Empat Sikap Tak Terukur Dalam Hinayana, Mahayana, Dan Bon
Empat Sikap Tak Terukur Dalam Hinayana, Mahayana, Dan Bon
Pengantar
Empat sikap tak terukur (tshad-med bzhi, Skt. apramana, Pali: appamanna)
adalah:
Keempat sikap ini disebut "kediaman Brahma" karena empat alam Brahma di
taraf rupa-rupa halus (dunia rupa) sesuai dengan empat sikap tak terukur dan
empat tingkat kemantapan batin (bsam-gtan, Skt. dhyana, Pali: jhana). Dewa-
dewa Brahma di alam Brahma pertama memiliki kasih tak terukur; di alam
kedua welas asih tak terukur; di alam ketiga sukacita tak terukur; dan di alam
keempat keseimbangan cita tak terukur. Demikian pula, para pelaku pada
kemantapan batin tingkat pertama memiliki samadhi pada kasih tak terukur;
pelaku tingkat kedua memilikinya pada welas asih tak terukur; dan
seterusnya. Karena kata brahma berarti murni, unggul, atau luhur, pelaku-
pelaku yang mengembangkan sikap-sikap tak terukur ini menjalani hidup
dengan tataran cita yang murni dan luhur seperti dewa-dewa Brahma. Selain
itu, kediaman Brahma itu disebut sikap-sikap "tak terukur" karena mereka
meliputi semua makhluk terbatas (makhluk berindra) dalam segala keadaan
dan karena kekuatan tiap-tiap sikap itu tidak memiliki batas.
Empat sikap tak terukur ini masuk dalam daftar 52 unsur batin Theravada.
Dalam penjelasan Anuruddha tentang 52 unsur tersebut, dua dari empat sikap
itu ditetapkan sebagai unsur yang tak terbatas, karena sasarannya adalah
makhluk-makhluk yang tak terhingga:
Welas asih— unsur yang membuat hati bergetar ketika orang lain berduka
dan merupakan keinginan untuk menghilangkan duka mereka. Musuh
langsung dari unsur ini adalah sikap kejam atau merugikan (Pali: himsa).
Musuh tak-langsungnya adalah kesedihan, perasaan meluap-luap karena
duka.
Sukacita simpatik atau bersukacita— unsur ini berbahagia atas
kesejahteraan orang lain. Musuh langsungnya adalah kecemburuan dan
musuh tak-langsungnya adalah kegembiraan yang meluap-luap, terlalu
bersemangat atas kemakmuran orang lain sehingga tataran cita menjadi
gelisah.
Berkebalikan dengan rupa-rupa tak terukur, rupa-rupa dasar dari dua sikap
lainnya ini masuk dalam daftar 19 unsur yang menyertai tataran cita yang
membangun:
Kasih — keinginan agar orang lain bahagia dan unsur ini masuk dalam
golongan non-amarah (Pali: adosa; ketenangan yang teguh). Musuh
langsungnya adalah niat jahat atau kemarahan, dan musuh tak-langsungnya
adalah melekat, terlalu dekat.
Keseimbangan cita — unsur ini adalah sikap berwatak tenang terhadap
sasaran dan masuk dalam golongan bercita tenang (Pali: tatra majjhattata).
Musuhnya adalah kemelekatan (Pali: raga) dan musuh tak-langsungnya
ketidakpedulian.
Untuk bermeditasi pada keempat pokok ini, kita perlu membangkitkan tiap-
tiap tataran cita, satu per satu, pertama-tama ditujukan pada diri sendiri, dan
kemudian meluas kepada ibu, ayah, keluarga, teman, orang asing, musuh,
semua orang di negara kita, dan seterusnya, sampai rasa ini menjangkau
semua makhluk terbatas. Setelah melalui urutan ini dengan sikap tak terukur
yang pertama, kita membangkitkan pokok berikutnya dan meluaskannya
dengan cara yang sama. Sikap-sikap ini adalah:
Kasih dan welas asih memiliki sifat guna (rang-bzhin) niramarah (zhe-
sdang med-pa, Skt: advesha; ketenangan yang teguh), yang digaungkan oleh
Anuruddha mengenai kasih.
