Anda di halaman 1dari 25

RETINITIS PIGMENTOSA

Paper ini dibuat untuk memenuhi tugas sebagai persyaratan dalam menjalankan
Kepaniteraan Senior di SMF Ilmu Penyakit Mata di RSUD dr. Pirngadi

Disusun oleh:
David Hutajulu 211210210
Habibah Hannum 7112080292

Pembimbing:
dr. Soraya Fasya, Mked (Opth), Sp.M

SMF ILMU PENYAKIT MATA

RSUD Dr. Pirngadi Medan

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-
Nya yang memberikan kesehatan dan kelapangan waktu bagi penulis sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Soraya
Fasya, M. Ked (Opth), Sp.M yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian
makalah ini.
Judul makalah ini ialah mengenai “Retinitis Pigmentosa”. Adapun tujuan
penulisan makalah ini ialah untuk memberikan informasi mengenai berbagai hal
yang berhubungan dengan retinitis pigmentosa hingga penerapannya di dalam
klinis. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam
sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima segala bentuk kritikan yang
bersifat membangun dan saran-saran yang akhirnya dapat memberikan manfaat
bagi makalah ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Retina ................................................................................ 2
2.2. Fisiologi Retina ................................................................................ 5
2.3. Definisi ............................................................................................. 9
2.4. Insidensi .......................................................................................... 9
2.5. Etiologi ............................................................................................. 10
2.6. Gejala Klinis .................................................................................... 11
2.7. Patofisiologi ..................................................................................... 14
2.8. Diagnosis ......................................................................................... 16
2.9. Diagnosa Banding ........................................................................... 17
2.10. Penatalaksanaan ............................................................................ 18
2.12. Prognosis ....................................................................................... 22

BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 15

BAB I
PENDAHULUAN

Retinitis pigmentosa (RP) adalah sekelompok kelainan bawaan yang


ditandai dengan kehilangan penglihatan perifer progresif dan kesulitan penglihatan
pada malam hari (nyctalopia) yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
sentral.11
Dengan kemajuan dalam penelitian molekuler, sekarang diketahui bahwa
RP retina merupakan dystrophy dan epitel pigmen retina (RPE) dystrophy yang
disebabkan oleh cacat molekul di lebih dari 40 gen yang berbeda untuk RP terisolasi
dan lebih dari 50 gen yang berbeda untuk RP sindromik. Tidak hanya genotipe
heterogen, tetapi pasien dengan mutasi yang sama fenotipik dapat memiliki
manifestasi penyakit yang berbeda.11
RP dapat ditularkan oleh semua kelainan genetik. Sekitar 20% dari RP
autosomal dominan (ADRP), 20% adalah autosomal resesif (ARRP), dan 10%
adalah X terkait (XLRP), sedangkan 50% sisanya ditemukan pada pasien tanpa ada
saudara yang terkena diketahui. RP ini paling sering ditemukan dalam isolasi, tetapi
dapat dikaitkan dengan penyakit sistemik. Asosiasi sistemik yang paling umum
adalah gangguan pendengaran (sampai 30% dari pasien). Banyak dari pasien yang
didiagnosis dengan sindrom Usher. Kondisi sistemik lain juga menunjukkan
perubahan retina identik dengan RP.11
RP adalah keliru, sebagaimana yang telah dikatakan bahwa RP merupakan
suatu respon inflamasi, yang belum ditemukan menjadi fitur utama dari kondisi
ini. Seperti meningkatkan pemahaman molekul, RP akan lebih dicirikan oleh
protein spesifik / cacat genetik. Karakterisasi ini akan meningkatkan pentingnya
dalam penentuan prognosis dan kemungkinan akan memungkinkan dokter untuk
menggunakan terapi gen yang ditargetkan.11
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Retina


Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliari dan
berakhir di tepi ora serata. Pada orang dewasa, ora serata berada sekitar 6,5mm di
belakang garis schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada
sisi nasal. Di sebagian besar tempat retina dan epitelium pigmen retina mudah
berpisah hingga membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio
retina. Tetapi pada diskus dan ora serata, retina dan eiptelium pigmen retina saling
melekat kuat, sehingga membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina.1

Gambar 1. Anatomi retina

Retina mempunyai tebal 0,12 mm pada ora serata dan 0,23 mm pada kutub
posterior. Di tengan-tengan kutub posterior terdapat makula yang mengandung
xanthophylls (pigmen kuning). Secara histologis makula terdiri dari dua atau lebih
lapisan sel ganglion dengan diameter 5-6 mm. Makula berwarna kuning akibat
akumulasi dari karotenoid teroksidasi khususnya lutein dan zeaxhantine di tengah-
tengah makula. Karotenoid ini berperan sebagai antioksidan dan berfungsi untuk
memfilter gelombang sinar biru yang berperan dalam retinitis solar. 2,1,4
Di tengah-tengah makula terdapat fovea (fovea sentralis) dengan diameter
1,5 mm dan di dalamnya terdapat fotoreseptor yang berperan dalam ketajaman
pengihatan dan penglihatan warna. Di dalam fovea terdapat foveal avascular zone.
Di tengah-tengah fovea foveola dengan diameter 0,35 dan di dalamnya tersusun
padat sel kerucut. Di sekitar fovea terdapat lingkaran yang berdiameter 0,5 mm
yang disebut parafoveal dimana tersusun dari lapisan sel ganglion, lapisan inti
dalam dan lapisan pleksiformis luar yang tebal. Di sekeliling daerah ini terdapat
lingkaran berdiameter 1,5 mm, disebut perifoveal zone.2,5

Gambar 2. Anatomi makula yang disebut juga area sentralis atau pole posterior.
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi dalamnya adalah sebagai berikut : 1,4,5,12
 Membrana limitans interna
 Lapisan serat saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju nervus optikus
 Lapisan sel ganglion
 Lapisan pleksiformis dalam yang mengandung sambungan-sambungan sel
ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar
 Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
 Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel
bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor
 Lapisan inti luar sel fotoreseptor
 Membrana limitans eksterna
 Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
 Epitelium pigmen retina

Gambar 3. Lapisan retina

Sinar yang mengenai retina harus menembus melewati seluruh lapisan


retina untuk mencapai fotoreseptor. Densitas dan distribusi fotoreseptor bervariasi
sesuai dengan topografi di retina. Di fovea, fotoreseptor didominasi oleh sel
kerucut, khususnya yang sensitive terhadap warna merah dan hijau dengan
densitasnya mencapai 140.000 sel kerucut per millimeter persegi. Fovea sentralis
hanya mengandung sel kerucut dan sel muller dan tidak dijumpai sel batang. Jumlah
sel kerucut semakin berkurang menjauhi fovea sentralis, dan pada daerah perifer
tidak dijumpai sel kerucut dan digantikan oleh sel batang dan mencapai densitas
tertinggi yaitu 160.000 sel per millimeter persegi. 2

Neuro Vaskularisasi Retina


Lapisan dalam retina (mulai dari lapisan membran limitans interna sampai
lapisan inti dalam) diperdarahi oleh arteri retina sentralis yang berasal dari arteri
optalmika. Lapisan retina sisanya tidak mempunyai pembuluh darah dan
memperoleh nutrisi secara difusi dari lapisan koroid yang kaya akan kapiler. Arteri
retina sentralis memasuki orbita bersama dengan nervus optikus dan bercabang
menjadi empat percabangan yaitu cabang superior-nasal, superior temporal,
inferior-nasal, inferior temporal. Arteri-arteri ini tidak mempunyai anastomosis
sehingga apabila terjadi sumbatan akan menyebabkan infark retina.2,4,5,12
Retina tidak mempunyai persarafan sensoris sehingga kerusakan pada retina
tidak akan menyebabkan nyeri.4,5

