata. Mereka pun kemudian pergi sampai
ke Syam (Syria). Allah menurunkan ayat 1 sampai 5 surat al-Hasyr yang pada intinya adalah
membenarkan tindakan Rasulullah itu termasuk tindakannya untuk mengambil alih sisa-sisa
harta yang ditinggalkan mereka (kaum bani Nadhir).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah sampai di tempat kaum
bani Nadhir, mereka bersembunyi di dalam benteng. Lalu Rasulullah memerintahkan para
sahabat supaya menebang pohon-pohon kurma untuk kemudian membakarnya (sampai
berasap tebal) yang menyebabkan bani Nadhir tidak mampu lagi bertahan di dalam benteng.
Mereka lalu berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad sambil mengatakan: “Hai
Muhammad! Kamu telah melarang orang merusak bumi, dan mencela orang yang berbuat
kerusakan (di muka bumi), namun mengapa kamu sendiri justru menebangi pohon-pohon
kurma dan lalu membakarnya?” Terkait teriakan mereka itu, maka turunlah ayat 9 dari surat
al-Hasyr.
4. Tafsir Ayat
Firman Allah ini menjelaskan tentang makna fa’i sifat dan hikmahnya. Fa’i adalah
segala harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa
mengerahkan kuda maupun unta. Seperti harta benda bani an-Nadhir ini, dimana kaum
muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda maupun unta, artinya mereka dalam hal
ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang atau menyerbu mereka, tetapi para
musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah Allah timpakan ke dalam hati mereka karena
wibawa Rasulullah. Kemudian Allah memberikan harta benda yang telah mereka tinggalkan
untuk Rasul-Nya. Oleh karena itu, beliau mengatur pembagian harta benda yang diperoleh
dari Bani an-Nadhir sekehendak hati beliau, dengan mengembalikannya kepada kaum
muslimin untuk dibelanjakan dalam segala sisi kebaikan dan kemaslahatan yang telah
disebutkan oleh Allah dalam ayat-ayat ini.
Harta kekayaan dalam bentuk apapun yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari ahli
qura (penduduk Khaibar, Fadak dan ‘Arinah), itu untuk Allah, untuk Rasulullah, untuk
Dzawil Qurba (kerabat dekat), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Menurut
ayat ini, al-fai (diluar kasus bani Nadhir), itu dibagi ke dalam lima bagian dengan ketentuan:
1/5 daripadanya didistribusikan untuk lima kelompok, yaitu untuk Allah dan Rasulullah yang
digunakan untuk kebutuhan hidup beliau selama hayatnya, dan kemudian didayagunakan
untuk kemaslahatan kaum muslimin sepeninggalnya; untuk keluarga dekat Nabi Muhammad,
dalam hal ini Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib; untuk kepentingan anak-anak yatim;
untuk orang-orang miskin; dan untuk ibnu sabil (anak-anak jalanan yang terlantar).
Sementara yang 4/5 bagian selebihnya, adalah khusus untuk Nabi, yang 4/5 bagian ini telah
beliau bagi-bagikan selama hidupnya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar,
kecuali dua orang saja yang nyata-nyata fakir.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar memberitahu kami dari
az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar, ia berkata: “Harta Bani an-Nadhir
termasuk yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya, dengan tidak ada usaha terlebih dahulu
dari kaum muslimin untuk mengerahkan kuda dan untanya. Oleh karena itu, harta rampasan
itu hanya khusus untuk Rasulullah, beliau nafkahkan untuk keluarganya sebagai nafkah untuk
satu tahun. Dan sisanya beliau manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di jalan-
Nya.”
Telah dijadikan pihak-pihak yang memperoleh bagian harta fa’i ini agar tidak hanya
dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, lalu mereka pergunakan sesuai kehendak dan hawa
nafsu mereka, serta tidak mendermakan harta tersebut kepada fakir miskin sedikitpun.
Ketentuan hukum yang membagi-bagikan harta fai ke dalam beberapa kelompok
sosial itu, di antara tujuan utamanya ialah untuk memeratakan peredaran harta kekayaan
