PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aspirin atau asam asetil salisilat (asetosal) adalah sejenis obat turunan dari salisilat yang
sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri
minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti-inflamasi (peradangan). Aspirin juga memiliki
efek anti koagulan dan dapat digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk
mencegah serangan jantung. Kepopuleran penggunaan aspirin sebagai obat dimulai pada
tahun 1918 ketika terjadi pandemik flu di berbagai wilayah dunia (Schror K. 2009).
Cara kerja aspirin dalam bentuk tablet mengandung asam asetil salisilat 0,5 g.
Dimaksudkan untuk mengatasi segala rasa sakit terutama sakit kepala/ pusing, sakit gigi, pegal linu
dan nyeri otot, pilek, influenza dan demam. Efek terapeutik aspirin, menghambat pengaruh dan
biosintesa dari zat-zat yang menimbulkan rasa nyeri, demam dan peradangan (prostaglandin,
kinin), daya kerja antipiretik dan analgetik pada aspirin berpengaruh langsung susunan saraf pusat.
Beberapa penelitian menyebutkan aspirin dapat digunakan untuk pencegahan kanker usus besar
(kolorektal), kanker payudara, kanker prostat, kanker paru, alzheimer dan penyakit lainnya (Dirjen
POM, 1995).
Selain mempunyai banyak manfaat, penggunaan aspirin juga dapat menimbulkan bahaya.
Penggunaan berulang dapat menyebabkan pendarahan gastrointestinal, indikasi tukak lambung
atau tukak peptik yang kadang – kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna
dan jika dikonsumsi dalam dosis tinggi (10 sampai 20 g) dapat mengakibatkan kematian
(Mutschler, 1999).
1.2 Tujuan Percobaan
a. Membuat aspirin dalam skala labor.
b. Mengamati dan mempelajari proses reaksi yang terjadi.
c. Menghitung persentase aspirin yang dihasilkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Reaksi Asetilasi
Reaksi asetilasi merupakan suatu reaksi memasukkan gugus acetyl atau -C-OO (dimana R
= alkil atau aril) kedalam suatu substrat yang sesuai. Aspirin disebut juga asam asetil salisilat atau
acetyl salicylic acid, dapat dibuat dengan cara asetilasi senyawa fenol (dalam bentuk asam salisilat)
menggunakan acetat anhidrat dengan bantuan sedikit katalis asam sulfat (Fessenden, 1991).
Aspirin juga disebut asam asetil salisilat atau Acetyl salicyl acid yang merupakan kristal
jarum berwarna bening yang dapat diperoleh dengan cara asetilasi senyawa phenol (dalam bentuk
asam salisilat) menggunakan acetate anhidrat dengan bantuan sedikit katalis asam sulfat pekat.
Pada pembuatan aspirin, asam salisilat berfungsi sebagai alkohol dan reaksinya berlangsung pada
gugus hidroksi. Gugus hidroksi dari asam salisilat akan bereaksi dengan asetil dari asetat anhidrat.
Reaksi yang terjadi adalah reaksi esterifikasi (Fessenden,1991).
2.2.1 Sifat Fisika dan Kimia Aspirin
Titik leleh aspirin diatas 70oC. Aspirin tidak larut dalam air. Hal ini disebabkan karena
asam salisilat sebagai bahan baku aspirin merupakan senyawa turunan asam benzoat yang
merupakan asam lemah yang memiliki sifat sukar larut dalam air. Oleh karena itu, dalam
pembuatan aspirin dilakukan penambahan air. Hal ini bertujuan agar terjadi endapan aspirin. Reaksi
ini juga di lakukan pada air yang dipanaskan agar mempercepat tercapainya energi aktivasi. Selain
pemanasan juga dilakukan pendinginan yang dimaksudkan untuk membentuk kristal, karena ketika
suhu dingin molekul-molekul aspirin dalam larutan akan bergerak melambat dan pada akhirnya
terkumpul membentuk endapan melalui proses nukleasi (induced nucleation) (Ganiswara, 1995).
