Dalam keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit stroke (-), depresi (-), jantung (-)
Diabetes (-), hipertensi (-), dan penyakit lainya (-).
PEMERIKSAAN FISIK :
KEPALA
Bentuk : Normocephal
Mata : sklera ikterik (-/-) conjuntiva anemis (-/-),
pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+, reflek kornea +/+
Telingga : simetris, serumen (-)
Hidung : septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (-), lidah kotor (- ), gusi tidak berdarah (-)
LEHER
Bentuk : simetris, tidak tampak adanya perbesaran
Trakea : tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid
THORAX
Bentuk dada : simeteris dengan retraksi dinding dada (-)
JANTUNG
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ictus cordis teraba pada sela iga ke 3 linea midclavicularis
Perkusi : batas jantung
Kanan atas : SIC II line apara sternalis kanan
RM.02.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PARU-PARU
Kanan Kiri
Inspeksi Tampak simetris, retraksi subcostalis Tampaks simetris, retraksi subcostalis
(-), retraksi supraclavicularis (-), (-), retraksi supraclavicularis (-),
retraksi intercostalis (-), ketinggalan retraksi intercostalis (-), ketinggalan
gerak (-) gerak (-)
Palpasi Ketinggalan gerak (-), deformitas (-) Ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
Perkusi Sonor pada seluruh lapangan paru Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi Suara dasar vesikuler, ronkhi basah Suara dasar vesikuler, ronkhi basah
kasar (+), rhonki basah halus (-), kasar (+), rhonki basah halus (-), ronki
ronki kering (-), wheezing ekspirator kering (-), wheezing ekspirator (-),
(-), wheezing inspirator (-), stridor wheezing inspirator (-), stridor
inspiratory (-), ekspirator inspiratory (-), ekspirator diperpanjang
diperpanjang (-) (-)
ABDOMEN
Inspeksi : sikatrik (-), ascites (-),distended (-)
Auskultasi : peristaltik (+)
Perkusi : thympani, pekak beralih (-)
Palpasi : supel(+), defans muskular (-), massa (-), nyeri tekan epigastrium (+),
turgor cukup, hepar dan lien tidak teraba , hepatomegali (-)
EKSTREMITAS
Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, edema pada keempat ekstremitas (+/+)
NEUROLOGIS
Kesadaran : somnolent, GCS 15 (E1V2M4)
Kepala : bentuk normal, simetris
RM.03.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Diameter pupil 3 mm 3 mm
IV. Troklearis
Gerakan mata (ke bawah-lateral) (-) (-)
V. Trigeminus
Membuka mulut (+) (+)
mengunyah (-) (-)
menggigit (-) (-)
seinsibilitas muka (+) (+)
VI. Abdusen
Gerakan mata ke lateral (-) (-)
VII. Fasialis
Mengerutkan dahi (+) (+)
Menutup mata (-) (-)
Sudut bibir
VIII. Vstibulokoklearis
Fungsi pendengaran (subjektif) (-) (-)
IX. Glossofaringeus
Perasa lidah (bag. belakang) (+) (+)
Refleks muntah (+) (+)
X. Vagus
Bicara (+) (+)
Menelan (-) (-)
XI. Assesorius
Mengangkat bahu (-) (-)
Memalingkan kepala (+) (+)
XII. Hipoglosus
Pergerakan lidah (+) (+)
Artikulasi (-) (-)
Motorik : - respirasi : garakan nafas simetris, tidak tampak retraksi otot-otot thorakal
- Duduk : tidak bisa utuk duduk
- Bentuk Columna vertebralis : normal
Sensibilitas : tidak terdapat gangguan sensibilitas
Fungsi Vegetatif : sebelum masuk ruang ICU pasien masih dapat BAB dan BAK
RM.05.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Extremitas
DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis :
- Ensefalopati
- Penurunan kesadaran tanpa lateralisasi cum P. N. Cranialis VII sinistra
Diagnosis Topik :
- Lesi pada falx cerebri posterior dan pelebaran subdural space
frontotemporal
Diagnosis Etiologi :
- Penurunan kesadaran
DIAGNOSIS BANDING
- Susp. Spondylitis
RM.06.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RENCANA PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan Ro. Foto Thoracolumbales
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan darah rutin
Hemoglobin 11.0 g/dl (11,7 – 15,5)
Leukosit 6.5 10^3/ul (3,6 – 11,0)
Hematokrit 33 % (35 - 47)
Eritrosit 4.0 10^6/ul (3.80 – 5.20)
Trombosit 151 10^3/ul (150 - 400)
MCV 81 fL (80 - 100)
MCH 27 pg (26 - 34)
MCHC 34 g/dl (32 - 36)
DIFF COUNT
Netrofil 53.80 % 50 - 70
Limfosit 36.90 % 25 - 40
Monosit 4.80 % 2-8
Eosinofil 4.30 % 2.00 - 4.00
Basofil 0.20 % 0–1
LIPID
Cholesterol total 134 mg/dL < 220
Trigliserida 144 mf/dL 70.0 – 140.0
HDL cholesterol 21 mg/dL 30.0 - 63.0
