Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Telah diarahkan bahwa suatu pembangunan nasional adalah untuk tercapainya
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia sangat mendorong
dan mengembangkan suatu kegiatan yang memajukan ekonomi, baik yang
dilakukan oleh kegiatan pemerintahan maupun kegiatan swasta. Perkembangan
suatu kegiatan ekonomi ini cukup pesat saat ini sehingga menimbulkan suatu
persaingan bagi para pelaku usaha yang langsung turun ke lapangan dalam suatu
kegiatan ekonomi. Persaingan dalam dunia usaha merupakan sebuah faktor
penentu suatu perkembangan ekonomi Negara. Persaingan usaha memberikan
suatu pilihan bagi para konsumen atau masyarakat untuk memenuhi suatu
kebutuhan atas barang atau jasa dengan menerima harga yang minim dan suatu
kualitas yang baik.1
Dalam aktivitas perekonomian, diperlukan persaingan yang sehat antara
pelaku usaha, dikarenakan persaingan dalam dunia usaha merupakan syarat
mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Persaingan merupakan esensi dari
tumbuh dan berkembangnya aktivitas ekonomi. Dengan adanya suatu persaingan,
maka pelaku usaha dituntut untuk terus memperbaiki produk dan jasa yang
dihasilkan dan terus melakukan inovasi serta bekerja keras menciptakan produk
atau jasa secara efisien. Dengan kata lain, dalam situasi yang kompetitif akan
terjadi alokasi sumber daya secara efisien, perusahaan akan memproduksi barang-
barang dan jasa sesuai kebutuhan konsumen dengan harga berdasarkan besarnya
biaya produksi.
Memasuki era perdagangan bebas (free market), persaingan usaha diantara
perusahaan-perusahaan semakin sengit dan tajam. Kondisi demikian menuntut
perusahaan untuk selalu berupaya mengembangkan strateginya agar dapat terus
mempertahankan eksistensinya. Namun demikian, banyak diantara pengusaha-

1
A.A Ayu Wulan Ratna Dewi dan I Made Sarjana dan I Nyoman Mudana, 2018, Pelanggaran
Penetapan Harga Oleh Pelaku Usaha Dengan Pelaku Usaha Pesaing, Kertha Semaya, Volume 06
Nomor 02, https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/38797, Diakses Pada
Minggu, 10 Maret 2019 Pukul 22.45 WITA

1
pengusaha tersebut kerap kali menggunakan jalan pintas (short cut) dalam
menerapkan strategi yang digunakan dengan melakukan persekongkolan
(collusion) dalam bentuk suatu perjanjian penetapan harga yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.2
Dengan adanya perjanjian penetapan harga ini, maka persaingan bisnis
diantara mereka dapat diredam bahkan dieliminir. Perjanjian ini secara langsung
atau tidak langsung dapat mempengaruhi mekanisme pasar, yang mengakibatkan
praktik monopoli. Lebih lanjut, perjanjian ini dapat merugikan kepentingan umum
atau publik. Kelompok-kelompok di dalam suatu perjanjian ini biasanya terdiri
dari kumpulan perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan atau memasarkan
produk-produk yang sejenis, yang tujuan utamanya terfokus pada pengendalian
harga, sehingga harga yang terbentuk bukanlah harga bersaing (competitive price).
Perjanjian persekongkolan penetapam harga ini biasanya dikenal dengan istilah
kartel.
Persekongkolan bisnis tersebut dapat menyebabkan praktik monopoli
perdagangan. Dalam kondisi monopoli terjadi pemusatan kekuatan sumber daya
ekonomi di pasar. Sekurang-kurangnya lebih dari separuh pangsa pasar dikuasai
oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha, sehingga harganya dapat
dikendalikan. Akibatnya, konsumen hanya mempunyai pilihan terbatas atas suatu
produk dengan harga yang telah ditentukan semuanya oleh pelaku monopoli.
Secara faktual, dalam dunia usaha sangat jarang terjadi persaingan yang
sempurna/sehat. Pelaku usaha sering menyalahgunakan kemudahan-kemudahan
ekonomi untuk memperoleh kekuatan pasar dengan menciptakan hambatan-
hambatan dalam perdagangan yang salah satu contohnya adalah dengan cara
mengendalikan harga atau membatasi produksi barang dan/atau jasa.
B. RUMUSAN MASALAH

2
S. Supriatna, 2016, Persekongkolan Bisnis Dalam Bentuk Perjanjian Kartel, Jurnal Hukum
Positum, Volume 1 Nomor 1, https://journal.unsika.ac.id/index.php/positum/article/view/502,
Diakses Pada Minggu, 10 Maret 2019 Pukul 11.10 WITA