Sukacita memiliki sifat guna kebahagiaan batin (yid bde-ba).
Ketenangan hati memiliki sifat khas (bdag-nyid) nirkemelekatan (ma-
chags-pa;teguh berdiri sendiri).
Kita mengembangkan welas asih dan sukacita tak terukur melalui urut-urutan
yang sama seperti kasih tak terukur. Untuk welas asih tak terukur, kita
berpikir, "Makhluk-makhluk terbatas tenggelam di sungai duka. Betapa indah
jika mereka segera bebas dari duka itu." Untuk sukacita tak terukur, kita
berpikir, "Betapa indah jika mereka juga bersukacita." Vasubandhu tidak
menjelaskan pikiran yang perlu dikembangkan untuk keseimbangan cita tak
terukur, tetapi menerangkan bahwa kita memulai tahapan memperluas
keseimbangan cita tak terukur kepada orang lain dengan urutan yang dimulai
dari orang-orang yang punya hubungan biasa dengan kita. Ia juga
menerangkan bahwa hanya manusia yang dapat mengembangkan empat
sikap tak terukur.
Aliran Mahayana
Dalam aliran Mahayana, empat sikap tak terukur disebutkan dalam beberapa
sutra ternama, seperti:
Sutra Teratai Putih Dharma Suci (Dam-pa'i chos pad-ma dkar-po zhes-bya-
ba theg-pa chen-po'i mdo, Skt: Saddharmapundarika-nama Sutra
Mahayana; Sutra Teratai)
Sutra Pembebasan Paripurna yang Agung dari semua Nestapa (Yongs-su
mya-ngan-las 'das-pa chen-po'i mdo, Skt: Mahaparinirvana Sutra).
Aliran Nichiren dari ajaran Buddha Jepang menafsirkan kasih, welas asih, dan
sukacita tak terukur, yang hanya disebutkan dalam Sutra Teratai, dengan cara
yang mirip seperti yang ada dalam penyajian Theravada. Jadi, sukacita tak
terukur, misalnya, adalah sikap bersukacita ketika makhluk-makhluk terbatas
memiliki kebahagiaan. Namun, keseimbangan cita tak terukur dijelaskan
sebagai sikap pandai menguasai diri terhadap kebahagiaan dan
ketidakbahagiaan, kenikmatan dan kepedihan, dalam semua keadaan, seperti
ketika bertemu teman dan musuh. Ini adalah tataran ketenteraman paripurna.
Lebih lanjut, keseimbangan cita tak terukur adalah tataran cita yang
dibersihkan oleh sikap kasih, welas asih, dan sukacita tak terukur. Sikap ini
menyadari orang lain sedemikian rupa sehingga tidak hanya mengalami
kebahagiaan maupun ketidakbahagiaan, tetapi juga tidak tertarik atau ditolak
oleh orang lain. Dengan demikian, keseimbangan cita tak terukur sejalan
dengan empat tingkat kemantapan batin dalam hal bebas dari semua rasa
ketidakbahagiaan, kebahagiaan ragawi dan batin, dan sukacita yang sunyi atas
kedamaian batin.
Sutra Mahayana lainnya, Sutra yang Diajarkan oleh Arya Akshayamati (Blo-
gros mi-zad-pas bstan-pa'i mdo, Skt: Arya Akshayamati-nirdesha Sutra), berisi
penjelasan mengenai hasil yang muncul di kehidupan-kehidupan selanjutnya
karena mengembangkan empat sikap tak terukur dalam meditasi. Ini tampak
sesuai dengan penafsiran Sutra Teratai di atas:
Di sini, sikap-sikap yang disebutkan adalah kasih yang “luhur”, welas asih
yang “luhur”, dan seterusnya, bukan kasih “tak terukur”, welas asih “tak
terukur”, dan seterusnya. Tidak jelas apakah rupa “luhur" dan rupa “tak
terukur” itu sama. Namun demikian, menyatukan hasil-hasil yang disebutkan
diatas dengan tataran-tataran cita lawan yang ditetapkan oleh Vasubandhu
(walaupun Vasubandhu mengartikan sukacita tak terukur secara berbeda),
kita mungkin dapat memahami hasil-hasil ini sebagai berikut:
Kasih mengatasi lawannya: niat jahat dan kebencian. Jadi, dengan hasil
yang sesuai dengan sebab-sebabnya dalam pengalaman kita (myong-ba
rgyu-mthun-gyi 'bras-bu), tidak berharap orang lain celaka akan
menyebabkan diri sendiri tidak celaka.