LDL cholesterol 84 mg/dL < 130
KIMIA KLINIS
RM.07.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
GDS 62 md/dL
Ureum 17.0 mg/dL 10 - 50
Creatinin 0.72 mg/dL 0.60 - 1.10
SGOT 11 U/L 0 - 50
SGPT 10 U/L 0 - 50
Asam urat 4.3 mg/dL 2.0 – 7.0
Albumin 4.1 g/dL 3.8 – 5.1
ELEKTROLIT KIMIA
Kalium 3.81 mmol/L
Natrium 145.0 mmol/L
Chlorida 108.8 mmol/L
RM.08.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Hasil :
Vertebra Th-L : Kurvatura Kypotik
Kompresi corpus vertebra Th IX dan X
DIV Th VIII – IX, Th IX – XI menyempit. FIV Th IX – X menyempit
Kesan : kompresi corpus vertebra Th IX dan X susp spondylitis < DD fraktur kompresi
RM.09.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PROGNOSIS
Vitam : dubia et bonam
Fungsionam : Dubia et bonam
TINJAUAN PUSTAKA
B. Etiologi
RM.010.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
C. Patofisiologi
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur saraf yang membawa
informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus kortikospinal adalah jalur motorik
desenden yang terletak di anterior sumsum tulang belakang.
Kolumna dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa informasi raba,
propriosepsi dan vibrasi ke korteks sensorik. Traktus spinotalamikus lateral membawa sensasi
nyeri dan suhu. Traktus spinotalamikus anterior membawa sensasi raba. Fungsi otonom dibawa
oleh traktus interomedial anterior.
Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat terjadinya paralisis ipsilateral
atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan getar. Sedangkan trauma pada traktus
spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri kontralateral. Trauma
sumsum tulang belakang anterior menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba inkomplit. 1
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior. Saraf simpatis keluar dari
sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan saraf parasimpatis keluar di antara S2 dan
S4. Oleh karena itu lesi atau trauma sumsum tulang belakang dapat menyebabkan disfungsi
otonom.
Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom, seperti hipotensi, bradikardi relative,
vasodilatasi perifer, dan hipotermi. Hal ini biasanya tidak terjadi pada trauma sumsum tulang
belakang di bawah T6. Syok spinal didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi neurologis
komplit, termasuk refleks dan tonus otot, dan terkait dengan disfungsi otonom. Syok neurogenik
mengacu pada terjadinya trias hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi perifer akibat disfungsi
otonom dan gangguan pada sistem kontrol saraf simpatis pada trauma sumsum tulang belakang
akut.
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas (1) arteri spinalis anterior dan (2) arteri
RM.011.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
spinalis posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai dua pertiga anterior sumsum tulang
belakang. Trauma iskemik pada arteri ini berdampak terjadinya disfungsi traktus kortikospinal,
spinotalamikus lateral, dan interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis anterior meliputi
paraplegia, hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi otonom. Arteri spinalis posterior
mensuplai kolumna dorsalis.
Trauma vaskular dapat menyebabkan lesi sumsum tulang belakang pada level segmen yang
lebih tinggi daripada level trauma tulang belakang. Trauma vaskular mengakibatkan iskemik
pada servikal yang tinggi. Trauma hiperekstensi servikal dapat menyebabkan trauma iskemik
sumsum tulang belakang.
Trauma sumsum tulang belakang bisa primer atau sekunder. Trauma primer merupakan
akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma ini biasa terjadi pada fraktur dan atau
dislokasi tulang belakang. Akan tetapi, dapat juga terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi
tulang belakang. Trauma penetrasi seperti trauma tembak juga dapat menyebabkan trauma
primer.
Kelainan ekstradural juga dapat menyebabkan trauma primer. Hematom epidural spinal
atau abses menyebabkan trauma dan kompresi sumsum tulang belakang akut.
Trauma vaskular sumsum tulang belakang yang disebabkan gangguan arteri, trombosis
arteri atau hipoperfusi yang menyebabkan syok adalah penyebab utama trauma sekunder.