2.2 Fisiologi Retina


Retina terdiri atas fotoreseptor yang berperan dalam proses penglihatan
yaitu fotoreseptor batang dan kerucut. Kedua fotoreseptor ini mengandung
komponen kimia yang sensitive terhadap cahaya yang berperan dalam proses
penglihatan. Pada sel batang dikenal dengan rodopsin dan pada sel kerucut dikenal
dengan pigmen warna yang mempunyai susunan yang sedikit berbeda dengan
rodopsin.3
Segmen terluar dari sel batang yang mendekati lapisan pigmen retina
mengandung rodopsin sekitar 40%. Rodopsin merupakn kombinasi dari protein
scotopsin dengan pigmen karotenoid retina. Retina mempunyai bentuk rantai 11-
cis. Bentuk cis ini penting karena hanya bentuk ini yang dapat mengikat scotopsin
untuk membentuk rodopsin.3
Ketika energi cahaya diabsorpsi oleh rodopsin, maka akan terjadi
dekomposisi rodopsin menjadi fraksi yang sangat kecil menjadi barthorhodopsin.
Kemudian barthorhodopsin berubah menjadi lumirhodopsin kemudian menjadi
metarhodopsin I dan terakhir menjadi metarhodopsin II. Bentuk akhir ini,
metarhodopsin, dikenal juga sebagai rodopsin yang teraktivasi yang mengeksitasi
perubahan impuls listrik di dalam sel batang melalui proses hiperpolarisasi sel
batang yang .kemudian menyampaikan impuls visual ke system saraf pusat.3

Gambar 4. Aktivasi rodopsin

Pembentukan rodopsin diawali dengan isomerisasi rantai all-trans retinal


menjadi rantai 11-cis retina dengan bantuan enzim retinal isomerase. Setelah 11-
cis retina terbentuk secara otomomatis akan berikatan dengan skotopsin dan
membentuk rodopsin yang akan tetap stabil sampai terjadi dekomposisi kembali
yang dipicu oleh absorbsi energy cahaya.3
Rantai all-trans retinal yang terbentuk dalam proses aktivasi rodopsin dapat
dikonversi menjadi bentuk all-trans retinol yang merupakan salah satu bentuk
vitamin A. Dengan bantuan enzim isomerase all-trans retinol akan dikonversi
menjadi bentuk 11-cis retinol yang kemudian berubah menjadi 11-cis retinal yang
kemudian berikatan dengan skotopsin membentuk rodopsin. Vitamin A yang
terdapat pada sel batang dapat diubah menjadi bentuk retina apabila dibutuhkan,
dan sebaliknya retinal yang berlebih diretina dapat diubah menjadi vitamin A. Hal
ini penting, karena berhubungan dengan proses penglihatan, seperti yang terjadi
pada rabun senja. Pada rabun senja terjadi defisiensi vitamin A yang berat dan tanpa
vitamin A jumlah retinal dan rodopsin yang terbentuk juga semakin berkurang. 3
Komponen fotokimia pada sel kerucut mempunyai struktur yang mirip
dengan komponen kimia rodopsin pada sel batang. Perbedaannya berada pada
komponen protein atau opsin, disebut dengan photopsin pada sel kerucut, sedikit
berbeda dengan skotopsin pada sel batang. Komponen retinal pada pigmen retina
sama pada sel kerucut dan sel batang.3
Sel kerucut sensitif terhadap pigmen warna yang berbeda. Pigmen warna ini
dikenal dengan pigmen sensitif warna biru, pigmen sensitif warna hijau dan pigmen
sensitif warna merah.3

Gambar 5. Absorbsi cahaya oleh pigmen retina sel batang dan sel kerucut.