Welas asih mengatasi lawannya: sikap kejam atau merugikan. Kebencian
dan kemarahan, yaitu keinginan untuk mencelakai orang yang tidak kita
sukai, merusak akar-akar daya positif (dge-rtsa, akar-akar kebajikan) kita.
Akibatnya, apa yang akan matang dari akar-akar itu tertunda dan
kematangan itu akan menjadi lebih lemah. Dengan demikian, berharap
orang lain bebas dari duka akan menyebabkan akar-akar pada
kesinambungan batin kita menjadi mantap.
Bersukacita atas mutu-mutu baik orang lain, pencapaian Dharma orang
lain, dan kebahagiaan orang lain mengatasi lawannya: kecemburuan atau
tidak bersukacita atas mutu-mutu baik orang lain, dan lain sebagainya. Jadi,
dengan hasil yang sesuai dengan sebab-sebabnya dalam perilaku kita
(byed-pa rgyu-mthun-gyi 'bras-bu), mengakui mutu-mutu nyata orang lain
dan bersukacita untuknya akan menghasilkan keyakinan teguh atas apa
yang benar, sedangkan bersukacita atas kebahagiaan orang lain akan
menghasilkan kebahagiaan ragawi dan batin dalam diri kita sendiri.
Keseimbangan cita mengatasi lawannya: kemelekatan atau hasrat
mendamba dan niat-jahat. Sikap ini memiliki rasa netral terhadap semua
orang. Jadi, dengan hasil yang menyerupai sebab-sebabnya dalam perilaku
kita, kita tidak akan gelisah oleh rasa kebahagiaan maupun
ketidakbahagiaan.
Menurut Maitreya, meskipun empat sikap ini dapat dicapai dengan cita yang
masih berada dalam lingkup taraf hasrat indrawi, sikap-sikap yang
dikembangkan dengan pikiran seperti itu tidak "tak terukur." Rupa-rupa tak
terukurnya hanyalah yang dicapai dengan cita yang telah mencapai tataran
nyata (dngos-gzhi) pada salah satu dari empat tingkat kemantapan batin.
Tiga sikap tak terukur lainnya memiliki arti luas yang sama sebagai kasih tak
terukur, tetapi dengan pikiran yang berbeda:
Empat Sifat yang Diperlukan agar Empat Sikap Tak Terukur Menjadi
Mantap
Untuk pemahaman yang lebih jelas tentang empat sikap ini, Tsongkhapa,
dalam pembahasannya, kembali pada Kerawang untuk Sutra-Sutra
Mahayana karya Maitreya. Di sini, Maitreya menyusun empat sifat khusus
yang harus dimiliki empat sikap tak terukur agar menjadi mantap. Sikap-sikap
itu harus (1) menyingkirkan unsur-unsur perusak kesinambungan batin
orang yang mengembangkannya, (2) meraih salah satu pencapaian pada
tataran tertentu yang menjadi lawan dari unsur-unsur tersebut, (3) memiliki
cara-cara pemusatan khusus yang ditujukan untuk sasaran-sasarannya, dan
(4) menjalankan kegunaan tertentu.
"Ketika empat sikap tak terukur memusat pada sasaran-sasaran ini sebagai
makhluk terbatas, keempatnya memusat pada mereka karena memiliki
sifat dasar sebagai manusia berwujud (gang-zag-kyi rdzas-kyi ngo-bo).
Ketika sikap-sikap itu memusat pada sasaran sebagai fenomena,
keempatnya memusat pada sasarannya karena tidak adanya keberadaan
yang berwujud, akan tetapi tetap memiliki sifat dasar sebagai fenomena
semata (chos-tsam).