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau inkomplit. Sindrom sumsum tulang
belakang komplit ditandai hilangnya fungsi motorik dan sensorik di bawah level lesi. Sindrom
sumsum tulang belakang inkomplit meliputi the anterior cord syndrome, the Brown-Séquard
syndrome, dan the central cord syndrome. Sindrom lainnya meliputi the conus medullaris
syndrome, the cauda equina syndrome, dan spinal cord concussion.
Trauma inkomplit berarti seseorang memiliki beberapa fungsi di bawah level trauma,
meskipun fungsi tersebut tidak normal. Sebagai contoh, seseorang dapat mengalami kelemahan
bahu tetapi masih dapat menggerakkannya. Seseorang dapat kehilangan kemampuan untuk
menggerakkan otot di bawah kehilangan sensasi nyeri dan suhu. The International and American
Spinal Injury Association (ASIA) mendefinisikan trauma sumsum tulang belakang inkomplit
sebagai suatu keadaan dimana seseorang masih memiliki fungsi sumsum tulang belakang di
bawah sakrum (di bawah S5).
RM.012.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Conus medullaris syndrome adalah trauma vertebra sakral dengan atau tanpa keterlibatan
saraf lumbal. Sindrom ini ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan. Hilangnya fungsi
motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi.
Cauda equina syndrome melibatkan trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia pada
pencernaan dan /atau kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik ekstremitas
bawah yang bervariasi. Trauma ini biasanya disebabkan oleh herniasi diskus lumbal sentral.
Spinal cord concussion ditandai dengan defisit neurologik sementara pada sumsum tulang
belakang yang akan pulih sempurna tanpa adanya kerusakan struktural yang nyata.
Trauma komplit berarti terjadi kehilangan komplit dari sensasi dan kontrol otot di bawah level
trauma. Hampir separuh dari trauma sumsum tulang belakang adalah komplit. Sebagian besar
trauma sumsum tulang belakang, termasuk trauma komplit, merupakan akibat luka dari sumsum
tulang belakang atau kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang belakang dan bukan dari
terpotongnya sumsum tulang belakang.
Trauma sumsum tulang belakang seperti stroke, merupakan proses yang dinamis. Lesi
sumsum tulang belakang inkomplit dapat menjadi komplit. Kaskade kompleks dari patofisiologi
yang terkait dengan radikal bebas, edema vasogenik, dan penurunan aliran darah mengakibatkan
terjadinya manifestasi klinis. Oksigenasi yang normal, perfusi dan keseimbangan asam basa
dibutuhkan untuk mencegah perburukan
RM.013.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
D. KLASIFIKASI
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut :
1. Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan mengakibatkan
wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang
stabil.
2. Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional
yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang
paling tidak stabil.
3. Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi
fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
4. Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat
menimbulkan burst fracture.
5. Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada
punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur
ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan
cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera
kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan
cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice
injury), dan burst fracture hebat.
1. Cedera stabil
RM.014.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
a. Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan
dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa
sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari
istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap
keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips
dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan.
Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
b. Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit
neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah semua
yang dibutuhkan.
c. Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke
dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien
muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori
yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi.
Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur selama beberapa hari, dan korset
untuk beberapa minggu.
Meskipun fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi karena
masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik
yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani
dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala akut menghilang. Brace atau jaket
gips untuk menyokong vertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan
direkomendasikan.
Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis.
Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat
atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.
RM.015.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan
vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus
ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura
dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan
berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik.
Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan
memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat
metalik diindikasikan.
b. Fraktura ”Potong”
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah.
Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks,
mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah
lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada kanalis
neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada cedera fleksi-rotasi.
c. Cedera Fleksi-Rotasi
Fraktur rotasi terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman.
Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah
direkomendasikan.
RM.016.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. Tepi
tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera
dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla
spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial. Tipe burst fracture sering
terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi
ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk
mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur
kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI fraktur ini akan
lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.
3. Fraktur dislokasi – terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena
kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat tidak
stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau
akar syaraf yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis
dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi, penekanan,
rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan terjadi dari posterior ke
anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan
sendi facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari
bagian anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur
pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina dan
seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut syaraf.
4. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures) sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan
kekuatan tinggi dan tiba-tiba mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi,
dislokasi fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan distraksi
dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan menbetuk pisau lipat dengan poros yang
bertumpu pada bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh
penderita terlempar kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan
dapat hancur selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini
termasuk jenis fraktur tidak stabil.