(ekonomi dan keuangan) supaya tidak selalu atau selamanya bergulir dan bergilir pada
segelintir tangan orang-orang kaya saja diantara mereka. Disinilah pula terletak kelebihan
esensial teori ekonomi profetik (kenabian) yang sangat mementingkan asas pemerataan
disamping prinsip keadilan dan terutama keberkahan. Usaha memeratakan peredaran
ekonomi sebagaimana yang mudah disaksikan maupun terutama dirasakan memang yang
paling sulit, betapa banyak ketimpangan sosial ekonomi dan keuangan di tengah-tengah
masyarakat ini.
Kebijakan Allah dan Rasul-Nya yang memberikan harta fai hanya kepada kaum
Muhajirin yang pada umumnya miskin, dan tidak kepada kaum Anshar yang kebanyakan
sudah kaya atau bahkan kaya-raya, kecuali kepada satu atau dua orang yang benar-benar
fakir. Jadi asas pemerataan ekonomi dan keuangan model Rasulullah itu jelas dan tegas.
Lebih didasarkan atas pertimbangan (keberpihakan) kefakiran dan kemiskinan masyarakat,
bukan karena pertimbangan etnik dalam hal ini keperpihakan Nabi kepada kaum Muhajirin
dan pengabaian kaum Anshar. Namun alasan apa pun yang disampaikan Nabi ketika itu
apalagi di zaman sekarang ini, tampaknya akan tetap terus dan terus tetap menuai
kecemburuan pihak yang tidak mendapatkan dana fai maupun dana sosial lainnya. Hal yang
maklum karena al-mal (harta), sesuai dengan makna dasarnya, selalu memikat semua dan
setiap orang tanpa peduli apakah ia itu fakir miskin ataukah kaya raya. Kebijakan sapu jagat
yang seringkali diambil oleh pemangku kebijakan, seringkali mengabaikan asas pemerataan
dan keadilan ini, meskipun pada saat yang bersamaan, kebijakan sapu jagat itu seolah-olah
berasas pemerataan. Ambil contoh pembebasan biaya pendidikan yang tidak lagi memandang
perbedaan antara yang kaya dan yang miskin atau antara yang mampu dan tidak mampu,
semuanya dibebaskan dari biaya sekolah.
Disini tampak Al-Quran memberikan tuntunan kepada orang-orang beriman untuk
bersikap tulus tanpa embel-embel apapun dalam menerima dan mengamalkan hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Termasuk penetapan hukum tentang pembagian
harta fai yang secara lahiriah seolah-olah tidak adil itu lantaran hanya diperuntukkan kaum
Muhajirin dan tidak untuk kaum Anshar kebanyakan. Padahal, kaum Anshar demikian besar
pengorbanannya kepada penduduk asal Muhajirin. Namun, hukum fai yang pembagiannya
seperti demikian itu, bukanlah berdasarkan kepada etnik karena Muhajirin atau disebabkan
Anshar, melainkan lebih kepada pertimbangan perwujudan keseimbangan dan pemerataan
kehidupan sosial ekonomi yang harus ditempuh dengan cara memberikan bagian lebih
kepada kaum fakir miskin yang kebetulan kala itu didominasi oleh kaum Muhajirin yang
sewaktu hijrah ke Madinah memang tidak mungkin membawa harta kekayaan yang mereka
miliki di Mekah. Sehingga apa pun yang beliau perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah,
dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Karena beliau hanyalah memerintahkan
kepada kebaikan dan melarang keburukan.
Dan dalam kitab ash-Shahihain juga telah ditegaskan hadits dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda:
“Jika aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Dan apa
yang aku larang, maka jauhilah.”
Imam an-Nasi’i meriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, bahwa keduanya telah
menyaksikan Rasulullah melarang penggunaan dubba’ (sejenis labu), hantam (guji hijau),
naqir (batang kurma yang dilubangi), dan muzaffat (tempurung yang dilumuri tir). Setelah itu
Rasulullah membaca ayat. “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
Hendaknya kita semua bertakwa kepada Allah dalam hal menerima ketetepan hukum-
hukum-Nya dan dalam menjalankan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya,
karena sesungguhnya Allah itu sangat dahsyat hukuman-Nya mana kala hukum-hukumnya
dilanggar oleh manusia.