Ketika sikap-sikap itu memusat pada sasarannya tanpa tujuan, keempatnya
memusat pada sasarannya sebagai bukan fenomena semata, tetapi terpisah
dari cara mengada yang mustahil mengenai keinsafan yang membawa
mereka sebagai sasaran dan diri mereka sendiri sebagai sasaran keinsafan
itu (gzung-'dzin-dang bral-ba)." Dengan kata lain, jenis-jenis tak-tertuju
dari empat sikap ini memusat pada orang-orang dan saat-saat keinsafan
yang menganggap mereka tidak berasal dari sumber kelahiran yang
berbeda (rdzas tha-dad)—keduanya berasal dari benih karma yang sama
dalam alayavijnana pada pengenal mereka.
Dua Corak Utama dari Sukacita dan Keseimbangan Cita Tak Terukur
Dari tinjauan ini, jelas bahwa sukacita tak terukur memiliki dua corak utama.
Menurut Theravada dan Nichiren, ini adalah tataran cita yang bersukacita atas
kebahagiaan orang lain. Menurut dua aliran abhidharma (mngon-par chos,
pokok-pokok pengetahuan) dan naskah-naskah-naskah terkait yang dianut
oleh berbagai aliran Buddha Tibet, ini mencakup bersukacita semata, tetapi
menjangkau luas. Vasubandhu, mewakili kedudukan
Vaibhashika/Sautrantika, menegaskan bahwa sukacita tak terukur sebagai
yang utama juga mencakup keinginan agar orang lain memiliki kebahagiaan
batin; sementara Asanga, mewakili Chittamatra, menjelaskan itu sebagai yang
utama juga keinginan agar orang lain tidak pernah terpisah dari kebahagiaan
yang mereka miliki. Berbagai aliran Buddha Tibet menggunakan perumusan
Vasubandhu atau Asanga, perbedaan utamanya ada dalam penjelasan tentang
kebahagiaan yang diinginkan oleh sukacita tak terukur untuk dimiliki orang
lain, atau yang diinginkannya agar tak terpisah dari orang lain, dan apakah
orang lain sudah memiliki kebahagiaan itu.
Sebelum pernyataan ini dalam pendahulu dari kedua naskah tersebut, Atisha
mengutip satu bagian panjang dari Sutra yang Diajarkan oleh Arya
Akshayamati yang berisi nukilan yang dikutip di atas. Kita mungkin menduga
dari ini bahwa Atisha setuju dengan urut-urutan empat sikap tak terukur yang
ditemukan dalam sutra ini diawali dengan kasih. Namun, banyak naskah Tibet
yang mengikuti pendapat Atisha mengenai penempatan meditasi mengubah
urutan empat sikap dan menempatkan keseimbangan cita di urutan pertama.
Keseimbangan cita tak terukur – cita yang setara terhadap setiap orang
Kasih tak terukur – keinginan agar semua makhluk bahagia
Welas asih tak terukur –keinginan agar mereka bebas dari duka
Sukacita tak terukur –keinginan agar mereka tak pernah terpisah dari
kebahagiaan.
Dengan keseimbangan cita tak tertuju, kita tenteram di dalam unsur ruang
terbuka (klong) kesadaran murni, bebas seutuhnya dari semua noda
sepintas dari perasaan gelisah, seperti kemelekatan dan keengganan, dan
citra-citra seperti dekat dan jauh.
Dengan kasih tak tertuju, kita tenteram di dalam unsur kesetaraan (mnyam-
nyid) ruang terbuka kesadaran murni, yang membentang ke segala arah
dengan kasih yang setara.
Dengan welas asih tak tertuju, kita tenteram di dalam unsur tercerap
(mnyam-bzhag) ruang terbuka kesadaran murni, yang juga membentang ke
babak perwujudan berikutnya (rjes-thob) dengan keterbukaan dan welas
asih yang tak terpisahkan.
Dengan sukacita tak tertuju, kita tenteram di dalam unsur kebahagiaan
ruang terbuka kesadaran murni.
