Anda di halaman 1dari 4

PERBANDINGAN DIVESTASI KALTIM PRIMA COAL DENGAN

DIVESTASI NEWMONT NUSA TENGGARA


Oleh:

FACHRUL R.Y.G

(073.14.035)
Diestasi Newmont
Jakarta, CNN Indonesia -- PT Medco Energy Internasional (PT Medco) pada medio 2016
melakukan akuisisi saham PT Amman Mineral Internasional (AMI) yang mengendalikan 82,2
persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) senilai US$2,6 miliar atau setara sekitar
Rp.33,8 triliun. Aksi korporasi ini merupakan yang terbesar di sektor pengusahaan
pertambangan pada tahun ini.

Aksi korporasi PT Medco ini dapat menjadi persoalan dalam aspek hukum pertambangan
mineral dan batubara dan bisa menjadi akuisisi "terlarang" dalam rezim hukum pertambangan
mineral dan batubara.

Persoalan hukum pertama, aksi korporasi tersebut melanggar ketentuan Pasal 112 Undang-
Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, yang mengatur bahwa
setelah lima tahun berproduksi, badan usaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin
usaha pertambangan khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan
divestasi saham atau penjualan saham asing pada pemerintah, Pemda, BUMN, BUMD, atau
badan usaha swasta nasional.

Dengan demikian berdasarkan ketentuan UU Minerba ini PT NNT wajib melakukan penjualan
sahamnya kepada peserta Indonesia secara berurutan yaitu kepada pemerintah, Pemda, BUMN,
BUMD, atau badan usaha swasta nasional.

Faktanya, saham tersebut dibeli langsung oleh badan usaha swasta nasional tanpa terlebih
dahulu ditawarkan secara berjenjang, sebagaimana diatur dalam UU Minerba dan peraturan
pelaksanaannya.

Persoalan hukum kedua, kewajiban divestasi saham PT NNT tidak hanya tertuang dalam UU
Minerba tetapi juga disepakati dalam KK antara Pemerintah dengan PT NNT.

Dalam Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4) KK PT NNT dikenai kewajiban divestasi saham kepada
peserta Indonesia sebesar 51 persen pada tahun ke-10 sejak PT NNT berproduksi (tahun 2010).
Kewajiban ini bahkan dipertegas oleh putusan sidang arbitrase penyelesaian sengketa antara
Pemerintah Indonesia dengan PT NNT atas pelanggaran PT NNT terhadap kewajiban divestasi
saham.

Sidang arbitrase dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 8 sampai dengan 13 Desember 2008 dan
dilaksanakan dibawah prosedur arbitrase United Nation Commission on International Trade Law
(UNCITRAL) dan pada tanggal 31 Maret 2009 Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) mengeluarkan
putusan akhir, yang pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia dan
menyatakan putusan:

(1) memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (3) Kontrak Karya
mengenai kewajiban divestasi saham; (2) menyatakan PT NNT telah melakukan default
(pelanggaran perjanjian); dan (3) memerintahkan PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen
saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3 persen dan tahun 2007 sebesar 7
persen kepada Pemerintah Daerah. Lalu untuk tahun 2008 NNT wajib melepas 7 persen
sahamnya kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Persoalan hukum ketiga, secara filosofis pengenaan kewajiban divestasi saham bagi
perusahaan asing di Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa dengan kepemilikan saham
Pemerintah akan terjadi peralihan manfaat atau keuntungan dan peralihan kendali atas sumber
daya alam mineral Indonesia dari perusahaan asing ke Pemerintah Indonesia.

Berdasarkan tiga pertimbangan di atas, secara hukum PT NNT hanya dapat menjual sahamnya
kepada Pemerintah. Apabila Pemerintah tidak berminat, jatah penawaran selanjutnya harus ke
pemda, dan jika pemda pun tidak berminat maka harus ditawarkan ke BUMN, selanjutnya
BUMD, terakhir badan usaha swasta nasional. Faktanya, PT NNT langsung menjual sahamnnya
ke PT Medco.

