Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu teknik

penggambaran penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik

inti atom hidrogen. Teknik penggambaran MRI relatif komplek, karena

gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Modalitas

MRI tersebut memiliki kemampuan membuat gambaran potongan coronal,

sagittal maupun axsial tanpa banyak memanipulasi tubuh pasien. Bila

pemilihan parameternya tepat kualitas detail tubuh manusia akan tampak

jelas. Untuk itu perlu dipahami hal-hal yang berkaitan dengan prosedur

teknik pemeriksaan MRI. MRI sensitif untuk mendeteksi beberapa kelainan

pada jaringan lunak seperti otak, sumsum tulang belakang serta

muskuloskeletal, MRI mampu memberi gambaran detail anatomi dengan

lebih jelas, mampu melakukan pemeriksaan difusi, perfusi dan spektroskopi,

dan MRI tidak menggunakan radiasi pengion (Media Litbang Kesehatan Vol.

XIV no. 3, 2004).

Hingga saat ini MRI masih dianggap sebagai modalitas imejing yang

paling baik bila dibandingkan dengan modalitas canggih lainnya, karena

mampu mencitrakan jaringan dengan tingkat kedetilan yang tinggi. Namun

karena pemeriksaannya membutuhkan waktu yang relatif lama, hal ini

menjadi kendala terbesar terutama bagi pesawat MRI berkapasitas kecil.

1
MRI dapat memberikan gambaran potongan axial, coronal, dan

sagital pada setiap organ yang diperiksa. Seperti pemeriksaan otak,

vertebrae, abdomen, sistem bilier dan organ-organ lainnya.

American Journal menyebutkan bahwa MRI digunakan hampir 90%

untuk pemeriksaan kepala dan vertebra/sumsum tulang belakang, dengan

hasil pencitraan otak dan medula spinalis sangat menakjubkan, sedangkan

sisanya 10% untuk pemeriksaan organ yang lain salah satunya adalah

pemeriksaan Magnetic Resonance Cholangiopancreatography atau yang

sering disebut dengan MRCP.

MRCP merupakan pemeriksaan untuk memperlihatkan sistem billiaris

dan pankreas. Pada dasarnya MRCP adalah pencitraan kandung empedu

dan ductus biliaris baik intra maupun ektra hepatis serta ductus

pancreaticus.

Pada Rumah Sakit Premier Surabaya dilakukan pemeriksaan MRCP

dengan klinis Batu Empedu dengan menggunakan sekuens pada MRCP

tanpa kontras. Sedangkan dalam literatur (Burghart, Geraldine, 2011)

disebutkan pada protokol MRCP 3T menggunakan sekuens Ax Fiesta, cor

Fiesta, 3D cor MRCP FRFSE, Radial MRCP, dan Opt Thin SSFSE MRCP.

Berdasarkan hal tersebut tersebut penulis ingin mengkaji lebih dalam dan

mengangkatnya dalam sebuah laporan kasus dengan judul “Prosedur

Pemeriksaan MRCP dengan Klinis Batu Empedu di Instalasi Radiologi

Rumah Sakit Premier Surabaya”.

2
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis merumuskan

permasalahannya sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu Empedu di

Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya?

2. Apakah kelebihan pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu Empedu jika

dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain di Rumah Sakit Premier

Surabaya?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui prosedur pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu Empedu di

Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya.

2. Mengetahui kelebihan pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu Empedu

jika dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain di Instalasi Radiologi

Rumah Sakit Premier Surabaya.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diambil dari penulisan laporan studi kasus ini yaitu :

1. Untuk Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya yaitu dapat

digunakan sebagai literature dan sebagai masukan pada pemeriksaan

MRCP dengan klinis Batu Empedu.

3. Untuk Penulis yaitu dapat menambah pengetahuan dan wawasan

mengenai prosedur pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu Empedu

serta kelebihan pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu Empedu jika

dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain.

3
2. Untuk Masyarakat Umum yaitu dapat menambah pengetahuan dan

wawasan tentang prosedur pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu

Empedu serta kelebihan pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu Empedu

jika dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain.

3. Untuk Akademi yaitu sebagai literatur tambahan dan untuk penelitian

lebih lanjut tentang prosedur pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu

Empedu serta kelebihan pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu Empedu

jika dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman tentang laporan studi kasus ini,

maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tentang Anatomi dan Fisiologi, Patologi Batu Empedu,

Pesawat MRI, Prosedur Pemeriksaan MRCP

BAB III PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN

Berisi tentang paparan kasus, prosedur pemeriksaan MRCP

dengan klinis Batu Empedu di Instalasi Radiologi Rumah Sakit

Premier Surabaya, dan pembahasan.

BAB IV PENUTUP

Berisi tentang kesimpulan dan saran.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah pir yang

terletak di bagian sebelah dalam hati (scissura utama hati) di antara lobus

kanan dan lobus kiri hati. Panjang kurang lebih 7,5 – 12 cm, dengan

kapasitas normal sekitar 35-50 ml (Williams, 2013). Kandung empedu terdiri

dari fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus mempunyai bentuk

bulat dengan ujung yang buntu. Korpus merupakan bagian terbesar dari

kandung empedu yang sebagian besar menempel dan tertanam didalam

jaringan hati sedangkan Kolum adalah bagian sempit dari kandung empedu

(Williams, 2013; Hunter, 2014). Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh

peritoneum viseral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke

permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu

mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum

menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann (Sjamsuhidayat,

2010).

