Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perpajakan Internasional merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam

negeri dan memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-

masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat

perdagangan dan investasi tersebut. Adalah merupakan suatu tujuan ekonomi dalam

negara untuk memajukan perdagangan di tiap dan antar negara serta mendorong laju

investasi. Dan setiap pemerintah suatu negara berusaha untuk meminimalkan pajak yang

menghambat perdagangan investasi dimana salah satunya adalah dengan melakukan

penghindaran pajak berganda.

Negara-negara berkembang umumnya memilih untuk menggunakan model P3B

karena model ini relatif memberikan hak pemajakan yang lebih luas pada Negara sumber.

Sampai saat ini, pada umumnya Negara-negara Berkembang masih banyak yang masuk

dalam kategori Negara pengimpor, baik barang maupun jasa. Impor jasa, menjadi

masalah yang krusial, karena eksistensinya tidak senyata impor barang. Padahal, nilai

impor jasa yang dilakukan Negara-negara berkembang, jumlahnya sangat signifikan.

Karena itu, Negara-negara Berkembang sangat berkepentingan dengan pengertian

Permanent Establishment Karena tanpa BUT, Negara berkembang yang mengimpor jasa,

tidak mempunyai hak untuk memajaki penghasilan jasa yang diterima oleh Negara

pengekspor jasa. Padahal penghasilan tersebut bersumber dari Negara berkembang yang

mengimpor jasa tersebut.


Perpajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim perpajakan. Hal ini karena

adanya prinsip perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle)

dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara

residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source

principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana

penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber.

Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda namun malah

memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penghindaran Pajak berganda

2.1.1 Pengertian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian

internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari

pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua negara dengan

prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk

antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Perjanjian ini digunakan
oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari

suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan

berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan

sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.

Payung hukum persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B ini

adalah Pasal 32A Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan pasal ini

Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain

dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

2.1.2 Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Dari isi Pasal 32A UU PPh ini jelas bahwa dilakukannya perundingan

dengan negara lain untuk membuat perjanjian perpajakan ini memiliki dua tujuan

utama yaitu pertama menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of double

taxation) dan yang kedua adalah mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal

evasion).

Di samping dua tujuan utama tersebut, terdapat pula tujuan lain yang

sebenarnya merupakan akibat bila dua tujuan utama di atas dicapai. Dalam

penjelasan Pasal 32A UU PPh juga ditegaskan bahwa perjanjian perpajakan yang

dilakukan pemerintah ini adalah dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan

perdagangan dengan negara lain. Suatu perjanjian perpajakan atau tax treaty

bertujuan pula untuk mendorong arus modal, teknologi, dan keahlian ke suatu

negara. P3B juga akan memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak,

memperlancar transaksi ekonomi antar negara dan meningkatkan kerjasama antar

negara.
2.1.3 Menghindari Pajak Berganda (Double Taxation)

Dalam menerapkan ketentuan perpajakan, yurisdiksi perpajakan suatu

negara akan berinteraksi dengan yurisdiksi perpajakan negara lainnya. Interaksi dua

yurisdiksi perpajakan dua negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda.

Pajak berganda ini timbul karena dua yurisdiksi perpajakan mengenakan pajak

kepada penghasilan yang sama yang dimiliki oleh subjek pajak yang sama.

Misalkan seseorang bernama Mr. X yang merupakan warga negara A mendapatkan

penghasilan yang bersumber dari negara B. Ketentuan pajak negara A akan

mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh warganegaranya dari

manapun sumber penghasilan tersebut. Di lain pihak, ketentuan pajak negara B juga

mengenakan pajak terhadap penghasilan yang bersumber dari negaranya walaupun

penerimanya bukan warga negara atau bukan penduduk negara B. Nah dalam kasus

ini Mr. X akan dikenakan pajak dua kali oleh negara A dan negara B.

Pajak berganda juga bisa timbul jika seseorang atau badan memenuhi

definisi sebagai subjek pajak dalam negeri (residence) dua negara. Dengan kondisi

ini maka orang atau badan ini akan dikenakan pajak dua kali juga atas seluruh

penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal dengan istilah masalah dual residence.

Untuk memecahkan masalah akibat penerapan ketentuan perpajakan dua negara,

maka kedua negara perlu melakukan perundingan untuk membuat persetujuan

penghindaran pajak berganda (P3B). Dalam P3B ini nantinya akan diatur tentang

hak pemajakan masing-masing negara untuk jenis-jenis penghasilan tertentu.