5. Istinbath Ayat
Dari ayat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Harta fa’i itu pada dasarnya dan dalam kenyataannya diproyeksikan untuk kemaslahatan
umum seperti yang dipraktikkan melalui kebijakan dan kebajikan Rasulullah, kemudian
untuk masyarakat miskin tertentu dalam hal ini keluarga Nabi sendiri (khusus Bani Hasyim
dan Bani Abdul Muthalib), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
2) Tujuan utama dari pembagian harta fai (ke dalam lima bagian) yang dilakukan secara
profesional, proporsional, dan prosedural itu, semata-mata untuk mencegah kemungkinan
peredaran harta kekayaan yang selalu dan selamanya berada di dalam genggaman segelintir
orang-orang kaya.
3) Semua dan setiap hukum yang dilakukan Rasulullah, wajib diikuti oleh umatnya. Sebaliknya,
setiap hukum yang dilarang oleh Rasulullah, wajib dijauhi oleh umatnya.
4) Mengikuti hukum Rasulullah itu merupakan bagian dari perintah ketakwaan kepada Allah,
melanggarnya tergolong ke dalam perbuatan dosa yang akan disiksa oleh Allah.
Menurut Ibnu Abi Najih yang dikutip oleh Al-Qurtubi bahwa harta itu ada tiga macam:
1) Ghanimah, yaitu harta yang didapatkan oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir melalui
peperangan, pemaksaan dan penaklukan.
2) Fai’, yaitu harta orang kafir yang diberikan kepada kaum muslimin secara sukarela tanpa ada
peperangan dan pengerahan (kuda dan unta), seperti: kompensasi perdamaian, pajak, kharaj
dan usyuur yang diambil dari pedagang-pedagang kafir. Demikian pula dengan harta yang
ditinggalkan orang kafir, atau harta warisan salah seorang dari mereka yang mennggal di
negeri Islam, sementara dia tidak mempunyai ahli waris.
3) Sadakah, yaitu harta yang diambil dari kaum muslimin untuk menyucikan harta mereka,
misalnya sedekah dan zakat.
Adapun harta sedekah, harta ini diberikan kepada fakir, miskin dan amil sebagimana
yang telah Allah jelaskan dalam surat Al-Bara’ah (at-Taubah ayat 90). Sedangkan
harta ghanimah, pada awal-awal islam harta ini diberikan kepada Nabi Muhammad SAW
dimana beliau melakukan apapun yang beliau kehendaki pada harta itu, tentunya dengan
petunjuk dari Allah SWT (QS. Al-Anfal ayat 41).
Adapun harta fa’I, pembagiannya sama dengan pembagian khumus. Menurut Imam
Malik, pembagian itu diserahkan kepada imam (penguasa). Jika dia (penguasa) berpendapat
bahwa kedua harta itu (fa’I dan Khumus)harus disimpan untuk sesuatu yang akan menimpa
kaum muslimin, maka dia berhak melakukan itu. Tapi jika dia (penguasa) berpendapat bahwa
keduanya atau salah satunya harus dibagikan, maka dia dapat membagikan sepenuhnya
kepada orang-orang.
Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara orang-orang fakir dan budak. Namun
pembagian itu harus dimulai dengan orang-orang fakir baik yang laik-laki dam perempuan,
sampai merela cukup. Karib kerabat rasul juga harus diberika bagiannya dari harta fa’I sesuai
dengan pendapat sang imam (penguasa). Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu.
Harta yang diambil dari suatu daerah harus dibagikan seluruhnya didaerah tersebut,
dan tidak boleh dialihkan ke daerah yang lain sampai penduduk didaerah itu terpenuhi atau
cukup. Setelah itu, barulah harta itu boleh dialihkan ke daerah lain yang paling dekat, kecuali
bila didaerah lain terdapat penceklik yang sangat, maka harta itu boleh dialihkan kepada
orang-orang yang mengalami penceklik itu, dimana mereka berada. Hal ini sebagaimana
yang dilakukan oleh Umar bin Khathab pada tahun kelabu, dimana paceklik berlangsung
selama lima atau enam tahun.
Dalam teori tersebut diatas, jika melihat pengertian fa’I, maka salah satu termasuk
pada kategori fa’I adalah pajak. Karena pajak ini diperoleh tanpa peperangan,
sebagaimana fa’I dalam bidang perekonomian Kas Negara yang paling strategis adalah sector
pajak. Dengan pajak ini, hendaknya seorang penguasa memanfaatkannya untuk kepentingan
Negara dan rakyatnya terutama kalangan yang lemah dan miskin. Sehingga dengan masuknya
pajak, maka kesejahteraan akan terwujud.
BAB III
PENUTUP

