Anda di halaman 1dari 25

PAPER ANESTESI

PENANGANAN GAWAT DARURAT EKLAMPSIA


Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
Anestesi
Di Rumah Sakit Haji Medan Sumatera Utara

Pembimbing
Dr. M. Winardi S. Lesmana, Sp.An

Disusun oleh :
Hendric Hariansyah
17360176

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ANESTESI RSU HAJI MEDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

0
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat waktu. Paper ini
untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase (KKS) Anestesi di
RSU Haji Medan, selain itu paper ini juga bertujuan supaya pembaca dapat
mengetahui dan memahami secara jelas mengenai Penanganan Gawat Darurat
Eklampsia.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa paper ini tidak mungkin dapat


terselesaikan dengan baik tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari beberapa
pihak. Ucapan terima kasih kepada:

1. dr. M. Winardi S. Lesmana, Sp.An selaku pembimbing selama di stase


Anestesi RSU Haji Medan.
2. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan paper ini
Demikian paper ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan paper ini.

Medan, Maret 2019

Hendric Hariansyah

DAFTAR ISI

Halaman

1
KATA PENGANTAR ........................................................................... 1
DAFTAR ISI ......................................................................................... 2

BAB I
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 3

BAB II
2.1 Definisi Eklampsia ........................................................................... 5
2.2 Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia .................................... 6
2.3 Etiologi dan Patofisiologi Kejang Eklamptik.................................... 8
2.4 Tatalaksana Terapi Eklampsia........................................................... 9
2.5 Tatalaksana Terapi Preeklampsia Berat............................................. 11
2.6 Penanganan Pre eklampsia berat dan eklampsia.............................. 19

BAB III
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 22

Daftar Pustaka......................................................................................... 24

BAB I

PENDAHULUAN

2
1.1 Latar Belakang

Sekitar 50.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait

preeklampsia dan eklampsia (Anggana & Arinda, 2010). Preeklampsia dan

eklampsia adalah bentuk hipertensi dalam kehamilan yang paling menonjol

sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (Anggana &

Arinda, 2010). Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi disertai proteinuria,

merupakan suatu gangguan multisistem yang terjadi setelah usia kehamilan 20

minggu. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang.

Preeklampsia dan eklampsia berkontribusi terhadap 10 – 15% dari total kematian

ibu di dunia. Sebagian besar kematian di negara berkembang diakibatkan oleh

eklampsia, sementara di negara maju lebih sering disebabkan oleh komplikasi dari

preeklampsia. Eklampsia menduduki urutan kedua setelah perdarahan sebagai

penyebab utama kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 (Roeshadi, 2014).

Tatalaksana terapi preeklampsia dan eklampsia bergantung pada

ketersediaan pelayanan obstetri emergensi termasuk antihipertensi, magnesium

sulfat (antikonvulsan), dan fasilitas yang diperlukan untuk persalinan (Anggana &

Arinda, 2010). Pengontrolan tekanan darah ibu dengan antihipertensi penting

untuk menurunkan insidensi perdarahan serebral dan mencegah terjadinya stroke

maupun komplikasi serebrovaskular lain akibat preeklampsia dan eklampsia.

Antikonvulsan diberikan untuk mencegah terjadinya kejang pada preeklampsia

dan mengatasi kejang pada eklampsia. Kejang yang tidak ditangani dengan

antikonvulsan secara tepat menjadi masalah utama pada kasus kematian akibat

eklampsia (Roeshadi, 2014). Terapi antihipertensi yang inadekuat dalam

3
perawatan klinis juga menjadi masalah serius yang menyebabkan perdarahan

intrakranial pada sebagian besar kasus kematian. Laporan terakhir menunjukkan

bahwa guideline-guideline hipertensi dalam kehamilan harus dapat

mengidentifikasi batas tekanan darah yang memerlukan terapi antihipertensi dan

pemilihan antihipertensi yang efektif serta aman digunakan pada masa kehamilan

(Anggana & Arinda, 2010).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Eklampsia

4
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba-

tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa

nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat

grand mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis. Istilah eklampsia

berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar. Kata-kata tersebut dipergunakan

karena seolah-olah gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului

tanda-tanda lain (Anggana & Arinda, 2010).

Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum),

eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum),

berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester

terakhir dan semakin meningkat saat mendekati kelahiran. Pada kasus yang

jarang, eklampsia terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sekitar

75% kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama

setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu postpartum.

Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working Group on

Blood Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai

dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah

persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang biasa dan

tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan sebagai

peningkatan tekanan darah sistolik = 140 mmHg atau tekanan diastolik = 90

mmHg. Proteinuria adalah adanya protein dalam urin dalam jumlah =300 mg/dl

dalam urin tampung 24 jam atau = 30 mg/dl dari urin acak tengah yang tidak

menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing (Sarwono, 2009).

5
2.2 Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Preeklampsia

dibagi menjdai ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila ada satu atau

lebih tanda dibawah ini :

1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau

lebih

2) Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan

kualitatif

3) Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam

4) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium

5) Edema paru atau sianosis.

Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya

preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan

penglihatan, mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia. Terdapat

beberapa perubahan klinis yang memberikan peringatan gejala sebelum timbulnya

kejang, adalah sakit kepala yang berat dan menetap, perubahan mental sementara,

pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual, muntah. Namun,

hanya sekitar 50% penderita yang mengalami gejala ini. Prosentase gejala

sebelum timbulnya kejang eklampsia adaah sakit kepala yang berat dan menetap

(50-70%), gangguan penglihatan (20-30%), nyeri epigastrium (20%), mual

muntah (10-15%), perubahan mental sementara (5-10%) (Cunningham, 2006).

Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya

dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat

6
kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh,

fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang

akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada

kelopak mata, otot-otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami

kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini

kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita

terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit

oleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai satu

menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan

jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak (Cunningham, 2006).

Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti. Selama

beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian

penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal.

Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan

kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang

yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus (Cunningham, 2006).

Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat.

Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi

jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang.

Namun, pada kasus-kasus yang berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan

penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada

kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan

koma yang lama bahkan kematian (Cunningham, 2006).

7
Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan

dapat mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai

asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan

sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabila hal

tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat

(Cunningham, 2006).

Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan

kadang – kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria.

Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal

perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu

beberapa hari sampai dua minggu setelah persalinan apabila keadaan hipertensi

menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler

kronis (Cunningham, 2006).

2.3 Etiologi dan Patofisiologi Kejang Eklamptik

Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui secara pasti. Kejang

eklamptik dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi lokal otak, dan

fokus perdarahan di korteks otak. Kejang juga sebagai manifestasi tekanan pada

pusat motorik di daerah lobus frontalis. Beberapa mekanisme yang diduga sebagai

etiologi kejang adalah sebagai berikut :

a) Edema serebral

b) Perdarahan serebral

c) Infark serebral

d) Vasospasme serebral

8
e) Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler

f) Koagulopati intravaskuler serebral

g) Ensefalopati hipertensi (Prawirohardjo, 2009)

2.4 Tatalaksana Terapi Eklampsia

Tujuan utama tatalaksana terapi eklampsia adalah mencegah dan

mengatasi kejang, mencegah dan mengatasi penyulit khususnya krisis hipertensi,

mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada

waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat. Tatalaksana eklampsia dilakukan

dengan terapi suportif, terapi medisinal, dan terapi obstetrik terhadap

kehamilannya (Manuaba, 2007).

Terapi suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ

vital dengan memberikan tindakan-tindakan untuk memperbaiki asidosis,

mempertahankan ventilasi paru-paru, mengatur tekanan darah, dan mencegah

kegagalan jantung. Nursing care sangat penting pada penderita yang mengalami

kejang dan koma, meliputi cara-cara perawatan penderita dalam suatu kamar

terisolasi, mencegah aspirasi, mengatur infus, dan monitoring produksi urin

(Manuaba, 2007).

Terapi medisinal pada pasien eklampsia sama seperti pada preeklampsia

berat. Sikap terhadap kehamilan adalah semua kehamilan dengan eklampsia harus

diterminasi tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Kehamilan

diterminasi setelah tercapai stabilisasi kondisi ibu (Manuaba, 2007). Skema

tindakan obstetrik pada pasien preeklampsia dan eklampsia dapat dilihat pada

Gambar 1.