Dalam kasus dual residence, suatu P3B akan membuat ketentuan sedemikian

sehingga seseorang atau badan hanya akan menjadi residence (subjek pajak dalam
negeri) dari satu negara saja. Ketentuan ini biasa disebut Tie Breaker Rule yang

biasanya dimuat dalam Pasal 2 P3B.

Dalam P3B juga biasanya akan diatur mengenai corresponding

adjutment dalam kasus transfer pricing serta memuat ketentuan tentang metode

penghilangan pajak berganda. Corresponding adjutmentmengandung makna

bahwa jika satu negara melakukan koreksi harga dalam suatu transaksi dengan

lawan transaksi di negara lain, maka negara lain juga harus melakukan koreksi

sebaliknya agar pengenaan pajak tidak berganda.

2.1.4 Mencegah Pengelakan Pajak

Menghindari pajak bisa dilakukan dalam bentuk tax avoidance dan tax

evasion. Tax avoidance biasanya dilakukan masih dalam koridor ketentuan

perpajakan. Apabila penghindaran ini dilakukan masih sesuai dengan maksud dari

pembuat ketentuan, maka penghindaran ini tidak menjadi masalah. Namun

demikian, jika penghindaran ini dilakukan dengan ”mengakali” peraturan yang

tidak sesuai dengan maksud pembuat undang-undang maka jenis penghindaran ini

perlu dipermasalahkan.

Contoh dari pengindaran pajak yang mengakali ketentuan ini misalnya

dengan membuat modal sebagai pinjaman dengan harapan dividen bisa disebut

bunga sehingga bisa dibiayakan. Praktek menggunakan harga transfer (transfer

pricing) dalam transaksi internasional dengan menggeser laba ke negara

dengan low tax rate juga merupakan salah satu jenis penghindaran pajak seperti ini.

Dalam kasus lain, bentuk penghindaran pajak ini bisa berupa membuat transaksi

yang semu walaupun legal form nya benar. Transaksi semu ini dimaksudkan untuk
mendapatkan manfaat dari suatu tax treaty dimana jika transaksi dilakukan dengan

cara yang seharusnya maka dia tidak akan mendapat manfaat dari suatu tax treaty.

Pendirian conduit company, paperbox company atau special purpose

company biasanya digunakan untuk mendapatkan manfaat suaty tax treaty.

Penghindaran pajak dalam bentuk tax evasion bermakna penghindaran

pajak dengan melanggar ketentuan pajak seperti tidak melaporkan penghasilan atau

membebankan biaya fiktif. Dengan demikian, tax evasion berdimensi illegal dan

kriminal. Untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam

suatu transaksi internasional, suatu perjanjian perpajakan biasanya memuat

ketentuan tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan

untuk menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak seperti

kasus treaty shopping(memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak semestinya),

kasus transfer pricing ataupun kasus tindak pidana perpajakan.

2.1.5 Isi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Yang tercantum dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda terdiri dari

3 (tiga) bab yaitu :

1. Bagian Pokok yaitu berisi antara lain ruang lingkup perjanjian dan

pembagian perpajakan

2. Bagian Tambahan yaitu berisi antara lain metode penghindaran pajak berganda

dan penyelesaian sengketa pajak.

3. Bagian Penutup yaitu berisi antara lain saat berlakunya perjanjian dan saat

berakhirnya perjanjian.

2.1.6 Kedudukan P3B


Sebelum kita mengetahui kedudukan Perjanian Penghindaran Pajak

Berganda, kita harus mengetahui lebih dahulu perbedaan Undang-Undang Nasional

atau Undang-Undang Domistik dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

2.1.7 Undang-Undang Pajak Nasional

Undang-Undang Pajak Nasional atau Undang-Undang Pajak Domestik

adalah peraturan perpajakan yang berlaku secara umum ( tax generalis) di suatu

negara yang memberi wewenang kepada Pemerintah untuk melakukan pemungutan

pajak. Dalam Undang-Undang Domestik diatur siapa-siapa yang dikenakan

pajak, apa-apa yang dikenakan pajak, apa dasar pengenann pajak dan berapa

besarnya pajak atau berapa tarip pajaknya serta prosedur pembayaran pajak

tersebut.