2
1. Bagaimana analisis terhadap kasus Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
(YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM) dalam putusan KPPU Nomor
04/KPPU-I/2016?
2. Bagaimana analisis kasus Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM)
dan PT Astra Honda Motor (AHM) dalam putusan KPPU Nomor 04/KPPU-
I/2016 jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
3. Apa akibat hukum yang dapat diperoleh jika melakukan pelanggaran seperti
pada contoh kasus Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT
Astra Honda Motor (AHM)?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERSAINGAN, PERSAINGAN USAHA DAN HUKUM PERSAINGAN
USAHA
Persaingan (competition) dalam bahasa inggris di definisikan sebagai “rival
between two or more businesses striving for the same customer or market”, ada
dua usaha atau lebih yang terlibat dalam upaya saling mengungguli.3
Persaingan usaha sendiri dalam kamus manajemen dapat diartikan sebagai
suatu kegiatan bersaing/bertanding diantara pengusaha/pebisnis yang satu dengan
pengusaha/pebisnis yang lain didalam memenangkannya pangsa pasar (share
market) dalam upaya melakukan penawaran produk barang dan/atau jasa kepada
konsumen dengan berbagai strategi pemasaran yang diterapkannya. Persaingan
usaha terdiri atas:
a. Persaingan sehat (heatlthy competition)
Istilah ini menegaskan yang ingin dijamin adalah terciptanya persaingan
yang sehat. Dengan melihat beberapa istilah di atas dapat dikatakan bahwa
apapun istilah yang dipakai, semuanya berkaitan dengan tiga hal yaitu:
1) Pencegahan atau peniadaan praktek monopoli;
2) Menjamin persaingan yang sehat;
3) Melarang persaingan yang tidak jujur.
b. Persaingan usaha tidak sehat (unfair competition)
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasan
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.
Menurut teori persaingan sempurna ekonomi klasik, pasar terdiri atas
sejumlah produsen dan konsumen kecil yang tidak menentu. Kebebasan ini
masuk dan keluar, kebebasan memilih teknologi dan metode produksi, serta
kebebasan dan ketersediaan informasi, semuanya dijamin oleh pemerintah.

3
Neni Sri Imaniyati dan Panji Adam Agus Putra, 2017, Hukum Bisnis, PT Refika Aditama,
Bandung, Hal. 105

4
Dalam keadaan pasar seperti ini, dituntut adanya teknologi yang efisien,
sehingga pelaku pasar akan dapat bertahan hidup.4
Namun sistem ekonomi seperti ini, dituduh oleh kaum sosialis hanya
melindungi pemilik faktor produksi. Sehingga ada tudingan bahwa kaum
kapitalis telah membuat keputusan ekonomi yang mengejar kepentingan
individu, menekankan tingkat upah yang minimal, dan mendorong
pengambilan keuntungan yang sebesar-besarnya, mengkonsentrasikan
ekonomi pada sebagian kecil orang saja. Selanjutnya, sistem ekonomi pasar
bebas juga telah membawa kepada ketidakstabilan dalam aktivitas ekonomi
dan perputaran usaha. Persaingan sering dikonotasikan negatif karena
dianggap mementingkan kepentingan sendiri. Walaupun pada kenyataannya
seorang manusia, apakah pada kapasitasnya sebagai individual maupun
anggota suatu organisasi, secara ekonomi tetap akan berusaha mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Alfred Marshal, seorang ekonom
terkemuka mengusulkan agar istilah persaingan diganti dengan istilah
economic freedom (kebebasan ekonomi) dalam menggambarkan atau
mendukung tujuan positif dari proses persaingan. Oleh sebab itu pengertian
kompetisi atau persaingan usaha dalam pengertian yang positif dan
independen sebagai jawaban terhadap upaya dalam segi keuntungan untuk
menarik pembeli agar mencapai keuntungan.
Dalam konsepsi persaingan usaha, dengan asumsi bahwa faktor yang
mempengaruhi harga adalah permintaan dan penawaran, persaingan usaha
dengan sendirinya menghasilkan barang atau jasa yang memiliki daya saing
yang baik, melalui meknisme produksi yang efisien dan efektif, dengan
mempergunakan seminimum mungkin faktor-faktor produksi yang ada. Dalam
sistem ekonomi pasar yang demikian, persaingan memiliki beberapa
pengertian, yaitu:
1) Persaingan menunjukkan banyaknya pelaku usaha yang menawarkan atau
memasok barang dan/atau jasa tertentu kepasar yang bersangkutan.

4
Muhammad, 2004, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE, Yoyakarta, Hal. 371,
https://books.google.co.id/books/about/Ekonomi_mikro_dalam_perspektif_Islam.html?id=bHw6n
gAACAAJ&redir_esc=y, Diunduh Pada Senin, 11 Maret 2019 Pukul 08.19 WITA

5
Banyak sedikitnya pelaku usaha yang menawarkan barang atau jaa ini
menunjukkan struktur pasar (structure market) dari barang dan/atau jasa
tersebut.
2) Persaingan merupakan suatu proses dimana masing-masing perusahaan
yang berupaya memperoleh pembeli atau pelanggan bagi produk yang
dijualnya, antara lain dapat dilakukan dengan:5 a) menekan harga (price
competition); b) persaingan bukan harga (non-price competition), misalnya
yang dilakukan melalui diferenisasi produk, pengembangan hki, promosi,
pelayanan purna jual, dan lain-lain; dan c) berusaha secara lebih efisien
atau tepat guna dan waktu (low cost-production).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak memberikan definisi persaingan, akan
tetapi undang-undang ini hanya memberikan definisi mengenai persaingan usaha
tidak sehat. Hal ini tertera dalam Pasal 1 huruf f, yaitu:6
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan
atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum
atau menghambat persaingan usaha.
Menurut Arie Siswanto yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha
(competition law) adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana
persaingan itu harus dilakukan.7 Adapun menurut Hermansyah, hukum
persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai
segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal
yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.
Berdasarkan definisi diatas, kata kunci hukum persaingan usaha adalah
seperangkat aturan atau hukum sebagai pedoman yang harus diaati secara
bersama. Dalam kaitannya dengan hukum persaingan usaha, pendapat diatas