5
Gambar 2.1. Anatomi kandung empedu
(Sylvia Price Anderson, 2006)

Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan

diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk spiral

yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur cairan

empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi dapat

menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung dengan

duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris komunis

(Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013).

Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm

merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus

kiri. Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus

komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang memiliki

panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke dalam

duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Duktus koledokus berjalan

6
di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum

membentuk papila vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum.

Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi yang mengatur aliran

empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya

bermuara ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papila

vater, tetapi dapat juga terpisah (Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013;

Doherty, 2015).

Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistikus yang

terbagi menjadi anterior dan posterior dimana arteri sistikus merupakan

cabang dari arteri hepatikus kanan yang terletak di belakang dari arteri

duktus hepatis komunis tetapi arteri sistikus asesorius sesekali dapat muncul

dari arteri gastroduodenal. Arteri sistikus muncul dari segitiga Calot (dibentuk

oleh duktus sistikus, common hepatic ducts, dan ujung hepar) (Williams,

2013).

Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir (wadah) dari

cairan empedu sedangkan fungsi primer dari kandung empedu adalah

memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium (Doherty, 2015).

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam

keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung

empedu dan akan mengalami pemekatan 50%. Setelah makan, kandung

empedu akan berkontraksi, sfingter akan mengalami relaksasi kemudian

empedu mengalir ke dalam duodenum. Sewaktu-waktu aliran tersebut dapat

disemprotkan secara intermitten karena tekanan saluran empedu lebih tinggi

daripada tahanan sfingter. Aliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor yaitu

7
sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan dari

sfingter koledokus (Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013).

Menurut Guyton & Hall, 2008 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :

1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi

lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam

empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar

menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang

disekresikan dalam getah pankreas, asam empedu membantu transpor

dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui

membran mukosa intestinal.

2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa

produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu

produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol

yang di bentuk oleh sel- sel hati.

Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,

hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30

menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah

kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan

juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang

menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain

kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf

yang mensekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung

empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum

terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak

tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung

8
buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan,

normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar

1 jam (Townsend, 2012).

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar

(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam

anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan

berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme

umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau

diperlukan (Sjamsuhidayat, 2010; Hunter, 2014).

Berikut adalah komposisi cairan empedu menurut Guyton & Hall (2008).

Tabel 1.1. Komposisi Cairan empedu (Guyton, Hall, 2008)


Komponen Dari Hati (gm%) Dari Kandung
Empedu (gm%)
Air 97,5 95
Garam Empedu 1,1 6
Bilirubin 0,04 0,3
Kolesterol 0,1 0,3 – 0,9
Asam Lemak 0,12 0,3 – 1,2
Lecithin 0,04 0,3

1. Garam Empedu

Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua

macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.

Fungsi garam empedu adalah :

a. Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat

dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah

menjadi partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.

b. Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin

yang larut dalam lemak.

9
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-

kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar

(90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh

mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam

bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen

distal dari ilium. Sehingga apabila terjadi gangguan pada daerah tersebut

misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu

akan terganggu (Townsend, 2012).

2. Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme

dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole

menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di

dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat

oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi

pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka

bilirubin yang terbentuk sangat banyak. Salah satu fungsi hati adalah

untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 600-1200 ml/hari

(Guyton & Hall, 2008).

Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar

waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung

empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer

dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air

dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang

kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi

volumenya 80-90% (Garden, 2007).

10
B. Patologi Batu Empedu

Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk dikandung

empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga

dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidayat,

2010; Stinton, 2012).

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan

empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)

berkembang karena bertambahnya pengendapan.

Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam

pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu

dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid

(terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara

normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu

dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai

inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam

empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar

asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang

litogenik (Garden, 2007).

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti

pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal

kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu

pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri,

fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain

diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter, 2014).

11
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu

di golongkankan atas 3 (tiga) golongan (Hung,2011; Lesmana, 2014).

1. Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari

70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang

mengandung > 50% kolesterol) (Bhangu, 2007). Batu kolestrol murni

merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%.

Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Empedu

yang disupersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari

90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan

batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 %

kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen

empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di

dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya

tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat

dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase

konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol (Hunter, 2014).

Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap :

a. Supersaturasi empedu dengan kolesterol.

b. Pembentukan nidus.

c. Kristalisasi/presipitasi.

d. Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan

senyawa lain yang membentuk matriks batu.

12
2. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang

mengandung < 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan

mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu

pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi

saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi

sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi

infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-

glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi

bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin

menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang

dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan

terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini

terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi

(Townsend, 2012).

b. Batu pigmen hitam.

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk

dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi ( Lesmana, 2014).

Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada

penderita dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam

ini terutama terdiri dari derivate polymerized bilirubin. Patogenesis

terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam

13
terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril

(Doherty, 2015).