2.1.8 P3B/Tax Treaty

Tax Treaty/P3B tidak memberikan hak kepada pemerintah untuk

mengenakan pajak mengenai obyek pajak tertentu, tax treaty justru membatasi hak

pemerintah dari suatu negara yang mengadakan tax treaty untuk mengenakan

pajak, yaitu membatasi hak memungut pajak yang diberikan oleh Undang-Undang

Pajak Domistik, apabila tidak dibatasi hak mengenakan pajak, maka pelaksanaan

pemungutan pajak yang bersangkutan akan mengakibatkan pengenaan pajak

berganda.

Dari uraian diatas maka kedudukan tax treaty / P3B adalah tax specialis

yaitu mengatur secara khusus mengenai pembagian hak pemajakan mengenai

obyek pajak tertentu, oleh karena itu kedudukannya adalah lebih tinggi dibanding
dengan Undang-Undang Pajak Domistik atau Undang-Undang Pajak suatu negara

yang mengadakan perjanjian.

Dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda berisi ketentuan untuk

mencegah pengenaan pajak berganda yaitu dengan membatasi hak pemajakan

negara sumber atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak. Hak pemajakan negara

sumber.

Dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, hak pemajakan negara

sumber dibedakan menjadi 3 hak pemajakan yaitu :

1. Negara sumber mempunyai hak pemajakan penuh yang artinya negara sumber

dapat memajakai penghasilan yang berasal dari wilayahnya sesuai dengan

ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Domistik.

2. Negara sumber mempunyai hak pemajakan terbatas yang artinya negara

sumber dapat memajakai penghasilan yang berasal dan wilayahnya dengan

tarip tidak boleh melebihi yang diatur dalam Perjanjian Penghidaran Pajak

Berganda.

3. Negara sumber melepaskan hak pemajakan yang artinya negara sumber tidak

dapat memajaki penghasilan yang berasal dari wilayahnya.

2.1.9 Contoh Kasus

1. Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan Pasal 26 dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan

yaitu, Undang-Undang No.7 tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan

Undang-Undang No. 38 lahun 2008, secara umum tarip PPh Pasal 26 sebesar

20%.
Dengan adanya Perjanjian, Penghidaran Pajak Berganda antara Indonesia

dengan negara lain, maka tarip PPh Pasal 26 terhadap orang atau badan sebagai

wajib pajak luar negeri yang negaranya mengadakan Perjanjian Penghindaran

Pajak Berganda dengan Indonesia maka hak pemajakan negara Indonesia

dapat:

a. Mengenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarip penuh yaitu tarip

sebesar 20 %.

b. Mengenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarip terbatas yaitu

misalnya dengan tarip sebesar 10 %.

c. Mengenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarip 0 % yaitu Indonesia

melepas hak pemajakan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan orang

atau, badan sebagai wajib pajak luar negeri yang negaranya mengadakan

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Besarnya hak pemajakan tersebut tergantung dalam ketentuan tarip pajak

yang diatur dalam Perjanjian Perighindaran Pajak Berganda.

2. Perjanjian Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelaan Pajak Atas Penghasilan

Indonesia dengan Malaysia (Nomor : 31 Tahun 1992)

a. Bagian Pokok yaitu berisi antara lain ruang lingkup perjanjian dan

pembagian perpajakan

 Pasal 1 : Persetujuan ini berlaku terhadap orang atau badan

yang merupakan penduduk salah satu atau kedua Negara pihak pada

persetujuan

 Pasal 2 : Pajak yang berlaku menurut Persetujuan ini adalah :


Di Malaysia ;

o Pajak penghasilan dan excess profit tax(pajak atas

laba)

o The supplementary income tax, that is development

tax dan

o Pajak penghasilan minyak (selanjutnya disebut

pajak Malaysia)

Di Indonesia :

o Pajak penghasilan; (selanjutnya disebut “pajak

Indonesia)

 Pasal 6 : Penghasilan dari Harta Tak Bergerak. Penghasilan

yang diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak pada

Persetujuan dari harta tak bergerak (termasuk penghasilan yang

diperoleh dari lahan pertanian atau kehutanan) yang berada di

Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak di

Negara lain tersebut.

 Pasal 7 : Laba Usaha. Laba suatu perusahaan yang

berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan hanya akan

dikenakan pajak di Negara itu, kecuali jika perusahaan itu

menjalankan usaha di Negara pihak persetujuan lainnya melalui

suatu bentuk usaha tetap.


 Pasal 8 : Perkapalan dan Pengangkutan Udara. Laba yang

diperoleh dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam

jalur lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak di Negara

dimana tempat manajemen yang efektif dari perusahaan berada.