9
Gambar 1. Protokol Tindakan Obstetrik pada Preeklampsia dan Eklampsia

Keterangan:
TD: tekanan darah, IG: indeks gestosis, HPL: human placental lactogen; CTG: cardiotocography;
IUGR:intrauterine growth restriction
2.5 Tatalaksana Terapi Preeklampsia Berat

Tujuan utama tatalaksana preeklampsia berat adalah mencegah kejang,

perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan

bayi sehat. Tatalaksana preeklampsia berat dibagi menjadi perawatan aktif dan

10
perawatan konservatif ditinjau dari usia kehamilan dan perkembangan gejala-

gejala selama perawatan. Perawatan aktif berarti kehamilan harus segera

diterminasi atau diakhiri bersamaan dengan terapi medisinal, sedangkan

perawatan konservatif adalah tetap mempertahankan kehamilan bersamaan

dengan terapi medisinal (Greenberg, 2007).

a. Tatalaksana terapi medisinal:

1) Hospitalisasi

Pasien segera dibawa ke rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan berbaring

miring ke satu sisi (kiri). Monitoring tekanan darah dan tanda-tanda vital lainnya

dilakukan setiap 30 menit dan refleks patella setiap jam.

2) Manajemen diet

Pasien dianjurkan untuk diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan

garam.

3) Manajemen cairan

Pasien diberikan infus dekstrosa 5% yang setiap 1 liternya diselingi dengan infus

Ringer Laktat 500 ml.

4) Pemberian antikonvulsan

Pasien preeklampsia berat diberikan magnesium sulfat untuk mencegah kejang.

Magnesium sulfat bekerja sebagai antagonis reseptor glutamat seperti reseptor

NMDA sehingga mencegah kejang pada preeklampsia. Magnesium sulfat

diberikan pada pasien preeklampsia berat terutama jika terdapat tanda atau gejala

impending eclampsia (tanda atau gejala yang mengarah pada terjadinya

eklampsia) seperti berikut:

11
a) Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg

b) Proteinuria > 2+

c) Gangguan visus

d) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen

e) Muntah-muntah

f) Sindrom HELLP

g) Jumlah trombosit < 100.000 sel/µl

h) Kenaikan AST > 2 kali batas atas nilai normal

i) Nyeri kepala yang persisten

j) Kadar kreatinin serum > 1,2 mg/dl.

Magnesium sulfat aman digunakan pada wanita hamil. Magnesium sulfat

dapat diberikan secara intravena atau intramuskular dengan efektifitas yang sama.

Dosis magnesium sulfat untuk terapi preeklampsia dan eklampsia dapat dilihat

pada Tabel I. Magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral diekskresikan

hampir seluruhnya melalui ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari

dengan memastikan bahwa terdapat refleks patella, tidak terdapat depresi

pernafasan, dan pengeluaran urin memadai. Syarat-syarat pemberian magnesium

sulfat antara lain:

a) Refleks patella normal.

b) Respirasi > 16 kali/menit.

c) Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 ml.

d) Tersedia antidotum kalsium glukonat 10% dalam 10 ml.

12
Tabel II. Dosis Magnesium Sulfat untuk Preeklampsia Berat dan Eklampsia

Keterangan:
*: jika pemberian secara intravena tidak memungkinkan, loading dose cukup
diberikan secara intramuskular

Diazepam atau fenitoin dapat diberikan sebagai alternatif apabila terjadi

refrakter (kegagalan terapi) atau kontraindikasi terhadap magnesium sulfat

(SOGC, 2008). Magnesium sulfat dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi,

setelah 24 jam pascapersalinan, atau 24 jam setelah kejang terakhir.

5) Pemberian antihipertensi

Penentuan ambang batas tekanan darah (TD) untuk pemberian

antihipertensi dan target TD pada pengobatan wanita hamil sangat bervariasi pada

beberapa guideline internasional, namun semuanya menggunakan nilai yang lebih

tinggi daripada yang ditetapkan Joint National Committee (JNC) untuk terapi non

obstetrik (Podymow dan August, 2008). Terapi antihipertensi direkomendasikan di

Canada pada TD > 160/110 mmHg dan obat dapat digunakan hingga TD 130/90

mmHg (SOGC, 2008). Pemberian antihipertensi di Inggris dimulai pada TD >

150/100 mmHg dengan target tekanan darah diastolik 80 – 100 mmHg (NICE,

2011). Pemberian antihipertensi di Australia dimulai pada TD > 160/100 mmHg

tanpa target terapi yang jelas. Terdapat konsensus bahwa TD 160/110 mmHg

mulai membutuhkan perawatan karena wanita berada pada peningkatan risiko

13
perdarahan intraserebral dan pengobatan dapat menurunkan morbiditas dan

mortalitas maternal.