3. Batu campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-

50% kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang

mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 %

pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat

tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar

metabolisme yang sama dengan batu kolesterol (Garden, 2007).

C. Pesawat MRI

1. Prinsip-prinsip Dasar MRI

Prinsip-prinsip dasar MRI membentuk dasar untuk pemahaman lebih

lanjut dari subjek yang kompleks ini. Adalah penting bahwa ulasan ide-ide

ini sepenuhnya memahami sebelum pindah ke daerah yang lebih rumit.

pada dasarnya ada dua cara untuk menjelaskan dasar-dasar MRI: klasik

dan melalui fisika kuantum.

a. Instrumen Dasar MRI

Menurut Ness Aiver (1997), komponen-komponen utama pesawat MRI

antara lain :

1) Magnet Utama

Magnet utama berfungsi menghasilkan medan magnet yang akan

mempengaruhi gerakan presesi atom hidrogen dalam tubuh. Dari

asalnya magnet utama dibagi menjadi tiga, yaitu :

a) Magnet Permanen

b) Magnet Resistif

14
c) Magnet Superkonduktor

2) Gradient Coil

Gradient coil merupakan pembangkit medan magnet gradient yang

berfungsi untuk menentukan irisan, pengkodean frekuensi dan

pengkodean fase. Terdapat tiga buah gradient coil yang

mengarahkan medan magnet saling tegak lurus, yaitu X, Y dan Z.

Mempunyai peran yang saling bergantian sesuai pemilihan pulsa

sekuens dan pengaturan arah dan tebal irisan.

3) Koil Pemancar (transmitter coil)

Koil pemancar berfungsi memancarkan gelombang RF

(radiofrekuensi) pada proton yang terlokalizer sehingga arahnya

akan berubah dari pengaruh medan magnet utama (B 0). Pemberian

energi RF pada atom akan menyebabkan proton tereksitasi. Apabila

pemancaran RF dihentikan, arah presesi proton akan kembali

searah dengan B0 diiringi pelepasan energi dari proton. Peristiwa ini

disebut free induction decay (FID). Ada beberapa jenis koil

pemancar, yaitu volume coil, surface coil, linear coil, quadratus coil

dan phase array coil.

4) Receiver Coil

Receiver coil adalah koil yang berfungsi menerima sinyal

output/energi dari proton setelah proses eksitasi oleh gelombang

RF terjadi. Agar didapatkan sinyal yang kuat, maka receiver coil

harus sedekat mungkin dengan obyek yang diperiksa sehingga

gambaran yang dihasilkan jelas.

15
b. Atom dan Interaksinya

Atom terdiri atas inti atom dan orbit electron. Inti atom terdiri dari

proton yang bermuatan positif dan neutron yang tidak memiliki muatan

sedangkan electron bermuatan negatif. Nomor atom menunjukan

jumlah proton di dalam inti atom sedangkan masa atom menunjukan

jumlah proton dan neutron dalam inti atom (Westbrook, 1998).

Dalam MRI, bagian atom yang dimanfaatkan adalah proton,

terutama proton pada atom hidrogen (H). Atom hidrogen terdapat pada

sebagian besar tubuh dan memiliki moment dipole magnetic yang kuat.

Selain itu, atom hidrogen memiliki nomor atom dan masa atom 1

(proton ganjil dan tanpa neutron). Hal-hal di atas menyebabkan signal

atom hidrogen lebih besar dari atom lainnya, sehingga atom hidrogen

digunakan sebagai sumber signal dalam pencitraan MRI (Westbrook,

1998).

Perputaran atom (hidrogen) pada sumbunya disebut presesi.

Dalam keadaan tidak dipengaruhi medan magnet luar, gerakan presesi

atom-atom hidrogen acak, sehingga tidak dihasilkan medan magnet.

Apabila atom tersebut berada di medan magnet luar (B 0), gerakan

presesi atom akan terpengaruh, baik besar ataupun arahnya. Begitu

juga apabila dikenai radio frekuensi (RF). Hubungan antara kuat

medan magnet luar dengan kecepatan putaran spin/detik (frekuensi

Larmor) adalah sebagai berikut :

ω = γ B0

dimana : ω adalah frekuensi Larmor


γ adalah konstanta gyromagnetik
B0 adalah medan magnet luar

16
Gambar 2.2. Gerakan Presesi Proton Dan Resonansi Oleh RF

2. Pembentukan Citra MRI

Citra MRI dibentuk melalui proses pengolahan sinyal yang dihasilkan

proses magnetisasi atom dalam tubuh pasien. Sinyal yang dapat diukur

adalah sinyal dengan arah vector pada sumbu xy (tranversal). Pemutaran

arah vektor magnet jaringan dan pengambilan sinyalnya dijelaskan dalam

rangkaian proses sebagai berikut :

a. Pulsa RF (radio frekuensi)

Pulsa RF (Radio Frekuensi) merupakan salah satu jenis gelombang

elektromagnetik. Pulsa RF akan meresonansi gerakan presesi proton.

Resonansi dapat terjadi apabila besarnya frekuensi RF yang

ditembakan sama dengan besarnya frekuensi Larmor dari atom.