Jalur penghantaran sinyal visual dari sel kerucut ke sel ganglion berbeda
dengan jalur penghantaran sinyal visual dari sel batang ke sel ganglion. Neuron dan
serabut saraf yang menghantar sinyal visual dari penglihatan sel kerucutlebih besar
dan dua kali lebih cepat menghantarkan sinyal visual dibandingkan dengan
penglihatan sel kerucut.3
Gambar 6. Organisasi neural retina, sebelah kiri di daerah perifer retina dan di
sebelah kanan di daerah fovea

Dari gambar di atas terlihat jalur penghantaran sinyal visual dari


fotoreseptor menuju ke sel ganglion. Fotoreseptor baik sel kerucut maupun sel
batang akan menghantarkan sinyal visual menuju lapisan pleksiformis eksterna
yang akan bersinaps dengan sel bipolar dan sel horizontal. Sel bipolar akan
menghantarkan sinyal visual akan meneruskan sinyak visual menuju lapisan
pleksiformis interna yang akan bersinaps dengan sel ganglion dan sel amakrin. Sel
amakrin akan menghantarkan sinyal visual melalui dua arah yaitu secara langsung
dari sel bipolar menuju sel ganglion atau secara horizontal di dalam lapisan
pleksiformis interna dari akson sel bipolar ke dendrite sel ganglion atau sel amakrin
yang lainnya. Sel ganglion kemudian akan menghantarkan sinyak dari retina
menuju nervus optikus dan kemudian menuju otak.2,3

2.3 Defenisi
Retinitis pigmentosa merupakan degenerasi retina herediter yang ditandai
oleh disfungsi progresif fotoreseptor dan disertai oleh hilangnya sel secara progresif
dan akhirnya atrofi beberapa lapisan retina1. Atau gangguan retina yang
menyebabkan hilangnya ketajaman penglihatan secara progresif, defek lapangan
penglihatan, dan kebutaan pada malam hari (night blindness). Sebutan retinitis
pigmentosa berasal dari deposit pigmen yang merupakan karakteristik penyakit ini.4

2.4 Insidensi5
- Terjadi pada 5 orang per 1000 populasi dunia
- Usia. Muncul pada masa kanak-kanank dan berkembang lambat, dan sering terjadi
kebutaan setelah usia dewasa.
- Jenis Kelamin. Pada umumnya pria lebih sering terkena dari pada wanita dengan
perbandingan 3:2
- Laterality. Penyakit ini hampir terjadi secara bilateral.

2.5 Etiologi
Retinitis pigmentosa merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara
mendel yang terjadi pada beberapa kasus. Beberapa kasus retinitis pigmentosa
disebabkan oleh mutasi DNA mitokondria. Pada tahun 1990 gen pertama yang
menunjukkan kelainan pada retinitis pigmentosa yaitu rhodopsin, yang merupakan
pengkodean rod visual pigmen. Sejak saat itu, banyak kelainan gen yang bisa
mengakibatkan terjadinya retinitis pigmentosa.6
Retinitis pigmentosa terjadi sebagai gangguan isolated sporadic, atau
kelainan genetik autosomal dominant (AD), autosomal recessive (AR), atau X-
Linked recessive (XL). Bentuk terbanyak kelainan gen pada retinitis pigmentosa
yaitu autosomal recessive, diikuti oleh autosom dominan. Sedangkan bentuk yang
sedikit yaitu X-linked resesif.5,10

2.6 Gejala Klinis


Gejala awal seringkali muncul pada awal masa kanak-kanak.
Sel batang pada retina (berperan dalam penglihatan pada malam hari) secara
bertahap mengalami kemunduran sehingga penglihatan di ruang gelap atau
penglihatan pada malam hari menurun. Lama-lama terjadi kehilangan fungsi
penglihatan tepi yang progresif dan bisa menyebabkan kebutaan. Sedangkan pada
stadium lanjut, terjadi penurunan fungsi penglihatan sentral.7
Retinitis pigmentosa biasanya terkena bilateral pada kedua mata dengan
penurunan fungsi rod photoreceptors. Adapun simptom yang biasa yaitu:5,8
1. Simtom visual
 Nyctalopia, penglihatan yang buruk pada malam hari dengan adaptasi
penglihatan yang gelap
 Penurunan penglihatan perifer, akibat dari densitas sel batang yang lebih
besar terhadap perifer
 Penurunan penglihatan sentral pada akhirnya