Cedera Saraf
Pada cedera spinal akibat pergeseran struktur dapat merusak korda atau akar saraf, atau
RM.017.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Transeksi Korda
Paralisis motorik, kehilangan sensorik dan paralisis viseral terjadi di bawah tingkat lesi
korda; seperti halnya gegar korda, paralisis motorik mula-mula bersifat flasid. Ini adalah keadaan
sementara yang dikenal sebagai syok korda, tetapi cedera itu bersifat anatomic dan tak dapat
diperbaiki.
Tetapi, beberapa waktu kemudian, korda di bawah tingkat transeksi sembuh dari syok dan
bekerja sebagai struktur yang bebas; artinya, menunjukkan aktivitas refleks. Dalam beberapa jam
refleks anal dan penis pulih kembali, dan respons plantar menjadi ekstensor. Dalam beberapa
hari atau beberapa minggu paralisis flasid menjadi spastik, disertai peningkatan, tonus,
peningkatan refleks tendon dan klonus; spasme fleksor dan kontraktur dapat terjadi tetapi sensasi
tak pernah pulih kembali. Timbulnya refleks anal dan penis tanpa adanya sensasi pada kaki
bersifat diagnostik untuk transeksi korda.
E. Jenis Trauma
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak
mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi
atau rotasi tulang belakang. Di daerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh
struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi.
Sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan
RM.018.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan oleh hipoksemia dan
iskemia. Iskemia disebabkan oleh hipotensi, udem atau kompresi. Perlu disadari bahwa
kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan yang permanen, karena tidak
akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan
apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau
disebabkan oleh tekanan, memar atau udem.
yang mengendalikan pergelangan kaki dan kaki: (3) refleks anal dan penis, respons plantar dan
refleks pergelangan kaki; dan (4) pengendalian kencing.
Akar lumbal mempersarafi: (1) sensasi pada seluruh tungkai bawah selain bagian yang
dipasok oleh segmen sakral; (2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pinggul dan lutut:
dan (3) refleks kremaster dan refleks lutut.. Bila cedera tulang berada pada sambungan
torakolumbal, penting untuk membedakan antara transeksi korda tanpa kerusakan akar dan
transeksi korda dengan transeksi akar. Pasien tanpa kerusakan akar jauh lebih baik daripada
pasien dengan transeksi korda dan akar.
4. Lesi Korda Lengkap
Paralisis Iengkap dan anestesi di bawah tingkat cedera menunjukkan transeksi korda.
Selama stadium syok spinal, bila tidak ada refleks anal (tidak lebih dari 24 jam pertama)
diagnosis tidak dapat ditegakkan dan jika refleks anal pulih kembali dan defisit saraf terus
berlanjut, lesi korda bersifat lengkap. Setiap lesi lengkap yang berlangsung lebih dari 72 jam
tidak akan sembuh.
5. Lesi Korda Tidak Lengkap
Adanya sisa sensasi apapun di bagian distal cedera (uji menusukkan peniti di daerah perianal )
menunjukkan lesi tak lengkap sehingga prognosis baik. Penyembuhan dapat berlanjut sampai 6
bulan setelah cedera. Penyembuhan paling sering terjadi pada sindroma korda central di mana
kelemahan adalah hasil awal diikuti dengan paralisis neuron motorik bawah pada tungkai atas
dengan paralisis neuron motorik atas (spastik) pada tungkai bawah, dan tetap ada kemampuan
pengendalian kandung kemih dan sensasi perianal (sakral terhindar). Pada sindroma korda
anterior yang lebih jarang terjadi, terdapat paralisis lengkap dan anestesi tetapi tekanan dalam
dan indera posisi tetap ad pada tungkai bawah (kolom dorsal terhindar). Pada sindroma korda
posterior yang agak jarang terjadi (hanya tekanan dalam dan propriosepsi yang hilang), dan
sindroma Brown Sequard (hemiseksi korda, dengan paralisis ipsilateral dan hilangnya perasaan
nyeri kontralateral) biasanya disebabkan oleh cedera toraks. Di bawah vertebra Th X, diskrepansi
antara tingkat neurologik dan tingkat rangka adalah akibat transeksi akar yang turun dari segmen
yang lebih tinggi dari lesi korda.