Peristiwa resonansi mengakibatkan Net Magnetisasi Vektor (NMV)

berada pada bidang tranversal. Magnetisasi tranversal akan

menginduksi koil penerima sehingga dihasilkan sinyal MR (magnetic

resonance), dimana besarnya RF yang ditembakan ke atom adalah

sama dengan frekuensi Larmor atom tersebut (Westbrook, 1998).

b. Waktu Relaksasi Longitudinal (T1) Dan Tranversal (T2)

Pada waktu pemancaran pulsa RF dihentikan, NMV akan recovery ke

bidang longitudinal sehingga muncul longitudinal magnetization akibat

17
longitudinal recovery. Seiring dengan itu, NMV pada bidang tranversal

akan meluruh sehingga terjadi tranversal decay. Waktu yang

dibutuhkan NMV untuk longitudinal recovery sebesar 63% disebut T1,

sedangkan waktu yang dibutuhkan NMV untuk meluruh hingga 37%

dari nilai awalnya disebut T2 (Woodward, 2001).

Tabel 1.2. Perbandingan nilai T1 dan T2 pada jaringan


Jaringan T1 (ms) T2 (ms)
CSF 2400 160
Grey matter 900 100
White matter 780 90
Fat 260 80
Muscle 870 45
Liver 500 40

c. Sinyal FID

Peristiwa tranversal decay diiringi oleh pelepasan energi oleh proton

ke lingkungan yang dikenal dengan peristiwa free induction decay

(FID). Energi yang dilepaskan proton berupa sinyal. Setelah sinyal

tersebut direphasing dengan aplikasi RF 180 o, maka selanjutnya sinyal

tersebut dapat ditangkap oleh koil penerima sebagai data awal proses

pembentukan citra.

d. Parameter MRI

1) Time Repetition (TR), adalah waktu dari penerapan satu pulsa RF

untuk aplikasi RF pulsa berikutnya untuk setiap slice dan diukur

dalam milidetik (ms). TR menentukan jumlah relaksasi longitudinal

yang diizinkan terjadi antara akhir satu pulsa RF dan penerapan

berikutnya. TR sehingga menentukan jumlah relaxati T1 pada yang

telah terjadi ketika sinyal dibaca.

18
2) Time Echo (TE), adalah waktu dari penerapan pulsa RF ke puncak

sinyal diinduksi dalam kumparan dan juga diukur dalam ms. TE

menentukan berapa banyak pembusukan magnetisasi transversal

diizinkan terjadi. TE sehingga mengontrol jumlah relaksasi T2 yang

telah terjadi ketika sinyal dibaca.

3) Number of Signal Average (NSA) atau NEX (number of exitation),

adalah nilai yang menunjukkan jumlah pengulangan pencatatan

data selama akuisisi dengan amplitudo dan fase enkoding yang

sama. NEX mengontrol sejumlah data yang masing-masing

disimpan dalam lajur K space. K space merupakan area frekuensi

spasial dimana sinyal berupa frekuensi yang berasal dari pasien

akan disimpan. (Westbrook, 1998).

4) Slice Thickness, adalah tingkat ketebalan irisan/potongan. Besarnya

slice thickness akan mempengaruhi spatial resolusi gambar yang

dihasilkan. Slice thickness yang tipis akan menghasilkan resolusi

yang baik, namun pada besar FOV yang sama akan membutuhkan

waktu akuisisi data yang lebih lama (Carolyn Kaut, 1998).

5) Slice Interval, adalah besarnya jarak antar slice. Slice interval

dibutuhkan untuk menghindari cross contamination. Adanya

overlapping RF antar slice dapat mempengaruhi proses spatial

resolusi sehingga dapat menurunkan SNR.

6) Field of View (FOV), adalah luas anatomi yang akan dijadikan

gambaran. Menurut Nesseth (2000), FOV adalah diameter area

obyek yang akan direkonstruksi ke dalam matriks. Besarnya

berpengaruh pada scan time kualitas pencitraan. FOV yang besar

19
akan menghasilkan pixel yang besar, meningkatkan FOV berarti

menurunkan spatial resolution (Bushong, 1998).

3. Pembobotan Citra MRI

Seluruh gambar diagnostik klinis harus menunjukkan kontras antara fitur

anatomi normal dan antara anatomi dan patologi apapun. Jika tidak ada

perbedaan kontras, mustahil untuk mendeteksi abnormalitas dalam tubuh.

Salah satu keuntungan utama dari MRI dibandingkan dengan modalitas

pencitraan lain adalah pencitraan jaringan lunak yang sangat baik.

Karakteristik kontras setiap gambar tergantung pada banyak variabel, dan

mekanisme yang mempengaruhi kontras gambar di MRI perlu dipahami.

a. Pembobotan T1

Pembobotan citra T1 adalah citra yang kontrasnya tergantung

pada pemberian T1 time. T1 time adalah waktu yang diperlukan proton

untuk melakukan longitudinal recovery hingga 63% setelah aplikasi RF

terhadap atom. T1 time dikontrol oleh nilai TR, karena nilai TR

mengontrol seberapa jauh vektor dapat recover sebelum aplikasi RF

berikutnya.