5
S Sudjana, 2016, Merger Dalam Perspektif Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, Jurnal Positum Uniska, Volume 1 Nomor 1, Hal.
109, https://jourmal.uniska.ac.id/index.php/positum/article/view/499, Dikutip dari Gunawan
Widjaja, 1999, Merger Dalam Perspektif Monopoli, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, Hal. 10,
Diakses Pada Senin, 11 Maret 2019 Pukul 09.22 WITA
6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehhat
7
Arie Siswanto, 2004, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 2

6
bertalian dengan tiga hal pokok yaitu: 1) pencegahan atau peniadaan monopoli; 2)
menjamin terjadinya persaingan usaha yang sehat; dan 3) melarang persaingan
yang tidak jujur.
B. PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DALAM PERSAINGAN USAHA
Terdapat beberapa bentuk perjanjian yang dilarang yang terdapat dalam Pasal
4 sampai Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek
Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang salah satunya adalah
Perjanjian Penetapan Harga.
Dalam hal perjanjian penetapan harga ini dibedakan dalam 4 (empat) macam
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, yaitu:
a. Penetapan Harga (Fixed Pricing)
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama;
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a) Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b) Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.8
Melihat rumusan pasal tersebut berarti larangan ini bersifat per se yang
tidak mengharuskan melihat implikasi atau adanya hambatan persaingan
usaha. Perjanjian penetapan harga dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha Tidak
Sehat disebabkan penetapan harga bersama-sama akan menyebabkan tidak
dapat berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya
tawaran dan permintaan. Pelaku usaha dilarang melalukan perjanjian dengan

8
Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan Larangan
Persaingan Usaha Tidak Sehat

7
pelaku usaha pesaingnya.9 Selain itu, pihak yang melakukan perjanjian harus
saling bersaing, berarti pelaku usaha tersebut berada pada pasar yang
bersangkutan faktual yang sama baik secara vertical maupun horizontal.
Perjanjian ini dapat dilakukan dengan tertuli ataupun lisan.
Perjanjian penetapan harga dikecualikan dalam 3 (tiga) hal, yaitu:
1) Perjanjian harga yang diizinkan;
2) Perjanjian harga yang dibuat dalam joint venture;10
3) Perjanjian langsung.
b. Perjanjian Diskriminasi Harga (Price Discrimination Agreement)
Perjanjian diskriminasi harga diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan Larangan Persaingan
Usaha Tidak Sehat sebagai berikut:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan
pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau
jasa yang sama.”

Pasal ini melarang setiap pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain untuk melakukan diskriminasi harga, yakni penetapan harga kepada
satu konsumen berbeda dari harga kepada konsumen lain atau suatu barang
dan/atau jasa yang sama sehingga konsumen dapat merugikan konsumen.
c. Penetapan Harga di Bawah Harga Pasar (Predatory Pricing)
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli
dan Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Pasal ini melarang pelaku usaha melakukan kesepakatan dengan pelaku


usaha pesaingnya untuk menetapkan harga jual barang atau jasa di bawah

9
Pesaingnya berarti pelaku usaha juga. Pesaing disini berarti pihak yang melakukan kegiatan
ekonomi, jadi bukan pembeli. Untuk melihat definisi pembeli lihat Pasal 1 angka 15 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
10
Lihat Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan
LaraPngan Persaingan Usaha Tidak Sehat

8
harga standar pasar, sehingga dapat merugikan pelaku usaha lainnya.
Penetapam harga di bawah harga pasar adalah strategi yang biasa dilakukan
oleh suatu perusahaan atau beberapa perusahaan yang dominan untuk
menyingkirkan dan merugikan pesaingnya di suatu pasar, seperti penekanan
harga dan pemotongan harga selektif agar mereka dapat memonopoli pasar.
d. Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance)
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli
dan Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa
tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang
diterimanya dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang
telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.”

Pasal ini melarang dengan tegas agar pelaku usaha tidak melakukan
penetapan harga jual kembali, yaitu perjanjian antara pemasok dan distributor
dalam pemasokan barang atau jasa dengan kesepakatan bahwa distributor akan
menjual kembali pada harga yang ditetapkan (secara sepihak) atau ditentukan
langsung oleh pemasok. Terdapat 2 (dua) macam penetapan harga jual
kembali, yaitu:
1) Penetapan harga secara maksimum (maximum price fixing);
2) Penetapan harga secara minimum (minimum price fixing).
C. PERJANJIAN KARTEL
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli
dan Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.”
Anton Muliono dalam Besar Bahasa Indonesia mengartikan kartel sebagai, 1)
Organisasi perusahaan-perusahaan besar (Negara dan sebagainya) yang
memproduksi barang-barang sejenis; 2) Persetujuan sekelompok perusahaan