Sindrom Deskripsi
RM.020.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Anterior cord Lesi yang mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensitivitas
terhadap nyeri, temperature namun fungsi propioseptif masih normal
Brown-Sequard Proposeptif ipsilateral normal, motorik hilang dan kehilangan sensitivitas
nyeri dan temperatur pada sisi kontralateral
Central cord Khusus pada regio sentral, anggota gerak atas lebih lemah dibanding
anggota gerak bawah
Dorsal cord Lesi terjadi pada bagian sensori terutama mempengaruhi propioseptif
(posterior cord)
Conus medullaris Cedera pada sacral cord dan nervus lumbar dengan kanlis neuralis ;
arefllex pada vesika urinaria, pencernaan dan anggota gerak bawah
Cauda equina Cedera pada daerah lumbosacral dengan kanalis neuralis yang
mengakibatkan arefleksia vesika urinaria, pencernaan dan anggota gerak
bawah
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan
meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik
kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan
mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa
ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan
flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih,
triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat
hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak
berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah
tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba
dan posisi tidak terganggu
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi
akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum
belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi
pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan
yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper
ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan
daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
RM.021.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal,
gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks
bulbokafernosa.
H. Penatalaksaan
Pertolongan pertama dan penanganan darurat trauma spinal terdiri atas: penilaian kesadaran,
jalan nafas, sirkulasi, pernafasan, kemungkinan adanya perdarahan dan segera mengirim
penderita ke unit trauma spinal ( jika ada). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinik secara teliti
meliputi pemeriksaan neurology fungsi motorik, sensorik dan reflek untuk mengetahui
kemungkinan adanya fraktur pada vertebra.2 Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan
RM.022.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. semuanya
tergantung dengan tipe fraktur
1. Braces & Orthotics ada tiga hal yang dilakukan yakni, mempertahankan kesegarisan
vertebra (aligment), 2 imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan, 3 mengatsi rasa nyeri
yang dirasakan dengan membatasi pergerakan. Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan
stabilisasi, sebagai contoh; brace rigid collar (Miami J) untuk fraktur cervical, cervical-
thoracic brace (Minerva) untuk fraktur pada punggung bagian atas, thoracolumbar-sacral
orthosis (TLSO) untuk fraktur punggung bagian bawah, dalam waktu 8 sampai 12 minggu
brace akan terputus, umumnya fraktur pada leher yang sifatnya tidak stabil ataupun
mengalami dislokas memerlukan traksi, halo ring dan vest brace untuk mengembalikan
kesegarisan
2. Pemasanagan alat dan prosoes penyatuan (fusion). Teknik ini adalah teknik pembedahan
yang dipakai untuk fraktur tidak stabil. Fusion adalah proses penggabungan dua vertebra
dengan adanya bone graft dibantu dengan alat-alat seperti plat, rods, hooks dan pedicle
screws. Hasil dari bone graft adalah penyatuan vertebra dibagian atas dan bawah dari bagian
yang disambung. Penyatuan ini memerlukan waktu beberapa bulan atau lebih lama lagi untuk
menghasilkan penyatuan yang solid.
3. Vertebroplasty & Kyphoplasty, tindakan ini adalah prosedur invasi yang minimal. Pada
prinsipnya teknik ini digunakan pada fraktur kompresi yag disebabkan osteoporosis dan
tumor vertebra. Pada vertebroplasti bone cement diinjeksikan melalui lubang jarung menuju
corpus vertebra sedangkan pada kypoplasti, sebuah balon dimasukkanan dikembungkan
untuk melebarkan vertebra yang terkompresi sebelum celah tersebut diisi dengan bone
cement .
5. Cegah decubitus
6. Fisioterapi untuk mencegah kontraktur
I. Komplikasi
1. Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia).
2. Komplikasi akibat imobilisasi:
o Deep vein thrombosis
o Kontraktur
o Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa
o Kehilangan sensasi
o Spasme otot
o Nyeri
J. Prognosis
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari 5 %. Jika
terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah nol.
Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang
pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50 %.
RM.024.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
sensorik dan atau motorik dari bagian dibawah lesi hingga segmen sakral yang terbawah
(Trombly, 2002).
RM.026.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai jaras konduksi
impuls dari atau ke otak. Medula spinalis merupakan perpanjangan dari otak dalam menginervasi
bagian bawah dari tubuh, karenanya komposisi medula spinalis mirip otak yaitu terdiri dari
substansia alba (serabut saraf bermielin) dengan bagian dalam terdiri dari substansia grisea
(jaringan saraf tak bermielin). Substansia alba berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen
dan eferen antara berbagai tingkat medulla spinalis dan otak. Substansia grisea merupakan
tempat integrasi refleks-refleks spinal. Medula spinalis dimulai dari akhir medula oblongata di
foramen magnum di bagian atas dan diteruskan pada bagian bawahnya sebagai conus medullaris,
kira-kira pada level T12-L1. Selanjutnya diteruskan ke distal sebagai kauda equine (dibokong)
yang lebih tahan terhadap cedera. Pada setiap level akan keluar serabut syaraf yang disebut
nerve root.