A. kesimpulan
Al-Quran telah menekankan bahwa kaum muslim tidak boleh menahan kekayaan dan
pendapatan mereka hanya untuk diri mereka sendiri. Melainkan setelah memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka secukupnya, mereka harus melaksanakan kewajiban-kewajiban
terhadap keluarga dekat mereka, para tetangga serta orang-orang lain di dalam komunitas
tersebut. Orang-orang yang berpunya secara khusus diperintahkan untuk memperhatikan
kepentingan-kepentingan fakir miskin.
Surat Al-Hasyr ayat 7 menegaskan prinsip yang mengatur pembagian kekayaan dalam
sistem kehidupan islami. Bahwa kekayaan itu harus dibagi-bagikan ke seluruh kelompok
masyarakat dan bahwa kekayaan itu tidak boleh menjadi komoditi yang beredar di antara
orang-orang kaya saja. Al-Quran telah menetapkan aturan tertentu guna mencapai sasaran
keadilan dalam pendistribusian kekayaan dalam masyarakat. Al-Quran telah melarang riba
dan telah memperkenalkan hukum-hukum waris, yang membatasi kekuasaan si pemilik harta
kekayaan dan mendorongnya untuk mendistribusikan seluruh harta miliknya dikalangan
kerabat dekat setelah ia wafat. Kemudian langkah-langkah positif diambil untuk
menyebarkan kekayaan di kalangan penduduk melalui pengutan wajib zakat, sistem infaq dan
sumbangan, sebagaian (dalam bentuk bantuan) untuk orang-orang miskin dan lemah dari
penghasilan negara.

