Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di
negara berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar
kasus penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau
parasit, akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk
sindroma malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek
terpenting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi
penyebab utama kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan
pertumbuhan akibat diare. Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektolit dan
sering disertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa.
Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan
oleh karena rata – rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit
ditempati oleh bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan
primer, diare masih menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi.
Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episode diare dapat
menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan
menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak
terhadap pertumbuhan dan kesehatan anak.
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari,
disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah
yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering
frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat
disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi
meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi
laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk
bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang
menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada
seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair,
keadaan ini sudah dapat disebut diare.

2. Epidemiologi
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang
termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan
tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta
anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut
terjadi di negara berkembang. Sebagai gambaran 17% kematian anak di dunia
disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil Riskesdas 2007 diperoleh
bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42%
dibanding pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian karena
diare 25,2% dibanding pneumonia 15,5%.

3. Faktor Resiko
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung
tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita
atau tidak langsung melalui lalat. ( melalui 4 F = finger, flies, fluid, field).
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain :
tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi,
tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya
sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk,
penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan
yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada penderita dapat
meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain : gizi buruk,
imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus,
menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.
a. Faktor umur
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.
Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6 – 11 bulan pada saat
diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi
efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi,
pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan
kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai
merangkak. Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian
kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang membantu
menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan
pada orang dewasa
b. Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi
asimtomatik ini meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan
imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik yang mungkin berlangsung
beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus, bakteri atau
kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan
penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka
tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
c. Faktor musim
Didaerah tropik (termasuk Indonesia), diare yang disebabkan oleh
rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang
musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung meningkat
pada musim hujan
4. Etiologi
Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus,
bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non
inflammatory dan inflammatory Enteropatogen menimbulkan non inflammatory
diare melalui produksi enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi
oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan / atau translokasi dari bakteri.
Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi
usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.
Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia
adalah sebagai berikut :
Golongan Bakteri :
1. Aeromonas 8. Salmonella
2. Bacillus cereus 9. Shigella
3. Campylobacter jejuni 10. Staphylococcus aureus
4. Clostridium perfringens 11. Vibrio cholera
5. Clostridium defficile 12. Vibrio parahaemolyticus
6. Escherichia coli 13. Yersinia enterocolitica
7. Plesiomonas shigeloides

Golongan Virus :
1. Astrovirus 5. Rotavirus
2. Calcivirus (Norovirus, Sapovirus) 6. Norwalk virus
3. Enteric adenovirus 7. Herpes simplex virus
4. Coronavirus 8. Cytomegalovirus

Golongan Parasit :
1. Balantidium coli 5. Giardia lamblia
2. Blastocystis homonis 6. Isospora belli
3. Cryptosporidium parvum 7. Strongyloides stercoralis
4. Entamoeba histolytica 8. Trichuris trichiura
Di negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada
anak-anak yaitu: Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella,
Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium.

Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada
anak antara lain :
Defek Anatomis
- Malrotasi
- Penyakit Hirchsprung
- Short Bowel Syndrome
- Atrofi mikrovilli
- Stricture
Malabsorpsi
- Defisiensi disakaridase
- Malabsorpsi glukosa – galaktosa
- Cystic fibrosis
- Cholestosis
- Penyakit Celiac
Endokrinopati
- Thyrotoksikosis
- Penyakit Addison
- Sindroma Adrenogenital
Keracunan makanan
- Logam Berat
- Jamur
Neoplasma
- Neuroblastoma
- Phaeochromocytoma
- Sindroma Zollinger Ellison
Lain -lain :
- Infeksi non gastrointestinal
- Alergi susu sapi
- Penyakit Crohn
- Defisiensi imun
- Colitis ulserosa
- Gangguan motilitas usus
- Pellagra