Setelah bermeditasi pada rupa-rupa yang tertuju dan tak tertuju dari empat
sikap tak terukur dengan urutan yang dimulai dengan keseimbangan cita,
Longchenpa menguraikan lebih lanjut meditasi pada empat sikap itu, tapi kini
diawali dengan kasih. Laku seperti ini dengan urutan biasa dari empat sikap
akan membantu mengurangi kelekatan pada rupa-rupa tertuju yang mungkin
terjadi.
Ketika laku dari empat sikap itu telah mantap, kita kemudian bermeditasi
pada empat sikap itu dalam urutan yang bebas.
Longchenpa juga mengaitkan meditasi pada empat sikap tak terukur dengan
laku-laku untuk melarutkan lima perasaan yang gelisah ke dalam rupa dasar
kesadaran mendalam mereka:
Selain itu, Paltrul menggabungkan meditasi pada empat sikap tak terukur
dengan sebagian besar unsur dari tujuh-bagian sebab dan akibat ajaran
intisari untuk mengembangkan bodhicita (rgyu-'bras man-ngag bdun), yang
berasal dari karya guru India Asanga Tahap-Tahap Cita Bodhisattwa (Byang-
chub sems-dpa'i sa, Skt. Bodhisattvabhumi). Tujuh-bagian ini mengembangkan
keseimbangan cita, mengakui semua makhluk pernah menjadi ibu kita dalam
kehidupan terdahulu, mengingat kebaikan ibu, menghargai dan berharap
dapat membalas kebaikan, kasih, welas asih, dan keteguhan hati yang luar
biasa, dan tujuan bodhicita.
Paltrul menjelaskan:
Keseimbangan cita tak terukur – tataran cita yang bebas dari kemelekatan,
keengganan, dan ketidakpedulian terhadap semua makhluk terbatas dan
juga bebas dari anggapan bahwa sebagian makhluk dekat dan sebagian lain
jauh. Sikap ini berdasar pada anggapan bahwa semua makhluk terbatas
pernah menjadi ibu kita dalam kehidupan terdahulu, meskipun statusnya
telah berubah sejak saat itu.
Kasih – dikembangkan dengan memperlakukan semua makhluk secara
sama sebagaimana orang tua memperlakukan anak-anak mereka – yaitu,
dengan kasih yang hangat (yid-du ‘ong-ba’i byams-pa). Ini adalah kasih yang
dengannya kita gembira bertemu seseorang dan akan sedih jika ada hal
buruk menimpanya. Juga, kita perlu berpikir bahwa semua orang ingin
bahagia, sebagaimana diri kita sendiri menginginkannya. Penekanannya
adalah pada bersikap baik kepada orang lain, terutama kepada orang tua
kita sebagai balasan atas kebaikan mereka.
Welas asih – memandang makhluk yang berduka seperti memandang ibu
kita berduka, dan ini didapat dari melihat orang lain sebagai ibu kita
sendiri.
Sukacita – tataran cita yang bersukacita atas kebahagiaan dan
kesejahteraan orang lain dan, tanpa kecemburuan, ingin agar mereka
mendapat lebih banyak kebahagiaan. Sukacita tak terukur mengarah pada
bodhicita, keinginan agar semua makhluk terbatas memiliki kebahagiaan
(sukacita) pencerahan.
Contoh-Contoh Aliran Gelug dari Maitreya dan
Asanga mengenai Penempatan Empat Sikap Tak
Terukur setelah Mengembangkan Bodhicita dan
dengan Keseimabangan Cita di Urutan Pertama
Alasan Penempatan
Beberapa naskah untuk laku pendarasan dalam aliran Gelug juga
menempatkan keseimbangan cita di urutan pertama dalam penyajian-
penyajian mereka mengenai empat sikap tak terukur. Namun, sejalan dengan
penjelasan Maitreya dan Asanga, mereka menyajikan meditasi pada empat
sikap setelah mengembangkan tujuan bodhicita. Dua yang paling banyak
dijalankan adalah:
Enam-Sesi Yoga Luas (Thun-drug-gi rnal-‘byor rgyas-pa), oleh guru abad ke-
17, Panchen Lama Keempat (Pan-chen Blo-bzang chos-kyi rgyal-mtshan)
Naskah Ritual Upacara Persiapan (yang-chub lam-gyi-rim-pa’i dmar-khrid
myur-lam-gyi sngon-‘gro’i ngag-‘don-gyi rim-pa khyer bde-bklag chog bskal-
bzang mgrin-rgyan, sByor-chos; Jorcho: Puja Lam-rim) oleh guru akhir abad
ke-19 Dagpo Jampel-lhundrub (Dvags-po Blo-bzang 'jam-dpal lhun-grub).