T1WI (T1 weighted image) adalah scan parameter dengan nilai

TR (time repetition) dan TE (time echo) pendek. Dengan nilai TR

pendek, jaringan yang memiliki T1 recovery pendek (contoh : lemak)

akan terecovery semua, sedangkan jaringan dengan nilai T1 recovery

panjang (contoh : CSF) akan terecovery sebagian. Hal itulah yang

menyebabkan kekontrasan antara kedua jaringan tersebut. Lemak

akan tampak lebih terang dari air pada T1 WI.

20
Pada T1 WI, dorsal root mempunyai intensitas signal yang rendah

dikelilingi epidural fat yang mempunyai intensitas signal yang tinggi.

Nerve root keluar dari root ganglion yang disebut sebagai struktur

linear dengan intensitas signal yang rendah. Korpus vertebra, pedikel,

lamina dan procesus spinosus mempunyai intensitas signal yang

tinggi. Intensitas signal lebih tinggi dari intensitas signal discus

vertebralis. Sementara korteks tulang mempunyai intensitas signal

yang lebih rendah karena lack resonating proton. Ligamentum flavum

dan nucleus pulposus mempunyai intensitas signal intermediate.

Selain itu, gambaran annulus dan nucleus hampir tidak dapat

dibedakan. Pada T1 WI SE, ligamentum posterior sulit dibedakan dari

dura dan annulus (Charles, 1992).

b. Pembobotan T2

T2 WI (T2 weighted image) adalah scan parameter dengan nilai

TR dan TE panjang. Nilai TR panjang untuk mencapai full longitudinal

recovery dan nilai TE panjang menyebabkan banyak sinyal yang hilang

(dephasing) saat terjadi tranversal decay. T2 WI atau yang disebut

juga dengan waktu relaksasi tranversal atau spin-spin (Bontanger,

2001) didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan magnetisasi

transversal untuk meluruh 37 % dari nilai awalnya (Bushberg, 2002).

T2 WI mempunyai karakteristik patologis. Air akan tampak lebih

cerah dari lemak pada T2 WI. Pada T2 WI, gambaran cairan (misal :

CSF) tampak dengan intensitas signal yang tinggi. Demikian juga

dengan gambaran nucleus pulposus. Nerve root mempunyai intensitas

21
signal yang rendah, sehingga dapat dibedakan dari CSF yang

mengelilinginya (Charles, 1992).

c. Pembobotan Proton Density

Proton density (PD) merupakan jenis pembobotan yang diperoleh

dari nilai TR panjang dan TE pendek. Pada PD intensitas sinyal yang

diperoleh berdasarkan kandungan atom hidrogen (H) dalam jaringan.

Jaringan yang memiliki jumlah proton hidrogen banyak, menghasilkan

intensitas signal yang kuat sedangkan jaringan yang mempunyai

jumlah proton hidrogen sedikit menghasilkan intensitas signal yang

lemah. Nilai kontras PD WI tergantung pasien dan area yang

discaning. Pada PD WI, efek dari T1 WI dan T2 WI diminimalisasi. TR

yang panjang akan mengurangi dominasi T1 kontras sedangkan TE

pendek akan mengurangi dominasi T2 kontras.

Pada PD WI, jaringan yang banyak mengandung atom hidrogen

(missal : CSF) menghasilkan signal yang kuat. Di dalam thecal sac

yang memiliki intensitas signal yang rendah, nerve root tampak dengan

intensitas signal yang lebih tinggi dari CSF yang mengelilinginya.

Selain itu, pada PD WI FSE gambaran cauda ekuina dan thecal sac

tervisualisasi lebih baik daripada T1 WI SE (Charles, 1992).

4. Pulse Sequence MRI

a. Spin Echo

Spin echo (SE) dimulai dari aplikasi RF 90 o untuk eksitasi pulsa hingga

refocusing pulsa dengan RF 180 o untuk rephase magnetization atom

agar didapatkan sinyal yang lebih baik. Spin echo terbentuk ketika

22
terjadi magnetisasi transversal in phase signal maksimum yang

menginduksi coil.

b. Fast Spin Echo (FSE)

Fast spin echo (FSE) sama dengan spin echo akan tetapi waktu

scanning jauh lebih singkat. Pada SE sekuens-nya adalah 90°

kemudian diaplikasi 180° (refocusing echo), dan hanya satu phase

encoding step per TR pada masing-masing slice sehingga hanya satu

baris K-space yang terisi per TR. Sedangkan pada FSE terdapat lebih

dari satu kali aplikasi RF 180 sehingga terdapat lebih dari satu kali

phase encoding dalam satu TR.

FSE banyak digunakan untuk image T2 weighted karena waktu bisa

lebih singkat. FSE digunakan pada pemeriksaan sistem syaraf pusat,

pelvis dan muskuloskeletal yang sudah menggantikan penggunaan

SE thorax dan abdomen, kadang dapat menimbulkan respiratori

artefak sehingga perlu adanya teknik respiratory compensation.

c. Inversion Recovery (IR)

Inversion recovery (IR) merupakan sekuens yang urutan pulsanya

dimulai dari pulsa RF inversi 180° yang dilanjutkan dengan pulsa RF

eksitasi 90°, dan kemudian pulsa rephase 180°. Dengan adanya pulsa

inversi 180° ini maka NMV akan disaturasi penuh. Ketika pulsa inversi

dihentikan, maka NMV akan mengalami relaksasi dan kembali menuju

B0. IR digunakan untuk menghasilkan pembobotan Heavily T1

Weighted dengan perbedaan kontras yang tinggi antara cairan dan

lemak. IR terdiri dari Short Tau Inversion Recovery (STIR) dan Fluid

Attenuated Inversion Recovery (FLAIR).