2. Perubahan pada Fundus


 Perubahan pigmen retina. Ini adalah jenis perivaskular dan berbentuk
sepert bone spicules. Pada awalnya perubahan ini ditemukan hanya pada
bagian equatorial dan kemudian berlanjut ke bagian anterior dan
posterior.
 Arteriol retina berkurang dan menjadi seperti benang pada tingkat yang
lanjut
 Optic disc menjadi pucat pada tingkat lanjut dan terjadi atrofi
 Perubahan yang lain yang dapat terlihat adalah colloid bodies, choroidal
sclerosis, cystoid macular oedema, atrophic or cellophane
maculopathy.
Gambar 7. Fundus picture in retinitis pigmentosa

Gambar 8. Consecutive optic atrophy in retinitis pigmentosa

3. Perubahan lapangan pandang penglihatan


Annular atau ring-shaped scotoma adalah gambaran adanya degenerasi
pada bagian equator pada retina. Seperti progres dari suatu penyakit,
scotoma meningkat pada bagian anterior dan posterior dan utamanya hanya
penglihatan central berada disebelah kiri (tubular vision). Biasanya hal ini
hilang dan pasien menjadi buta.
Gambar 9. Field change in retinitis pigmentosa

4. Perubahan Elektrofisiologi
Perubahan secara electrofisiologi ini muncul diawal sebelum gejala
subjektif dan tanda-tanda objektif muncul.
a. Electro-retinogram (ERG) subnormal atau terhapus (abolished)
b. Electro-oculogram (EOG) menunjukkan tidak adanya puncak cahaya.

Pasien dengan gangguan penglihatan yang berat dapat terjadi halusinasi dan
gangguan tidur. Hal ini merupakan suatu kesempatan penting bagi pasien untuk
berdiskusi tentang diagnosis penyakitnya dan konseling genetik prognosis
penyakitnya.9

2.7 Patofisiologi
Mekanisme pasti dari degenerasi fotoreseptor belum diketahui, tetapi
akhirnya dapat terjadi apoptosis degeneratif fotoreseptor batang dengan
fotoreseptor kerucut pada tingkat yang lanjut. Retinitis pigmentosa dapat respon
terhadap fotoreseptor yang atrofi dengan proliferasi kedalam retina. Sel-sel pigmen
berkumpul disekitar pembuluh darah retina yang atrofi, yang dapat diketahui
dengan fundus sebagai bentuk klasik “bone spicule”.8
Retinitis pigmentosa biasanya dianggap sebagai distrofi batang-kerucut
(rod-cone dystrophy) dimana defek genetik menyebabkan kematian sel (apoptosis),
terutama di fotoreseptor batang. Jarang terjadinya defek genetik akibat pengaruh
fotoreseptor epitelium pigmen retina dan kerucut. Retinitis pigmentosa memiliki
variasi fenotipik yang signifikan, karena ada banyak gen yang berbeda yang
mengarah ke diagnosis retinitis pigmentosa, dan pasien dengan mutasi genetik yang
sama dapat ditandai dengan temuan retina sangat berbeda.11

Gambar 10. Cone dydtrophy


Gambar 11. Cone dystrophy menunjukkan typical central macular atrophy yang
ditemukan pada kondisi ini

Perubahan histopatologi pada retinitis pigmentosa telah didokumentasikan


dengan baik, dan baru baru ini, perubahan histologis tertentu yang terkait dengan
mutasi gen tertentu telah dilaporkan. Tahap akhir terjadi kematian sel fotoreseptor
tetap oleh apoptosis. Perubahan histologis pertama yang ditemukan di fotoreseptor
adalah pemendekan segmen luar batang. Segmen luar semakin memendek, diikuti
oleh hilangnya fotoreseptor batang. Hal ini terjadi paling signifikan di pinggiran
pertengahan retina. Daerah-daerah retina mencerminkan apoptosis sel dengan
memiliki inti menurun di lapisan nuklir luar. Dalam banyak kasus, degenerasi
cenderung memburuk pada bagian retina rendah, sehingga menunjukkan peran
untuk eksposur cahaya.11