 Pasal 9 : Perusahaan-perusahaan yang Mempunyai

Hubungan Istimewa

 Pasal 10 : Deviden

 Pasal 11 : Bunga

 Pasal 12 : Royalti

 Pasal 13 : Keuntungan dari Pemindahan Harta

 Pasal 14 : Pekerjaan Bebas

 Pasal 15 : Penghasilan Para Direktur

 Pasal 16 : Para Seniman dan Olahragawan

 Pasal 17 : Pensiunan dan Tunjangan Hari Tua

 Pasal 18 : Jabatan dalam Pemerintah

 Pasal 19 : Pelajar dan Peserta Latihan

 Pasal 20 : Guru dan Peneliti

 Pasal 21 : Penghasilan Yang Tidak diatur Secara Tegas

b. Bagian Tambahan yaitu berisi antara lain metode penghindaran pajak

berganda dan penyelesaian sengketa pajak.

Pasal 22 : Penghindaran Pajak Berganda


 Pajak penghasilan yang dibayarkan sesuai dengan perundang-undangan

di Indonesia oleh penduduk Malaysia dapat dikreditkan terhadap pajak

di Malaysia

 Pajak penghasilan yang dibayarkan sesuai dengan perundang-undangan

di Malaysia oleh penduduk Indonesia dapat dikreditkan terhadap pajak

di di Indonesia , tetapi tidak melebihi jumlah pajak yang dikenakan di

Indonesia sesuai dengan perhitungan sebelum pengurangan tersebut

diberikan.

c. Bagian Penutup yaitu berisi antara lain saat berlakunya perjanjian dan saat

berakhirnya perjanjian.

Pasal 23 : Berakhirnya Persetujuan

Persetujuan ini akan tetap berlaku sampai diakhiri oleh salah satu

Negara pihak pada Persetujuan. Masing-masing Negara pihak pada

Persetujuan dapat mengakhiri Persetujuan tersebut dengan menyampaikan

pemberitahuan tertulis tentang berakhirnya Persetujuan kepada Negara

pihak pada Persetujuan yang lain melalui saluran diplomatic.

2.2.1 Treaty Shopping

Treaty Shopping adalah suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan

fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang

disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek pajak

yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Upaya

penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut, disebut sebagai

abusive. Hal ini disebabkan karena menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian


penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan

dibuatnya perjanjian penghindaran pajak berganda, yaitu untuk menghindari pajak

berganda dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.

Dalam rangka mencegah praktik penyalahgunaan ketentuan-ketentuan

dalam suatu perjanjian penghindaran pajak berganda agar tidak disalahgunakan

oleh subjek pajak yang tidak seharusnya menerima manfaat dari perjanjian

penghindaran pajak berganda tersebut, maka dalam pasal perjanjian pajak berganda

terdapat ketentuan tentang anti tax avoidance. Disamping itu, banyak negara juga

membuat suatu ketentuan tentang anti tax avoidance terhadap treaty shopping

dalam ketentuan domestiknya.

2.2.2 Kedudukan Surat Keterangan Domisili (SKD) dalam Pencegahan Treaty

Shopping

Sehubungan dengan masalah subjek pajak yang berhak mendapatkan fasilitas yang

ada dalam suatu perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya negara sumber

penghasilan meminta Certificate of Residence (Surat Keterangan Domisili/SKD) sebagai

bukti bahwa subjek pajak tersebut memang benar subjek pajak dalam negeri dari negara

lainnya yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda.

Di India, dalam perjanjian penghindaran pajak berganda India-Mauritius, Central

Board of Direct Taxation menyatakan bahwa SKD yang diterbutkan oleh pihak yang

berwenang di Mauritius dapat dianggap sebagai bukti yang cukup meyakinkan bahwa

penghasilan telah diterima oleh subjek pajak dalam negeri sekaligus sebagai penerima

terakhir yang sebenarnya (beneficial owner of the income). Akan tetapi, oleh Pengadilan

Tinggi, Surat Edaran tersebut dianggap ultra vires terhadap undang-undang pajak

penghasilan India. Lebih lanjut, mengenai Surat Edaran yang diterbitkan tersebut,

Srinivasa Rao berpendapat bahwa hal tersebut merupakan passive abuse by a state karena
negara memberikan legitimasi kepada subjek pajak yang mempunyai peluang untuk

melakukan abuse of tax treaty.