23
d. Gradient Echo

Gradient Echo disebut juga Gradient Recalled Echo (GRE). Pulse

sekuens GRE menggunakan pulsa RF yang bervariasi denga flip angle

kurang dari 90°. Tujuan utama digunakannya sekuens GRE adalah

mereduksi waktu scanning, oleh karena itu nilai TR yang dipilih pendek

dan flip angle yang kecil.

D. Prosedur Pemeriksaan MRCP

1. Tujuan Pemeriksaan (Manfredi R, 2013)

Tujuan dari pemeriksaan MRCP adalah sebagai metode pencitraan

yang berkembang, non-invasif, sangat akurat untuk pencitraan sistem

billiary dan saluran pankreas.

2. Persiapan pasien (Manfredi R, 2013)

Pasien berpuasa minimal 6 jam sebelum pemeriksaan MRCP untuk

mendapatkan fluid cancellation yang optimal dari iron-oxide, dan

untuk memastikan bahwa sebagian besar kantong empedu telah

diobservasi.

3. Peralatan MRCP (Westbrook, 2014)

a. Body coil / volume torso array atau multi coil

b. Respiratory Comp (RC)

c. Earplug / headphone

d. Pe gating lead jika diperlukan

4. Posisi Pasien (Westbrook, 2014)

Pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan dengan RC (jika

diperlukan) yang terpasang dengan aman. Pasien diposisikan

sehingga longitudinal alignment light berada pada midline obyek yang

24
diperiksa, dan horizontal alignment light pada setinggi vertebra

lumbal III atau pada lower costal margin.

5. Protokol Pemeriksaan MRCP

Untuk tujuan praktis, protokol standar untuk pemeriksaan MRCP

menggunakan phased-array body coil dengan multiple individual coil

element.

Teknik MRCP menggunakan sekuen heavily T2-WI dengan long

echo times untuk menggambarkan cairan dalam sistem biliary

sebagai high signal intensity, sementara pada backgrouned signal

intensity dari liver dan organ parenkimal yang lain telah tersuppress

(ditekan) (Manfredi R, 2013).

Menurut Burghart, Geraldine (2011) pada pemeriksaan MRCP

menggunakan protokol MRCP 3T menggunakan sekuens Ax Fiesta,

cor Fiesta, 3D cor MRCP FRFSE, Radial MRCP, dan Opt Thin

SSFSE MRCP

6. Topogram (Westbrook, 2014)

Gambar 2.3. Coronal incoherent (spoiled) T1-weighted image,

25
BAB III

PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Paparan Kasus

1. Identitas Pasien

Adapun identitas pasien yang mendapat tindakan radiologi

pemeriksaan Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

dengan klinis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya

adalah sebagai berikut:

Nama Pasien : Ny. R

Umur : 73 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : SItubondo

No. RM : 00351xxx

Diagnosa Klinis : Batu Gallbladder

Pemeriksaan Radiologi : MRCP

Dokter Pengirim : Dr. dr. Vicky S. Budipramana, Sp.B, KBD

2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien bernama Tn. A datang ke Instalasi Radiologi Rumah Sakit

Premier Surabaya dengan membawa lembar permintaan pemeriksaan

MRCP pada hari Rabu, 25 April 2018. Ketika dilakukan anamnesa,

pasien mengatakan bahwa tidak mengalami nyeri ulu hati, mual, dan

muntah, tidak ada keluhan yang signifikan, seminggu yang lalu mata,

badan, dan BAK berwarna kuning seperti teh agak kecoklatansejak 6

bulan yang lalu. Berdasarkan keluhan tersebut, maka pasien melakukan

26
pemeriksaan ke poli Bedah. Kemudian, dokter spesialis Bedah merujuk

pasien tersebut untuk melakukan pemeriksaan MRCP dengan tujuan

untuk menegakkan diagnosa karena curiga batu Gallbladder. Lalu

pasien datang ke instalasi radiologi untuk dilakukan pemeriksaan

MRCP.

B. Prosedur Pemeriksaan MRCP dengan Klinis Batu Empedu di Instalasi

Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya

1. Tujuan pemeriksaan

Untuk mengetahui dan memvisualisasikan kelainan pada bagian sistem

biliaris atau kandung empedu pasien yang hanya dapat dilihat pada

MRI.

2. Persiapan pasien

a. Sebelum pemeriksaan pasien harus melakukan puasa makan

selama 6 jam.

b. Radiografer melakukan pengecekan identitas dan lembar

permintaan pemeriksaan MRI pasien.

c. Radiografer melakukan screening kepada pasien, dengan list

pertanyaan seperti pada gambar di bawah ini.

d. Menjelaskan prosedur pemeriksaan. Sebelum dilakukan

pemeriksaan, pasien dijelaskan tentang prosedur pemeriksaan,

seperti penggunaan tombol emergency bels, headphone, adanya

suara berisik ketika proses scanning, kenaikan suhu tubuh, dll.

e. Radiografer melakukan inform consent terhadap pasien mengenai

pemeriksaan yang akan dilakukan.