Pertama dalam naskah ini muncul bait umum untuk berhaluan aman dalam
hidup (berlindung) dan mengembangkan tujuan bodhicita: "Aku berhaluan
aman, sampai tataran kemurnianku, dari pada Buddha, Dharma, dan Majelis
Tertinggi. Dengan daya positif dari dermaku dan sebagainya, semoga aku
mewujudkan ke-Buddha-an untuk membantu orang-orang yang berkelana."
Ini diikuti oleh seloka-seloka untuk mengembangkan bodhicita yang
diidamkan dan kemudian untuk mengambil sumpah-sumpah bodhisattwa
dengan memasuki bodhicita. Setelah itu muncul bait untuk mengembangkan
empat sikap tak terukur.
Welas asih tak terukur – “Semoga mereka terbebas dari samudera duka
yang tak tertahan."
Sukacita tak terukur – Semoga mereka tidak pernah terpisah dari
kebahagiaan kebebasan murni."
Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa kasih tak terukur adalah
keinginan agar makhluk-makhluk terbatas tidak hanya meraih kebahagiaan,
tetapi juga sebab-sebab kebahagiaan. Welas asih tak terukur adalah keinginan
agar mereka terpisah tidak hanya dari duka, tetapi juga dari sebab-sebab
duka. Penambahan ini sesuai dengan perumusan baku dalam lingkung empat
sikap tak terukur yang ditemukan dalam banyak naskah aliran Buddha Tibet
selain Gelug dan ajaran Bon.
Niat tak terukur ('dun-pa tshad-med) – "Betapa indah jika semua makhluk
fana terpisah dari duka dan sebab-sebab duka."
Pengharapan tak terukur (smon-pa tshad-med) – "Semoga mereka terpisah
dari duka dan sebab-sebab duka."
Keteguhan hati tak terukur (lhag-bsam tshad-med) – "Aku akan membuat
mereka terpisah dari duka dan sebab-sebab duka."
Permohonan tak terukur (gsol-'debs tshad-med) – "Untuk bisa melakukan
itu, dewa-guru, aku memohon ilham."
Dalam merumuskan sukacita yang luhur sebagai tataran cita yang bergembira
dalam kebahagiaan orang lain, Bon setuju dengan Theravada, Nichiren, dan
master Nyingma, Paltrul. Meskipun banyak aliran dan naskah Tibet
memasukkan sebab-sebab kebahagiaan dalam kasih tak terukur dan sebab-
sebab duka dalam welas asih tak terukur, Bon tampak khas dengan
menyebutkan sebab-sebab kebahagiaan dalam sukacita tak terukur.
Perumusan Bon pada keseimbangan cita yang luhur juga tampak khas. Dalam
beberapa perumusan lain di mana keseimbangan cita tak terukur adalah sikap
pandai menguasai diri terhadap semua makhluk dan yang pengembangannya
muncul terakhir dalam urutan empat sikap empat, penekanannya tampak
menyejajarkan dengan urutan empat tingkat keteguhan batin. Dalam
Theravada, misalnya, keseimbangan cita adalah sikap tidak mudah marah
kepada semua makhluk, bahkan ketika membantu, tidak menjadi terlalu
terlibat atau tak peduli, karena pada akhirnya setiap orang perlu mencapai
kebebasan melalui usahanya sendiri.