Contoh kasus lain yang berhubungan dengan kedudukan SKD dapat dilihat dalam

kasus sengketa pajak antara Forth Investment Ltd dengan Commissioners of Inland

Revenue yang terjadi di tahun 1976. Dalam kasus tersebut, surat pernyataan dari Company

Secretary dan SKD yang diterbitkan oleh Deputy Commissioner dianggap tidak

mempunyai nilai sama sekali (the evidential value was nil).

Terkait dengan kasus di atas, pengadilan dengan tegas menyatakan bahwa SKD

hanya merupakan opini dari pihak yang menerbitkan SKD tersebut dan pihak otoritas pajak

berhak untuk mendapatkan bukti-bukti lainnya untuk melihat transaksi sesungguhnya

secara lebih mendalam (lebih diutamakan) dan melihat fakta-fakta yang sebenarnya.

2.2.3 Benefical Owner dan Treaty Shopping

Khusus untuk penghasilan atas dividen, bungan, dan royalti, perjanjian

penghindaran pajak berganda menambahkan satu persyaratan lagi selain sebagai resident

untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif yang disediakan, yaitu beneficial owner.

Terkait dengan beneficial owner, Belanda menginterpretasikan beneficial owner sebagai

berikut:

No "real benefit accrues" if the recipient of certain income is under the contractual

obligation to pass the income entirely or almost entirely on to the third party dan a person

cannot be considered beneficial owner if he is, for example, contractually obligated to pay

the largest part of the income to the third parties.

Dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Atas penghasilan bunga dari utang jangka panjang sebesar Rp 10 Milyar tidak

dikenakan pajak di Indonesia;

2. Belanda hanya akan mengenakan pajak atas sebagian kecil dari penghasilan bunga

tersebut (dalam hal ini diberi istilah 'imbalan')


3. Kemudian, penghasilan bungan sebesar Rp 10 Milyar yang diterima oleh Subsidiary,

di negara Tax Haven, tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang

rendah.

2.2.4 Limitation On Benefits Sebagai Anti Treaty Shopping

OECD telah memberikan jalan keluar untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian

penghindaran pajak berganda dengan beberapa alternatif, seperti:

a. looh-through approach;

b. the channel approach;

c. the limitation on benefits approach; dan

d. bonafide test.

Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung di India dalam putusannya menyatakan

bahwa jika otoritas pajak India ingin menyatakan bahwa negara pihak ketiga (non-resident

country) tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas yang disediakan dalam perjanjian

penghindaran pajak berganda, maka negara harus mengadopsi ketentuan limitation of

benefits seperti yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda India-US.

Maksud diadakan ketentuan limitation of benefits tersebut adalah dalam rangka untuk

mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak bergandaoleh subjek pajak yang

tidak berwenang dan dalam rangka untuk kepastian hukum bagi subjek pajak.

Sehubungan dengan ketentuan limitation of benefits, perjanjian penghindaran pajak

berganda Indonesia saat ini mempunyai pasal limitation of benefits hanya dengan USA.

Akan tetapi, untuk dapat memasukkan (renegosiasi) pasal tersebut dalam perjanjian

penghindaran pajak berganda yang masih berlaku saat ini adalah sesuatu yang sangat sulit

karena dalam praktik, masa berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda dengan

satu negara sampai renegosiasi rata-rata sekitar 14 tahun. Hal ini bisa terjadi karena suatu

renegosiasi memerlukan adanya kepentingan bersama dari dua negara yang mengadakan
renegosiasi perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut. Oleh karena itu, keinginan

sepihak untuk memasukkan anti penghindaran pajak dalam perjanjian penghindaran pajak

berganda banyak menemui kendala dalam praktiknya.

2.2.5 SAAR Sebagai Anti Treaty Shopping

Banyak negara, pada umumnya, telah memiliki ketentuan khusus anti

penghindaran pajak (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) untuk mencegah praktik treaty

shopping dalam undang-undang pajak domestik mereka. Di lain pihak, meskipun ketentuan

khusus anti penghindaran pajak (SAAR) sudah diatur dalam ketentuan pajak domestik di

suatu negara tetapi tidak cukup efektif untuk menangkal praktik treaty shopping seperti

yang dinyatakan oleh Arnold (Tidak cukup kuat dapat diartikan bahwa dalam pembuatan

UU Pajak sangat sulit untuk memprediksi skema-skema khusus penghindaran pajak yang

akan dilakukan oleh subjek pajak di kemudian hari). Untuk dapat menangkal praktik

penghindaran pajak perlu adanya kombinasi antara ketentuan umum anti penghindaran

pajak (General Anti Avoidance Rule/ GAAR) dan ketentuan khusus anti penghindaran

pajak.