B. Saran
Menurut kami dalam mengatur kekayaan yang ada disekeliling kita haruslah dengan
kesadaran sendiri apalagi jika sudah mengetahui mengenai pendistribusian harta. Terlebih
peran pemerintah pun sangat diperlukan. Dan sebaiknya kerabat dekat terlebih dahulu yang
diutamakan. Karena apabila pendistribusiannya merata maka kemakmuran dan kesejahteraan
akan tercapai dan harta tidak akan berkeliling di pihak-pihak kaya saja.

DAFTAR PUSTAKA

Suma, Muhammad Amin. 2013. Tafsir Ayat Ekonomi. Jakarta: Amzah.


Azazy, Yusup. 2016. Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi (Tafsir Al-ayaat Al-Iqtishadiyah). Bandung
http://tafsirq.com/59-al-hasyr/ayat-7 (Diakses 10 November 2016)
http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-al-hasyr-ayat-7.html (diakses 10
November 2016)

BERBAGI

@@@@@@

Pembagian Harta Secara Adil (Tafsir Qs


Al-Hasyr [59]: 7)

‫سو ِل‬ ُ ‫لر‬ ‫سو ِل ِه ِم ْن أَ ْه ِل ا ْلقُ َرى فَ ِلله ِه َو ِل ه‬ ُ ‫علَى َر‬ ‫َما أَفَا َء ه‬
َ ُ‫َّللا‬
‫س ِبي ِل َك ْي ََل‬ ‫ين َوا ْب ِن ال ه‬ ِ ‫سا ِك‬ َ ‫َو ِلذِي ا ْلقُ ْربَى َوا ْليَتَا َمى َوا ْل َم‬
‫سو ُل‬ ُ ‫الر‬ ‫اء ِم ْن ُك ْم َو َما َءاتَا ُك ُم ه‬ ِ َ‫ُون دُولَةً بَ ْي َن ْاْل َ ْغنِي‬َ ‫يَك‬
‫شدِي ُد‬ َ ‫َّللا ِإ هن ه‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫ع ْنهُ فَا ْنت َ ُهوا َواتهقُوا ه‬ َ ‫فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم‬
‫ب‬ ِ ‫ا ْل ِعقَا‬
Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja
yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian,
tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya. (QS al-Hasyr [59] 7).

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Mâ afâ’a Allâh ‘alâ Rasûlih min ahl al-qurâ (apa saja harta
rampasan [fay’] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota). Secara bahasa, kata afâ’a berarti radda (mengembalikan).1 Dengan kata
tersebut seolah ingin dikatakan, sesungguhnya harta dan perhiasan itu diciptakan
Allah Swt. sebagai sarana bagi hamba untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ketika harta
itu digunakan tidak pada fungsinya atau dikuasai oleh orang kafir yang
menggunakannya tidak pada fungsinya, maka harta itu telah keluar dari tujuan awal
diciptakan. Sebaliknya, ketika harta itu beralih kepada Muslim yang
membelanjakannya untuk kebaikan, berarti telah kembali pada tujuan semula.

Menurut kebanyakan mufassir, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat
sebelumnya.2 Dalam ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al-fay’ (QS
al-Hasyr [59]: 6). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-fay’adalah semua harta yang
diambil dari kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan; tanpa mengerahkan
pasukan unta dan kuda; seperti halnya harta Bani Nadhir.3 Semua harta yang
mereka tinggalkan itu disebut al-fay’. Ketentuan itu tidak hanya berlaku pada harta
Bani Nadhir, namun juga semua yang negeri yang ditaklukkan dengan cara yang
sama, yakni tanpa mengerahkan kuda maupun unta.4Jika dalam ayat 6
disebutkan minhum (dari mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7
digunakan kata yang lebih bersifat umum: min ahl al-qurâ (dari penduduk kota-kota).
Artinya, semua negeri yang ditaklukkan tanpa melalui peperangan.5

Tiadanya benturan fisik dalam peperangan itulah yang


membedakan fay’ dengan ghanîmah. Berbeda dengan
harta fay’, harta ghanîmah diperoleh dari kaum kafir melalui jalan peperangan.6
Pembagian dan distribusinya pun dibedakan. Jika pembagian ghanîmah dijelaskan
dalam QS al-Anfal [8]: 1 dan 41, maka pembagian fay’ dijelaskan dalam QS al-Hasyr
[59]: 6 dan 7.

Berdasarkan QS al-Hasyr [59]: 6, harta fay’ tersebut diberikan secara khusus


kepada Rasulullah saw.;7distribusinya pun menjadi otoritas Beliau. Dalam kaitannya
dengan harta Bani Nadhir, Beliau hanya membagi-bagikannya kepada kaum
Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang, yakni Abu Dujanah dan
Sahal bin Hunaif, lantaran kondisinya yang miskin sebagaimana dialami kaum
Muhajirin.8

Selanjutnya dijelaskan mengenai alokasi harta fay’ itu. Allah Swt. berfirman: fa li
Allâh wa li al-Rasûl wa li dzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîna wa [i]bn al-
sabîl (maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan).