Contoh dari perumusan dari aliran Karma Kagyu ini adalah Sahaja Vajrayogini
Sadhana (dPal-ldan lhan-cig-skyes-ma rdo-rje rnal-'byor sgrub-thabs dkyil-
'khor-gyi-cho-ga gsang-chen mchog-gi myur-lam gsal-ba'i-'dren-pa) karya
Karmapa Keenam pada awal abad ke-16 (rGyal-ba Kar-ma-pa mThong-ba don-
ldan). Contoh dari aliran Sakya adalah Hevajra Sadhana Panjang-
Menengah (dPal kye rdo-rje'i mngon-par rtogs-pa 'bring-du bya-ba yan-lag
drug-pa'i mdzes-rgyan) oleh Ngorchen Konchog-lhundrub.
Perumusan baku ini juga muncul dalam beberapa naskah Gelug. Sebagai
contoh:
Kalacakra
Dalam Sadhana Luas Mandala Kalacakra Raga, Wicara, dan Cita (bCom-ldan-
'das dpal dus-kyi 'khor-lo'i sku-gsung-thugs yongs-su rdzogs-pa'i dkyil-'khor-gyi
sgrub-thabs mkhas-sgrub zhal-lung) oleh Dalai Lama Ke-7, diulang
dalam Kalacakra Yoga-Guru Bersama dengan Laku Enam-Sesi (Thun-drug-
dang ‘brel-ba’i dus-‘khor bla-ma’i rnal-’byor dpag-bsam yongs-’du’i snye-ma)
oleh Yang Mulia Dalai Lama Ke-14, yang digubah oleh Ling Rinpoche (Yongs-
’dzin Gling Rinpoche Thub-bstan lung-rtogs rnam-rgyal ‘phrin-las) :
Pikiran untuk kasih dan welas asih tak terukur di sini tidak menyebut sebab-
sebab kebahagiaan dan sebab-sebab duka. Menurut penjelasan lisan, mereka
hendak dimasukkan.
Asanga menyatakan dalam naskah ini bahwa ada tiga jenis keseimbangan cita:
variabel yang mempengaruhi ('du-byed, Skt. samskara) termasuk dalam
gugusan variabel lain yang mempengaruhi, rasa (tshor-ba, Skt. vedana), dan
sikap tak terukur. Namun, guna yang disebutkan di atas adalah guna
keseimbangan cita sebagai variabel yang mempengaruhi, bukan guna
keseimbangan cita tak terukur. Sebagai sebuah variabel yang mempengaruhi,
ketenangan hati diartikan oleh Asanga sebagai tataran cita yang dengan
sendirinya mencapai tujuannya, tanpa berada dalam pengaruh kecerobohan
atau kemajalan.
Sadhana Luas Vajrabhairava Tiga Belas Dewa (dPal rdo-rje 'jigs-byed lha
bcu-gsum-ma'i sgrub-thabs rin-po-che'i za-ma-tog) oleh Changkya Pertama
(lCang-skya Ngag-dbang blo-bzang chos-ldan)
Sadhana Luas Vajrabhairava Ekavira (bCom-ldan-'das dpal rdo-rje 'jigs-byed
dpa'-bo gcig-pa'i sgrub-thabs bdud-las rnam-rgyal-gyi ngag-'don nag-'gros
blo-dman las dang-po-pa-la khyer bde-bar bkod-pa) oleh Pabongka
Sadhana Luas dari Silsilah Kyergang tentang Hayagriva yang Diam-Diam
Mewujud (sKyer-sgang lugs-kyi rta-mgrin gsang-sgrub-kyi sgrub-thabs
rgyas-pa rTa-mchog rol-pa'i zhal-lung).
Di sini, menurut penjelasan lisan, perlu banyak diisi dalam: misalnya, sebab-
sebab kebahagiaan dalam keinginan kasih tak terukur dan sebab-sebab duka
dalam keinginan welas asih tak terukur. Meskipun tidak secara gamblang
dinyatakan, kebahagiaan yang dimaksud dalam sukacita tak terukur adalah
kesadaran sukacita seorang Buddha.