5. Patogenesis
Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau
sekresi. Terdapat beberapa pembagian diare:
1. Pembagian diare menurut etiologi
2. Pembagian diare menurut mekanismenya, yaitu gangguan :
a. Absorbsi (diare osmotik)
Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab
seperti celiac sprue, atau karena:
 mengkonsumsi magnesium hidroksida
 defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang
lebih besar
 adanya bahan yang tidak diserap,
menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal
tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat
perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada
segmen usus jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah
lumen jejenum, sehingga air akan banyak terkumpul air dalam lumen
usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan
terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na yang normal.
Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya
akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat
diserap seperti Mg, glukose, sukrose,laktose, maltose di segmen illeum
dan melebihi kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-
bahan seperti karbohidrat dari jus buah, atau bahan yang mengandung
sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan memberikan dampak yang sama.
Gambaran karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi
usus halus adalah atropi villi. Lebih lanjut, mikororganisme tertentu
(bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E. coli)
menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran brush
border tanpa merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein
lengkap, karbohidrat, dan trigliserid diakibatkan insuficiensi eksokrin
pankreas menyebabkan malabsorbsi yang signifikan dan mengakibatkan
diare osmotik.
Pada diare akibat gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada
di kolon lebih besar daripada kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi
akibat kelainan di usus halus, mengakibatkan absorpsi menurun atau
sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus halus normal, diare dapat
terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon meningkat.
Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan
imunologi.
Diare yang disebabkan virus yang menyebabkan diare secara selektif
menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus pada usus
halus.

b. Gangguan sekresi.
Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin
bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam
empedu bentuk dihydroxy, serta asam lemak rantai panjang.
Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara
meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang
selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan protein kinase
akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga mengakibatkan
perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain
terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen
usus bersama Cl-.
Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-
ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP
intraseluler., meningkatkan permeabilitas intestinal dan sebagian
menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan sekresi
intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn
dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan
konsentrasi garam empedu, lemak.
Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya
disebabkan enterotoksin E coli atau Cholera. Berbeda dengan negara
berkembang, di negara maju, diare sekretorik jarang ditemukan, apabila
ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor seperti ganglioneuroma
atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. Pada orang
dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-
beta yang menghasilkan VIP, Polipeptida pankreas, hormon sekretorik
lainnya (sindroma watery diarrhe hypokalemia achlorhydria (WDHA).
Diare yang disebabkan tumor ini termasuk jarang.5 Semua kelainan
mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral berlebihan pada vilus dan
kripta serta semua enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa usus dalam
keadaan normal.
d. Gangguan peristaltik
Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi,
tetapi perubahan motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik
peningkatan ataupun penurunan motilitas, keduanya dapat menyebabkan
diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh lampau
yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi
akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat
menyebabkan stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam
empedu dan malabsorbsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang
terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus
kolon iritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan
penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan
berbagai penyakit lain.
e. Inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada
beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight
junction, tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limphatic
menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah
merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare
akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare
osmotik dan diare sekretorik.
Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang
berhubungan dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,
cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh salmonella,
shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh virus, tetapi
prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel
mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin
shigella juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga
menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan
adanya darah dalam tinja yang disebut disentri
Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight
junction, menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan
mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek infeksi bakterial pada tight
junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi absorpsi yaitu
cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J
dkk. 2003 menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada
diare terletak pada perubahan barrier tight junction oleh toksin atau
produk kuman yaitu perubahan pada cellular cytoskeleton dan spesifik
tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua komponen tersebut atau
salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi
chlorida yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile
akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein,Bacteroides
fragilis menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V
cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC
menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton.

f. Imunologi
Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas
tipe I, III dan IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan
IgE dan alergen makanan. Reaksi tipe III misalnya pada penyakit
gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat pada Coeliac disease
dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk
tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang
selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast
dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang dengan antigen
yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti histamin, ECF-
A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi reaksi
komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang
mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian
melepaskan Macrophage Chemotactic Factor yang akan merangsang sel
mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi
respon imun seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari
luar dipresentasikan sel APC (Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang
MHC-II dependen. Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF
dan IFN-γ oleh Th1. Sitokin tersebut akan mengaktifasi makrofag dan
menimbulkan kerusakan jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa
berkurang akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti
oleh natrium dan air.