2.2.6 GAAR Sebagai Anti Treaty Shopping

Paragraf 22 dan 22.1 OECD Commentary atas Pasal 1 menyatakan bahwa

ketentuan anti penghindaran pajak domestik seperti "substance over form principle",

"economic substance", dan ketentuan umum anti penghindaran pajak (General Anti

Avoidance Rule/ GAAR) tidak bertentangan dengan perjanjian penghindaran pajak

berganda. Akan tetapi, sudah ada kesepakatan antara negara anggota OECD bahwa

penerapan GAAR ini harus dilaksanakan dengan hati-hati agar jangan sampai terjadi

pemajakan berganda. Penerapan ketentuan GAAR hanya bisa dilaksanakan jika sudah

terdapat bukti yang sangat jelas bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda telah

disalahgunakan.
Ketentuan GAAR dapat dikembangkan melalui Undang-Undang pajak

penghasilan atau dikembangkan oleh pengadilan pajak melalui putusan-putusannya. Salah

satu doktrin yang dikembangkan oleh pengadilan di banyak negara dalam menyangkal

praktik treaty shopping, melalui pendirian conduit company/paperbox company, yaitu

dengan cara membuat aturan tentang step transaction doctrine. Ketentuan tentang step

transaction doctrine tersebut telah dikembangkan di Pengadilan Pajak AS (US Tax Court).

Terkait dengan ketentuan step transaction doctrine, Pengadilan Pajak AS

menyatakan bahwa suatu rangkaian transaksi yang secara formal dibuat terpisah akan

dibatalkan dan dijadikan sebagai satu transaksi yang tidak terpisahkan. Selain itu, dalam

rangka untuk menangkal complex series of transactions yang tidak mempunyai tujuan

bisnis, semata-mata untuk menghindari pajak, Pengadilan Pajak AS memberikan 3 (tiga)

macam alat uji untuk menerapkan ketentuan step transaction doctrine sebagai berikut ini:

1. Binding Commitment Test

Apabila terdapat serangkaian transaksi, maka apabila setelah tahap pertama

dijalankan, ternyata ada suatu kesepakatan yang mengikat untuk menjalankan tahap

yang kedua, maka transaksi yang terpisah tersebut akan dianggap tidak ada.

2. The End Result Test

Apabila terdapat transaksi yang sudah direncanakan dari awal bahwa transaksi

tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan jika sampai ke tahap yang

terakhir, maka transaksi yang terpisah tersebut akan dianggap tidak ada.

3. The Mutual Interdependence Test

Apabila tahap-tahap yang terpisah tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan sehingga jika suatu bentuk formal yang dibuat pada tahap yang pertama

dijalankan, maka tahap pertama tersebut tidak akan mempunyai arti apapun jika tidak

dijalankan sampai rangkaian dari tahap-tahap tersebut lengkap.


Dalam pasal-pasal perjanjian penghindaran pajak berganda terdapat ketentuan

untuk menangkal agar suatu perjanjian penghindaran pajak berganda tidak

disalahgunakan oleh subjek pajak yang tidak berhak (treay shopping) seperti pasal

limitation of benefits. Akan tetapi, untuk memasukkan pasal-pasal tersebut ke dalam

perjanjian penghindaran pajak berganda, yang masih berlaku, tidak mudah untuk

dilakukan.

Ketentuan anti penghindaran pajak domestik diperkenankan sepanjang terdapat

bukti yang jelas bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda telah disalahgunakan.

Walaupun suatu negara telah mempunyai SAAR untuk menangkal praktik treaty

shopping, tetapi ketentuan tersebut masih belum cukup. Oleh karena itu, dibutuhkan

GAAR, yang dapat dikembangkan melalui undang-undang pajak penghasilan atau

melalui putusan pengadilan pajak, sebagai pelengkap. Menurut Brian J. Arnold, dalam

beberapa kasus GAAR harus dapat meng-override SAAR, jika tidak, maka para pelaku

penghindaran pajak akan memanfaatkan kelemahan teknis dari undang-undang pajak

penghasilan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa GAAR kedudukannya lebih

tinggi dari SAAR.

Sumber:

Darussalam; Hutagaol, John & Septriadi, Danny. 2010. Konsep dan Aplikasi Perpajakan

Internasional. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.

Anda mungkin juga menyukai