Sifat-sifat kimia asam asetat anhidrat yaitu sebagai berikut (Kurniawan, 2004):
1. Asam asetat anhidrat mudah menguap.
2. Mudah terbakar, disimpan di lemari asam.
3. Asetat anhidrat merupakan suatu senyawa yang memiliki kegunaan yang sangat bervariasi.
4. Asetat anhidrat digunakan dalam pembuatan cellulose asetate, serat asetat, obat-obatan,
aspirin, dan berperan sebagai pelarut dalam penyiapan senyawa organik.
2.3.4 Etanol
Etanol adalah alkohol 2-karbon dengan rumus molekul CH3CH2OH. Rumus molekul dari
etanol itu sendiri adalah CH3CH2OH dengan rumus empirisnya C2H6O. Etanol, disebut juga etil
alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol saja adalah sejenis cairan yang mudah
menguap, mudah terbakar, tak berwarna dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada
minuman beralkohol dan termometer modern. Ada 2 jenis etanol, etanol sintetik sering disebut
metanol atau metil alkohol atau alkohol kayu, terbuat dari etilen, salah satu derivat minyak bumi
atau batu bara. Bahan ini diperoleh dari sintesis kimia yang disebut hidrasi, sedangkan bioetanol
direkayasa dari biomassa (tanaman) melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi) (Cahyono,
1991).
2.3.4.1 Sifat Fisika Etanol
Tabel 2.5 Sifat-Sifat Fisika Etanol
Besi (III) klorida, biasa disebut ferri klorida, merupakan senyawa kimia dengan skala
industri, dengan rumus FeCl3. Warna besi (III) klorida kristal tergantung pada sudut pandang, jika
terkena refleksi cahaya, kristal berwarna hijau gelap, tapi dengan transimsi kristal berwarna ungu-
merah. Besi (III) klorida anhidrat adalah asam lewis yang cukup kuat, dan digunakan sebagai
katalis dalam sintesis senyawa organik. Struktur Besi (III) klorida seperti struktur BiI3, yaitu
octahedral dengan pusat Fe (III) interkoneksi oleh dua koordinat ligan klorida.Besi (III) klorida
memiliki titik lebur yang relatif rendah dan mendidih pada sekitar 315 °C. Pada suhu yang lebih
tinggi uap terdiri dari Fe2Cl6 yang semakin berdisosiasi menjadi monomer FeCl3 (D3h Poin group
simetri molekul), berkompetisi dengan dekomposisi reversibel untuk membentuk Besi (III) klorida
dan gas klor (Schror, 2009).
Aspirin dibuat dengan mereaksikan asam salisilat dengan anhidrida asam asetat
menggunakan katalis H2SO4 sebagai zat penghidrasi. Asam salisilat adalah asam bifungsional yang
mengandung dua gugus –OH dan –COOH. Karenanya asam salisilat ini dapat mengalami dua jenis
reaksi yang berbeda yaitu reaksi asam dan basa. Reaksi dengan anhidrida asam asetat akan
menghasilkan aspirin. Sedangkan reaksi dengan methanol akan menghasilkan metil salisilat.
Reaksi yang terjadi adalah reaksi esterifikasi. Titik leleh aspirin di atas 70 oC (Fessenden, 1991).
Aspirin tidak larut dalam air. Hal ini disebabkan karena asam salisilat sebagai bahan baku
aspirin, yang merupakan senyawa turunan Asam Benzoat yang merupakan asam lemah yang
memiliki sifat sukar larut dalam air. Oleh karena itu, dalam pembuatan Aspirin dilakukan
penambahan air. Hal ini bertujuan agar terjadi endapan Aspirin (Schror, 2009).
2.4.2 Rekristalisasi
Untuk mendapatkan aspirin yang murni, maka harus dilakukan rekristalisasi. Dimana,
rekristalisasi merupakan cara yang paling efektif untuk memurnikan zat-zat organik dalam bentuk
padat. Oleh karena itu, teknik ini sering digunakan untuk pemurnian senyawa hasil sintesis atau
hasil isolasi dari bahan alami, sebelum dianalisis lebih lanjut. Sebagai metoda pemurnian padatan,
rekristalisasi adalah metoda yang paling penting untuk pemurnian sebab kemudahannya dan karena
keefektifannya (Fessenden, 1991).