9
dengan maksud mengendalikan harga komoditi tertentu. Menurut Posner
karakteristik kartel adalah jika hanya terdapat sedikit penjual dengan pembagian
wilayah yang sangat tinggi. Semakin banyak pelaku usaha di pasar semakin sulit
untuk terbentuknya kartel. Tidak ada barang substitusi, produk dipasar sifatnya
homogeny, dan adanya kolusi.
Kartel sering disebut collusive oligopoly. Secara sederhana, perjanjian kartel
adalah suatu bentuk persekongkolan/kolusi dari beberapa pihak yang bertujuan
untuk mengendalikan harga dan distribusi suatu barang untuk kepentingan
(keuntungan) mereka sendiri. Kwik Kian Gie mengatakan, bahwa pembentukan
kartel selalu mengarah kepada monopoli atau kepada kondisi monopolistik.
Monopoli yang dimaksudkan diatas, tentunya bukan monopoli by nature, akan
tetapi monopoli yang sengaja dibuat, sehingga terjadi persaingan curang (unfair
competition). Dalam membentuk kekuatan monopolinya di pasar, umumnya krtel
mengatur pasokan (supply) secara bersama-sama melalui pembagian kuota
produksi kepada sesama anggotanya. Dengan pengaturan tersebut, kartel akan
mampu menetapkan harga (price fixing), dan masing-masing anggotanya akan
menikmati keuntungan yang jauh diatas tingkat yang dicapai dalam pasar yang
bersaing secara sehat.11 Dalam Kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:21)
menjelaskan arti kartel sebagai : “persekongkolan atau persekutuan di antara
beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi,
harga dan penjualannya serta untuk memperoleh posisi monopoli.”
Para pengusaha yang tergabung dalam kartel secara sepihak dapat menetapkan
harga produknya maupun menetapkan besarnya produksi agar tetap dapat
mengendalikan harga. Kartel biasanya dipraktikkan oleh organisasi atau asosiasi
dagang (trade associations) bersama para anggotanya. Kartel diakui sebagai
kolaborasi bisnis yang paling merugikan dengan cara mengontrol pasar demi
keuntungan mereka, yang secara klasik dapat dipraktikkan melalui tiga hal, yakni
dalam hal harga, produksi dan wilayah pemasaran.

11
S. Supriatna, 2016, Persekongkolan Bisnis Dalam Bentuk Perjanjian Kartel, Jurnal Hukum
Positum, Volume 1 Nomor 1, https://journal.unsika.ac.id/index.php/positum/article/view/502, Hal.
128, Diakses Pada Senin, 11 Maret 2019 Pukul 13.39 WITA

10
Dikebanyakan Negara, pengertian kartel meliputi perjanjian antara para
pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga.
Persekongkolan seperti ini biasanya dilakukan oleh beberapa perusahaan atau
produsen yang menguasai pangsa pasar secara mayoritas, yang menyebabkan
konsumen tidak ada pilihan, karena semua barang sejenis telah diatur harganya,
sehingga mau tak mau, karena kebutuhan, konsumen akan tetap membelinya
dengan keterpaksaan atau rasa berat meskipun dengan harga tinggi atau tidak
wajar.
Jadi, kartel dapat dikatakan sebagai penyatuan dan sikap dari para produsen
atau pedagang dengan maksud menciptakan situasi monopolistic supaya bisa
mengurangi atau meniadakan persaingan sama sekali.

11
BAB III
PEMBAHASAN
A. ANALISIS KASUS YAMAHA INDONESIA MOTOR
MANUFACTURING (YIMM) DAN PT ASTRA HONDA MOTOR
(AHM) DALAM PUTUSAN KPPU NOMOR 04/KPPU-I/2016
Rincian Kasus:
Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU-RI)
memutus bersalah PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra
Honda Motor (AHM) dalam sidang putusan kartel. Kedua perusahaan itu divonis
bersekongkol dalam penetapan harga jual motor skuter matik 110cc-125cc.
"Semua yang telah ditetapkan oleh majelis dalam persidangan karena adanya bukti-
bukti. Apapun yang diputuskan itu tanpa adanya intervensi dari siapapun termasuk
saya selaku Ketua KPPU," ujar Ketua KPPU RI Muh Syarkawi Rauf di Makassar
seperti dikutip Antara, Senin (20/2).
Putusan majelis menyatakan, terlapor satu (YIMM) dan terlapor dua (AHM) terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dengan demikian, YIMM dan AHM dikenakan sanksi administratif. Kedua terlapor
juga diharuskan membayar denda karena terbukti melakukan pelanggaran. Terlapor satu
(YIMM) didenda sebesar Rp25 miliar. Sedangkan terlapor dua, (AHM) di denda
membayar Rp22,5 miliar.
"Kami di KPPU itu, putusan yang dijatuhkan berupa denda dan sanksi administratf.
Untuk denda, bagi pihak terhukum harus membayar dendanya itu dan disetorkan
langsung ke kas negara sesuai dengan jumlah yang diputuskan majelis," kata
Syarkawi.
Dia mengatakan, kedua terlapor harus melakukan pembayaran denda sesuai dengan
yang diputuskan. Setelah itu, salinan bukti pembayaran denda tersebut harus dilaporkan
dan diserahkan ke KPPU.
Anggota KPPU Saidah Sakwan menjelaskan, sepeda motor skuter matik seharusnya
dijual dengan harga Rp8,7 juta di pasaran Indonesia. Namun kedua terlapor menjualnya
dengan harga Rp14-18 juta. Hal itu menurut Saidah, sangat menguntungkan perusahaan.
Dalam kasus ini, sebelumnya investigator KPPU menemukan kejanggalan terhadap
harga sepeda motor jenis skuter matik 110-125 cc produksi PT Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing dan PT Astra Honda Motor.
KPPU menduga kedua perusahaan itu membahas mengenai kesepakatan antara PT
Yamaha Indonesia Motor Manufacturing akan mengikuti harga jual motor PT Astra Honda
Motor. Kesepakatan itu kemudian ditindaklanjuti dengan adanya perintah melalui surat
elektronik yang pada akhirnya terdapat penyesuaian harga jual produk PT Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing mengikuti harga jual PT Astra Honda Motor. 12

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah melakukan penelitian


terkait adanya dugaan pelanggaran terhadap undang-undang persaingan usaha
dalam industri sepeda motor jenis skuter matik 110-125cc di Indonesia. Hal
tersebut dilakukan karena ada indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat

12
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20170221002743-12-194853/kppu-yamaha-honda-
bersekongkol-permainkan-harga-skuter-matik, Diakses Pada Senin, 11 Maret 2019 Pukul 20.34
WITA