Penempatan welas asih sebelum kasih juga terjadi dalam laku memberi dan
menerima (gtong-len, tonglen). Laku ini mengharuskan untuk, dengan kasih,
memberi kebahagiaan kepada orang lain, dan dengan welas asih, mengambil
duka mereka. Pada bait mengenai memberi dan menerima dalam karya
Panchen Lama Keempat Upacara Persembahan kepada Guru-Guru Rohani (Bla-
ma mchod-pa, Puja Guru), dengan penuh welas asih mengambil duka orang
lain sebelum dengan penuh kasih memberi mereka kebahagiaan.
Dalam Kebebasan di Telapak Tangan Kita, Pabongka menjelaskan bahwa
tanpa mengambil duka orang lain secara penuh welas asih, orang lain tidak
dapat mengalami kebahagiaan yang diberikan kepada mereka. Sekali lagi,
meskipun sebab-sebab duka dan sebab-sebab kebahagiaan tidak disebutkan
secara gamblang, ini secara tersirat termasuk.
Dengan sukacita tak terukur, keinginan agar kebahagiaan orang lain yang
sudah dicapai bisa tetap teguh adalah keinginan agar mereka selalu berada
dalam tataran sukacita seorang Buddha. Ini mirip dengan keinginan sukacita
tak terukur yang ditemukan dalam Kalacakra dan Sadhana-Sadhana Mandala
Raga Chakrasamvarayang dikutip di atas.
Perumusan keseimbangan cita tak terukur sebagai keinginan agar cita orang
lain bersemayam dalam satu rasa pada sifat-dasar yang sesuai adalah
keinginan agar cita mereka tetap memiliki pemahaman bahwa semua
makhluk adalah setara tanpa cara-cara mengada yang mustahil. Perumusan
ini juga sesuai dengan yang ditemukan dalam Sadhana Kalacakra, di mana
sikap ini ingin orang lain memiliki keseimbangan cita pada kesetaraan.
Akshobhya
Dalam Sadhana Vajra Akshobhya (bCom-ldan-'das rdo-rje mi-'khrugs-pa'i
sgrub-dkyil yongs-su rdzogs-pa'i cho-ga mngon-par dga'-ba'i sgo-'byed), juga
oleh Panchen Lama Keempat,
Ringkasan
Dari tinjauan ini, jelas bahwa ada banyak corak pemahaman, perumusan, dan
laku dari empat sikap tak terukur. Keragaman ini menunjukkan luasnya laku
dan, bukannya melihat aliran yang berbeda-beda ini bertentangan, jika kita
menyadari berbagai macam rupa, ini dapat memperkaya laku kita.
Welas asih tak terukur memuat keinginan agar semua makhluk terbatas:
Sukacita tak terukur mencakup bersukacita atas hal-hal berikut ini yang
dimiliki makhluk-makhluk terbatas:
Sukacita tak terukur mungkin juga mencakup keinginan agar semua makhluk:
Memiliki kebahagiaan batin
Memiliki sukacita dengan selalu bersemayam dalam kebahagiaan
(kebahagiaan seorang Buddha)
Tak pernah terpisah dari kebahagiaan
Tak pernah terpisah dari kesadaran bahwa kebahagiaan asli mereka
merupakan bagian dari sifat-dasar Buddha mereka
Tak pernah terpisah dari kebahagiaan murni tataran kelahiran kembali
yang unggul dan kebebasan
Tak pernah terpisah dari kebahagiaan murni kebebasan
Tak pernah terpisah dari kebahagiaan murni seorang Buddha
Tak pernah terpisah dari kebahagiaan murni (seorang Buddha) yang bebas
dari duka
Tak pernah terpisah dari kebahagiaan (seorang Buddha) yang sudah
dicapai
Tetap teguh dengan kebahagiaan (seorang Buddha) yang sudah dicapai.
Urutan empat sikap tak terukur boleh dimulai dengan kasih, keseimbangan
cita, atau welas asih. Selain itu, dalam laku Mahayana, keempat sikap itu dapat
ditumbuhkan sebagai cara untuk mengembangkan bodhicita, atau sebagai
cara untuk meningkatkan bodhicita setelah itu dikembangkan, sehingga
mencapai pencerahan secara lebih efektif.