Metode ini sederhana, material padatan ini terlarut dalam pelarut yang cocok pada suhu
tinggi (pada atau dekat titik didih pelarutnya) untuk mendapatkan jumlah larutan jenuh atau dekat
jenuh. Ketika larutan panas perlahan didinginkan, Kristal akan mengendap karena kelarutan
padatan biasanya menurun bila suhu diturunkan. Diharapkan bahwa pengotor tidak akan
pengkristal karena konsentrasinya dalam larutan tidak terlalu tinggi untuk mencapai jenuh
(Fessenden, 1991).
Walaupun rekristalisasi adalah metoda yang sangat sederhana, dalam prakteknya bukan
berarti mudah dilakukan. Adapun saran – saran yang dibutuhkan untuk melakukan metoda
kristalisasi adalah sebagai berikut :
1. Kelarutan material yang akan dimurnikan harus memiliki ketergantungan yang besar pada
suhu. Misalnya, ketergantungan pada suhu NaCl hampir dapat diabaikan. Jadi pemurnian
NaCl dengan rekristalisasi tidak dapat dilakukan. Kristal tidak harus mengendap dari larutan
jenuh dengan pendinginan karena mungkin terbentuk super jenuh. Dalam kasus semacam ini
penambahan Kristal bibit, mungkin akan efektif (George, 1997).
2. Untuk mencegah reaksi kimia antara pelarut dan zat terlarut, penggunaan pelarut non polar
lebih disarankan. Namun, pelarut non polar cenderung merupakan pelarut yang buruk untuk
senyawa polar (George, 1997).
3. Umumnya, pelarut dengan titik didih rendah lebih diinginkan. Namun sekali lagi pelarut
dengan titik didih lebih rendah biasanya non polar. Jadi, pemilihan pelarut biasanya bukan
masalah sederhana (George, 1997).
Adapun tahap – tahap yang dilakukan pada proses rekristalisasi pada umumnya, yaitu :
1. Memilih pelarut yang cocok
Pelarut yang umum digunakan jika dirutkan sesuai dengan kenaikan kepolarannya adalah
petroleum eter (n-heksana), toluena, kloroform, aseton, etil asetat, etanol, metanol, dan air.
Pelarut yang cocok untuk merekristalisasi suatu sampel zat tertentu adalah pelarut yang dapat
melarutkan secara baik zat tersebut dalam keadaan panas, tetapi sedikit melarutkan dalam
keadaan dingin (George, 1997).
2. Melarutkan senyawa ke dalam pelarut panas sedikit mungkin
Zat yang akan dilarutkan hendaknya dilarutkan dalam pelarut panas dengan volum sedikit
mungkin, sehingga diperkirakan tepat sekitar titik jenuhnya. Jika terlalu encer, uapkan
pelarutnya sehingga tepat jenuh. Apabila digunakan kombinasi dua pelarut, mula – mula zat
itu dilarutkan dalam pelarut yang baik dalam keadaan panas sampai larut, kemudian
ditambahkan pelarut yang kurang baik tetes demi tetes sampai timbul kekeruhan. Tambahkan
beberapa tetes pelarut yang baik agar kekeruhannya hilang kemudian disaring (George,
1997).
3. Penyaringan
Larutan disaring dalam keadaan panas untuk menghilangkan pengotor yang tidak larut.
Penyaringan larutan dalam keadaan panas dimaksudkan untuk memisahkan zat – zat
pengotor yang tidak larut atau tersuspensi dalam larutan, seperti debu, pasir, dan lainnya.
Agar penyaringan berjalan cepat biasanya digunakan corong Buchner. Jika larutannya
mengandung zat warna pengotor, maka sebelum disaring ditambahkan sedikit ( ± 2 % berat )
arang aktif untuk mengadsorbsi zat warna tersebut. Penambahan arang aktif tidak boleh
terlalu banyak karena dapat mengadsorbsi senyawa yang dimurnikan (George, 1997).
4. Pendinginan filtrat
Filtrat didinginkan pada suhu kamar sampai terbentuk kristal. Sering pendinginan ini dilakukan
dalam air es. Penambahan umpan (feed) yang berupa Kristal murni ke dalam larutan atau
penggoresan dinding wadah dengan batang pengaduk dapat mempercepat rekristalisasi
(George, 1997).
