Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur

dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum

korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan.4

Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan membentuk

molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi

untuk membentuk kolonisasi.5

B. Etiologi

Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton,

Microsporum, dan Epidermophyton yang dikelompokkan dalam kelas

Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17

spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton. 5

Dari 41 spesies yang telah ikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi jamur pada

manusia, 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut, 11 spesies

Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies Epidermophyton

menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku.6

Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di Indonesia

adalah:Trichophyton rubrum (T. rubrum), berdasarkan penelitian di RS Dr. Cipto

Mangun Kusumo Jakarta tahun 1980. 1 Pada penelitian yang dilakukan di Surabaya

4
pada 2006–2007 ditemukan spesies terbanyak yang berhasil dikultur adalah M.

audiouinii (14,6%),T. rubrum (12,2%), T. mentagrophytes (7,3%).6,7

C. Epidemiologi

Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,

dimana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari

wanita. Namun demikian tinea kapitis karena T.tonsurans lebih sering pada wanita

dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering terjadi pada anak-anak Afrika

Amerika. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan perorangan, lingkungan

yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam penyebaran infeksinya.

Jamur penyebab tinea kapitis ditemukan pada sisir, topi, sarung bantal, mainan anak-

anak atau bahkan kursi di gedung teater.2

Perpindahan manusia sangat cepat mempengaruhi penyebaran endemik dari

jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif, adanya trauma, dan

pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit sehingga kejadian

infeksi tinea meningkat. Alas kaki yang tertutup, adanya tekanan temperatur,

kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan

kejadian tinea pedis dan onikomikosis.2

Faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit atau yang memudahkan

penyebaran penyakit :

1. Kebersihan badan yang kurang

2. Penggunaan antibiotika yang berlebihan atau pemakaian sitostatika yang lama

5
3. Alat yang dipakai manusia, misalnya : topi dari karet yang tidak menyerap

4. Populasi ternak yang banyak

5. Urbanisasi dan migrasi penduduk.

D. Klasifikasi

Klasifikasi dermatofita berdasarkan morfologi penyebab8

1. Genus Mikrosporom menyerang lapisan tanduk kulit dan rambut

2. Genus Epidermofiton, menyerang kulit sampai stratum spinosum dan kuku

3. Genus Trikofiton, menyerang kulit sampai stratum germinativum, kuku dan

rambut

Sistematika yang banyak dipakai didasarkan pada lokasi tubuh yang terkena

dengan alasan :9

1. Satu spesies jamur dapat menyebabkan berbagai macam bentuk klinis.

2. Gambaran klinis yang sama dapat disebabkan oleh bermacam-macam

dermatofita dengan spesies yang berlainan.

3. Penentuan spesies dengan biakan butuh waktu lama (antara 10 – 14 hari)

sedang pengobatan penderita tidak tergantung pada spesies atau genus

penyebabnya

Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi tubuh yang terserang10

1. Tinea kapitis : menyerang kepala

2. Tinea barbae : menyerang jenggot, cambang dan kumis

3. Tinea korporis : menyerang badan

4. Tinea kruris : menyerang inguinal dan anogenital

6
5. Tinea pedis dan manum : menyerang kaki dan tangan

6. Tinea unguium : menyerang kuku

Tabel 2.1 Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur
Penyebab10
Nama Lokasi infeksi/ciri tertentu Jamur penyebab
Penyakit
Tinea Kapitis Kulit dan rambut kepala Microsporum
(beberapa spesies)
Trichophyton
(beberapa spesies
kecuali
T.consentricum)
Tinea favosa *secara klinis berbentuk skutula dan T. schoenleinii
berbau seperti tikus (mousy odor) T. violaceum (jarang)
M. gypseum (jarang)
Tinea barbae Dagu dan jenggot T. mentagrophytes,
T.rubrum, T
violaceum,
T.verrucosum,
T.megninii, M.canis
Tinea Pada permukaan kulit yang tidak T.rubrum,
korporis berambut kecuali telapak tangan, telapak T.mentagropnytes,
kaki dan bokong M.audouinii, M.canis
Tinea *susunan skuama yang konsentris T. concentricum
imbrikata
Tinea kruris Bokong, genitalia, area pubis, perineal E. floccosum
dan perianal T. rubrum
T. mentagrophytes
Tinea pedis Pada kaki T. rubrum
T. mentagrophytes
E. floccosum
Tinea Tangan T. rubrum
manuum E. floccosum
T. mentagrophytes
Tinea Kuku jari tangan dan jari kaki T. rubrum
unguium T. mentagrophytes

7
E. Patofisiologi

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu:10

 Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara

langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara

sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent

“carrier”).

 Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak

langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi

dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat

tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan

utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.

 Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi

manusia dan menimbulkan reaksi radang.

Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi

pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan

melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan

pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan

suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapatberkembang biak dan menimbulkan

reaksi jaringan atau radang.10 Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah

utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta

pembentukan respon pejamu.9,10

8
 PERLEKATAN DERMATOFIT PADA KERATINOSIT

Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam,

dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase

(keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur

ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik

dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen

jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi

pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh

sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma

atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena

tergantung pada jenis strainnya.6,10

 PENETRASI DERMATOFIT MELEWATI DAN DIANTARA SEL

Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan

melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase,

lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–

6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada

keratin.6

Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk

tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:10

9
1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal,

memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glukan yang terdapat pada dinding sel

jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer

ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.

2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun

pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah kepada tipe

pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan

dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang

berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.

3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau

memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur

mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat

menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan

memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang

digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.

Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan

dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofit

dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.6,9

 RESPONS IMUN PEJAMU

10
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons

cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat.3,7 Pada kondisi

individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized), cenderung

mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-

obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan

terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.6

 MEKANIS MEPERTAHANAN NONSPESIFIK

Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari:6

1. .Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagaibarrier terhadap

masuknya dermatofit. Stratum korneum secara kontinyu diperbarui dengan

keratinisasi sel epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang

menginfeksinya. Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap

dermatofitosis, termasuk proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat

reaksi imun yang dimediasi sel T.

2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa pustul, secara

mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari kumpulan netrofil di

epidermis, dapat menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme

oksidatif.

3. .Adanya substansi anti jamur, antara lainunsaturated transferrin dan2-

makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.

11
 MEKANIS MEPERTAHANAN SPESIFIK

Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan baik

imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang

berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity(DTH) biasanya berhubungan

dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang

terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga

berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik

ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI.6

 ANTIGEN DERMATOFIT

Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik menunjukkan spesies

tertentu. Dua kelas utama antigen dermatofit adalah:glikopeptida dan keratinase, di

mana bagian protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida

dari glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Antibodi menghambat stimulasi

aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh keratinase, yang dapat memberikan respons

DTH yang kuat.6

 CMI

Pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah CMI, yaituT

cell-mediated DTH. Kekurangan sel T dalam sistem imun menyebabkan kegagalan

dalam membasmi infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada

hewan dan manusia, baik secara alamiah dan eksperimental, berkorelasi dengan

pembentukan respon DTH. Infeksi yang persisten seringkali terjadi karena lemahnya

12
respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon DTH, dan peningkatan

proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi DTH di mediasi oleh sel Th1 dan

makrofag, serta peningkatan proliferasi kulit akibat respon DTH merupakan

mekanisme terakhir yang menyingkirkan dermatofit dari kulit melalui deskuamasi

kulit. Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri pelepasan interferon gamma

(IFN-), ditengarai terlibat dalam pertahanan pejamu terhadap dermatofit dan

penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis.6

ResponsT Helper-1(Th1). Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1)

terlibat dalam memunculkan respon DTH, dan IFN- dianggap sebagai faktor utama

dalam fase efektor dari reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel

mononuklear memproduksi sejumlah besar IFN- untuk merespon infeksi dermatofit.

Hal ini dibuktikan dengan ekspresi mRNA IFN- pada lesi kulit dermatofitosis.

Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis, produksi IFN- secara nyata sangat

rendah yang terjadi akibat ketidakseimbangan sistem imun karena respon Th2.6,10

Sel Langerhans.Infiltrat radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T

CD4+ dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans

CD1a+.Sel Langerhans dapat menginduksi responSel Langerhans dapat menginduksi

respon sel T terhadaptrichophytin, serta bertanggung jawab dalam pengambilan dan

pemrosesan antigen pada respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit.6

Imunitas humoral. Pejamu dapat membentuk bermacam antibodi terhadap

infeksi dermatofit yang ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas humoral tidak

13
berperan menyingkirkan infeksi, hal ini dibuktikan dengan level antibodi tertinggi

pada penderita infeksi kronis.5,7

F. Manifestasi Klinis

1. Tinea Kapitis 2,4,5


Berdasarkan bentuk yang khas Tinea Kapitis dapat dibedakan atas

1. Bentuk yang tidak meradang

a. Grey patch ringworm

Penyebab : Mikrosporon kanis, M. ypseum

Lesi berupa suatu bercak pada kepala berambut, berwarna kelabu. Biasanya

beberapa buah berukuran 2-4 cm. rambut di daerah tersebut putus beberapa

millimeter di atas kulit, tertutup oleh sisik halus berwarna putih-kelabu

sehingga menyebabkan alopesia setempat.