Manajemen hipertensi ringan hingga moderat (TD 140 – 159/90 – 109

mmHg) dengan antihipertensi masih diperdebatkan. Beberapa studi menunjukkan

bahwa penggunaan antihipertensi pada TD 140 – 159/90 – 109 mmHg tidak

memberikan perbedaan outcome pada ibu maupun bayi dibandingkan dengan

plasebo atau tanpa terapi. Alasan yang rasional untuk memberikan terapi pada

pasien dengan hipertensi ringan hingga moderat adalah untuk mencegah

terjadinya episode hipertensi berat. Penggunaan antihipertensi pada pasien

preeklampsia dengan TD 140 – 159/90 – 109 mmHg dapat dipertimbangkan

terutama jika terdapat nyeri kepala yang parah atau kondisi komorbid seperti

diabetes mellitus dan kerusakan ginjal.

Target terapi pada wanita hamil ditekankan hingga tekanan darah diastolik

(TDD) mencapai 90 mmHg karena TDD < 90 mmHg dapat mengurangi perfusi

uteroplasenta (SOGC, 2008). TD pada wanita hamil diturunkan secara perlahan-

lahan sampai < 160/110 mmHg selama beberapa jam. Hal yang perlu diperhatikan

dalam pengobatan hipertensi adalah mencegah hipotensi karena penurunan TD

yang agresif dapat menyebabkan penurunan aliran darah plasenta dan gawat janin.

Antihipertensi mulai diberikan dalam dosis terendah untuk mencegah

deplesi volume intravaskular dan risiko hipotensi (Podymow dan August, 2008).

Pemilihan antihipertensi, dosis, dan rute pemberian obat pada preeklampsia dan

eklampsia harus didasarkan pada peresepan klinisi yang telah berpengalaman

dalam memberikan obat tertentu, harga obat, dan ketersediaan jenis obat.

14
Metildopa merupakan antihipertensi yang lebih disukai karena keamanan

penggunaannya dalam kehamilan, namun labetalol, nifedipin, dan hidralazin lebih

menguntungkan dalam mengatasi hipertensi berat pada preeklampsia karena onset

kerjanya yang lebih cepat. Tabel II menunjukkan rekomendasi pemberian

antihipertensi menurut beberapa guideline. Antihipertensi yang dapat digunakan

dalam kehamilan antara lain:

a) Metildopa

Metildopa merupakan antihipertensi yang bekerja dengan menstimulasi reseptor

α2 adrenergik. Terapi dengan metildopa dilaporkan dapat mencegah progresifitas


keparahan hipertensi pada wanita hamil dan tidak menimbulkan efek yang

merugikan pada perkembangan janin, uteroplasenta, dan hemodinamika janin.

b) Nifedipin

Nifedipin merupakan antagonis kalsium yang bekerja dengan menghambat influks

kalsium ke dalam sel otot polos arteri. Nifedipin yang diberikan pada wanita

hamil tidak menyebabkan penurunan aliran darah dalam rahim . Nifedipin aman

digunakan bersama magnesium sulfat tanpa peningkatan efek samping yang serius

seperti kelemahan otot.

c) Hidralazin

Hidralazin bekerja merelaksasi otot polos arteriol sehingga mengurangi tahanan

vaskular sistemik. Penggunaan hidralazin dalam kehamilan tidak menunjukkan

teratogenisitas. Hidralazin meningkatkan output jantung, memperbaiki perfusi

uteroplasenta, dan dapat menimbulkan refleks takikardi.

d) Labetalol

15
Labetalol adalah beta bloker non selektif yang bermanfaat karena tidak

menimbulkan refleks takikardi. Pemakaian labetalol dalam kehamilan diterima

secara luas. Pemberian labetalol secara parenteral pada preeklampsia berat

menunjukkan insidensi hipotensi maternal dan efek samping lain yang lebih

rendah sehingga dapat dipakai untuk menggantikan hidralazin.

6) Pemberian diuretik

Diuretik tidak boleh diberikan pada pasien preeklampsia karena dapat

memperberat hipovolemia. Pemberian diuretik seperti furosemid atau sejenisnya

hanya boleh dilakukan jika terbukti adanya edema paru. Pasien dapat diberikan

injeksi furosemid 40 mg.