5. Penyaringan dan pendinginan kristal
Apabila proses kristalisasi telah berlangsung sempurna, Kristal yang diperoleh perlu
disaring dengan cepat menggunakan corong Buchner. Kemudian Kristal yang diperoleh
dikeringkan dalam eksikator. Aspirin (asetosal) adalah suatu ester dari asam asetat dengan
asam salisilat. Oleh karena itu senyawa ini dapat dibuat dengan mereaksikan asam salisilat
dengan anhidrida asam asetat menggunakan asam sulfat pekat sebagai katalisator (George,
1997).
Penggunaan katalis homogen mempunyai kelemahan, yaitu: bersifat korosif, sulit dipisahkan
dari produk, dan katalis tidak dapat digunakan kembali. Saat ini banyak industri menggunakan
katalis heterogen yang mempunyai banyak keuntungan dan sifatnya yang ramah lingkungan, yaitu
tidak bersifat korosif, mudah dipisahkan dari produk dengan cara filtrasi, serta dapat digunakan
berulangkali dalam jangka waktu yang lama. Selain itu katalis heterogen meningkatkan kemurnian
hasil karena reaksi samping dapat dieliminasi. Contoh-contoh dari katalis heterogen adalah zeolit,
oksida logam, dan resin ion exchange. Katalis basa seperti KOH dan NaOH lebih efisien dibanding
dengan katalis asam pada reaksi transesterifikasi. Transmetilasi terjadi kira-kira 4000 kali lebih
cepat dengan adanya katalis basa dibanding katalis asam dengan jumlah yang sama. Untuk alasan
ini dan dikarenakan katalis basa kurang korosif terhadap peralatan industri dibanding katalis asam,
maka sebagian besar transesterifikasi untuk tujuan komersial dijalankan dengan katalis basa.
Konsentrasi katalis basa divariasikan antara 0,5-1% dari massa minyak untuk menghasilkan 94-
99% konversi minyak nabati menjadi ester. Lebih lanjut, peningkatan konsentrasi katalis tidak
meningkatkan konversi dan sebaliknya menambah biaya karena perlunya pemisahan katalis dari
produk menggunakan katalis KOH 1% dari massa minyak (Kirk & Othmer, 1967).
d. Pengadukan
Pada reaksi, reaktan-reaktan awalnya membentuk sistem cairan dua fasa. Reaksi
dikendalikan oleh difusi diantara fase-fase yang berlangsung lambat. Seiring dengan terbentuknya
produk, ia bertindak sebagai pelarut tunggal yang dipakai bersama oleh reaktan-reaktan dan sistem
dengan fase tunggal pun terbentuk. Dampak pengadukan ini sangat signifikan selama reaksi
sebagaimana sistem tunggal terbentuk, maka pengadukan menjadi tidak lagi mempunyai pengaruh
yang signifikan. Pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan campuran reaksi yang
bagus. Pengadukan yang tepat akan mengurangi hambatan antar massa. Untuk reaksi heterogen,
ini akan menyebabkan lebih banyak reaktan mencapai tahap reaksi (Kirk & Othmer, 1967).
e. Perbandingan Reaktan
Variabel penting lain yang mempengaruhi hasil reaksi adalah rasio molar antara reaktan. Untuk
mendorong reaksi ke arah kanan, perlu untuk menggunakan reaktan berlebihan atau dengan
memindahkan salah satu produk dari campuran reaksi. Lebih banyak reaktan yang digunakan, maka
semakin memungkinkan reaktan untuk bereaksi lebih cepat (Kirk& Othmer, 1978).