Pada pemeriksaan dengan lampu wood akan tampak ujung-ujung rambut yang

putus tersebut berfluoresensi hijau.

Dengan sediaan KOH 10-20% dari rambut yang dicabut terlihat tumpukan

spora diluar batan rambut (infeksi ektotriks).

14
b. Black dot ringworm

Penyebab : trikofiton tonsurans, trikofiton violaseum. Lesi berupa bercak

kecil-kecil di kepala dengan rambut yang putus tepat dipermukaan kulit pada

muara folikel rambut dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh

spora, sehingga terlihat sebagai bintik-bintik hitam pada bercak tersebut yang

disebut “black dots”.

Pada pemeriksaan dengan lampu wood tidak timbul fluoresensi dan pada

sediaan KOH menunjukkan tumpukan spora di dalam dan di luar batang

rambut (infeksi endotriks dan eksotriks).

2. Bentuk yang meradang 2,4,5

Kerion selsi :

Penyebab : M.kanis, M. gipseum

Terlihat bercak yang kemerahan pada kepala, kadang-kadang eksudat dan

tertutup krusta, menyerupai sarang lebah, rambut biasanya rontok karena

rusaknya folikel rambut sehingga dapat terjadi alopesia areata yang permanen.

Bila reaksi radang sangat hebat bisa timbul abses dibawah lesi tersebut

sehingga kulit tampak menonjol, basah dan teraba lunak. Keadaan ini disebut

kerion yang biasanya sangat gatal dan nyeri. Bila ditekan tampak pus keluar

lewat beberapa fistula.

3. Bentuk Favus

Penyebab T. Schoenleini Magypseum

15
Timbul bercak yang tertutup oleh krusta yang tebal dan berbentuk seperti

cawan (skutula) serta berbau seperti tikus (mousy odor). Kadang-kadang

meluas sampai di luar daerah rambut, bersifat progresif dan menimbulkan

banyak sikatriks. Rambut jadi tidak bercahaya, namun biasanya tidak terputus.

Dengan lampu wood terlihat fluoresensi hijau sepanjang rambut dan bila

dibuat sediaan KOH tampak gambaran khas yakni adanya gelembung-

gelembung udara di dalam batang rambut disertai miselia dari jamur.

2. Tinea Barbae 4,5

Adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah janggut, cambang dan kumis.

1. Bentuk superfisial

Lesi eritro-papulo-skuamosa, mula-mua kecil lalu melebar ke perifer dengan

tepi polisiklis. Bentuk ini sama dengan tinea korporis biasa.

2. Bentuk karion

Prosesnya sama dengan pembentukan kerion pada tinea kapitis. Timbul lesi

yang basah dengan perifolikkulitis dan abses.

3. Bentuk sikosis

Suatu bentuk yang jarang dijumpai, secara klinik tidak dapat dibedakan

dengan folikulitis bakteri yang kronis. Lesi berupa pustule yang folikuler

dengan rambut dipusatnya. Bila menyembuh terlihat krusta, rambut mudah

dicabut (pada infeksi bakteri rambut sulit dicabut).

16
3. Tinea Korporis (T. Sirsinata, T. glabrosa) 2,4,5

Adalah infeksi jamur dermatofita pada klit halus (“glabrous skin”) di daerah

muka, leher, badan, lengan dan pantat. Penyeba oleh T.rubrum, T.mentagrofites

Gejala klinis :

- Bentuk klasik biasanya berupa lesi anuler dengan tepi polisiklis, bisa

didapatkan vesikel kecil-kecil serta skuama yang halus. Di daerah tengah

biasanya mnipis dan terjadi penyembuhan, sementara bagian tepi aktif dan

malin meluas ke perifer. Kadang-kadang bagian tengahnya tidak menyembuh

tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang

besar.

- Di daerah wajah kadang-kadang disebut juga T. fasei, sedangkan di daerah

paha dan gluteal menjadi bagian dari T. kruris

- Disamping bentuk yang klasik bisa didapatkan variasi seperti bentuk

eksematoid, herpetiform dan lain-lain.

17
4. Tinea Kruris (Eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch)2,4,5

Adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus.

Gejala Klinis :

- Biasanya sebagai lesi yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan. Mula-mula

sebagai bercak eritematosa yang gatal, kemudian dapat meluas sampai

skrotum, pubis, gluteal bahkan sampai ke paha. Tepi lesi sering aktif,

berbentuk polisiklis kadang-kadang dengan banyak vesikel-vesikel kecil.

- Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit

sisik.

- Dengan sediaan KOH dari kerokan bagian tepi lesi mudah ditemukan elemen-

elemen jamur.