27
f. Pasien dipersilahkan untuk mengganti pakaian dan melepas semua

benda-benda yang dapat ditarik oleh magnet, serta yang dapat

menimbulkan artefak pada citra yang diakuisi. Kemudian pasien

diminta mengganti pakaiannya dengan mengenakan pakaian

khusus pasien saja.

3. Alat yang digunakan

a. Pesawat MRI

Gambar 3.1. Pesawat MRI Philips Ingenia 3 Tesla

b. Ruang operator control

Gambar 3.2. Ruang Operator Control MRI

c. Abdomen coil/Anterior coil

28
d. Alat fiksasi seperti softbag

e. Selimut

f. Bantal

g. Emergency bel

h. Headphone/earplug

i. Monitoring pasien

j. Film ukuran 35 x 43 cm

k. Printer FujiFilm DryPix 4000

4. Teknik pemeriksaan

Teknik pemeriksaan MRCP di Rumah Sakit Premier Surabaya adalah

sebagai berikut:

a. Posisi pasien

Pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan dengan tubuh

pasien menggunakan abdomen coil berupa upper abdomen coil.

Posisi pasien yaitu head first. Serta pasien dipakaikan headphone

dan memegang emergency bel.

b. Posisi Objek

Tubuh pasien diatur sehingga parallel terhadap Mid Sagittal Plane

(MSP) dan tubuh pasien berada pada center magnet. Pasien

diposisikan sehingga longitudinal alignment light berada pada

midline obyek yang diperiksa, dan horizontal alignment light pada

setinggi vertebra lumbal III atau pada lower costal margin.

c. Proses Pemeriksaan

Proses pemeriksaan dimulai dengan memasukkan (entry) data

pasien yang diperlukan seperti nama pasien, RM, umur, jenis

29
kelamin, jenis pemeriksaan, dokter pengirim, dll. Kemudian memilih

protokol pemeriksaan yaitu MRCP Kristo pada registrasi pasien di

komputer. Kemudian melakukan topogram dari irisan axial, sagittal,

dan coronal untuk menjalankan sekuen yang telah dipilih pada

protokol MRCP Kristo. Mengatur setiap sekuen yang dipilih

kemudian pada irisan yang sama selanjutnya dilakukan propogate

agar slice yang diambil memiliki irisan yang sama lokasinya bila

potongannya sama. Setelah selesai proses scanning, maka

memastikan semua gambaran atau image per slice sudah sesuai

dengan yang diinginkan. Kemudian pasien diturunkan dari meja

pemeriksaan dan pemeriksaan telah selesai.

d. Proses scanning

Pemeriksaan MRCP di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier

Surabaya menggunakan 13 sekuen, yaitu :

1) SURVEY

Scan number : 1,1

Nr of slices : 11

Echo TE, TR : TE 2,3ms / TR 8ms

Flip angle : 15o

Scan duration : 14.6 s

Gambar 3.3. Axial survey

30
Gambar 3.4. Coronal survey Gambar 3.5. Sagital survey

2) COR T2

Scan number : 2,1

Nr of slices : 24

Echo TE, TR : TE 80ms / TR 1250ms

Flip angle : 90o

Scan duration : 30.0 s

3) COR SPAIR

Scan number : 3,2

Nr of slices : 24

Echo TE, TR : TE 80ms / TR 1250ms

Flip angle : 90o

Scan duration : 30.0 s

4) TRA T2

Scan number : 4,1

Nr of slices : 24

Echo TE, TR : TE 80ms / TR 750ms

31
Flip angle : 90o

Scan duration : 18.0 s

5) TRA SPAIR

Scan number : 5,1

Nr of slices : 24

Echo TE, TR : TE 70ms / TR 1019.8ms

Flip angle : 90o

Scan duration : 24.5s

6) Dual_FFE_IP-OP_BH

Scan number : 6,1

Nr of slices : 24

Nr of echoes :2

Echo TE, TR : TE 2,3ms / TR 180ms

Flip angle : 55o

Scan duration : 29.9s

7) TRAN T2 THIN

Scan number : 7,1

Nr of slices : 24

Echo TE, TR : TE 80ms / TR 750ms

Flip angle : 90o

Scan duration : 18.0s

8) e-THRIVE_BH SENSE

Scan number : 8,1

Nr of slices : 125

Echo TE, TR : TE 1.41ms / TR 3ms

32
Flip angle : 10o

Scan duration : 16.1 s

9) SSh_MRCPrad CLEAR

Scan number : 9,1

Nr of slices :8

Echo TE, TR : TE 740ms / TR 6091.6ms

Flip angle : 90o

Scan duration : 48.7 s

10) COR THIN

Scan number : 10,1

Nr of slices : 24

Echo TE, TR : TE 80ms / TR 1250ms

Flip angle : 90o

Scan duration : 30.0 s

11) PARA SAG SPAIR

Scan number : 11,1

Nr of slices : 24

Echo TE, TR : TE 80ms / TR 1250ms

Flip angle : 90o

Scan duration : 30.0 s

12) sMRCP_3D_HR

Scan number : 12,1

Nr of slices : 90

Echo TE, TR : TE 662ms / TR 1112.5ms

Flip angle : 90o

33
Scan duration : 4:06m

13) DWI_3b SENSE

Scan number : 13,1

Nr of slices : 125

Echo TE, TR : TE 73ms / TR 1500ms

Flip angle : 90o

Scan duration : 3:38m

e. Hasil ekspertise oleh dr. Hartono Yudi Sarastika, Sp.Rad (K)