1. li Allâh (untuk Allah). Dialah yang berhak menetapkan alokasi harta rampasan
itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Allah Swt. telah memberikan harta
tersebut kepada Rasulullah saw.; otoritas pembagiannya pun diserahkan
kepada Beliau. Sekalipun ungkapan fa li Allâh wa li al-Rasûl seolah tampak
memberikan makna adanya dua bagian, sesungguhnya itu untuk menunjukkan
satu bagian.9 Tidak ada perbedaan pendapat bahwa setelah Beliau wafat,
bagian tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.10
2. dzî al-qurbâ (kaum kerabat Rasul). Kerabat Rasulullah saw. yang dimaksudkan
adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib.11 Dua kerabat Rasulullah saw. itu,
baik kaya maupun miskin, berhak mendapat bagian harta rampasan. Menurut
para mufassir, hal itu karena mereka tidak dibolehkan menerima
harta sedekah.12
3. al-yatâmâ (anak-anak yatim). Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh
ayahnya. Status yatim itu terus berlangsung hingga mereka balig. Kata ath-
Thabari, mereka adalah anak-anak kaum Muslim yang membutuhkan dan tidak
memiliki harta.13
4. al-masâkîna (orang-orang miskin). Yang dimaksud adalah orang yang tidak
mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, sedikit pakaian atau makanan.
Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup
kaum fakir. Menurut al-Biqai, dua kelompok tersebut, yakni fakir dan miskin,
jika hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya.
Kedua kelompok itu baru dibedakan jika disebutkan bersama-sama.14
5. ibn al-sabîl. Yang dimaksud adalah orang yang kehabisan bekal dalam
perjalanan menuju ke tempat tinggalnya sehingga dia membutuhkan harta
yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuannya. Ath-Thabari memberikan
catatan, perjalanan yang dilakukan itu bukan dalam rangka maksiat kepada
Allah Swt.15

Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan ‘illah (sebab disyariahkan) hukum tersebut


dengan firman-Nya: Kay lâ yakûna dûlat[an] bayna al-aghniyâ’i minkum (supaya
harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu saja).
Karena huruf kay termasuk harf al-‘illah (huruf yang menunjukkan makna penyebab
ditetapkannya suatu hukum), maka kalimat berikutnya merupakan ‘illah atas
ketentuan hukumnya.

Secara bahasa, kata dûlah berarti sesuatu yang dipergilirkan di antara


suatu kaum.16 Dengan demikian, ‘illah atau sebab disyariah-kannya hukum tentang
alokasi harta rampasan dari kaum kafir itu adalah agar harta tidak hanya beredar
dan berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Dengan ketentuan pembagian
harta fay’ tersebut, kaum miskin pun bisa berkesempatan mendapatkan giliran
memiliki harta.

Allah Swt. berfirman: Wamâ âtâkum al-Rasûl fakhudzûhu wamâ nahâkum ‘anhu fa
[i]ntahû (apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa dia larang atas
kalian, tinggalkanlah). Dalam konteks ayat ini, kalimat itu bermakna: Semua
harta ghanîmah dan fay’ yang diberikan oleh Rasulullah saw., ambillah. Sebaliknya,
yang Beliau larang, tinggalkanlah.17 Kendati konteks dan sebab turunnya ayat ini
berkenaan dengan pembagian ghanîmah dan fay’, hukumnya berlaku umum dan
mencakup semua perkara yang dibawa Rasulullah saw., baik perintah maupun
larangan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana ditetapkan dalam kaidah: al-
‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzh wa lâ bi khushûsh as-sabab (Pengertian dalil ditetapkan
berdasarkan keumuman ungkapannya, bukan karena kekhususan sebabnya).18
Kata al-îtâ’ (memberi) dalam kalimat tersebut bermakna al-amr (perintah).
Alasannya, kebalikan dari kata al-îtâ’ adalah an-nahy, yakni kalimat wamâ nahâkum
‘anhu fa [i]ntahû (apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah). Lawan dari kata al-
nahy tidak lain adalah al-amr, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

« ُ‫ع ْنه‬ ْ ‫إِ َذا أ َ َم ْرت ُ ُك ْم ِبأ َ ْم ٍر فَأْت ُ ْوا ِم ْنهُ َماا‬
َ ‫ست َ َط ْعت ُ ْم َو َما نَ َه ْيت ُ ُك ْم‬
ْ َ‫»ف‬
ُ‫اجتَنِبُ ْوه‬
Jika aku memerintah kalian dengan suatu perintah, jalankanlah semampu
kalian. Jika aku melarang kalian dengan suatu larangan, jauhilah (HR al-Bukhari).19

Para Sahabat pun memahami keumuman ayat ini.