5. Tinea Pedis dan Tinea Manum 2,4,5

Dikenal 3 bentuk gejala klinis yang sering dijumpai :

1. Intertriginosa

18
Manifestasi berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada sela-sela jari.

Tampak berwarna keputihan yang basah, bisa terjadi fisura yang nyeri bila

disentuh. Infeksi sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat

meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki sering dimulai pada sela jari

antara jari IV-V.

2. Vesikuler yang akut

Ditandai dengan terbentuknya vesikel atau bula yang terletak agak dalam di

bawah kulit (deep seated vesiculae). Biasanya akut dan sangat gatal. Lokasi

yang sering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta

vesikelnya pecah. Infeksi sering memperburuk keadaan ini. Jamur terdapat

pada bagian atap vesikel atau bula untuk diperiksa dengan sediaan langsung

atau biakan.

3. Hiperkeratotik atau skuamosa yang kronis

Yang menonjol adalah terjadinya pengelupasan kulit yang terus menerus,

kadang-kadang dengan eritema dan hyperkeratosis. Lokalisasi yang sering

yaitu pada telapak kaki, tepi sampai punggung kaki, terlihjat kulit menebal

dan bersisik, disebut “moccasin foot. Bila hiperkeratosisnya hebat terjadi

fissure yang dalam. Sering kuku terkena bersama-sama. Penyakit berlangsung

kronis, bertahun-tahun diselingi masa tenang serta eksaserbasi. Bentuk kronis

ini sering disebabkan oleh T. rubrum yang sulit diobati.

19
6. Tinea Unguium 2,4,5

1. Bentuk subungual distalis

Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke

proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh yang disebut detritus.

Kalau proses berjalan terus maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan

yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.

2. Leukonika trikofita = leukonika mikotika

Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonika atau warna keputihan

dipermukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur.

Kelainan ini dihubungkan dengan T. mentagrofites sebagai penyebabnya.

3. Bentuk subungal proksimalis

Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang

kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal

masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak.

20
Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis ditempat lain

yang sudah sembuh atau belum. Kuku kaki lebih sering diserang dibandingkan kuku

tangan.

G. Diagnosis

Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis,

dapat diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan

lampu wood pada spesies tertentu. Tabel 2 menunjukkan karakteristik dermatofit

penyebab tinea kapitis.11 Pada pemeriksaan dengan KOH 10–20%,

tampakemeriksaan dengan KOH 10–20%, tampak dermatofit yang memiliki septa

dan percabangan hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk menentukan spesies jamur

penyebab dermatofitosis.

21
22
H. Diagnosis Banding

Tabel 2.2 Diagnosis banding tinea berdasarkan letak infeksi


Tinea Kapitis Tinea Pedis dan Manum
 Psoriasis  Dermatitis kontak
 Dermatitis seboroik  Scabies
 Alopesia areata  Pomfoliks
 Pioderma  Pioderma
 Bentuk-bentuk alopesia yang  Lues II psoriasiform
menimbulkan sikatriks, misal  Psoriasis pustulosa
Lupus eritematosus,  Kandidiasis
Pseudopelade Brocq
Tinea korporis Tinea Unguium
 Pitriasis rosea gilbert  Psoriasis
 Psoriasis  Kandidiasis
 Lues II makulo-papuler  Paronikia
 Dermatitis kontak  Trauma
 Dermatitis seboroik  Akrodermatitis perstans
 Morbus Hansen tipe
tuberkuloid
Tinea Kruris Tinea Barbae
 Kandidiasis inguinalis  Sikosis barbae
 Psoriasis  Mikosis profunda
 Dermatitis seboroik  Karbunkel
 Pitriasis rosea

23
I. Tatalaksana

1) Sistemik 10
a. Griseofulvin (0,5 – 1 gram/hari untuk dewasa; 0,25 – 0,5 gram/hari anak-
anak) selama 4 minggu, kecuali pada tinea kapitis, dosis untuk dewasa 0,5
gram/hari selama 6-8 minggu.
b. Ketokonasol (200 mg/hari dewaasa).
c. Terbinafine (250 mg/hari dewasa)
d. Itraconazole PO (200 mg 3x sehari selama 2-3 minggu)
2) Topikal
 Butenafine (area yang terkena 2x sehari)
 Clotrimazole 1% (area yang terkena 2x sehari)
 Ketoconazole 2% (area yang terkena 2x sehari)
 Miconazole (area yang terkena 2x sehari)
 Econazole (area yang terkena 1x sehari)
 Naftin (area yang terekena 1x sehari)
 Oxiconazole (area yang terkena 1-2x sehari)
 Tolnaftat (area yang terkena 2x sehari)
 Ciclopirox (area yang terkena 1x sehari)
 Sulconazole (area yang terkena 2x sehari)

24

Anda mungkin juga menyukai