Jalur akhir yang umum dalam retinitis pigmentosa biasanya kematian dari
fotoreseptor batang yang menyebabkan hilangnya penglihatan. Sebagai batang
yang paling padat ditemukan di retina midperipheral, hilangnya sel di daerah ini
cenderung menyebabkan kehilangan penglihatan perifer dan kehilangan
penglihatan pada malam hari. Bagaimana mutasi gen menyebabkan perlambatan
kematian fotoreseptor batang progresif bisa terjadi dengan banyak jalan, yang
kenyataannya bahwa begitu banyak mutasi yang berbeda dapat menyebabkan
gambaran klinis yang serupa.11

Kematian fotoreseptor kerucut terjadi dengan cara yang mirip dengan


apoptosis batang dengan pemendekan segmen luar diikuti dengan hilangnya
sel. Hal ini dapat terjadi lebih awal atau terlambat dalam berbagai bentuk retinitis
pigmentosa.11

2.8 Diagnosis
Retinitis pigmentosa merupakan penyakit retina degeneratif yang memiliki
karakteristik adanya deposit pigmen di retina. Kelainan ini merupakan degenerasi
primer fotoreseptor batang dengan fotoreseptor kerucut sebagai degenerasi
sekunder, yang dapat menjelaskan mengapa pasien dapat mengalami kebutaan pada
malam hari.6
Adapun untuk menegakkan diagnosis dari retinitis pigmentosa berdasarkan
temuan klinis retinitis pigmentosa (lihat gejala klinis) yaitu berdasarkan simtom
visual, perubahan pada fundus, perubahan lapangan pandang penglihatan,
perubahan elektrofisiologi.6
Selain itu, diagnosis juga dapat dibuat oleh ophtalmoskopi berdasarkan
gambaran klasic dasar. Rod-cone dystrophy (Utamanya sel batang yang terkena).
Adanya “bone spicule” yang merupakan proliferasi epitelium retina yang dapat
dilihat pada bagian tengah perifer retina. Kelainan ini perlahan-lahan menyebar ke
sentral dan lebih jauh lagi sampai ke perifer (gambar 10). Awal defisit yang terjadi
yaitu defek penglihatan warna dan gangguan persepsi kontra. Atrofi optic nerve
yang terjadi pada fase lanjut. Arteri-arteri menjadi sempit.4

Gambar 12. Karakteristik tanda adanya narrowed retinal vessels, waxy yellow
appearance of the optic disk due to atrophy of the optic nerve, and “bone-
spicule” proliferation of retinal pigment epithelium.
Pada cone-rod dystrophy (Utamanya sel kerucut yang terkena). Adanya
penurunan visus diawal dengan penurunan progress dari lapangan pandang
penglihatan. Kedua bentuk kelainan dari retinitis pigmentosa ini dapat diketahui
melalui electroretinography.4

2.9 Diagnosa Banding


Adapun diagnosa banding dari retinitis pigmentosa yaitu:10
 End stage chloroquine retinopathy
Kesaman : Penurunan difus bilateral epitelium pigmen retina dengan
pembuluh darah choroid yang jelas dan penyempitan arteriol-arteriol.
Perbedaan : Perubahan pigmentasi yang tidak melibatkan perivaskular
konfigurasi “bone corpuscle”; atrofi optic tidak seperti lilin.