Aspirin bersifat analgesik yang efektif sebagai penghilang rasa sakit. Selain itu, aspirin juga
merupakan zat anti-inflammatory, untuk mengurangi sakit pada cedera ringan seperti bengkak dan
luka yang memerah. Aspirin juga merupakan zat antipiretik yang berfungsi untuk mengurangi
demam. Tiap tahunnya, lebih dari 40 juta pound aspirin diproduksi di Amerika Serikat, sehingga
rata-rata penggunaan aspirin mencapai 300 tablet untuk setiap pria, wanita serta anak-anak setiap
tahunnya. Penggunaan aspirin secara berulang-ulang dapat mengakibatkan pendarahan pada
lambung dan pada dosis yang cukup besar dapat mengakibatkan reaksi seperti mual atau kembung,
diare, pusing dan bahkan berhalusinasi. Meskipun cara kerja yang tepat dari asam salisilat tidak
diketahui dengan baik, efek-efek berguna dari ester-ester dari asam ini telah diketahui sejak dahulu
kala, daun-daun yang mengandung jumlah yang cukup dari senyawa-senyawa penawar rasa sakit
dan demam ini telah dikelola oleh dokter dokter zaman dahulu kala. Selain itu aspirin juga
digunakan untuk masker wajah anti penuaan dini, arena aspirin mengandung alat eksfuliator,
pengelupasan kulit (Mutschler, 1999).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
1. Penangas air
2. Labu didih dasar bulat
3. Pompa vakum
4. Corong buchner
5. Erlemenyer
6. Kertas saring
7. Timbangan Analitik
8. Gelas ukur
9. Pipet tetes
10. Corong
11. Termometer
12. Statip dan klem
13. Lemari asam
14. Batang pengaduk
1. Akuades
2. Asam salisilat
3. Asetat anhidrat
4. Asam sulfat 30%
5. Alkohol
6. Ferri Klorida
7. Vaseline
3.3 Prosedur Praktikum
3.3.1 Pembuatan Aspirin
1. Kedalam labu didih dasar bulat, dimasukkan asam salsilat 2,5 gr, asam asetat anhidrat
7 ml, dan 4 tetes asam sulfat pekat.
2. Labu kemudian digoyang-goyangkan agar zat tercampur baik dilemari asam.
3. Dipanaskan diatas penangas air pada suhu 50oC-70oC sambil diaduk selama 15 menit
4. Campuran dibiarkan dingin pada suhu kamar sambil digoyang.
5. 40 ml akuades ditambahkan dan diaduk dengan rata. Dinginkan selama 90 menit menggunakan es
batu.
6. Endapan disaring dengan menggunakan pompa vakum.
7. Kristal yang didapat dipanaskan dengan menggunakan oven kemudian ditimbang.
Keterangan :
1. Selang
2. Pompa vakuum
3. Erlenmeyer vakuum
4. Tempat colokan
5. Corong buchner
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
No Perlakuan Pengamatan
1 2,5 gram asam salsilat + 7 mL Larutan tidak berwarna (bening)
asam asetat anhidrat
2 2,5 gram Asam salsilat + 7 mL Larutan tidak berwarna (bening)
asam asetat anhidrat + 4 tetes
H2SO4 pekat
3 Di panaskan pada suhu 50-70oCLarutan berubah warna agak
15 menit kekuningan
4 Larutan didinginkan 1,5 jam Terbentuk endapan berwarna
putih
5 Saring dengan pompa vakum Terdapat kristal-kristal berwarna
putih
6 Menimbang aspirin setelah di Aspirin yang terbentuk sebanyak
oven selama 5 menit 3,35 gram berbentuk kristal
berwarna putih
b. Rekristalisasi aspirin
Tabel 4.2 Data Pengamatan Praktikum
No Perlakuan Pengamatan
1 Aspirin + 8 mL alcohol hangat + Larutan tidak berwarna (bening)
40 mL aquades
2 Larutan dipanaskan selama 2 Larutan tidak berwarna (bening)
menit dan ada endapan putih
3 Larutan didinginkan dengan batu Terdapat Kristal berwarna putih
es selama 3 jam
4 Aspirin ditimbang Terdapat kristal putih dengan
erat 9,11 gram
5 Aspirin setelah dioven selama 5 Berat aspirin 1,176 gram
menit dan 8 kali, lalu ditimbang
c. Uji kemurnian aspirin
Tabel 4.3 Data Pengamatan Praktikum
No Perlakuan Pengamatan
1 Sedikit kristal aspirin + alkohol Larutan berwarna kuning
+ beberapa tetes FeCl3
2 Sedikit kristal asam salisilat + Larutan berwarna ungu
alkohol + beberapa tetes FeCl3
4.3 Pembahasan
Ester dapat terbentuk salah satunya dengan cara mereaksikan alkohol dengan anhidrida
asam. Dalam hal ini asam salisilat berperan sebagai alkohol karena mempunyai gugus –OH,
sedangkan anhidrida asam asetat tentu saja sebagai anhidrida asam. Ester yang terbentuk
adalah asam asetil salisilat (aspirin). Gugus asetil (CH3CO-) berasal dari anhidrida asam
asetat, sedangkan gugus R-nya berasal dari asam salisilat (pada gambar di atas gugus R ada
di dalam kotak). Hasil samping reaksi ini adalah asam asetat. Langkah selanjutnya adalah
penambahan asam sulfat pekat yang berfungsi sebagai zat penghidrasi. Telah disebutkan di
atas bahwa hasil samping dari reaksi asam salisilat dan anhidrida asam asetat adalah asam
asetat. Hasil samping ini akan terhidrasi membentuk anhidrida asam asetat. Anhidrida asam
asetat akan kembali bereaksi dengan asam salisilat membentuk aspirin dan tentu saja dengan
hasil samping berupa asam asetat. Jadi, dapat dikatakan reaksi akan berhenti setelah asam
salisilat habis karena adanya asam sulfat pekat ini.