RM.027.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RM.028.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Setiap dermatom berhubungan dengan satu segmen radikuler, yang mana akan
berhubungan lagi dengan satu segmen medula spinalis.
RM.029.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Lintasan traktus medulla spinalis terdiri dari traktus ascendens dan traktus descendens.
Traktus ascendens membawa informasi sensorik ke SSP dan dapat berjalan ke bagian-bagian
medulla spinalis dan otak. Traktus spinotalamikus lateralis merupakan suatu traktus ascendens
penting, yang membawa serabut-serabut untuk jaras nyeri dan suhu. Jaras untuk raba halus,
propiosepsi sadar, dan getar mempunyai serabut-serabut yang membentuk kolumna dorsalis
substansia alba medulla spinalis. Impuls dari berbagai bagian otak yang menuju neuron-
neuron motorik batang otak dan medulla spinalis disebut traktus descendens. Traktus
kortikospinalis lateralis dan ventralis merupakan jaras motorik voluntar dalam medulla
spinalis. Traktus asosiatif merupakan traktus ascendens atau descendens yang pendek;
misalnya, traktus ini dapat hanya berjalan antara beberapa segmen medula spinalis, sehingga
disebut juga traktus intersegmental. Tabel 2.1 menyebutkan beberapa traktus ascendens dan
descendens yang penting pada medula spinalis.
RM.030.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PARESE
1. Definisi
Parese adalah kelemahan atau hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih kelompok
otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang terkena. Parese disebut juga
sebagai paralisis sebagian.
2. Klasifikasi
a. Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau satu ekstremitas bawah.
b. Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
RM.031.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
c. Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas dan satu
ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
d. Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.
PARAPARESE
1. Definisi
Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi motorik dan sensorik
pada segmen torakal, lumbal, atau sacral medulla spinalis.
2. Klasifikasi
a. Paraparese spastik
Paraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN),
sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertonus.
b. Paraparese flaksid
Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN),
sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hipotonus.
RM.032.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
3. Patogenesis
Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras kortikospinalis
lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak
dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5
dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot, kedua lengan yang berasal dari
miotoma C6 sampai miotoma C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta seluruh otot-otot
kedua ekstremitas.
Akibat terputusnya lintasan somatosensoris dan lintasan autonom neurovegetatif
asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita tidak dapat melakukan
buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan reaksi neurovegetatif.
Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau tingkat
lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang terjadi
pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi gangguan motorik berupa kelumpuhan
LMN pada otot-otot yang merupakan sebagian kecil dari otot-otot toraks dan abdomen,
namun kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan dari otot-otot
tersebut kurang menonjol. Hal ini dikarenakan lesi dapat mengenai kornu anterior medula
spinalis. Dan dibawah tingkat lesi dapat terjadi gangguan motorik berupa kelumpuhan UMN
karena jaras kortikospinal lateral segmen thorakal terputus.
Gangguan fungsi sensorik dapat terjadi karena lesi yang mengenai kornu posterior
medula spinalis maka akan terjadi penurunan fungsi sensibilitas dibawah lesi. Sehingga
penderita berkurang merasakan adanya rangsang taktil, rangsang nyeri, rangsang thermal,
rangsang discrim dan rangsang lokalis.
Gangguan fungsi autonom dapat terjadi karena terputusnya jaras ascenden
spinothalamicus sehingga inkotinensia urin dan inkotinensia alvi.
Tingkat lesi transversal di medula spinalis mudah terungkap oleh batas defisit sensorik.
Dibawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai secara
lengkap.
Paraparese dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari medula
spinalis dapat rusak secara sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi melalui emboli septic,
luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis, atau perluasan dari proses
meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak saja digunakan untuk proses peradangan pada
RM.033.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
medulla spinalis namun juga digunakan apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan
disebabkan oleh proses patologi yang mempunyai hubungan dengan infeksi, adanya tumor
baik tumor ekstramedular maupun intramedular serta trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinalis.
PARAPARESE SPASTIK
1. Definisi
Paraparese spastik adalah kelemahan otot ekstremitas bawah disertai peningkatan tonus otot
akibat lesi pada upper motor neuron yaitu lesi traktus pyramidal bilateral, batang otak atau
parasagital serebral.