Allah Swt. berfirman: wa[i]ttaqû Allâh (Bertakwalah kalian kepada Allah). Kalimat ini
menegaskan perintah sebelumnya. Perintah ini wajib karena adanya sanksi atas
orang yang tidak bersedia mengerjakannya. Sanksi itu berupa azab yang pedih.
Allah Swt. berfirman: Inna Allâh syadîd al-‘iqâb (Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya).

Totalitas Islam
Kandungan ayat ini menjadi bukti kongkret totalitas Islam dalam mengatur seluruh
aspek kehidupan. Pengaturan mengenai harta fay’ dan ghanîmah jelas menunjukkan
bahwa Islam juga tidak hanya berkutat dalam urusan privat dan abai terhadap
urusan publik, sebagaimana yang dituduhkan kaum Liberal.

Kandungan ayat ini juga membantah klaim sebagian orang yang menolak
disyariatkannya Daulah Islam. Sebab, keberadaan harta fay’ dan ghanîmah terkait
erat dengan jihad dan institusi negara. Sulit dibayangkan umat Islam bisa
mendapatkan harta fay’ jika umat Islam tidak memiliki negara yang kuat sehingga
membuat kaum kafir menjadi gentar dan menyerahkan harta kekayaannya. Jika
umat Islam tidak memiliki negara, yang terjadi adalah sebaliknya. Alih-alih membuat
kaum kafir merasa gentar dan menyerahkan hartanya kepada Muslim, justru mereka
menjarah harta umat Islam tanpa ada perlawanan yang memadai, sebagaimana
yang terjadi saat ini.

Keberadaan harta ghanîmah juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas jihad fi
sabililah. Dalam pelaksanaan jihad, tentu dibutuhkan seorang pemimpin yang
memberikan komando kepada seluruh kaum Muslim, memobilisasi tentara dan
rakyat, mengatur strategi perang, dan aneka kebijakan dalam peperangan. Itu
semua menunjukkan keniscayaan adanya kepemimpinan dalam suatu negara.

Demikian juga distribusi harta tersebut. Setelah wafatnya Rasulullah saw, wewenang
dan otoritas distribusi harta fay’ dan ghanîmah ada di tangan Imam atau Khalifah.
Dialah yang diserahi tugas oleh syariah untuk mengelola dan mendistribuskan harta
itu demi kemaslahatan kaum Muslim. Ketentuan itu juga menunjukkan wajibnya
keberadaan Khalifah. Realitas itu jelas menggugurkan klaim sebagian orang yang
mengingkari wajibnya Khilafah.
Ayat ini juga memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan. Kekayaan yang
diciptakan Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh hanya dinikmati
segelintir orang saja. Lagi-lagi, mekanisme ini bisa diwujudkan jika ada institusi
negara yang berwenang atasnya.

Ayat ini juga menolak penerapan Islam yang hanya nilai-nilainya saja, sementara
ketentuan hukumnya bisa mengadopsi dari mana pun. Ayat ini menegaskan: Wamâ
âtâkum al-Rasûl fakhudzûhu wamâ nahâkum ‘anhu fa [i]ntahû (Apa saja yang Rasul
berikan kepada kalian, terimalah; apa saja yang dia larang, tinggalkanlah). Itu
artinya, seluruh ketentuan syariah harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan.
Tidak boleh dibedakan hukum ibadah dengan mu’âmalât atau uqûbât (sanksi-sanksi
hukum). Pasalnya, ayat ini bersifat umum; meliputi semua perkara yang ditetapkan
syariah. Ketentuan ini wajib. Siapa pun yang menolaknya diancam dengan azab
yang pedih, sebagaimana firman-Nya: Wa[i]ttaqû Allâh. Inna Allâh syadîd al-
‘iqâb (Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya).

Anda mungkin juga menyukai