12
yang dilakukan pelaku usaha di bidang otomotif tersebut. Atas inisiatif KPPU
tersebut, KPPU berhak melakukan penyelidikkan atas perkara tersebut dalam
ranah persaingan usaha. Kemudian investigator yang telah ditunjuk oleh KPPU
menemukan bahwa YIMM dan AHM terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Persaingan Usaha tentang penetapan harga yang berdampak
timbulnya anti persaingan sebagai berikut: Tindakan penetapan harga jual sepeda
motor jenis skuter matik 110-125cc di pasar bersangkutan yang dilakukan oleh
YIMM dan AHM menimbulkan kenaikkan keuntungan YIMM msekipun faktanya
angka penjualan menurun dan mengakibatkan konsumen tidak mendapatkan
harga kompetitif.13 Kasus yang melibatkan YIMM dan AHM ini kemudian
berlanjut hingga ke persidangan, dan dituangkan dalam putusan KPPU Nomor
04/KPPU-I/2016.
Atas Laporan Dugaan Pelanggaran dari KKPU tersebut, YIMM selaku
Terlapor I dan AHM selaku Terlapor II melakukan pembelaan yang
kseimpulannya sebagai berikut:
1) Tidak terbukti Terlapor II sebagai pelaku usaha dan Terlapor I sebagai pelaku
usaha pesaing telah membuat perjanjian mengenai penetapan harga;
2) Tidak terbukti ada perjanjian penetapan harga mengenai barang berupa motor
skuter matik 110-125cc produk Terlapor II dan Terlapor I;
3) Terbukti Tim Investigator tidak pernah melakukan survey pada pasar yang
bersangkutan untuk produk skuter matik 110-125cc;
4) Atau dengan kata lain, tidak ada satu alat buktipun yang diajukan oleh
investigator yang membuktikan bahwa Terlapor II telah melakukan
pelanggaran atas ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Persaingan
Usaha. Oleh karena itu, tidak terbukti bahwa telah terjadi kartel penetapan
harga oleh Terlapor II dan Terlapor I.14

13
Sarah Fitriyah dan Adi Sulistiyono, 2018, Analisis Yuridis Dan Penggunaan Indirect Evidence
Dalam Kasus Kartel Sepeda Motor Di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha, Privat
Law Journal, Volume 6 No. 1, Hal. 37-38, https://jurnal.uns.ac.id/privatlaw/article/view/192244,
Diakses Pada Senin, 11 Maret 2019 Pukul 21.02 WITA
14
Analisis Kesimpulan Hasil Persidangan dari Terlapor I dan Terlapor II dalam Putusan KPPU
Nomor 04/KPPU-I/2016

13
Selanjutnya untuk membuktikan terjadi atau tidaknya pelanggaran Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Persaingan Usaha, maka berikut merupakan analisis unusur-
unsur dalam Pasal 5:
1. Pelaku Usaha, yang dimaksud pelaku usaha dalam pelanggaran ketentuan
Pasal ini adalah Terlapor I/PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
(YIMM) dan Terlapor II/PT Astra Honda.
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Persaingan Usaha
dimana pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbadan hukum atau bukan yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum NRI. Dengan demikian unsur
pelaku usaha terpenuhi.
2. Perjanjian, yang dimaksud adalah perjanjian antara Terlapor I dan Terlapor II
untuk menetapkan harga jual barang dan/atau jasa dalam hal ini yaitu sepeda
motor skuter matik 110-125cc yang harus dibayar konsumen, perjanjian
mencakup tertulis maupun tidak tertulis, termasuk tindakan bersama
(concerted action) pelaku usaha.
Dalam concerted action15 yang terpenting adalah terjadi komunikasi.
Telah terjadi perbuatan mengikatkan diri pelaku usaha terhadap pelaku usaha
lain secara tidak tertulis atau concerted action yang dibuktikan dengan
perilaku Terlapor dan selanjutnya diperkuat dengan bukti ekonomi adanya
implementasi penetapan harga. Berdasarkan alat bukti, terdapat kesesuaian
antara fakta pertemuan di lapangan golf antara Telapor I dan Terlapor II.
Komunikasi surat elektronik (e-mail) serta bukti analisis penetapam harga
sehingga adanya perbuatan penetapan harga benar terjadi. Dengan demikian
unsur perjanjian terpenuhi.
3. Pelaku Usaha dan Pelaku Usaha Pesaing, adalah pelaku usaha lain dalam
pasar bersangkutan yang sama, berdasarkan fakta dan analisis terkait dengan
industri sepeda motor skuter matik di Indonesia, Terlapor I dan Terlapor II
berada pada pasar yang sama sehingga keduanya merupakan pesaing satu

15
Concerted action adalah suatu tindakan yang direncanakan, diatur dan disepakati oleh para
pihak secara bersama-sama dengan tujuan yang sama.