Pada kasus ini, suspek diare yang disebabkan virus yang


menyebabkan diare secara selektif menginfeksi dan menghancurkan
sel-sel ujung-ujung villus pada usus halus. Virus akan menginfeksi
lapisan epithelium di usus halus dan menyerang villus di usus halus.
Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel
epitel usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru,
berbentuk kuboid yang belum matang sehingga fungsinya belum
baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan
dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang
tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik
usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta
makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus,
menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang
tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang
terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis
disakharida dan fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit
melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam
amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi,
yang tidak mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan
pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi virus
selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan ketidakseimbangan
rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan malabsorbsi
karbohidrat kompleks, terutama laktosa.
6. Manifestasi Klinis
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion
natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila
ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat
menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi
merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan
hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat.
Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik,
dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat
dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau
dehidrasi berat
Tabel 3.1 Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003

Tabel 3.2 Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995

Tabel 3.3 Penentuan derajat dehidrasi Maurice King (1974)

Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel
kemudian dijumlahkan.
Nilai: 0 – 2 = Ringan 3 – 6 = Sedang 7 – 12 = Berat

Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat


dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory
diare.. Nyeri perut yang lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian
bawah serta rektum menunjukkan terkenanya usus besar
Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah
mungkin disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna
bagian atas seperti: enterik virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin,
Giardia, dan Crypt
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya
penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut
atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh : pemeriksaan darah lengkap,
kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut :
 Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah,
kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
 Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika.
 Tinja :
 Pemeriksaan makroskopik:
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua
penderita dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak
dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya
disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi
diluar saluran gastrointestinal.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi
bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang
menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E.
histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya
bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah
sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat
garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada
infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan
Strongyloidesosporidium.
 Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat
memberikan informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta
adanya proses peradangan mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi
sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon. Lekosit
yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif
atau kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C.
jejuni, EIEC, C. difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan
kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides. Lekosit yang ditemukan
pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S. typhii lekosit
mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada
tinjanya, pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya
lekosit pada tinja minimal. Parasit yang menyebabkan diare pada
umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah banyak. Normalnya
tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali
terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja
negatif untuk enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien
immunocompromised. Pasien yang dicurigai menderita diare yang
disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloidiasis
dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau
yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di
saluran cerna bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan
spesimen tinja. Biopsi duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif
untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan protozoa yang membentuk
spora. E. hystolitica dapat didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik
tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan
kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat
membantu untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin
diperlukan oleh karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah
tes serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi
juga tersedia. Serologis test untuk amuba hampir selalu positif pada
disentri amuba akut dan amubiasis hati.

Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic


Uremic Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada
tinja, KLB diare dan pada penderita immunocompromised.

Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V.


Parahaemolyticus, Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan
Camphylobacter membutuhkan prosedur laboratorium khusus untuk
identifikasinya, perlu diberi catatan pada label apabila ada salah satu
dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi toksin C. difficile
sangat berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis.
Proctosigmoidoscopy mungkin membantu dalam menegakkan diagnosis
pada penderita dengan simptom kolitis berat atau penyebab
inflammatory enteritis syndrome tidak jelas setelah dilakukan
pemeriksaan laboratorium pendahuluan.
8. Tatalaksana
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana
Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Selain rehidrasi, strategi dalam
penatalaksanaan diare juga mencakup memperbaiki kondisi usus dan
menghentikan diare. Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar
penatalaksanaan bagi semua kasus diare yang diderita anak balita, yaitu:
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi
dehidrasi. Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa
diare di Asia Selatan yang terutama disebabkan karena disentri, yang
menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh, terutama
natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini
dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan
tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebabkan oleh karena virus.
Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan kekurangan elektrolit
seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan
formula baru oralit dengan tingkat osmolarits yang lebih rendah.
Osmolaritas larutan baru lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga
kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah.
Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan,
namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru
dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi
intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta
mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga
telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-
kolera pada anak

Tabel 3.4 Komposisi oralit baru

Ketentuan pemberian oralit formula baru:


a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru
b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk
persediaan 24 jam.
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Anak < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB
- Anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap BAB
d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka
sisa larutan harus dibuang.