Menyedihkan lagi, pembiayaan yang didapat PT Medco berasal antara lain dari pembiayaan tiga
BUMN. Padahal bila ingin berdiri dalam kepentingan nasional, aksi korporasi pembelian saham
mayoritas PT NNT dapat dilakukan langsung oleh BUMN tanpa melalui PT Medco. Toh, PT
Medco pun mengakuisisi PT NNT melalui pembiayaan dari BUMN. Dan dengan kepemilikan oleh
BUMN, misalnya PT ANTAM, PT Bukit Asam, atau PT Nikel, maka unsur penguasaan dan
pengusahaan oleh negara dapat menjamin terselenggaranya sebesar-besar kemakmuran rakyat
sesuai Pasal 33 ayat (3).
DIVESTASI KPC
Salah satu divestasi yang dilakukan pemerintah terhadap Perusahaan peghasil batubara
terbesar yang ada di Negara ini yaitu dengan PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Perusahaan
tambang ini berdiri pada tahun 1982, PT. Kaltim Prima Coal yang berlokasi di Sangatta, tepi
timur Kalimantan masuk ke dalam perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) yang akan berakhir pada tahun 2021. Perjanjian ini meliputi eksplorasi, produksi, dan
pemasaran batubara dari area perjanjian di Kalimantan Timur. PT. KPC adalah salah satu
perusahaan pertambangan batubara yang besar di dunia, konsensi lahannya mencakup 90.000
hektar. Divestasi Pemerintah Indonesia dalam hal ini Pemerintah Daerah kabupaten Kutai Timur
membeli saham 51% PT. KPC pada tahun 2003. Divestasi tersebut berupa hak pembelian dari
PT. KPC kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, yang mana hal tersebut telah disepakati
oleh Keputusan Sidang Kabinet Terbatas DPRD Provinsi Kalimantan Timur dan DPRD
Kabupaten Kutai Timur pada tanggal 31 Juli 2002. Berdasarkan Kesepakatan tersebut, hak
pembelian saham 51% tersebut dicalonkan jatah sebanyak 20% kepada Pemerintah Pusat yaitu
PT. Tambang Batubara Bukit Asam, 31% saham dibagi 12,4% untuk Pemerintah Provinsi
Kalimatan Timur melalui Perusda Melati Bhakti Satya (MBS), dan 18,63% untuk Pemerintah
Kabupaten Kutai Timur melalui Perusda Pertambangan dan Energi Kutim (PEKT).[6]
Pada perjalanannya pada tahun 2003 saham 51% tersebut dibagi sesuai dengan
peruntukannya, dan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dalam hal ini Bupati yang menjabat yaitu
Mahyudin, menjual saham 18,6% kepada PT. Bumi Resources pada tanggal 13 Oktober 2003
yang mana seperti diketahui bahwa PT. Bumi Resources telah menyatukan diri dengan BP
International Limited dan Pacific Resources Investment Limited yang mana membeli saham-
saham pada Sangatta Holding Limited dan Kalimantan Coal Limited yang notabene adalah
pemegang saham 100% PT.KPC. Hal tersebut berlangsung pada tanggal 16 Juni 2003.
Pada perkembangannya PT. Bumi Resources setuju menyerahkan 5% saham yang ada kepada
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Saham 5% tersebut dijual kembali kepada PT. Kutai Timur
Energi yang dibentuk oleh Mahyudin, Bupati Kutai Timur yang menjabat pada saat itu. PT. Kutai
Timur Energi merupakan anak perusahaan dari Perusda PT. Kutai Timur Investama, yang mana
99% saham PT. KTE adalah milik PT. KTI.
Dalam hal ini, advance deviden 5 % saham PT. KPC yang ada di PT. KTE yang patut
dipertanyakan. Saham 5% yang wajibnya dimiliki oleh Pemerintah Kutai Timur dalam hal ini bisa
berbentuk badan usaha daerah, tetapi bukan badan usaha swasta. Seperti yang diketahui
bahwa PT, KTE walaupun anak perusahaan dari Perusda PT. KTI tetapi bentuknya adalah
swasta murni. PT. KTE dalam hal advance deviden untuk Pemerintah Kabupaten Kutai Timur
hanya diberikan sebanyak 3x, dan itu dilakukan secara bertahap. Oleh karena dianggap advance
deviden tersebut lebih menguntungkan apabila digunakan untuk pembangunan daerah Kutai
Timur maka timbullah aspirasi dari DPRD Kutai Timur untuk menjualnya.
Penjualan tersebut dibeli oleh PT. Kutai Timur Sejahtera yang mana meruakan group company
dari PT. Bumi Resources. Hasil penjualan sebesar Rp. US$ 63 juta atau Rp. 576 Miliar diminta
oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk rencana investasi, tetapi tidak pernah di
presentasikan PT. KTE akan menginvestasikan hasil penjualan tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut, terdakwa kasus korupsi divestasi saham PT. KPC tersebut yaitu
Apidian dan Anung diberi ganjaran hukuman pidana yang berbeda-beda. Apidian pada tingkat
pengadilan pertama, dibebaskan karena tidak terbukti bersalah, sedangkan Anung diberi
ganjaran pidana 5 tahun dengan denda 300 Juta Subsidair 3 bulan.
Tersangka Apidian naik kasasi dan putusan kasasi menjatuhkan pidana 12 tahun dengan denda
1 Miliar Subsidair 8 bulan. Berbeda dengan Anung yang naik banding pada Pengadilan Tinggi
Kalimantan Timur di Samarinda dan dijatuhi hukuman lebih berat dengan pidana 6 tahun denda
300 juta subsidair 6 bulan. Anung pun kasasi pada tingkat Mahkamah Agung dan dijatuhi
hukuman penjara 15 tahun denda 1 Miliar dan subsidair 8 bulan.
Dan beberapa nama yang ada di kasus sampai saat ini, ada yang masih di periksa dan masih
diselidiki, dan Bupati terpilih pada saat itu (di Kutai Timur) tidak dilanjutkan pemeriksaannya oleh
Kejaksaan Agung RI, kasus korupsi divestasi PT. Kaltim prima Coal yang melibatkan Awang
Faroek, Gubernur terpilih Provinsi Kalimantan Timur saat ini, telah di SP3 kan.