7) Pemberian antasida

Antasida dapat diberikan untuk menetralisir asam lambung sehingga bila

mendadak kejang dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung.

8) Pemberian kortikosteroid

Kortikosteroid dapat diberikan jika terdapat indikasi darurat yang mengharuskan

kehamilan diakhiri pada usia 24 – 34 minggu untuk mempercepat pematangan

paru janin.

b. Perawatan aktif

Perawatan aktif berarti kehamilan harus diterminasi (diakhiri). Cara terminasi

kehamilan dilakukan berdasarkan keadaan obstetrik, apakah sudah inpartu (berada

16
dalam tahap persalinan) atau belum. Indikasi dilakukan perawatan aktif antara

lain:

1) Usia kehamilan > 37 minggu.

2) Adanya tanda atau gejala impending eclampsia seperti kenaikan TD yang

progresif, nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, dan nyeri

epigastrium.

3) Kegagalan perawatan konservatif yaitu terjadi kenaikan tekanan darah setelah 6

jam terapi medisinal atau tidak ada perbaikan setelah 24 jam terapi medisinal.

4) Adanya pertumbuhan janin terhambat.

5) Adanya sindrom HELLP.

c. Perawatan konservatif

Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan preterm < 37 minggu tanpa

disertai tanda dan gejala impending eclampsia dengan keadaan janin baik. Terapi

obstetrik dilakukan dengan observasi dan evaluasi tanpa terminasi kehamilan.

Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia

ringan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Terapi medisinal dianggap gagal

dan kehamilan harus diterminasi bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan. Pasien

dapat dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia ringan bila selama tiga hari

tetap berada dalam keadaan preeklampsia ringan.

Tabel II. Rekomendasi Pemberian Antihipertensi untuk Pasien Preeklampsia Berat dan
Eklampsia Selama Kehamilan

17
Keterangan:
TD: tekanan darah; TDS: tekanan darah sistolik; TDD: tekanan darah diastolik; MAP: mean
arterial pressure; po:peroral; iv: intravena; im: intramuskular; tablet PA: tablet pelepasan
intermediet; tablet SR: tablet pelepasan lambat; bid: 2 kali sehari; tid: 3 kali sehari; qid: 4 kali
sehari

2.6 Penanganan Pre eklampsia berat dan eklampsia

18
Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan

harus berlangsung dalam 6-12 jam setelah timbunya kejang pada eklampsia.

Semua kasus preeklampsia berat harus ditangani secara aktif. Penanganan

konservatif tidak dianjurkan (Greenberg, 2007).

A. Penanganan kejang

1 Beri obat anti konvulsan

2 Perlengkapan untuk penanganan kejang

3 Oksigen 4-5 l/mnt

4 Lindungi pasien dari kemungkinan trauma

5 Baringkan pasien pada sisi kiri untuk menghindari resiko aspirasi

6 Setelah kejang aspirasi mulut dan tenggorokan jika diperlukan

B. Penanganan umum

1 Jika tekanan diastolik lebih dari 110 mmHg, berikan obat antihipertensi,

sampai tekakan diastolik diantara 90-100 mmHg

2 Pasang infus dengan jarum ukuran besar

3 Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai overload

4 Pasang kateter urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinurine

5 Jika jumlah urin kurang dari 30 ml/ jam

a. Hentikan pemberian MgSO4 dan berikan cairan IV (Na Cl 0.9 % atau

RL) dengan kecepatan tetasan 1 liter/8jam

b. Pantau kemungkinana edema paru

6 Observasi tanda-tanda vital dan denyut jantung janian tiap jam

7 Jika terjadi edema paru berikan injeksi Furosemid 40 mg IV sekali saja

19
C. Anti Konvulsan

1 MgSO4

Cara pemberian MgSO4:

a. Dosis awal :

1). MgSO4 4 gr I.V sebagai larutan 20% atau 40 % selama 5 menit

2). Segera diberikan larutan MgSO4 6 gr di larutkan dalam cairan infus

RL 500 ml diberikan sekama 6 jam (untuk MgSO4 40%, maka 10

cc IV dan 15 cc drip)

3). Jika kejang berulang setelah 15 menit berikan Mg SO4 2 gr IV

selama 2 menit

b. Dosis pemeliharaan

1). MgSO4 1-2 gr per jam perinfus

2). Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 jam pasca persalinan atau

kejang berakhir

c. Berikan MgSO4 bila

1). Frekuensi pernapasan >16 X/mnt

2). Reflek patela (+)

3). Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir

d. Berhentikan pemberian MgSO4 jika :

1). RR < 16 X/mnt

2). Refleks patela (-)

20
3). Urin < 30ml/jam dalam 4 jam terakhir

e. Antidotum

1). Jika terjadi henti napas lakukan ventilasi

2). Beri kalsium glukonat 1 g (20 ml dalam larutan 10%) pelan-pelan

sampai napas mulai lagi

2 Diazepam

a. Diazepam digunakan hanya jika MgSO4 tidak ada

b. Pemberian intravena

c. Dosis awal

1). Diazepam 20 mg IV pelan-pelan selama 20 menit

2). Jika kejang berulang dosisi awal

d. Dosis pemeliharaan:

1). Diazepam 40 mg dalam larutan RL 500 cc perinfus

2). Jangan berikan dosis > 100mg / 24 jam.

e. Pemberian melalui rektum :

1). Jika pemberian IV tidak dimungkinkan diazepam dapat diberikan

per rektal dengan dosis awal 20 mg dengan semprit 10 ml tanpa

jarum.

2). Jika konvulsi dalam 10 menit beri tambahan 10 mg/ jam tergantung

pada berat pasien dan respon klinik.

D. Persalinan

Persalinan harus diusahakan segera setelah pasien stabil

21
1 Periksa serviks, jika matang lakukan pecah ketuban dan induksi dengan

oksitosin atau prostaglandin

2 Jika persalinan tidak bisa diharapkan dalam 12 jam lakukan seksio sesarea

3 Jika DJJ < 100 atau > 180 X/ menit lakukan sectio sesarea

4 Jika servik belum matang dan janin hidup lakukan sectio sesaria

5 Jika janin mati atau terlalu kecil usahakan lahir pervaginam dengan

matangkan serviks dengan misoprostol, prostaglandin atau folly kateter

(Greenberg, 2007).

E. Perawatan Pasca Persilanan

1 Anti konvulsi diteruskan sampai 24 jam setelah persalinan atau setelah

kejang

2 Teruskan antihipertensi jika tensi > 110 mmHg

3 Pantau urin

4 Pantau Vital sign per jam

(Duff & Edwards, 2004)

BAB III

PENUTUP

22
3.1 Kesimpulan

Tingkat kematian ibu akibat komplikasi kehamilan tetap tinggi walaupun

mengalami penurunan setiap tahun. Penyebab kematian ibu yang utama adalah

perdarahan, eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi. Eklampsi

merupakan salah satu dari tiga besar penyebab kematian ibu di seluruh dunia,

bukan hanya di Indonesia. Di negara-negara berkembang, frekuensi Preklampsia

Eklampsia dilaporkan berkisar antara 0,3%-0,7% sedangkan di negara-negara

maju angka tersebut lebih kecil yaitu 0,05%-0,1%. Distribusi menurut golongan

umur paling banyak pada usia >35 tahun dan banyak faktor yang mempengaruhi

kejadian Preklampsia Eklampsia.

Perawatan eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilasi fungsi

vital, yang harus selalu diingat airway, breathing, circulation (ABC), mengatasi

dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia mencegah trauma pada

pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu

krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yan tepat dan dengan cara yang

tepat.

Daftar Pustaka

23
Anggana, Arinda. 2010. Pengaruh Preeklamsia Berat pada Kehamilan Terhadap
Keluaran Maternal dan Perinatal di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun
2010. Semarang : UNDIP.

Cunningham, F. G., 2006. Obstetric William. Edisi 21. Jakarta : EGC, pp :422-40;
624 – 73;825-50

Duff, P., Edwards,. 2004. Obstetric and Gynecology. Boston : Mc Graw Hill Co.,
pp :51

Greenberg, M. 2007. Pre-eklampsia/Eklampsia dalam Teks Kedokteran


Kedaruratan Jilid 2 . Jakarta : Penerbitan Erlangga, pp:378-79

Manuaba, I. B. G., 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Prawirohardjo, S., 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal


dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Sarwono Prawirohardjo , 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Ryadi, P. D. U. 2008. Eklampsia : Introduction. Holistic and Comprehensive


Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, Pp:5.

Roeshadi, H.R., 2014. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian
Ibu pada Penderita Pre-eklampsia dan Eklampsia: USU.

24

Anda mungkin juga menyukai