 End stage thioridazine retinopathy


Kesamaan : Penurunan difus bilateral epitelium pigmen retina
Perbedaan : Perubahan pigmen seperti plaque (plaque-like pigmentary
change) dan tidak adanya nyctalopia
 End stage syphilitic neuroretinitis
Kesamaan : Lapangan pandang terbatas, penyempitan vaskular dan
perubahan pigmen
Perbedaan : Nyctalopia ringan, keterlibatan assimetris dengan ringan
atau tidak adanya choroid
 Cancer-related retinopathy
Kesamaan : Nyctalopia. Terbatasnya lapangan pandang perifer,
penyempitan arteriol dan elektroretinogram yang dapat dibedakan
Perbedaan : Perubahan pigmen ringan atau tidak ada

2.10 Penatalaksanaan
Belum ada pengobatan yang efektif untuk retinitis pigmentosa. Penderita
dianjurkan untuk berkunjung secara teratur kepada spesialis mata untuk memantau
kelainan ini. Sebaiknya dilakukan secara teratur setiap 5 tahun termasuk untuk
menguji lapangan pandang dan evaluasi electroretinogram.7,11
Pemakaian kaca mata gelap untuk melindungi retina dari sinar ultraviolet
bisa mempertahankan fungsi penglihatan. Baru-baru ini, muncul terapi baru
(meskipun masih dalam perdebatan) seperti pemberian antioksidan (misalnya
vitamin A palmitat) bisa menunda perkembangan penyakit ini.7,11

1. Medical Care
 Vitamin A/ Beta Karoten
Antioksidan dapat bermanfaat dalam mengobati pasien dengan retinitis
pigmentosa, tetapi belum ada bukti, yang jelas pada saat ini. Sebuah
studi komprehensif terbaru epidemiologi menyimpulkan bahwa dosis
harian yang sangat tinggi dari vitamin A palmitat (15.000 U / d)
memperlambat kemajuan RP sekitar 2% per tahun.

 Docosahexaenoic acid (DHA)


DHA adalah asam lemak tak jenuh ganda omega-3 dan antioksidan.
Penelitian telah menunjukkan korelasi ERG (electroretinogram)
amplitudo dengan konsentrasi DHA eritrosit-pasien. Studi lainnya
melaporkan adanya perubahan ERG kurang pada pasien dengan tingkat
yang lebih tinggi kadar DHA.

 Acetazolamide
Edema makula dapat mengurangi penglihatan dalam tahap lanjut dari
retinitis pigmentosa. Dari banyak terapis mencoba, acetazolamide oral
telah menunjukkan hasil yang paling menggembirakan dengan
beberapa perbaikan dalam fungsi visual. Studi yang dilakukan oleh
Fishman dkk dan Cox et al telah menunjukkan perbaikan dalam
ketajaman visual snelling dengan acetazolamide oral untuk pasien yang
memiliki retinitis pigmentosa dengan edema makula
 Lutein / zeaxanthin
Lutein dan zeaxanthin merupakan makula pigmen yang tubuh tidak
dapat membuat melainkan berasal dari sumber makanan. Lutein
berfungsi untuk melindungi macula dari kerusakan oksidatif, dan
suplementasi oral telah terbukti meningkatkan pigmen makula. Dosis
20 mg / hari telah direkomendasikan.

 Asam valproik
Asam valproik oral telah menunjukkan manfaat dalam uji klinis, dan uji
klinis yang lebih lanjut sedang dilakukan.

2. Surgical Care

 Transplantasi
Transplantasi sel epitelium pigmen retina telah dittranspalntasikan ke
dalam ruang subretinal untuk menyelamatkan fotoreseptor pada hewan
model retinitis pigmentosa. Salah satu pendekatan yang mungkin
berguna adalah modifikasi ex vivo pada sel-sel yang terdapat faktor-
faktor trofik.

 Prostesis retina
Sebuah chip prostesis atau phototransducing retina ditanamkan pada
permukaan retina dan telah diteliti selama beberapa tahun. Lapisan sel
ganglion retina yang sehat dapat dirangsang, dan implan pada hewan
model memiliki stabilitas jangka panjang. Dalam sebuah studi oleh
Humayun et al, ini telah terbukti bermanfaat pada manusia. Satu pasien
yang tidak punya persepsi cahaya, mampu melihat dan melokalisasi
senter setelah prostesis pada retinitis pigmentosa

 Terapi gen
Terapi gen masih dalam penelitian, dengan harapan untuk
menggantikan protein yang rusak dengan menggunakan vektor DNA
(misalnya, adenovirus, Lentivirus).