HASIL PERBANDINGAN
Setelah saya membaca berbagai sumber tentang divestasi KPC dan divestasi Newmont
terdapat beberapa kesamaan kasus yang terjadi, yaitu
ketika KPC danNewmont endak melakukan divestasi pihaknya tidak melakukannya
sesuai dengan aturan yang berlaku pada Pasal 112 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Minerba, yang mengatur bahwa setelah lima tahun berproduksi,
badan usaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus
(IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham atau penjualan
saham asing pada pemerintah, Pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional.

Sebaliknya pihak KPC dan Newmont langsung menjual saham mereka kepada badan
usaha swasta tanpa menawarkannya terlebih dahulu kepada pemerintah,PEMDA, dan
BUMD. Sehingga dapat diasumsikan bahwa dengan melakukan hal tersebut, pihak mereka
berusaha memperkaya diri mereka sendiri, dan harus dibawah ke ranah hukum,
dikarenakan melanggar aturan yang berlaku.
Selain hal tersebut bahwa ada satu perusahaan yang selalu terlibat dalam kedua
kasus tersebut, yaitu pihak PT BUMI RESOURCE dan menurut saya ada suatu skenario yang
diatur oleh pihak tersebut sehingga pihak tersebut mendapatkan keuntungan tanpa
melanggar hukum yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai