Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 2

2.1 Hepatitis B .................................................................................................... 2

2.1.1 Definisi .............................................................................................. 2

2.1.2 Etiologi ............................................................................................... 2

2.1.3 Epidemiologi ...................................................................................... 2

2.1.4 Cara Penularan .................................................................................... 3

2.1.5 Patogenesis ......................................................................................... 3

2.1.6 Manifestasi klinis ................................................................................ 5

2.1.7 Diagnosis ............................................................................................ 6

2.2.8 Pengaruh Infeksi VHB pada kehamilan ............................................. 8

2.2.2 Pengaruh Kehamilan pada Infeksi VHB ............................................ 8

2.2.3 Transmisi VHB Perinatal.................................................................... 9

2.2.4 Penanganan Infeksi VHB saat Kehamilan.......................................... 11

2.2.5 Imunoprofilaksis ................................................................................. 12

2.2.6 Penanganan Anak dan Ibu dengan HBsAg (+) ................................... 12

2.2 korioamnionotos ........................................................................................... 14

2.2.1 Definisi ............................................................................................... 14

2.2.2 Etiologi ............................................................................................... 14

2.2.3 Patogenesis ......................................................................................... 14

2.2.4 Manifestasi klinis ................................................................................ 15

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 15

i
2.2.6 Penatalaksanaan .................................................................................. 15

2.2.7 Komplikasi.......................................................................................... 16

2.2.8 prognosis ............................................................................................ 17

BAB III KESIMPULAN.................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang di
dunia, termasuk di Indonesia. Virus hepatitis B (VHB) telah menginfeksi sejumlah 2 milyar
orang di dunia dan sekitar 240 juta merupakan pengidap virus hepatitis B kronis. Indonesia
merupakan negara dengan pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar sesudah Myanmar diantara
negara-negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region). Sekitar 23 juta penduduk
Indonesia telah terinfeksi Hepatitis B. Menurut hasil Riskesdas 2007, hasil pemeriksaan
Biomedis 10.391 sampel serum yang diperiksa, prevalensi HBsAg positif 9.4% yang berarti
diantara 10 penduduk di Indonesia terdapat seorang penderita Hepatitis B virus.1
Angka penularan secara vertikal dari ibu pengidap Hepatitis B kepada bayinya cukup
tinggi. Berdasarkan penelitian beberapa rumah sakit di Indonesia, prevalensi HBsAg pada ibu
hamil berkisar 2,1 – 35,1%. Resiko tinggi terhadap Hepatitis B terdapat pada anak yang
dilahirkan dari ibu penderita Heptitis B, pasangan penderita Hepatitis B, orang yang sering
berganti pasangan sex, injection drug user, kontak serumah dengan penderita, penderita
hemodialisis, pekerja kesehatan, petugas laboratorium dan berkunjung ke wilayah dengan
endemisitas tinggi.2
Penanganan Hepatitis B di Indonesia adalah masalah yang rumit dan membutuhkan
koordinasi dari banyak pihak. Sulitnya penanganan ini antara lain disebabkan karena
tingginya prevalensi Hepatitis B di Indonesia, sifat virus Hepatitis B yang sangat infeksius,
dan kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang Hepatitis B. Penanganan
Hepatitis B di Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi upaya memutus rantai penularan
virus Hepatitis B dan penanganan secara tepat penderita Hepatitis B. Pemutusan rantai
penularan virus Hepatitis B bisa dilakukan secara vertikal maupun horizontal. Penanganan
penderita Hepatitis B secara tepat, selain berguna untuk menekan angka kejadian sirosis dan
kanker hati, juga berguna untuk mencegah penularan dengan cara mengurangi tingkat
infeksiusitas penderita.5
Korioamnionitis merupakan infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan amnion
yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis
adalah 1 – 5% dari kehamilam aterm dan sekitar 25% dari partus preterm.8

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis B
2.1.1 Defisnisi
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
(VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula menyebabkan radang hati,
gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan kematian.1
2.1.2 Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis B (VHB) yang termasuk family
Hepadnavirus dan berukuran sangat kecil (42nm). VHB merupakan virus DNA dan sampai
saat ini terdapat 8 genotip VHB yang telah teridentifikasi, yaitu genotip A-H. VHB memiliki
3 morfologi dan mampu mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan
HBxAg. 2

Gambar 1. Virus Hepatitis B


2.1.3 Epidemiologi
Hepatitis B tersebar di seluruh dunia, WHO memperkirakan lebih dari 2 milyar orang
terinfeksi HBV (termasuk 240 juta dengan infeksi kronis). Setiap tahun diperkirakan sekitar
1.000.000 orang meninggal akibat infeksi HBV. Pada negara dengan VHB endemis tinggi
(prevalensi HBsAg berkisar di atas 8%), infeksi dapat terjadi pada semua golongan usia.
Prevalensi terjadinya infeksi Hepatitis B kronik pada anak-anak jauh lebih tinggi
dibandingkan pada orang dewasa. Penularan Hepatitis B terutama terjadi selama masa
kehamilan dari ibu dengan Hepatitis B ke anak (penyebaran perinatal).1

2
2.1.4 Cara penularan
Ada 2 golongan cara penularan infeksi VHB, yaitu penularan horizontal dan penularan
vertikal. Cara penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi VHB kepada
individu yang masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit
atau melalui selaput lendir, sedangkan penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang
hamil kepada bayi yang dilahirkannya.2
Ada 2 macam penularan melalui kulit, yaitu penularan melalui kulit yang disebabkan
tusukan yang jelas (penularan parenteral), misalnya melalui suntikan, transfusi darah atau
pemberian produk berasal dari darah, dan tato. Kelompok kedua adalah penularan melalui
kulit tanpa tusukan yang jelas, misalnya masuknya bahan infektif melalui goresan atau abrasi
kulit dan radang kulit. Selaput lendir yang dapat menjadi tempat masuk infeksi VHB adalah
selaput lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir
genitalia.3
Penularan infeksi dari ibu hamil kepada bayi yang dilahirkannya. Dapat terjadi pada
masa sebelum kelahiran atau prenatal (inutero), selama persalinan atau perinatal dan setelah
persalinan atau postnatal. Dulu diperkirakan bahwa penularan inutero hanya terjadi pada 5-
15% bayi yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Namun, teradapat bukti
bahwa sebenarnya penularan inutero terjadi lebih tinggi dari angka-angka tersebut. Penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang tertular VHB secara vertikal mendapat
penularan pada masa perinatal yaitu pada saat terjadi proses persalinan. Karena itu bayi yang
mendapat penularan vertikal sebagian besar mulai terdeteksi HBsAg positif pada usia 3-6
bulan yang sesuai dengan masa tunas infeksi VHB yang paling sering didapatkan. Penularan
yang terjadi pada masa perinatal dapat melalui cara maternofetal micro infusion yang terjadi
pada waktu terjadi kontraksi uterus, tertelannya cairan amnion yang banyak mengandung
VHB serta masuknya VHB melalui lesi yang terjadi pada kulit bayi waktu melalui jalan lahir.
Penularan infeksi VHB vertikal juga dapat terjadi setelah persalinan.3
2.1.5 Patogenesis
Penelitian menunjukkan bahwa VHB bukanlah suatu virus yang sitopatik. Kelainan sel
hati yang diakibatkan oleh infeksi VHB disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap
hepatosit yang terinfeksi VHB dengan tujuan akhir untuk mengeliminasi VHB tersebut. Pada
kasus-kasus Hepatitis B akut respons imun tersebut berhasil mengeliminasi sel-sel hepar yang
terkena infeksi VHB sehingga terjadi nekrosis sel-sel yang mengandung VHB dan terjadi
gejala klinik yang diikuti dengan kesembuhan. Pada sebagian penderita respons imun

3
tersebut tidak berhasil menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi sehingga VHB tersebut
tetap mengalami replikasi. Pada kasus-kasus dengan Hepatitis B kronik, respons imun
tersebut ada, tetapi tidak sempurna sehingga hanya terjadi nekrosis pada sebagian sel hati
yang mengandung VHB dan masih tetap ada sel hati yang terinfeksi yang tidak mangalami
nekrosi. Dengan demikian infeksi VHB dapat menjalar ke sel lainnya. Pada pengidap HBsAg
asimptomatik respons imun tersebut sama sekali tidak efektif sehingga tidak ada nekrosis sel
hati yang terinfeksi dan virus tetap mengadakan replikasi tanpa adanya gejala klinik.6
Setelah VHB masuk dalam tubuh dan akhirnya masuk ke dalam sel hati VHB akan
mengalami replikasi. Pertama kali VHB akan berhubungan dengan respons imun nonspesifik
yang mampu bekerja dalam waktu beberapa menit atau jam yang kemudian diikuti oleh
naiknya kadar IFN. Proses eliminasi nonspesifik ini tidak disertai restriksi HLA dan
melibatkan NK dan LKT yang dirangsang oleh IFN. Selanjutnya akan terjadi respons imun
spesifik, baik yang bersifat seluler maupun humoral. Respons imun seluler berupa proses
sitolitik yang akan menyebabkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. Proses sitolitik
tersebut disebabkan oleh aktivitas sel T sitolitik yang telah diaktifkan. Di samping itu, juga
terjadi eliminasi virus intraseluler tanpa menimbulkan pecahnya sel-sel yang terinfeksi.
Proses itu disebut proses eliminasi nonsitolitik yang terjadi karena aktivitas sitokin. Respons
imun humoral terjadi melalui proses terbentuknya anti-HBs yang ikut membantu eliminasi
VHB.3
Bila proses yang terjadi pada Hepatitis B akut tidak efektif sehingga sel yang terinfeksi
tidak berhasil dihilangkan seluruhnya, akan terjadi infeksi Hepatitis B kronik. Pada Hepatitis
B kronik antigen viral yang diekspresikan pada membran hepatosit adalah HBcAg dan
HBeAg. Perlu diketahui bahwa antara HBcAg dan HbeAg terjadi reaksi imunologik silang
pada tingkat sel T.2
Perbedaan respons sitolitik sel T terhadap protein VHB sangat menentukan manifestasi
klinik yang timbul. Bila respons sel T cukup kuat, akan timbul hepatitis akut dan tubuh dapat
menyingkirkan virus. Bila respons sel T ini sangat hebat dapat timbul Hepatitis B akut
fulminant. Namun, hubungan antara respons sel T dan manifestasi klinik rupanya tidak
mutlak. Sebagai contoh, pada penderita yang mengidap infeksi VHB dengan mutan precore
karena tidak terjad penampilan antigen nukleokapsid pada membran sel yang terinfeksi,
respons sel T berkurang. Namun, justru pada kasus-kasus tersebut sering terjadi Hepatitis
berat dan bahkan Hepatitis fulminant. Diduga dalam keadaan ini faktor yang berpengaruh
adalah patogenesitas VHB. Pentingnya faktor patogenesitas virus juga tampak pada infeksi

4
VHB bersamaan dengan VHD (Virus Hepatitis Delta). Gejala klinik pada infeksi VHB dan
VHD lebih hebat dibandingkan dengan infeksi VHB saja walaupun respons sel T pada infeksi
VHB dan VHD tidak banyak berbeda dengan infeksi VHB saja.2
2.1.6 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi VHB pada wanita hamil tidak berbeda dengan infeksi VHB
pada umumnya. Teradapat 4 macam gambaran klinik infeksi VHB, yaitu : asimtomatik, akut,
kronis dan karsinoma hepatoseluler.2
a. Asimtomatik
Gambaran klinis pada pengidap asimtomatik tidak menunjukkan gejala klinik yang khas.
Penderita tampak sehat hanya saja dalam darahnya didapati HBsAg positif. Bila dalam
tubuhnya terdapat HBeAg makan pengidap ini tergolong infeksius sebab HBeAg positif
menggambarkan proses replikasi yang masih aktif bekerja.
b. Hepatitis B akut
Perjalanan klinis penyakit hepatitis akut dibagi menjadi 4 tahap yaitu:5
1. Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah masa antara penularan infeksi dengan terjadinya gejala.
Masa inkubasi VHB berkisar 30-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari. Lama masa
inkubasi tergantung banyaknya virus yang ada dalam tubuh penderita, cara
penularan dan faktor pejamu. Jumlah virus dan usia merupakan faktor penting
yang berhubungan dengan keparahan akut atau kronik Hepatitis B.
2. Fase pra-ikterik
Fase pra-ikterik adalah waktu antara timbulnya gejala pertama dengan timbulnya
ikterus. Keluhan paling awal adalah lemas, malas, anoreksia, mual, muntah, panas
dan rasa tidak enak daerah perut kanan atas. Muntah pada kehamilan muda dapat
dibedakan dengan muntah pada hepatitis dari awal terjadinya. Pada hepatitis,
semakin sore hari muntah semakin berat sedangkan pada kehamilan muda muntah
paling sering dirasakan pada pagi hari. Pada akhir masa inkubasi, beberapa
individu berkembang gejala seperti hipersensitivitas yang berupa atralgia, ruam
kulit dan vaskulitis. Keadaan ini terjadi karena kompleks antigen-antibodi yang
ikut dalam sirkulasi darah.
3. Fase ikterik
Icterus akan timbul dan terjadinya berkisar antara 1-3 minggu tetapi dapat pula
terjadi beberapa hari atau bahkan sampai 6 bulan. Fase ikterik berakhir antara 2-6

5
minggu. Ketika gejala ikterus tampak makan demam dan malaise akan
menghilang. Pada fase ini pada pemeriksaan fisik terapa hepar dan lien membesar
dan akan menetap beberapa waktu setelah icterus hilang. Bila ikterus ini
berlangsung dengan hebat makan akan terjadi hepatitis fulminant yang dapat
menyebabkan kematian. Pada hepatitis fulminant yang terjadi kegagalan fungsi
hati progresif yang ditandai dengan ensefalopati, koagulopati dan koma. Hepatitis
fulminant mempunyai resiko kematian 70-95%. Selain itu 50% penderita hepatitis
fulminant mengalami perdarahan gastrointestinal, 30% dengan sindroma gagal
nafas, 40% dengan aritmia kordis dan 10-20% mengalami sepsis. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, hiponatremia, hypokalemia,
kurang dari 10% mengalami hioglikemia serta peningkatan bilirubin dan
transaminase serum.
4. Fase penyembuhan
Fase penyembuhan adalah fase antara hilangnya ikterus sampai kesembuhan dari
hepatitis. Pada pemeriksaan laboratorium terlihat HBsAg, HBeAg dan DNA VHB
menghilang. Anti-HBc mulai timbul disertai IgM anti-HBc meningkat sedangkan
IgG anti-Hbc timbul kemudian dan menetap. Pada fase ini pula sebelum HBsAg
menghilang akan timbul anti-HBe yang berarti terjadi pengurangan replikasi virus
dan mulai terjadi resolusi. Dalam waktu 6 bulan akan timbul anti-HBs setelah
HBsAg menghilang pada 30-50% penderita.
c. Hepatitis B kronis
Gambaran klinis pada Hepatitis B kronis dapat bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
sampai gejala yang khas. Gejala tersebut secara klinis sering kali sulit dibedakan apakah
seseorang menderita hepatitis kronis persisten (HKP) atau hepatitis kronis aktif (HKA).
Keluhan yang sering terjadi pada HKA adalah mudah lelah, nafsu makan menurun dan
berat badan turun, kadang-kadang terdapat panas subfebril.6
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit hepatitis B ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
laboratorium klinik, pemeriksaan serologis hepatitis B, dan pemeriksaan penunjang berupa
USG. Hepatitis kronis umumnya tidak menimbulkan gejala atau tidak menunjukka gejala
yang khas berupa tidak ada nafsu makan, kelelahan, mual, muntah-muntah, nyeri daerah
perut sebelah kanan atas dan ikterus. Bagaimanapun juga anamnesis yang teliti seperti lahir

6
dan hidup didaerah endemis, keluarganya ada yang sakit hepatitis B dan sebagainya akan
membantu tegaknya diagnosis hepatitis B.2
Pemeriksaan enzim transaminase seperti SGPT dan SGOT akan meningkat yang
menunjukka terjadi kerusakan dan nekrosis sel hati. Pada kerusakan hepatosis juga
didapatkan gama GT meningkat disamping peningkatan bilirubin.2
Petanda serum merupakan kunci dalam menegakkan diagnosis hepatitis B. Tiga
petanda yang penting untuk diagnosis, yaitu:2
1. Petanda infeksi : HBsAg adalah sebagai tanda ada infeksi hepatitis B dan bila
dalam 6 bulan tidak hilang berarti menjadi kronis. IgM anti-HBc adalah salah satu
antibody yang terlihat selama masa akut sedangkan IgG anti-HBc tetap positif
seumur hidup.
2. Petanda replikasi : petanda untuk mengetahui adanya replikasi virus adalah HBeAg
dan DNA VHB
3. Petanda untuk mengetahui penyakit akut atau kronis, yaitu IgM anti-HBc yang
menunjukkan adanya kerusakan hati pada hepatitis akut.

Gambar 6. Petanda serologis Hepatitis B


Sampai saat ini terdapat beberapa indikator laboratoris yang bisa digunakan untuk
menilai infeksi Hepatitis B. pada infeksi akut, antibody terhadap HBcAg adalah yang paling
pertama muncul, diikuti dengan munculnya HBsAg dan HBeAg serum. Bila penderita
mengalami kesembuhan spontan setelah Hepatitis B akut, maka akan terjadi serokonversi

7
HBsAg dan HBeAg, yang ditandai kadar kedua penanda tersebut tidak akan dapat terdeteksi
lagi di serum sementara anti-HBs dan anti-HBe justru mulai terdeteksi. Sebaliknya, pada
Hepatitis B kronik, HBsAg dan HBeAg akan terus terdeteksi di serum penderita. Pada
penderita dengan Hepatitis B kronik, DNA VHB sebaiknya diperiksa untuk memantau
perjalanan penyakit. Pada beberapa jenis virus mutan, HBeAg bisa tidak terdeteksi di serum
walaupun proses peradangan hati masih terjadi dan kadar DNA VHB serum masih tinggi.1
Pada pemeriksaan USG akan tampak pembesaran hati serta bertambah densitas gema
dari parenkim hati pada hepatitis akut-kronis.2
2.1.8 Pengaruh infeksi VHB pada kehamilan
Infeksi VHB kronis atau akut pada kehamilan sama dengan populasi pada umumnya.
Infeksi VHB tidak menyebabkan peningkatan mortalitas maupun menyebabkan efek
teratogenik. Namun, pada infeksi VHB akut insidensi untuk terjadinya berat bayi lahir rendah
dan prematur lebih tinggi. Dimana diabetes gestasional, perdarahan antepartum dan
persalinan prematur lebih sering terjadi pada infeksi VHB kronik.3
Tidak didapatkan adanya efek teratogenik maupun kondisi akut pada janin, sehingga
dianggap outcome bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi VHB sama dengan bayi yang
dilahirkan dari ibu yang tidak terinfeksi. Pada umumnya yang menjadi permasalahan di sini
adalah penularan vertikalnya saja. Bila ibu hamil terinfeksi VHB pada kehamilan trimester I
dan II maka penularan vertikal hanya kurang dari 10%. Tetapi bila infeksi VHB terjadi pada
kehamilan trimester III, penularan vertikal menjadi lebih tinggi yaitu 76%.3
2.1.9 Pengaruh kehamilan pada infeksi VHB
Pada ibu hamil normal sering terlihat tanda-tanda seperti yang kita dapatkan pada
penderita sirosis hati misalnya spider angioma dan eritema palmaris. Hal ini wajar pada
kehamilan sebagai akibat meningkatnya kadar estrogen. Selama kehamilan masih dalam
batas normal, fungsi hati tidak akan terganggu. Pada tes laboratorium faal hati sering
didapatkan nilainya yang berubah pada kehamilan trimester III. Hal ini mungkin disebabkan
karena meningkatnya volume plasma darah sehingga terjadi hemodilusi yang digambarkan
dengan menurunnya protein total, albumin, gama globulin dan asam urat. Plasenta yang
sedang berkembang menghasilkan alkali fosfatase sehingga kadar alkali fosfatase meningkat
dalam darah. Demikian juga kolesterol, globulin dan fibrinogen akan meningkat. Bilirubin,
transaminase, asam empedu tidak berubah atau bila berubah meningkat sedikit dan akan
menurun lagi pada saat aterm. 3
Resiko infeksi VHB pada kehamilan adalah sama dengan pada wanita yang tidak

8
hamil. Bahaya infeksi tersebut adalah sama pada semua trimester kehamilan. Pada
masyarakat dengan gizi yang baik, angka kematian dari infeksi VHB pada wanita hamil
maupun wanita tidak hamil adalah sama. Tetapi pada masyarakat dengan masalah malnutrisi,
angka kematiannya adalah lebih tinggi tetapi tetap sama pada wanita hamil maupun tidak.
Bila infeksi VHB terjadi pada kehamilan trimester I atau permulaan trimester II, maka gejala-
gejalanya akan sama dengan gejala infeksi VHB pada wanita tidak hamil. Sedangkan infeksi
VHB yang terjadi pada ibu hamil trimester III, akan menimbulkan gejala-gejala yang lebih
berat bahkan dapat menunjukkan gejala-gejala hepatitis fulminant. Hal ini disebabkan karena
pada kehamilan trimester III terdapat defisiensi faktor lipotrofik disertai kebutuhan janin akan
nutrisi yang meningkat. Hal ini menyebabkan ibu mudah jatuh ke dalam akut hepatic
nekrosis. Angka kejadian hepatitis fulminant pada wanita hamil berkisar 10-20%, terutama
terjadi pada kehamilan trimester III.7
Selama kehamilan terjadi beberapa perubahan pada sistem imun ibu, seperti pergeseran
pada keseimbangan Th1-Th2 ke respon Th2, peningkatan jumlah dari regulator sel T, dll,
yang berkontribusi terhadap penurunan respon imun terhadap HBV. Tujuan dari perubahan
ini adalah untuk mencegah terjadinya penolakan terhadap fetus yang sebagian bersifat
alogenik terhadap sistem imun ibu. Perubahan ini menyebabkan peningkatan DNA HBV dan
penurunan level aminotransferase. Setelah persalinan terjadi perbaikan kembali sistem imun
yang menyebabkan hal yang sebaliknya. Terjadi peningkatan alanine aminotransferase (ALT)
yang signifikan dan penurunan DNA HBV pada saat itu.3
2.1.10 Transmisi VHB perinatal
Transmisi perinatal merupakan cara yang paling umum terjadi pada transmisi HBV.
Sekitar sepertiga infeksi HBV didapatkan melalui transmisi perinatal. Infeksi HBV pada
neonatus di definisikan sebagai didapatkan HBsAg positif 6 bulan setelah lahir. Antibodi
untuk anti-HBe dan anti-hepatitis B core antigen dapat melewati sawar plasenta dan
menghilang sebelum usia 12 dan 24 bulan. Jadi, itu merupakan antibodi ibu transplasenta dan
bukan merupakan indikator infeksi HBV.3,4
Infeksi perinatal dimediasi melalui tiga cara utama: 1) transmisi intrauterine; 2)
transmisi intrapartum atau labor; 3) transmisi postnatal. Mekanisme transmisi intrauterine
masih belum banyak diketahui tapi terdapatnya infeksi intrauterine diperlihatkan dalam
beberapa studi, diindikasikan dengan ditemukannya HBsAg dan HBV DNA pada bayi baru
lahir dan dari plasenta dan studi PCR. Faktor resiko untuk terjadinya infeksi intrauterine
adalah ibu dengan HBeAg positif, DNA HBV yang terdeteksi, mutasi spesifik allel pada

9
HBV ibu, riwayat partus prematurus iminens, dan infeksi hepatitis B akut didapat saat hamil,
terutama saat trimester akhir. HBeAg negatif pada ibu dengan viral load yang tinggi (DNA
HBV load >108 IU/mL) merupakan resiko yang tinggi untuk terjadinya transmisi virus
kepada janin di intrauterine.3,4
Sampai saat ini seorang bayi dikatakan telah mendapat infeksi VHB inutero bila dalam
jangka waktu kurang dari 6 minggu (yang merupakan masa tunas terpendek VHB) bayi
tersebut telah menunjukkan HBsAg yang positif. Untuk mudahnya bila seorang bayi sudah
HBsAg positif pada usia 1 bulan, bayi tersebut telah mendapat infeksi VHB inutero. Sampai
sekarang belum diketahui bagaimana VHB dapat melewati plasenta. Salah satu teori
mengatakan bahwa pada keadaan tertentu yang menyebabkan kontraksi uterus terjadi
maternofetal micro perfusion. Hal ini dapat terjadi pada trimester 2 dan 3.6
Transmisi intrapartum atau labor dapat terjadi jika terdapat transfusi darah ibu ke fetus
saat kontraksi; akibat dari ketuban pecah; dari darah ibu yang terkontaminasi HBV atau
cairan ketuban atau cairan vagina yang tertelan bayi atau masuk ke sirkulasi darah bayi
melalui ruptur plasenta; atau melalui kontak langsung fetus dengan darah atau cairan yang
terinfeksi melalui jalan lahir ibu. Jumlah HBV sebanyak 108 IU/mL dari darah ibu yang
masuk ke janin dapat menyebabkan infeksi HBV pada janin.3,4
Transmisi postpartum terjadi dalam jumlah yang sedikit dan mekanismenya masih
belum diketahui dengan jelas. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah terdapat kontak
langsung dari bayi terhadap sekret ibu yang terkontaminasi infeksi HBV. Dapat juga terjadi
melalui: kontak langsung dari ibu ke bayi sepertu mencium bayi dengan mulut ke mulut,
selain itu juga dapat terjadi akibat infeksi nosocomial yaitu kurangnya higenitas tenaga
kesehatan yang berhubungan dengan bayi dan ibu.3,4
Tanpa profilaksis resiko transmisi ibu ke bayi sangat tinggi. Bervariasi tergantung dari
status HBeAg/anti-HBe ibu. 70%-90% pada ibu dengan HBeAg positif, 25% pada ibu
dengan HBeAg negatif/HBeAb negatif, dan 12% pada ibu dengan HBsAg negatif/anti-HBe
positif. Program skrining pada ibu hamil bertujuan untuk mengidentifikasi HBsAg positif
pada ibu merupakan pemeriksaan yang umumnya di lakukan pada kehamilan di kebanyakan
negara. Saat HBsAg positif teridentifikasi maka bayi akan mendapatkan imunoprofilaksis
aktif dan pasif untuk mencegah penularan secara vertikal dari ibu ke bayi. Imunoprofilaksis
pasif adalah dengan memberikan imunoglobulan Hepatitis B (HBIG) dan imunoprofilaksis
aktif adalah dengan memberikan vaksin hepatitis B.3,4
Meskipun dengan pemberian profilaksis ini efektif dalam mencegah penularan HBV

10
melalui ibu, namun beberapa anak (3%-13%) yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif,
terutama dengan HBeAg akan menjadi karier HBsAg meskipun telah diberikan
imunoprofilaksis baik secara aktif maupun pasif.3,4
HBeAg ibu dapat melewati plasenta dari ibu ke fetus dan merangsang toleransi sel T
dalam uterus. Mekanisme infeksi HBV intrauterine masih belum diketahui dengan jelas
namun penyebab utamanya adalah gagalnya blockade imun. Serum DNA HBV yang tinggi
pada wanita hamil merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya infeksi HBV intrauterine,
berhubungan dengan kadar DNA HBV dalam darah umbilical dan titer HBsAg. HBV dapat
menginfeksi semua sel pada plasenta (desidua, trofoblastik, mesenkimal villi, sel endotel
kapiler vili) dan DNA HBV terdapat pada semua generasi sel spermatogenik dan sperma
pada laki-laki dengan infeksi HBV, cairan folikular dan pada ovarium. Adanya virus pada sel
sperma dapat menjadi salah satu penyebab transmisi infeksi HBV pada neonatus.3,4
2.1.11 Penanganan infeksi VHB saat kehamilan
Penanganan infeksi VHB pada kehamilan harus mempertimbangan semua resiko dan
keuntungan pada ibu dan fetus. Masalah utama pada fetus adalah mengenai bahaya
teratogenik dari obat saat embryogenesis. Tujuh obat yang telah disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) untuk pengobatan hepatitis B adalah PEG-interferon alpha 2a,
Interferon alpha 2b, lamivudine, adefovir, entecavir, telbivudine dan tenofovir.5,6
Interferon kontraindikasi diberikan saat hamil, dapat digunakan pada wanita usia subur
karena biasanya diberikan pada periode tertentu (48-96 minggu). Pemberian interferon
direkomendasikan diberikan bersama penggunaan kontrasepsi selama pengobatan.5,6
Agen antivirus oral seperti nukleosida atau anolog nukleosida bekerja dengan
menginhibisi polymerase virus, biasanya digunakan dalam jangka waktu yang lama. Obat ini
dapat mempengaruhi replikasi DNA mitokondria sehingga berpotensi untuk menyebabkan
toksisitas pada mitokondria yang berpengaruh terhadap perkembangan fetus.5,6
Pemilihan terapi anti-HBV pada wanita hamil sangat sulit. Terdapat beberapa
parameter yang biasanya digunakan untuk menentukan terapi pada hepatitis B (usia, stadium
penyakit, komobiditas, jumlah virus, genotype, kekuatan dari agen, barrier genetik, dll),
pemilihan obat pada wanita usia subur dipertimbangkan juga keamanan obat selama
kehamilan, menyusui dan lamanya terapi. 5,6
Pada kasus dimana perempuan yang tidak mendapat pengobatan HBV dan berencana
untuk hamil, maka terapi dapat ditunda setelah persalinan. Contohnya, jika perempuan
tersebut berada pada fase imuntoleransi saat infeksi (tingginya kadar DNA HBV dengan ALT

11
normal dan biopsi hepar inaktif) terapi dapat ditunda setelah persalinan. Namun, perempuan
dengan HBeAg positif dan viral load yang tinggi maka profilaksis harus diberikan pada
trisemester ketiga untuk mengurangi transmisi. 5,6
Pada perempuan yang dalam pengobatan dan hamil, jika terdapat fibrosis yang
signifikan makan terapi harus tetap dilanjutkan untuk mengurangi resiko terjadinya
dekompensasio dari penyakit hepar. Ini memiliki efek yang negatif terhadap kesehatan fetus.
Jika memungkinkan dapat diganti dengan agen antiviral yang lebih aman untuk kehamilan.
Kesimpulannya, pemilihan terapi anti-HBV pada perempuan hamil tergantung dari
tujuan pengobatan apakah untuk menangani penyakit hepatitis akut dimana terapi tidak dapat
ditunda atau untuk mencegah transmisi infeksi pada fetus dari tingginya viremia pada ibu
tanpa kelainan hepar yang signifikan. Pada perempuan yang sedang dalam pengobatan dan
hamil makan obat dapat dilanjutkan atau dihentikan atau diganti dengan obat kategori B. 5,6
Semua perempuan hamil pada trisemester pertama harus melakukan skrining terhadap
infeksi HBV. Jika hasilnya negatif, tidak diperlukan vaksinasi yang rutin selama hamil,
meskipun aman dan harus diberikan pada mereka dengan resiko tinggi: berganti-ganti
pasangan (lebih dari dua dalam waktu 6 bulan terakhir), riwayat penyakit menular seksual
atau terinfeksi penyakit menular seksual, Intravenous drug users, tinggal di daerah endemik
HBV, dan mereka dengan pasangan HBsAg positif. Pada bayi diberikan vaksinasi terhadap
hepatitis B dan vaksinasi lainnya. Jika pada perempuan hamil didapatkan hasil yang positif
pada awal kehamilan, perlu diketahui status dari penyakit tersebut. Jika perempuan tersebut
didapatkan infeksi HBV yang sangat aktif (peningkatan ALT yang signifikan dengan viral
load yang tinggi), atau dengan suspek sirosis, terapi harus diberikan tanpa melihat usia
gestasi. Jika perempuan tersebut terinfeksi dalam keadaan yang inaktif (ALT rendah dan
Viral load rendah) terapi tidak diperlukan dan pengawasan berlanjut tetap dilakukan untuk
mencegah resiko terjadi peningkatan VHB nantinya pada kehamilan dan beberapa bulan
setelah postpartum. 5,6
Kuantitas dari DNA HBV direkomendasikan pada semua perempuan yang terinfeksi
pada akhir trisemester kedua (usia kehamilan 26-28 minggu) : jika viral load >106 kopi/mL,
profilaksis antiviral untuk transmisi HBV pada neonatus dapat diberikan pada awal
trisemester ketiga (28-30 minggu). 5,6
2.1.12 Imunoprofilaksis
Adanya anti-HBs ibu pada bayi yang lahir dari ibu dengan imunitas terhadap hepatitis
B (melalui plasenta dan ASI) walaupun dalam konsentrasi yang besar, tidak menunjukkan

12
efek yang panjang terhadap HBV. Pemberian vaksin HBV tetap harus diberikan. 5,6

Gambar 8. Algoritma pencegahan transmisi infeksi HBV prenatal


2.1.13 Penanganan anak dan ibu dengan HBsAg (+)
Apabila ibu yang akan melahirkan memiliki status HBsAg (+) dan HBeAg (+), maka
persalinan ibu tersebut wajib dilakukan/didampingi oleh tenaga medis yang terlatih. Bayi
yang lahir dari ibu dengan HBsAg (+) dan HBeAg (+) disarankan segera mendapat suntikan
HBIG 0,5 mL dan vaksin Hepatitis B. Kedua suntikan ini diberikan segera setelah bayi
dilahirkan (kurang dari usia 12 jam). Pemberian imunisasi selanjutnya sesuai Program
Imunisasi Hepatitis B Nasional (pada bulan ke-2, 3 dan 4). Selanjutnya perlu diketahui status
HBsAg dan anti HBsnya pada saat bayi berusia 9-12 bulan. 1
13
Ibu dengan HBsAg (+) dan HBeAg (+) harus dirujuk ke dokter ahli untuk berkonsultasi
mengenai kemungkinan terapi penyakitnya. Penderita juga sebaiknya diperiksakan status,
anti-HBe, DNA VHB, dan ALTnya. Ibu yang positif Hepatitis B disarankan untuk tetap
menyusui bayinya. 1
Apabila ibu yang akan melahirkan memiliki status HBsAg (+) dan HBeAg (-), maka
persalinan ibu tersebut wajib dilakukan/didampingi oleh tenaga medis yang terlatih. Sesuai
anjuran program imunisasi, bayi segera mendapatkan imunisasi HB0, sedangkan ibunya
sebaiknya mendapat konseling dari dokter ahli Penyakit Dalam atau dokter yang telah dilatih
tentang Hepatitis B virus. 1
2.2 Korioamnionitis
2.2.1 Definisi
Korioamnionitis adalah perdarangan ketuban, biasanya berkaitan dengan pecah
ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil
dimana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis
merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan berlanjut menjadi sepsis.
Korioamnionitis tersamar (“silent”), yang disebabkan oleh beragam mikroorganisme, baru-
baru ini muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-kasus pecah ketuban, persalinan
premature, atau keduanya. Korioamnionitis meningkatkan morbiditas janin dan neonatus
secara bermakna. Secara spesifik , sepsis neonatus, distress pernapasan, perdarahan
intraventrikel, kejang, leukomalasia periventrikel, dan palsi serebral lebih sering terjadi pada
bayi yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis.7
2.2.2 ETIOLOGI
Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang terutama berasal dari traktus
urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan
menjalar ke uterus. Bakteri anaerob lainnya yang dapat menyebabkan korioamnionitis seperti
Gardnerella vaginalis dan bacteroides, bakteri aerob lainnya termasuk Group B Streptococcus
(GBS 15 %) dan bakteri gram negatif termasuk Escherichia coli. Organisme-organisme ini
merupakan flora normal vagina dan flora normal enterik. Biasanya korioamnionitis
disebabkan oleh penyebaran secara hematogen ke placenta karena bakteri dan virus. 8
2.2.3 PATOGENESIS
Patogenesis korioamnionitis disebabkan oleh organisme yang menginfeksi
korioamnion dan atau tali pusat lalu menjalar ke plasenta. Mulainya infeksi biasanya
disebabkan oleh infeksi secara retrograde atau ascending dari traktus genitalia bawah

14
(cervix dan vagina). Penyebaran secara hematogen atau tranplacental dan infeksi iatrogenic
karena komplikasi dari amniosintesis atau sampling korionik villous jarang menimbulkan
infeksi. Infeksi anterograde bermula dari peritoneum via tuba falopi. Adanya infeksi dari
mikroorganisme memicu respon inflamasi dari maternal dan fetal sehingga melepaskan
kombinasi proinflamasi dan inhibisi sitokin dan chemokines dari ibu dan janinnya. Respon
inflamasi mungkin menimbulkan tanda-tanda korioamnionitis dan atau dapat memicu
pelepasan prostaglandin, pematangan servik, perlukaan membrane dan persalinan aterm atau
preterm pada umur kehamilan dini. Selain dapat menimbulkan infeksi dan sepsis pada fetus,
respon inflamasi fetus dapat menimbulkan kerusakan pada serebral pada white matter, yang
akhirnya dapat menyebabkan cerebral palsy dan kelainan neurological jangka pendek dan
jangka panjang lainnya. 8
2.2.4 MANIFESTASI KLINIS
Koriomnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain
demam, nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar dari
vagina. Diagnosis korioamninitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, gejala-gejala tersebut
di atas, kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa dengan
ultrasound dan kardiotokografi.7
Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi sebagai demam pada ibu dengan suhu 38
celcius atau lebih, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban. Demam pada ibu selama
persalinan atau setelah ketuban pecah biasanya disebabkan oleh korioamnionitis kecuali
dibuktikan lain. Demam sering disertai oleh takikardi ibu dan janin, lokia berbau busuk, dan
nyeri tekan fundus. Leukositosis material semata-mata tidak dapat diandalkan untuk
mendiagnosis korioamnionitis.9
2.2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada
cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada
persalinan preterm yang refrakter (supaya dapat diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan
atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakukan). Indikasi lain dari
amniosentesis adalah untuk mencari differential diagnosis dari Infeksi intramnion, prenatal
genetic studies, dan memperediksi kematangan paru. 7
2.2.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian antimikroba, antipiretik, dan
pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotik harus dapat memberi

15
perlindungan terhadap lingkungan polimikroba yang terdapat di vagina dan serviks. Salah
satu regimen korioamnionitis adalah ampicilin 2 g IV setiap 6 jam atau 3 x 1000 mg, dan
gentamisin, 2 mg/kg dosis awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam atau
5mg/kgBB/hari. Klinadamisin, 900 mg setiap 8 jam, dapat diberikan apabila pasien
direncanankan untuk operasi sectio caesar. Untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin
dapat diberikan vancomycin. Antibiotik biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai
wanita yang bersangkutan tidak demam dan asimptomatik selama 24 – 48 jam post partum.9
Bila janin telah meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan perabdominam
(seksio sesarea) cenderung terjadi sepsis. Lakukan induksi atau akselerasi persalinan. Berikan
uterotonika supaya kontraksi uterus baik pasca persalinan. Hal ini akan mencegah /
menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada dinding
uterus.9
2.2.7 KOMPLIKASI
A. Komplikasi Maternal
Chorioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara perabdominan
dan 2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan, abses pelvik, bakteremia,
dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post partum hemorrage kelihatannya
disebabkan oleh kontraksi uterus yang disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu
dengan korioamnionitis memiliki hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian besar
oleh bakteri GBS dan E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock,
kematian maternal jarang terjadi.7
B. Komplikasi Fetus
Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis neonatus, dan
beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap infeksi yang disebut Fetal
Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat menyebabkan komplikasi berikut ini. FIRS
merupakan kebalikan proses dari Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS).
Karena parameternya hampir sama dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan
yang terjadi pada fetus, FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada
darah umbilical (tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm dan PPROM
namun kadang dapat muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk histopatologik dari FIRS
adalah funisitis dan korionik vaskulitis. FIRS sekarang dikenal sebagai representasi respon
pertahanan fetus terhadap infeksi atau mediasi perlukaan yang dapat melepas sitokin dan
chemokines seperti interleukins, TNF-alpha, C-reactive protein, dan matriks

16
melloproteinases. FIRS juga dihubungkan dengan persalinan preterm yang dapat
menimbulkan kematian dan berhubungan pada neonatus preterm dengan kegagalan multi
organ, termasuk penyakit paru kronis, leukomalasia periventrikular dan cerebral palsy.
Meski FIRS dapat ditimbulkan oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya biasanya
lebih terlihat pada proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus pada mycoplasma genital
( U. Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan dengan sindrom respon sistem
inflamasi, pneumonia.8
C. Komplikasi jangka panjang untuk neonatus
Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat menampakkan
efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul termasuk kematian
perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia, intraventrikular hemorrhagic
(IVH), kerusakan serebral di white matter, dan kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral
palsy.(9)
2.2.8 PROGNOSIS
Usahakan diagnosis dini untuk korioamnionitis. Hal ini berhubungan dengan
prognosis, segera lahirkan janin. Bila kelahiran prematur, keadaan ini akan memperburuk
prognosa janin.. Korioamnionitis tampaknya membuat bayi berat lahir sangat rendah sangat
rentan terhadap kerusakan neurologis. Komplikasi jangka pendek bagi neonatus yang lahir
dari ibu dengan korioamnionitis adalah resiko infeksi tinggi. Morbiditas kelainan neurologi
pada neonatus lebih dikarenakan komplikasi pada saat persalinan, bukan karena komplikasi
karena korioamnionitis.8
Segera berikan antibiotika profilaksis pada neonatus yang lahir dari ibu dengan
korioamnionitis. Sehingga dapat memberikan prognosa yang baik bagi neonatus. Ibu dengan
korioamnionitis yang tidak segera melahirkan anaknya dapat meningkatkan morbiditas
terjadinya sepsis bagi ibu. Sehingga prognosa buruk dapat didapatkan oleh ibu yang tidak
dapat melahirkan segera bayinya.8

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Muljono DH, Kandun N, Sulaiman A, Gani RA, Oswari H, Hasan I, et al. Pedoman
Pengendalian Hepatitis Virus. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI;2012.p.1-55.
2. Soemoharjo S. Hepatitis Virus B. 2nd ed. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2008.p.1-22.
3. Borgia G, Carleo MA, Gaeta GB, Gentile I. Hepatitis B in Pregnancy. World Journal of
Gastroenterology 2012;18.
4. Navabakhsh B, Mehrabi N, Estakhri A, Mohamadnejad M, Poustchi H. Hepatitis B Virus
Infection during Pregnancy: Transmission and Prevention. Middle East Journal of
Digestive Diseases 2011;3.
5. Ho V, Ho W. Hepatitis B in Pregnancy: Spesific Issues and Considerations. J Antivir
Antiretrovir 2012;4.
6. Godbole G, Irish D, Basarab M, Mahungu T, Lewis AF, Thorne C, et al. Management of
hepatitis B in pregnant women and infants: a multicenter audit from four London
hospitals. BMC Pregnancy and Childbirth 2013;13.
7. William Obstetricss, 22 nd. “ Abnormal of the Plasenta, Umbilical Cord and
Membranes”. 2007; chapter 36. New York : The McGraw-Hill Companies. Inc
8. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan, 2010. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
9. Tita, Alan T.N. Diagnosis and Management of Chorioamnionitis. (homepage on the
internet) Diunduh tanggal 15 Maret 2019. Pada website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/

18

Anda mungkin juga menyukai