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut


Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat
mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini memang
popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based yang
bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang
dilakukan di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan
menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan
bahwa pemberian zinc pada pasien anak penderita kolera dapat
menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang dikeluarkan. Zinc
termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara
kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi
fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti
oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap,
pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam sistem
kekebalan tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh
terhadap infeksi.
Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut
didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur
dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran
cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan
aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan
regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan
meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari
usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara
berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya
kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang
rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat
menurunkan frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat
menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.

Dosis zinc untuk anak-anak:


- Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari
- Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari

Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah


sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air
matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat
dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat untuk
mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang.
Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan
nafsu makan menandakan fase kesembuhan
4. Antibiotik selektif
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah
atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan
memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan
flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan
diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak
rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta
menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel
ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotik
yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap
antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui
degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan struktur bakteri yang
menjadi target antibiotik dan perubahan permeabilitas membrane
terhadap antibiotik
5. Nasihat kepada orang tua
Kembali segera jika demam, tinja berdarah,berulang, makan atau
minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik
dalam 3 hari.

Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat
membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat
memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme penyebabnya.
Dalam merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat beberapa
pertimbangan terapi :
1. Terapi cairan dan elektrolit
2. Terapi diit
3. Terapi non spesifik dengan antidiare
4. Terapi spesifik dengan antimikroba

Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia


dan negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita
diare biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi.
Hanya sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan
perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari
1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi
ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi
berat, 1 diantaranya disertai komplikasi serta penyakit penyerta yang
penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data diatas, sesuai dengan
panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara sederhana
yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan
pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak
direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.
Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus
dehidrasi berat

1. Pengobatan diare tanpa dehidrasi


TRO (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga
untuk mencegah dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-
sayuran dan sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga
penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak
usia < 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5 tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12
tahun adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400 ml setiap BAB.
Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok
dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak
boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir
atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila terjadi muntah hentikan dulu
selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1 sendok
setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare
berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan
tetap harus diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih
kurang 6 kali sehari) serta rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama
pisang. Makanan yang merangsang (pedas, asam, terlalu banyak lemak)
jangan diberikan dulu karena dapat menyebabkan diare bertambah berat.
Bila dengan cara pengobatan ini diare tetap berlangsung atau bertambah
hebat dan keadaan anak bertambah berat serta jatuh dalam keadaan
dehidrasi ringan-sedang, obati dengan cara pengobatan dehidrasi ringan –
sedang.

2. Pengobatan diare dehidrasi ringan – sedang :


TRO (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di
sarana kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit.
Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya
tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan
dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita, yaitu : untuk umur <
1 tahun adalah 300 ml, 1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200 ml
dan dewasa adalah 2400 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan,
volume yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus
penderita dan memantau tanda-tanda dehidrasi.
Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi.
Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak,
pemberian oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih
atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi.
Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara
per-oral, oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama
dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita
dievaluasi, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila keadaan penderita
membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat dilanjutkan dirumah
dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada
pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam
keadaan dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan
pengobatan yang terbaik adalah pemberian cairan parenteral.
3. Pengobatan diare dehidrasi berat
TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral)
Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah
Sakit. Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral.
Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi
oralit sampai cairan infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi
oralit selama pemberian cairan intravena (5 ml/kgBB/jam), apabila dapat
minum dengan baik, biasanya dalam 3 – 4 jam (untuk bayi) atau 1 – 2 jam
(untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan untuk memberi
tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup
dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan
cairan Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk <
1 tahun 1 jam pertama 30 cc/kgBB, diLanjutkan 5 jam berikutnya 70 cc/kgBB.
Diatas 1 tahun ½ jam pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70
cc/kgBB.
Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat
dipercepat. Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan
evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan diare
dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi

4. Cairan Rehidrasi Oral (CRO)


Pada tahun 1975 WHO dan Unicef menyetujui untuk mempromosikan
CRO tunggal yang mengandung (dalam mmol/L) Natrium 90, Kalium 20,
Chlorida 80, Basa 30 dan Glukosa 111 (2%).
Komposisi ini dipilih untuk memungkinkan satu jenis larutan saja
untuk digunakan pada pengobatan diare yang disebabkan oleh bermacam
sebab bahan infeksius yang disertai dengan berbagai derajat kehilangan
elektrolit. Contoh diare Rotavirus berhubungan dengan kehilangan natrium
bersama tinja 30 – 40 mEq/L, ETEC 50 – 60 mEq/L dan V. cholera > 90 –
120 mEq/L. CRO – WHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun
efektif baik untuk terapi maupun rumatan pada anak dan dewasa dengan
semua tipe diare infeksi.
Walaupun demikian, dari hasil-hasil riset klinik berikutnya, pada
metaanalisa mendukung penggunaan CRO yang osmolaritasnya rendah. CRO
dengan osmolaritasnya yang lebih rendah berkaitan dengan muntah lebih
sedikit, keluaran tinja yang lebih sedikit, berkurangnya pemberian intravena
dibandingkan dengan CRO standard, pada bayi dan anak non kolera.
Pada kolera tidak ada perbedaan klinik antara penderita yang diberi CRO
osmolaritas rendah dengan CRO standard kecuali angka kejadian
hiponatremi.
Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi
tentang penggunaan CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan
secara global. Pada tahun 2002 WHO mengumumkan CRO formula baru
yang sesuai dengan rekomendasi tersebut dengan 75 mEq/L Natrium, 75
mmol/L glucosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO formula baru ini
juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengan
kolera, meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk
memastikan keamanan dan indikasinya

5. CRO baru
Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat
untuk kotransport natrium (contoh : asam amino glycine, alanine dan
glutamin) atau substitusi glukosa dengan komplek karbohidrat (CRO berbasis
beras atau cereal). Asam amino tidak menunjukkan lebih efektif dari CRO
tradisional dan lebih mahal. CRO berbasis beras dapat direkomendasikan bila
cukup latihan dan penyediaan dirumah dapat dilakukan, dan mungkin sangat
efektif untuk mengobati dehidrasi karena kolera.
Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket dinegara
berkembang dan secara komersial tersedia CRO dinegara maju, maka CRO
standard tetap merupakan pilihan utama dari sebagian besar klinisi.
Potential aditive pada CRO termasuk mampu melepaskan SCFA (amylase
resistent starch derivat dari jagung) dan partially hydrolized guar gum.
Mekanisme kerja yang diharapkan adalah meningkatkan uptake natrium oleh
kolon terikat pada transport SCFA. Kemungkinan lain dari perbaikan
komposisi CRO masa depan adalah penambahan probiotik, prebiotik, seng
dan protein polimer

6. Seng (Zinc)
Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara
berkembang dan dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun dan
meningkatnya kejadian penyakit infeksi yang serius. Seng merupakan
mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting antara
lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT yang semuanya
dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa
suplementasi seng dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat
untuk seng, ternyata dapat menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan
prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih sama dengan hasil yang dicapai
upaya preventive yang lain seperti perbaikan higiene sanitasi dan pemberian
ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan
seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 – 14 hari,
dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14 hari.
7. Pemberian makanan selama diare
Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan
setelah sembuh. Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien
sebanyak anak mampu menerima. Sebagian besar anak dengan diare cair,
nafsu makannya timbul kembali setelah dehidrasi teratasi. Meneruskan
pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal
termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien,
sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi.
Sebaliknya, pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat
badan sehingga diare menjadi lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan
lebih lama. Makanan yang diberikan pada anak diare tergantung kepada
umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit serta budaya
setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan
yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan
sesering mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI harus
diberi susu yang biasa diminum paling tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu
atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa secara rutin tidak
diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin
diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul
kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau
dibuktikan dengan pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan
terdapat bahan yang mereduksi dalam tinja > 0,5%,. Setelah diare berhenti,
pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba kembali dengan
susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2 – 3 hari.
Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan
lunak atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi
diit harus berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering
(6 kali atau lebih) dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula
dengan makanan tambahan seperti serealia pada umumnya dapat ditoleransi
dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang lebih besar, dapat
diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat, misalnya
nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan
energinya dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml
makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten.
Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-
sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar
atau pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau
makanan yang mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang
diperdagangkan, minuman ringan, sebaiknya dihindari.