Tetapi harus diperhatikan bahwa sebelum dipanaskan, reaksi tidak benar-benar terjadi.
Reaksi baru akan berlangsung dengan baik pada suhu 50-70°C. Pada suhu tersebut reaksi
akan berlangsung baik, sehingga larutan tercampur sempurna. Juga pada percobaan ini baru
terbentuk endapan putih (aspirin) setelah dipanaskan. Kemudian endapan tersebut dilarutkan
dalam air dan disaring untuk memisahkan aspirin dari pengotornya dengan menggunakan
pompa vakum. Tetapi tentu saja dengan penyaringan ini aspirin yang dihasilkan belum benar-
benar murni. Pada pembuatan aspirin hal pertama yang dilakukan adalah menimbang asam
salisilat sebanyak 2,5 gram, dimasukkan ke dalam labu didih dasar bulat, ditambahkan
dengan 7 ml asam asetat anhidrat. Kemudian ditambah 4 tetes H2SO4 pekat, larutan bening.
Dalam proses pembuatan aspirin, pencampuran seluruh zat dilakukan di dalam lemari asam
karena reaksi bersifat eksoterm.
Penambahan asam sulfat pekat berfungsi sebagai katalis dan zat penghidrasi. Hasil
samping dari reaksi antara asam salisilat dengan anhidrida asam asetat adalah asam asetat.
Hasil samping ini akan terhidrasi dan membentuk asam asetatanhidrida. Lalu, asam asetat
anhidrida akan kembali bereaksi dengan asam salisilat membentuk aspirin dan tentu saja
dengan hasil samping berupa asam asetat. Jadi, dapat dikatakan bahwa reaksi akan berhenti
setelah asam salisilat habis karena adanya asam sulfat pekat ini. Warna dari campuran tidak
berubah, tetap bening. Selanjutnya campuran larutan dipanaskan di atas penangas air selama
15 menit pada suhu 50-70oC di mana pada saat ini reaksi asetilasi berlangsung. Suhu dijaga
pada 50-70oC karena apabila suhu di bawah 50oC maka reaksi pembentukan aspirin lambat,
sedangkan jika di atas 70oC maka aspirin akan terurai dan aspirin tidak akan terbentuk.
Setelah didinginkan, ditambahkan aquadest sebanyak 40 ml sambil diaduk dan didinginkan
dengan es batu selama 1,5 jam. Pada saat proses pendinginan ini, kristal aspirin terbentuk.
Larutan yang diperoleh tetap bening, serta terdapat endapan aspirin yang berwarna putih.
Endapan disaring dengan menggunakan pompa vakum untuk memisahkan aspirin dari
pengotornya. Penyaringan aspirin ini dilakukan karena aspirin yang dihasilkan belum benar-
benar murni.