2. Klasifikasi
a. Berdasarkan onset perjalanan penyakit, paraparese tipe spastik dibagi menjadi 2 macam
yaitu :
1. Paraparese tipe spastik yang akut : Paraparese tipe spastik yang akut dapat disebabkan
oleh infeksi non spesifik seperti myelitis transversa, trauma seperti kontusio, whisplash
injury dan tumor ganas atau metastasis.
2. Paraparese tipe spastik yang kronis : Paraparese tipe spastik yang kronis dapat
disebabkan oleh infeksi spesifik seperti tuberculosis, tumor jinak, dan penyakit
degeneratif.
b. Berdasarkan penyebabnya, paraparese tipe spastik dibagi menjadi 2 macam yaitu :
1. Paraparese tipe spastik dengan lesi kortikal : danya lesi kortikal dapat disebabkan oleh
tumor falx cerebri dan thrombosis sinus sagital superior.
2. Paraparese tipe spastik dengan lesi medulla spinalis : paraparese tipe spastik dengan lesi
medulla spinalis dapat disebabkan oleh mielopati kompresif dan mielopati non kompresif.
3. Etiologi
a. Paraparese Kompresi
1. Extramedular
a) Intradular seperti meningioma, neurofibroma, arachnoiditis.
b) Extradular seperti potts disease (caries spine)
c) Neoplasma vertebra seperti metastase, miloma
d) Pachymeningitis
e) Prolapsed discusintravertebralis
RM.034.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RM.035.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Lesi paralitik yang mengganggu pyramidal juga pasti akan mengganggu serabut-
serabut kortikobulbar/spinal dan juga serabut frontopontin, temporo parietopontin berikut
serabut-serabut striatal utama. Hal itu menggambarkan bahwa komponen pyramidal dan
ekstrapiramidal akan mengalami gangguan bersama. Hal ini terjadi karena lintasan
pyramidal dan ekstrapiramidal berada dikawasan yang sama yaitu pedunkulus serebri, pes
pontis, piramis, dan funikulus posterolateralis/sulkomarginal.
Hipertonus yang diiringi kelumpuhan pada UMN tidak melibatkan semua otot
skeletal, melainkan otot fleksor seluruh lengan serta otot abductor bahu dan pada tungkai
seluruh otot ekstensornya serta otot-otot plantar fleksi kaki.
Tergantung dalam jumlah serabut penghantar impuls ektrapiramidal dan pyramidal
yang terkena gangguan, anggota gerak yang lumpuh dapat memperlihatkan hipertonia dalam
posisi fleksi atau ekstensi. Hal ini terjadi pada kelumpuhan UMN yang melanda bagian
bawah tubuh (paraparese) akibat oleh karena lesi transversal di medulla spinalis di atas
intumesensia lubosakralis. Apabila paraparese yang disebabkan oleh lesi yang terutama
merusak serabut penghantar impuls pyramidal saja,maka parapleginya menunjukan
hipertonus dalam posisi ekstensi. Apabila jumlah serabut penghantar impuls ekspiramidal
( terlibat dalam lesi, maka hipertonus dalam posisi fleksi.
b. Hiperrefleksia
Pada kerusakan UMN, refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa (normal).
Dalam hal ini, gerak otot bangkit secara berlebihan, walapun rangsangan pada tendon sangat
lemah. Hiperrefleksi merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan
ekstrapiramidal tidak dapat disampaikan pada motorneuron. Refleks tendon merupakan
refleks spinal yang bersifat segmental. Ini berarti bahwa lengkung refleks disusun oleh
neuron-neuron yang berada disatu segmen. Tetapi ada juga gerak otot reflektorik, yang
lengkung refleks segmentalnya berjalan dengan lintasan-lintasan UMN yang ikut mengatur
efektornya. Hal ini dijumpai pada refleks kulit dinding perut. Pada UMN, refleks tersebut
menghilang atau menurun.
c. Klonus
Hiperrefleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot reflektorik,
yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung. Pada lesi
UMN kelumpuhannya disertai oleh klonus kaki dan klonus lutut.
RM.036.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
d. Refleks patologis
Pada kerusakan UMN dapat ditemukannya refleks patologis. Tetapi mekanisme
timbulnya refleks patologis ini masih belum jelas.
e. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh
Motorneuron dengan sejumlah serabut-serabut otot yang disarafinya menyususn satu
kesatuan motorik. Kesatuan fisiologi ini mencakup hubungan timbal-balik antara kehidupan
motorneuron dan serabut otot yang disarafinya. Runtuhnya motorneuron akan disusul
dengan kerusakan-kerusakan serabut-serabut saraf motoriknya. Oleh karena itu, otot yang
terkena akan menjadi atrofi. Dalam hal kerusakan pada UMN, motorneuron tidak dilibatkan.