14
sama lain. Dengan demikian unsur pelaku usaha dan pelaku usaha
pesaingnya terpenuhi.
4. Menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan, adalah penetapan harga jual sepeda motor skuter
matik 110-125cc terbukti berdasarkan perilaku Terlapor sebagaimana yang
telah diuraikan dan selanjutnya diperkuat dengan bukti ekonomi adanya
implementasi penetapan harga. Denngan demikian unsur menetapkan
harga suatu barang dan/atau jasa terpenuhi.
5. Pasar Bersangkutan, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang Persaingan Usaha yang dimaksud dengan pasar bersangkutan adalah
pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh
pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut. Bahwa pasar bersangkutan dalam perkara
ini adalah pasar kendaraan sepeda motor roda dua jenis skuter matik dengan
kapasitas 110-125cc di wilayah Indonesia. Berdasarkan alat bukti yang
diperoleh selama proses persidangan, Terlapor I dan Terlapor II terbukti
melakukan kegiatan usaha pada pasar bersangkutan yang sama. Dengan
demikian unsur pasar bersangkutan yang sama dalam perkara ini
terpenuhi.
Berdasarkan Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016, maka Majelis Hakim
memutuskan:
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, dan Terlapor II terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999;
2. Menghukum Terlapor I denda sebesar Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupiah) dan disetor ke kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha;
3. Menghukum Terlapor II denda sebesar Rp. 22.500.000.000 (dua puluh dua
miliar lima ratus juta rupiah).
B. ANALISIS KASUS YAMAHA INDONESIA MOTOR
MANUFACTURING (YIMM) DAN PT ASTRA HONDA MOTOR

15
(AHM) DALAM PUTUSAN KPPU NOMOR 04/KPPU-I/2016
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999
TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada tanggal 5 Maret 1999,
maka setiap pelanggaran yang bertentangan dengan undang-undang ini dapat
dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Asas dari
undang-undang ini adalah bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.16
Sementara tujuan pembentukkan undang-undang ini adalah:17
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha;
c. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Kasus yang menjerat Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra
Honda Motor merupakan kasus praktik kartel dalam bentuk perjanjian penetapan
harga. Praktik kartel sendiri merupakan salah satu strategi yang diterapkan di
antara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah
produksi mereka. Praktik kartel tidak hanya bertujuan untuk menjaga stabilitas
harga produk mereka dipasar, tetapi juga untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya.18

16
Ketentuan umum Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
17
Ibid, Pasal 3
18
Andi Fahmi Lubis, dkk, 2017, Hukum Persaingan Usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), Jakarta, Hal. 109-110

16
Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel. Pertama, terdapat
konspirasi antara beberapa pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga.
Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi
konsumen atau produksi wilayah. Keempat, adanya perbedaan kepentingan
diantara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya. Oleh karena itu perlu
adanya kompromi antar anggota kartel misalnya dengan adanya kompensasi dari
anggota kartel yang besar kepada mereka yang kecil.19
Kartel sendiri dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam
Pasal 11. Kartel pada dasarnya adalah perjanjian suatu pelaku usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya.
Secara klasikal, kartel dapat dilakukan melalui 3 (tiga) hal yaitu: harga, produksi
dan wilayah pemasaran. Akibat yang ditimbulkan adalah terciptanya praktik
monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara perekonomian makro
mengakibatkan inisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya
deadweight loss. Dari sisi konsumen, konsumen akan kehilangan pilihan harga,
kualitas barang yang bersaing, dan layanan jual yang baik. Tujuan akhir dari
kartel adalah mengarah ke monopoli/situasi monopolistic yakni meniadakan
persaingan cepat meraih laba, oleh karena itu jika persaingan usaha tidak ada
maka pelaku usaha bebas meningkatkan harga.20
Di dalam peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tentang Kartel (Pedoman Pasal
11), dijelaskan bagaimana penerapan rule of reason. Menurut peraturan ini, harus
dilakukan pemeriksaan secara mendalam tentang alasan-alasan mengapa para
pelaku usaha terlapor membuat kartel. KPPU harus memeriksa apakah alasan-
alasan para pelaku usaha membuat kartel ini dapat diterima (reasonable restraint).
KPPU harus mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Apakah terdapat tanda-tanda adanya pengurangan produksi barang dan atau
jasa atau ada tidaknya kenaikan harga? Jika tidak ada, maka perbuatan para
pelaku usaha tidak bertentangan dengan hukum persaingan;

19
Andi Fahmi Lubis, dkk, op. cit., Hal. 110
20
Neni Sri Imaniyati dan Panji Adam Putra, op.cit., Hal 117

17
2. Apakah perbuatan tersebut naked (semata-mata, langsung bertujuan untuk
mengurangi atau mematikan persaingan), atau bersifat ancillary (bukan tujuan
dari kolaborasi melainkan hanya akibat ikutan). Apabila kolaborasi bersifat
naked, maka akan melawan hukum;
3. Bahwa kartel mempunyai market power. Apabila kartel mempunyai pangsa
pasar (market power) yang cukup, maka mereka mempunyai kekuatan untuk
menyalahgunakan kekuatan tersebut. Akan tetapi apabila tidak ada market
power, maka kemungkinan kecil kartel akan dapat mempengaruhi pasar;
4. Terdapat bukti kuat bahwa kartel menghasilkan efisiensi yang cukup besar,
sehingga melebihi kerugian yang diakibatkannya. Apabila tidak membawa
efisiensi berarti kartel hanya membawa kerugian;
5. Adanya reasonable necessity. Artinya tindakan para pelaku kartel tersebut
memang secara akal sehat perlu dilakukan. Dengan kata lain untuk mencapai
keuntungan-kentungan yang propersaingan yang ingin dicapai, maka
perbuatan kartel tersebut perlu dilakukan, dan tidak terdapat cara lain atau
alternative lain yang seharusnya terpikirkan oleh para pelaku usaha;
6. Balancing test. Setelah faktor-faktor lainnya diatas diperiksa, maka perlu
dilakukan pengukuran terhadap keuntungan yang diperoleh melalui kartel,
denga kerugian yang diakibatkannya. Apabila keuntungan yang diperoleh
lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya, maka
perbuatan atau tindakan para pelaku usaha tersebut dapat dibenarkan.
Kasus yang melibatkan Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra
Honda Motor tergolong dalam praktik kartel. Kedua perusahaan ini dikenal
sebagai penguasa absolute pemasok kendaraan bermotor roda dua di Indonesia,
yang menguasai hamper 97% pangsa pasar di Indonesia. Jadi, apabila praktik
kartel dalam bentuk perjanjian penetapan harga diantara kedua perusahaan ini
terus berjalan maka konsumen/pelanggan akan dirugikan.
Selanjutnya praktik kartel antara Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan
PT Astra Honda Motor merupakan praktik kartel dalam bentuk perjanjian
penetapan harga. Penetapan harga sendiri merupakan salah satu bentuk perjanjian