 Katarak ekstraksi
Operasi katarak sering bermanfaat dalam tahap selanjutnya pengobatan
retinitis pigmentosa. Bastek et al, mempelajari 30 pasien dengan
retinitis pigmetasi, 83% dari mereka menunjukkan perbaikan dalam
pengobatan, dengan 2 garis pada grafik ketajaman visual Snellen
setelah dilakukan operasi katarak

2.11 Prognosis
Retinitis pigmentosa merupakan suatu progress yang kronik. Penampakan
klinis tergantung pada jenis dari kelainan yang terjadi, masing-masing bentuk
keparahan dapat menyebabkan kebutaan.4
BAB III
KESIMPULAN

 Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan


multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola
mata.

 Retinitis pigmentosa merupakan sekelompok degenerasi retina herediter


yang ditandai oleh disfungsi progresif fotoreseptor dan disertai oleh
hilangnya sel secara progresif dan akhirnya atrofi beberapa lapisan retina

 Gejala awal seringkali muncul pada awal masa kanak-kanak.


Sel batang pada retina (berperan dalam penglihatan pada malam hari) secara
bertahap mengalami kemunduran sehingga penglihatan di ruang gelap atau
penglihatan pada malam hari menurun

 Pengobatan terdiri dari medical care dan surgical care. Pemakaian kaca
mata gelap untuk melindungi retina dari sinar ultraviolet bisa
mempertahankan fungsi penglihatan. Pemberian antioksidan (misalnya
vitamin A palmitat) bisa menunda perkembangan penyakit ini (masih dalam
penelitian)

 Retinitis pigmentosa merupakan suatu progress yang kronik. Penampakan


klinis tergantung pada jenis dari kelainan yang terjadi, masing-masing
bentuk keparahan dapay menyebabkan kebutaan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva P. Bab 1 : Anatomi dan Embriologi Mata, Retinitis


Pigmentosa. Dalam Vaughan GD, Asbury T, dan Riordan-Eva Paul (editor).
Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta : Widya Medika; 2000. P. 1-29, 208-
209.

2. American Academy Of Ophthalmology. Basic Clinical Science Course :


th
Retina and Vitreuos. Section 12 . Singapore. American Academy Of
Ophthalmology. 2007. P.7-15, 25

3. Guyton, Arthur C. Textbook of Medical Physiology. 11th edition.2006.


Philadelphia. Elsevier. P. 626-636

4. Lang GK. Retinitis Pigmentosa. In Ophthalmology A short of Textbook.


NewYork: Thieme Stuttgart ;2000. P. 3343-345

5. Khurana AK. Retinitis Pigmentosa. In: Comprehensive Ophtalmology. 4th


ed. New Delhi: New Age International (P) Ltd; 2007. P.268-269

6. Hamel Christian, 2003. Retinitis Pigmentosa. Perancis: Orphanet

7. Medicastore. Retinitis Pigmentosa


Available From :
http://www.medicastore.com [Accesed on 19 Juni 2017]

8. Sehu KW, R. Lee William. Ophthalmic Pathology: Retinitis Pigmentosa. 1th


ed. 2005. Australia. BMJ. P. 224-225

9. Khaw PT, et all., ABC Of Eyes, Fourth Edition: Retinitis Pigmentosa. 4th
ed.2004. London. BMJ. P. 41.
10. Kanski, Jack J. Clinical Ophthalmology : Retinitis Pigmentosa. 7th ed. 2011.
Cina. Elsevier. P. 491-494

11. Telander David G, MD, PhD., Retinitis Pigmentosa. Medscape

Available From:

http://www.medscape.com [Accesed on 19 Juni 2017]

12. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
Hal 1-12

Anda mungkin juga menyukai