Oleh karena itu, otot-otot yang lumpuh karena lesi UMN tidak akan memperlihatkan atrofi.
Namun demikian, otot yang lumpuh masih dapat mengecil, bukan karena serabut-serabut
yang musnah akan tetapi dikarenakan oleh karena otot tersebut tidak dipergunakan yang
dikenal dengan istilah disuse atrophy.
f. Refleks automatisme spinal
Jika motorneuron tidak mempunyai hubungan dengan korteks motorik primer dan
korteks motorik tambahan bukan berarti tidak berdaya menggerakkan otot. Otot masih dapat
digerakkan oleh rangsang yang datang dari bagian susunan saraf pusat dibawah tingkat lesi
yang dinamakan sebagai gerakan refleks automatisme spinal. Pada penderita paraparese
akibat lesi transversal di medulla spinalis bagian atas, dapat dijumpai kejang fleksi lutut
sejenak padahal kedua tungkai lumpuh, apabila penderita terkejut. Tanda-tanda kelumpuhan
UMN tersebut diatas dapat seluruhnya atau sebagian saja ditemukan pada tahap kedua masa
setelah terjadinya lesi UMN. Pada tahap pertamanya yaitu langsung setelah lesi UMN
terjadi, tanda-tanda kelumpuhan UMN tidak dapat disaksikan. Tahap pertama ini
berlangsung 1 hingga 3 minggu. Jika lesinya terletak dikorteks motorik, kurun waktu tahap
pertama panjang sekali. Sebaliknya, lesi dikapsula interna mempunyai tahap pertama yang
singkat.
Setiap lesi yang secara mekanik menekan medulla spinalis akan menyebabkan
gangguan fungsi yang progresif dan suatu sindrom transeksi medulla spinalis yang relative
lambat. Gejala-gejala gangguan medulla spinalis yang disebabkan kompresi memiliki
karakterisktik sebagai berikut :
Terganggunya fungsi motoric
RM.037.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
e. Pemeriksaan urin
6. Komplikasi
a. Luka decubitus
b. Kontraktur
d. Emboli paru
7. Penatalaksanaan
a. Terapi utama didasarkan dan disesuaikan dengan penyakit penyebab paraparese spastik.
b. Penanganan spastisitas
Fisioterapi terdiri dari :
Prolonged passive stretching
Hydrotherapy
Reflex inhibiting postures
Standing and walking
Ice therapy
FARMAKOLOGIS
Antispasmodik
Injeksi intratechal baclofen / morphine
Blok saraf lokal sementara dengan toksin botulinum pada otot yang spesifik.
RM.039.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KESIMPULAN
Paraparese adalah kondisi kelemahan otot pada fungsi motorik dan sensorik pada segmen
thorakal, lumbal atau sakral medula spinalis yang menghasilkan kelemahan otot-otot tungkai.
Paraparese dapat disebabkan karena adannya kerusakan pada upper motor neuron (UMN) yang
secara klinis menimbulkan paraparese spastik dimana terjadi peningkatan tonus otot atau
hipertonus.
Paraparese disebabkan oleh lesi bilateral atau transversal di bawah level servikal medula
spinalis. Paraparese dapat disebabkan oleh meningioma, neurofibroma, arachnoiditis, potts
disease, metastase, miloma, Pachymeningitis, Prolapsed discusintravertebralis, abses epidural
atau perdarahan epidural, fraktur atau dislokasi dari vertebra seperti pagets disease,
osteoporosis, syringiomyelia, haematomyelia, tumor intramedular, ependymoma, glioma,
mielitis transversa, mielomeningitis, vascular, anterior spinal artery occlusion, amyotropic lateral
sclerosis, lathyrism, hereditary Spastic Paraparese, tropical Spastic Paraparese, radiation
mielopathy.
DAFTAR PUSTAKA
Bromley, I. (2006). Tetraplegia and Paraplegia, A Guide for Physiotherapists. China : Elsevier.
Chussid, J. G. (1990). Korelasi Neuroanatomi dan Neurologi Fungsional, Bagian Kedua.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Guirguis, A. R. (1967). Pott Paraplegia. Cairo : The Journal of Bone and Joint Surgery.
Paramarta, G. E., Purniti, P. S., Subanada, I. B., & Astawa, P. (2008). Spondilitis Tuberkulosis.
Denpasar : FK UNUD.
Ropper, A. H., & Brown, R. H. (2005). Adams and Victor Principles of Neurology, Eight Edition.
New York : Mc Graw Hill.
RM.040.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RM.041.