18
yang dilarang dalam persaingan usaha yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999.
KPPU telah mengeluarkan peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pasal 5 (Penetapan harga) UU No. 5 Tahun 1999. Menurut Peraturan
KPPU tersebut, bentuk-bentuk penetapan harga yang termasuk Pasal 5 UU No. 5
Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan menaikkan atau menurunkan harga;
2. Kesepakatan memakai suatu formula standar dasar perhitungan harga;
3. Kesepakatan memelihara suatu perbandingan tetap antara harga yang
dipersaingkan dengan suatu produk tertentu;
4. Kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon;
5. Kesepakatan persyaratan pemberian kredit kepada konsumen;
6. Kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah
dipasar, sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi;
7. Persetujuan kepatuhan pada harga yang diumumkan;
8. Kesepakatan tidak menjual bila harga yang disetujui tidak terpenuhi; dan
9. Kesepakatan menggunakan harga yang seragam sebagai langkah awal untuk
negosiasi.
Dengan demikian praktik kartel antara pihak Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing dan PT Astra Honda Motor telah memenuhi redaksi pasal 5 ayat
(1) UU No. 5 Tahun 1999 terkait pelanggaran penetapan harga.
C. AKIBAT HUKUM KASUS YAMAHA INDONESIA MOTOR
MANUFACTURING (YIMM) DAN PT ASTRA HONDA MOTOR
(AHM)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menetapkan 2 (dua) macam sanksi,
yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana yang terdiri dari pidana pokok dan
pidana tambahan.
1. Sanksi Administratif
Sanksi administratif merupakan satu tindakan yang dapat diambil oleh KPPU
terhadap pelaku usaha yang melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Sanksi
administratif ini diatur dalam Pasal 47, yang berupa:

19
1) Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
sampai 13, Pasal 15 dan Pasal 16;
2) Perintah untuk menghentikan integrasi vertical sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14;
3) Perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
4) Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambil alihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;
5) Penetapan pembayaran ganti rugi;
6) Pengenaan denda minimal Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.0000 (dua puluh lima miliar rupiah).
Komisi dapat menjatuhkan sanksi administratif tersebut secara kumulatif
ataupun alternative. Keputusan mengenai bentuk sanksi tergantung pada
pertimbangan Komisi dengan melihat situasi dan kondisi masing-masing kasus.
Ketentuan soal denda sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 47 UU No. 5
Tahun 1999. Namun, Pasal tersebut tidak merinci secara teknis perhitungan
besarnya yang dapat dijatuhkan KPPU. Penghitungan atas kerugian ekonomi yang
ditimbulkan karena pelanggaran hukum persaingan usaha memerlukan banyak
pertimbangan dan harus mendasarkan pada unsur kehati-hatian. Oleh karena itu,
Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2009 tersebut diharapkan bisa mengatasi
masalah ini.
Ketentuan yang diatur dalam keputusan tersebut diantaranya adalah penentuan
nilai dasar. Dalam lampiran Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa
nilai dasar denda akan terkait dengan tiga hal, yakni proporsi dari nilai penjualan,
tingkat pelanggaran, dikalikan dengan jumlah tahun pelanggaran. Penentuan
tingkat pelanggaran dilakukan kasus per kasus untuk setiap tipe pelanggaran
dengan mempertimbangkan seluruh situasi yang terkait dengan kasus tersebut.21
2. Sanksi Pidana Pokok
Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa sanksi pidana pokok
meliputi pidana denda minimal Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)
dan maksimal Rp. 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). Pidana denda tersebut

21
Andi Fahmi Lubis, dkk, op.cit., Hal. 407-408

20
dapat diganti dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan. Sanksi
pidana ini diberikan oleh pengadilan (bukan merupakan wewenang komisi)
apabila:
1) Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, 9-14, 16-19, 25-27, dan
28. Pelaku diancam dengan pidana serendah-rendahnya Rp.
25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.
100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti
denda selama-lamanya 6 (enam) bulan;
2) Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5-8, 15, 20-24 dan 26.
Pelaku diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000
(lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh
lima miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya
5 (lima) bulan;
3) Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41. Ancaman pidananya
adalah serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
3. Pidana Tambahan
Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa pidana tambahan yang
dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha dapat berupa:
1) Pencabutan izin usaha; atau
2) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; atau
3) Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
Dalam penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa Komisi
hanya berwenang menjatuhkan sanksi administratif, sedangkan yang berwenang
menjatuhkan sanksi pidana adalah pengadilan. Suatu perkara yang ditangani oleh
KPPU dapat kemudian diserahkan kepada penyidik dan karenanya dapat dijatuhi
pidana dalam hal:

21
1) Pelaku usaha tidak menjalankan putusan Komisi yang berupa sanksi
administratif (Pasal 44 ayat (4)); dan
2) Pelaku usaha menolak untuk diperiksa, menolak memberikan informasi
yang diperlukan dalam penyelidikkan dan atau pemeriksaan, atau
meghambat proses penyelidikkan dan atau pemeriksaan (Pasal 41 ayat(2)).
Terhadap kedua pelanggaran tersebut, Komisi menyerahkan kepada penyidik
untuk dilakukan penyidikkan. Putusan Komisi merupakan bukti permulaan yang
cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan (Pasal 41 ayat (3) jo. Pasal 44
ayat (5)).
Akibat hukum dari Putusan Nomor 04/KPPU-I/2016 tentang pelanggaran
pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang penetapan harga yang dilakukan Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motir (AHM) yaitu
dikenakannya sanksi administratif dalam putusan KPPU yang dibacakan dalam
sidang yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada YIMM berupa sanksi denda sebesar
Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) sedangkan sanksi yang
dijatuhkan kepada AHM berupa sanksi denda sebesar Rp. 22.500.000.000 (dua
puluh dua miliar lima ratus juta rupiah).

22
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kasus Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda
Motor (AHM) dalam Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 menyatakan
bahwa Yamaha Indonesia Motor Manufacturing sebagai Terlapor I dan PT
Astra Honda sebagai Terlapor II, terbukti melakukan pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dimana dalam Kasus tersebut, YIMM dan
AHM melakukan sebuah praktik kartel terkait perjanjian penetapan harga
yang pada dasarnya melanggar salah satu ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 yaitu tepatnya pada Pasal 5 tentang Penetapan Harga.
Pada sidang kasus, YIMM dan AHM menyangkal dugaan terjadinya praktik
kartel diantara mereka, namun berdasarkan bukti yang ada, majelis hakim
dalam Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 memutus bersalah kedua
terlapor dan menghukum kedua terlapor dengan denda administratif.
2. Perjanjian penetapan harga yang dilakukan oleh Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing dan PT Astra Honda Motor merupakan sebuah praktik kartel.
Kartel sendiri dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam
Pasal 11. Kartel pada dasarnya adalah perjanjian suatu pelaku usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya.
Secara klasikal, kartel dapat dilakukan melalui 3 (tiga) hal yaitu: harga,
produksi dan wilayah pemasaran. Selanjutnya, praktik kartel antara YIMM
dan AHM merupakan praktik kartel dalam bentuk penetapan harga skuter
matik 110-125cc. Penetapan harga merupakan salah satu bentuk perjanjian
yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (1).
3. Akibat hukum dari Putusan Nomor 04/KPPU-I/2016 tentang pelanggaran
pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang penetapan harga yang dilakukan
Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor
(AHM) yaitu dikenakannya sanksi administratif dalam putusan KPPU yang

23
dibacakan dalam sidang yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada YIMM berupa
sanksi denda sebesar Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)
sedangkan sanksi yang dijatuhkan kepada AHM berupa sanksi denda sebesar
Rp. 22.500.000.000 (dua puluh dua miliar lima ratus juta rupiah).
B. SARAN
Menurut penulis, berdasarkan contoh kasus diatas, yaitu kasus Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM)
dalam Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016, perlu rasanya untuk memperberat
penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran praktik kartel dalam bentuk penetapan
harga. Terlebih lagi apabila praktik kartel dilakukan oleh perusahaan besar yang
memiliki hampir seluruh pangsa pasar, maka tidak tepat rasanya apabila hanya
menjatuhkan hukum administratif saja karena sekalipun menjatuhkan sanksi
berupa pidana denda maksimal bagi sebuah perusahaan besar itu bukanlah hal
yang sulit. Dalam Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 diatas juga terlihat
bahwa Terlapor II mendapatkan pidana sanksi denda yang jumlahnya lebih kecil
dibandingkan dengan pidana denda yang diperoleh oleh Terlapor I. Oleh karena
itu, perlu rasanya untuk meninjau kembali terkait penjatuhan sanksi dalam kasus
pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dikemudian hari.

24
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Imaniyati, Neni Sri, dan Panji Adam Agus Putra, 2017, Hukum Bisnis, Jakarta: PT
Refika Aditama
Lubis, Andi Fahmi, dkk, 2017, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Muhammad, 2004, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: BPFE
Siswanto, Arie, 2004, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: Ghalia Indonesia
Jurnal:
Dewi, AA Ayu Wulan Ratna, I Made Sarjana dan I Nyoman Mudana, 2018,
Pelanggaran Penetapan Harga Oleh Pelaku Usaha Dengan Pelaku Usaha
Pesaing, Kertha Semaya, Volume 06 Nomor 02 dalam
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/38797
Fitriyah, Sarah, dan Adi Sulistiyono, 2018, Analisis Yuridis Dan Penggunaan
Indirect Evidence Dalam Kasus Kartel Sepeda Motor Di Indonesia
Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha, Privat Law Journal, Volume 6
Nomor 1 dalam https://jurnal.uns.ac.id/privatlaw/article/view/192244
Sudjana, S, 2016, Merger Dalam Perspektif Praktik Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, Jurnal Positum
Uniska, Volume 1 Nomor 1 dalam
https://journal.uniska.ac.id/index.php/positum/article/view/499
Supriatna, S, 2016, Persekongkolan Bisnis Dalam Bentuk Perjanjian Kartel,
Jurnal Hukum Positum, Volume 1 Nomor 1 dalam
https://journal.uniska.ac.id/index.php/positum/article/view/502
Sumber Lain:
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20170221002743-12-194853/kppu-yamaha-
honda-bersekongkol-permainkan-harga-skuter-matik
Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha tidak Sehat

25

Anda mungkin juga menyukai