8. Pemberian makanan setelah diare


Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare,
beberapa kegagalan pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi
anoreksia hebat. Oleh karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang kaya
akan zat gizi beberapa minggu setelah sembuh untuk memperbaiki kurang
gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan pertumbuhan yang normal.
Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan
semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih
kalori dari biasanya.
9. Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti:
antibiotika, antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi
mikroflora usus. Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja,
banyak diantaranya mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak
direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2 – 3 tahun. Secara umum
dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare
akut.
A. Antibiotik
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh
karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited
dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 – 20%)
yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera, Shigella,
Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.
B. Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan
praktis dan tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak.
Beberapa dari obat-obat ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam
kategori ini adalah :
o Adsorben
(Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal,
cholestyramine). Obat-obat ini dipromosikan untuk pengobatan diare atas
dasar kemampuannya untuk mengikat dan menginaktifasi toksin bakteri
atau bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan mempunyai
kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada
bukti keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan
rutin diare akut pada anak.
o Antimotilitas
(Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine,
tinctura opii, paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi
frekuensi diare pada orang dewasa akan tetapi tidak mengurangi volume
tinja pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan ileus paralitik yang
berat yang dapat fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan
memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek
sedatif pada dosis normal. Tidak satu pun dari obat-obatan ini boleh
diberikan pada bayi dan anak dengan diare.
o Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran
tinja pada anak dengan diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini
jarang digunakan.
o Kombinasi obat
Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau
bahan lain. Produsen obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk
digunakan pada berbagai macam diare. Kombinasi obat semacam ini
tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada bila obat
ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk
menggunakan obat ini pada anak dengan diare.
C. Obat-obat lain :
o Anti muntah.
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang
dapat menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi
rehidrasi oral. Oleh karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada
anak dengan diare, muntah karena biasanya berhenti bila penderita telah
terehidrasi.
o Cardiac stimulan
Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan
hipovolemi. Pengobatan yang tepat adalah pemberian cairan parenteral
dengan elektrolit yang seimbang. Penggunaan cardiac stimulan dan obat
vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak pernah diindikasikan.
10. Komplikasi
Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa
diataranya membutuhkan pengobatan khusus.
a. Gangguan Elektrolit
 Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan
pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium
secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat
berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau
nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman.
Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45%
saline – 5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat
badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal
lanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa
kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5%
dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500
ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal
dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10 ml/kgBB/setiap BAB,
sampai diare berhenti.
 Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak
malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari
hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na
dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer
Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum
yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam
8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh
melebihi 2 mEq/L/jam.
 Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan
pemberian kalsium glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam
5 – 10 menit dengan monitor detak jantung.
 Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan
menurut kadar K : jika kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75
mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara
intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 –
kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam,
kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 +
1/6 x 2 mEq x BB).
Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus,
gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah
dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan
memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare
berhenti.

11. Pencegahan
a. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare.
Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara
fekal - oral. Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan
pada cara penyebaran ini.
Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi:
 Pemberian ASI yang benar.
 Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.
 Penggunaan air bersih yang cukup.
 Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang
air besar dan sebelum makan.
 Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota
keluarga.
 Membuang tinja bayi yang benar.
2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu ( host ).
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
anak dan dapat mengurangi resiko diare antara lain:
 Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 th.
 Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberi makan
dalam jumlah yang cukup untuk memperbaiki status gizi anak.
 Imunisasi campak.

Anda mungkin juga menyukai