Kemudian masuk kedalam tahap rekistralisasi yang bertujuan untuk menghasilkan kristal
aspirin yang lebih murni. Kristal yang terbentuk dilarutkan dalam 8 ml alkohol hangat lalu
ditambahkan 40 ml air hangat. Alkohol disini berfungsi sebagai pelarut dan air sebagai pembentuk
kristalnya. Kemudian larutan dipanaskan di dalam penangas air, dan larutan jernih yang
didinginkan pada temperatur kamar membentuk kristal. Kristal disaring dengan corong Buchner
yang kertas saringnya ditimbang terlebih dahulu, sehingga didapatkan pisahan antara kristal asam
asetil salisilat dengan filtratnya. Endapan tersebut disaring dalam keadaan panas, ini bertujuan
untuk memisahkan zat–zat pengotor yang tidak larut dalam larutan. Jika tidak disaring dengan cepat
maka akan semakin banyak lagi asam salisilat yang mengendap sehingga aspirin yang terbentuk
akan sedikit. Setelah kering ditimbang berat aspirin yang terbentuk, dan berat aspirin yang
terbentuk adalah 1,176 gram.
Lalu aspirin yang telah didapat tadi diambil sedikit untuk diuji dengan penambahan etanol
dan beberapa tetes FeCl3. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut adalah larutan menjadi
kuning, ini berarti aspirin yang didapat telah murni karena larutan tidak berubah menjadi warna
ungu. Apabila larutan berubah menjadi ungu berarti aspirin yang diperoleh belum murni, karena
warna ungu pada larutan disebabkan oleh FeCl3 yang bereaksi dengan asam salisilat. Asam salisilat
memiliki 2 gugus fungsi, yaitu alhokol dan asam karboksilat. FeCl3 ini nantinya akan bereaksi dan
berikatan dengan gugus fungsi alkohol pada asam salisilat, hal inilah yang menyebabkan warna
ungu pada larutan aspirin (FeCl3 berikatan dengan gugus fungsi alkohol pada asam salisilat). Jika
aspirin yang didapat murni maka didalam produk tidak ada asam salisilatnya dan sebaliknya jika
aspirin yang didapat tidak murni, diduga masih mengandung asam salisilat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Aspirin dalam skala labor dapat dibuat dengan mencampurkan asam salisilat, asam asetat glasial
dan asam sulfat.
2. Aspirin dapat dibuat dengan cara asetilasi senyawa phenol (dalam bentuk asam salisilat)
menggunakan asam asetat glasial dengan bantuan sedikit asam sulfat dan hasil samping berupa air.
Reaksi yang terjadi adalah reaksi esterifikasi karena gugus hidroksi dari asam salisilat akan
bereaksi dengan asetil dari asam asetat glasial.
3. Aspirin secara percobaan didapat sebanyak 1,176 gram sedangkan secara stoikiometri 2,835 gram
dan rendemen yang diperoleh yaitu 31,10 %.
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Austin, GT. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries, 5th ed. McGraw- Hill Book Co: Singapura.
Cahyono, B. 1991. Segi Praktis dan Metode Pemisahan Senyawa Organik. Semarang: Kimia UNDIP.
Celanase, 2010. Production description acetic anhydride. http://www.celanase.com. Diakses 11 Mei
2016.
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Depkes RI: Jakarta
Etna, N. 2010. Sifat Asam Sulfat. http://etnarufiati.guru-indonesia.net/artikel_detail-12252.html.
Diakses 11 mei 2016.
Fessenden, Ralph J. dan Fessenden, Joan S. 1991. “Kimia Organik”, Erlangga, Jakarta.
Ganiswara. 1995. Farmaklogi dan Terapi edisi ke IV. Ui press : Jakarta
George, Hammond, 1997, “Kimia Organik”, ITB, Bandung
Hendriayana, Ari. 2003. Pembuatan Aspirin. http://Hendrianaari /2003/05/pembuatan-aspirin. Diakses
11 mei 2016.
Kirk, RE, dan Othmer, DF. 1967. Encyclopedia of Chemical Engineering Technology. Tjay New York :
John Wiley and Sons Inc.
Kurniawan. 2004. Perancangan awal pabrik acetic anhydride. http://www.undip.co.id. Diakses 11 mei
2016.
Schror K. 2009. Acetylsalicylic Acid. Darmstadt, Wiley-Blackwell, ISBN 978-3-527-32109-4.
Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat. ITB : Bandung