MRI Abdomen atas irisan axial T1WI/T2WI/T2FS, coronal T2WI,

dilanjutkan 3D MRCP tanpa kontras, menunjukkan;

Liver ukurannya normal, intensitas signal parenchym normal, tepi

reguler, sudut lancip. Tidak ada massa solid. Tampak kista kecil

subcentimeter segmen 4 & 7. Vaskuler baik.

Dilatasi ringan CBD diameter terlebar disertai batu gecil di CBD

distal.

GB: batu multiple di neck GB hingga sepanjang ductus cysticus

diameter terbesar.

Tidak ada ascites.

Pancreas normal, tidak ada massa/tanda keradangan.

Lien normal, ukuran tidak membesar, tidak ada massa solid

maupun cystic.

Ginjal kanan-kiri normal

Tak tampak massa kelenjar suprarenal kanan kiri.

Tak tampak pembesaran KGB para aorta

34
Kesan:

1) Cholelithiasis multiple (sekitar 8 buah) di neck GB hingga

sepanjang ductus cysticus diameter terbesar 7,3mm.

2) Batu CBD distal multiple (sekitar 3 buah) diameter terbesar 4mm

menyebabkan dilatasi ringan CBD diameter terlebar 9,2mm.

3) Kista kecil liver segmen 4 & 7.

Gambar 3.6. Gambaran hasil scanning MRCP


di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya

35
C. Pembahasan

Pada pemeriksaan MRCP dengan klinis batu kandung empedu di

Rumah Sakit Premier Surabaya, beberapa hal yang meliputi persiapan

pasien, alat dan bahan yang digunakan, serta teknik pemeriksaan seperti

posisi pasien, posisi objek, dan proses pemeriksaan sudah sesuai dengan

prosedur yang diterapkan. Sementara untuk sekuen yang digunakan dalam

pemeriksaan yaitu sama dengan pemeriksaan MRI Upper Abdomen, yaitu

irisan axial dan coronal T1WDWI Axial, T2 Axial, Flair Axial, T2 FFE Axial,

T1 Axial, T2 Coronal, T1 Sagital, dan T2 Sagital.

Kelebihan MRCP jika dibandingkan modalitas pencitraan lainnya yaitu

MRCP termasuk pemeriksaan yang non invasif dan tidak memerlukan

anastesi selama pemeriksaan. Tidak menggunakan radiasi ionisasi dan

visualisasi duktus proksimal ke obstruksi lebih tinggi pencapaiannya

dibanding menggunakan ERCP.

Karena MRCP adalah pemeriksaan yang non-invasif, pemeriksaan ini

sepenuhnya menghindari komplikasi yang terjadi pada hingga 5% dari

semua prosedur ERCP, termasuk pemeriksaan pankreatitis, perdarahan,

perforasi saluran gastrointestinal dan sepsis. Selain itu, ERCP tidak dapat

mengabsorpsi seluruh sistem pancreatobiliary duct pada pasien dengan

obstruksi berat atau lengkap.

36
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil pembahasan pada bab III, maka penulis dapat

menarik kesimpulan bahwa, Pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu

Empedu di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya telah sesuai

dengan prosedur rumah sakit tersebut yaitu menggunakan protokol MRCP

3T.

Kelebihan pemeriksaan MRCP dibandingkan dengan modalitas

pencitraan yang lain yaitu MRCP termasuk pemeriksaan yang non invasif

dan tidak memerlukan anastesi selama pemeriksaan. Tidak menggunakan

radiasi ionisasi dan visualisasi duktus proksimal ke obstruksi lebih tinggi

pencapaiannya dibanding menggunakan ERCP.

B. Saran

Saran dari penulis pada pemeriksaan MRCP dengan klinis Batu

Empedu di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya yaitu

37
DAFTAR PUSTAKA

Brown, M. A., and Richard C. Semelka; 2003; MRI Basic Principle and

Applications, Third Edition; John Wiley and Sons Inc.; New Jersey

Burghart, Geraldinde, and Finn, Carol; 2012; Handbook of MRI SCANNING;

Philadelphia : Elsevier-Mosby

Bushong, Stewart C.; 2003; Magnetic Resonance Imaging, Physical and

Biological Principles, Second Editions; Mosby; Washington DC

Manfredi, Richardo, and Mucelli, R. P. 2013; Magnetic Resonance

Cholangiopancreatography; Italy : Springer

Westbrook, Catherine and Caroline Kaut; 2014; Handbook of MRI Technique,

Fourth Edition; London : Blackwell Science

Westbrook, Catherine and Caroline Kaut; 2011; MRI at Glance; London :

Blackwell Science

38
LAMPIRAN

39
40
41
42

Anda mungkin juga menyukai