Anda di halaman 1dari 4

Sungai Brantas Tercemar Limbah, Diare

hingga Kanker Meneror Warga


Hari Istiawan, Jurnalis · Rabu 06 September 2017 18:35 WIB

Sungai Brantas dipenuhi sampah (Hari/Okezone)


MALANG - Akumulasi bahan pencemar di Sungai Brantas, Jawa Timur yang berasal dari
limbah domestik dan industri di bagian hilir berdampak pada kesehatan masyarakat. Jumlah
penderita penyakit yang disebabkan pencemaran air sungai terlihat menonjol bagi warga yang
tinggal di bagian hilir Sungai Brantas.
Beruntung bagi warga yang tinggal di hulu Sungai Brantas karena bisa mengakses air bersih
dan layak minum dari sumber mata air. Namun, ada juga yang menggunakan air dari
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sebaliknya, warga yang tinggal di bagian hilir
Brantas seperti Kota Surabaya dan sekitarnya, mayoritas menggunakan air PDAM untuk
kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk kebutuhan air minum.

Meski telah diolah oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan campuran kimia
agar sesuai standar, pakar kesehatan Universitas Brawijaya, Lilik Zuhriyah menilai air
PDAM tidak layak konsumsi. “Meski sudah direbus,” katanya, medio Agustus 2017.

Sebab, kata Lilik, semakin buruk kualitas air, saat pengolahan membutuhkan perlakuan lebih
banyak. “Artinya, campuran dan bahan kimia yang digunakan semakin besar untuk
menghasilkan kualitas air sesuai ketentuan,” ujarnya.

Ia khawatir jika masyarakat terlalu sering mengkonsumsi air dari bahan baku yang tidak
memenuhi baku mutu ini dapat menjadi pemicu penyakit kanker dan lainnya. Cara
mengidentifikasi tidak layak konsumsi kualitas air PDAM tidak sulit. Ia mengatakan pada
panci yang digunakan merebus air olahan PDAM menyisakan gumpalan dan kerak yang
melekat.
”Saya tidak membayangkan jika air tersebut terus-terusan dikonsumsi dan masuk ke dalam
tubuh. Mungkin secara fisik oke, tapi secara kimia dan biologi bagaimana? Perlu penelitian
lebih lanjut,” katanya.

Gambaran masyarakat yang menggunakan air dari PDAM ini seperti yang dilakukan
Musringah (64), warga RT 03/RW 12, Kelurahan Kesatrian, Kecamatan Blimbing, Kota
Malang.

Saat berkunjung ke rumahnya, dia sedang sibuk mencuci piring di depan rumahnya. Aktivitas
tersebut menjadi pekerjaan rutin sehabis masak. Musringah tinggal memutar kran, air
otomatis keluar.

Ia mengaku selain untuk mencuci, air PDAM tersebut ia gunakan untuk mandi, memasak dan
kebutuhan air minum. Ia tak lagi menggunakan sumur yang lokasinya tak jauh dari rumahnya.
“Dulu, masih kuat nimba, ya pakai air sumur. Baik mandi, nyuci pakaian dan perabotan
dapur,” katanya .

Sumur yang hanya berjarak 6 meter dari Sungai Brantas ini dimanfaatkan sebagian warga RT
03/RW 12 yang berada di bantaran sungai. Di sebelah sumur terdapat toilet umum-biasa
digunakan warga yang belum atau tidak memiliki jamban alias water closet (WC) di
rumahnya.

Warga lainnya, Srimunah (86), juga mengaku menggunakan toilet umum tersebut. Kendati
sudah puluhan tahun tinggal di bantaran sungai, Srimunah belum memiliki WC. Sebelum
toilet umum dibangun tahun 2000-an, Srimunah dan warga memilih buang air besar (BAB) di
sungai.

Ibu tiga anak ini juga memanfaatkan air sumur di dekat toilet umum untuk mandi, memasak
dan mencuci pakaian. Srimunah mengaku sudah biasa mandi menggunakan air sumur yang
berada tidak jauh dari aliran Sungai Brantas. Gejala gatal-gatal hingga bintik-bintik merah di
tangannya selepas mandi dinilai lumrah.

“Dulu air sungai masih cukup bersih, sekarang saja sudah begitu kondisinya,” ujar dia
menyadari perubahaan kualitas air.

Sungai Brantas (Hari/Okezone)


Kondisi tersebut juga dirasakan warga lain, Rofii. Warga Jalan Kaliurang`Barat, Kelurahaan
Samaan, Kota Malang, ini harus beralih menggunakan air PDAM untuk kebutuhan di rumah
tangganya. Sebelumnya, ia bersama warga lain memanfaatkan air sumur yang tidak jauh dari
aliran Sungai Brantas itu untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Berubahnya warna air serta kualitas air menjadi alasan warga mengurangi aktivitas di Sungai
Brantas. Meski begitu, Rofii tidak memungkiri anak-anak di kampungya masih gemar mandi
di sungai.
“Dulu cari mudahnya. Apa-apa ya ke sungai, mandi, BAB maupun nyuci. Hampir semua
warga memanfaatkan aliran Sungai Brantas, sebelum kondisinya seperti sekarang,” ujar
Rofii.

Di Rukun Warga (RW) 12 Kelurahan Kesatrian, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, sendiri
terdiri dari 4 Rukun Tetangga (RT), setiap RT terdapat 55 kepala keluarga (KK). Tiga RT di
antaranya telah tersedia toilet umum yang dimanfaatkan bersama.

Ketua RW 12, Valentinus mengatakan, RW 12 dulunya dikenal dengan kawasan kumuh.


Permukiman yang padat, ditambah berada tepat di bantaran Sungai Brantas. Sejak Agustus
2016 lalu, daerahnya terlihat bersih dan tidak kumuh. Lantaran kampung ini menjadi sasaran
program kampung tematik dengan sebutan Kampung Tridi. Tidak jauh dari kampung ini telah
berdiri Kampung Warna Warni.

Pria 64 tahun ini tak menampik masih ada warganya yang BAB dan membuang sampah serta
limbah domestik langsung ke Sungai Brantas. Meski begitu, ia mengklaim jumlahnya terus
berkurang. Perbandingannya, kata dia, lebih dari 80 persen warga Kampung Tridi telah BAB
di toilet, baik yang ada di dalam rumah maupun menggunakan toilet umum.

Keberadaan toilet umum efektif mengurangi warga BAB di sungai. Tersedianya tempat
sampah, petugas yang rutin mengangkut sampah dari warga juga mengurangi volume sampah
yang dibuang ke sungai. Hanya saja, pihaknya belum bisa menertibkan kebiasaan membuang
limbah domestik ke sungai.

Ia yakin lambat laun warga semakin sadar. Karena setiap hari ada 500 lebih wisatawan
berkunjung ke Kampung Tridi. “Pastinya warga merasa malu, baik untuk BAB di sungai dan
buang sampah ke sungai,” ujarnya.

Valentinus berharap pemerintah dapat menyediakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
khusus menampung limbah domestik. Sehingga, air limbah domestik yang dibuang ke sungai
lebih dulu melalui proses.

Tanpa IPAL khusus limbah domestik, Valentinus tidak yakin warga kampungnya tidak lagi
membuang limbah ke sungai. Selain minimnya ketersediaan lahan, juga didukung dengan
kebiasaan lama.

“Sudah dari dulu warga yang berada persis di bantaran Sungai Brantas buang limbah rumah
tangga ke sungai,” ungkapnya.

Pola hidup bersih dan sehat yang belum seluruhnya menyentuh masyarakat membuat
kejadian diare masih merata di hampir kabupaten dan kota di Jawa Timur, terutama
masyarakat yang berada di wilayah sungai Brantas.
Grafik Sepuluh Besar Kasus Diare di Indonesia Tahun 2016

Dari data Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan RI 2017, terlihat bahwa, sebaran kasus diare
secara nasional yang sudah ditangani ternyata masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah
perkiraan diare di fasilitas kesehatan. Di Jatim misalnya, dari yang ditangani sebanyak
338.806, jumlah perkiraan diare di faskes mencapai 1.048.885. Sedangkan di Jabar, dari yang
ditangani 930.176, jumlah perkiraan diare mencapai 1.261.159

Dinas Kesehatan Kota Malang mengklaim pencemaran air Sungai Brantas tidak terlalu
berpengaruh besar pada warga Kota Malang. Sebab, lebih dari 85 persen warganya telah
menggunakan air PDAM dan air sumber yang dikelola secara swadaya. Namun, Dinas
Kesehatan enggan memberikan data hasil uji lab kualitas air PDAM yang layak minum
tersebut.

Sementara data dari Profil Kesehatan Jawa Timur, penanganan diare di kota ini masih di atas
10 ribu. Tercatat kasus diare yang ditangani di Kota Malang tahun 2013 sebanyak 12.716 dan
pada 2014 ada 13.744 kasus. Jumlah ini meningkat pada 2015 menjadi 16.543 kasus.

Meski angkanya terus meningkat, Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Asih Tri Rachmi
Nuswantari, mengatakan, penyakit diare bukan 10 besar penyakit yang ditangani di Kota
Malang. Sebabnya karena pemberdayaan masyarakat dan gerakan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) di masyarakat. (Bersambung)

Anda mungkin juga menyukai