Anda di halaman 1dari 13

Nama : I Wayan Ana Adipradana

Nim : 1705521052

Arsitektur Pasca Kemerdekaan


(teater Jakarta)
Sebelum masa kemerdekaan Indonesia, dunia arsitektur di Indonesia didominasi oleh karya
arsitek Belanda. Masa kolonial tersebut telah mengisi gambaran baru pada peta arsitektur
Indonesia. Kesan tradisional dan vernakuler serta ragam etnik di Negeri ini diusik oleh kehadiran
pendatang yang membawa arsitektur- arsitektur di Indonesia. Bentuk arsitektur di Indonesia “asli”
kemudian dimulai dari sebuah institusi arsitektur di era setelah kemerdekaan. Selama periode
tersebut sampai sekarang arsitektur berkembang melalui proses akademik dan praktek arsitektur
pada sebuah arsitektur kontemporer Indonesia.
Di masa penjajahan Belanda sebenarnya mata kuliah arsitektur diajarkan sebagai bagian
dari pendidikan insinyur sipil. Namun, setelah Oktober 1950, sekolah arsitektur yang pertama
didirikan di Institut Teknologi Bandung yang dulu bernama Bandoeng Technische Hoogeschool
(1923). Disiplin ilmu arsitektur ini diawali dengan 20 mahasiswa dengan 3 pengajar
berkebangsaan Belanda, yang pada dasarnya pengajar tersebut meniru system pendidikan dari
tempat asalnya di Universitas Teknologi Delft di Belanda. Pendidikan arsitektur mengarah pada
penguasaan keahlian merancang bangunan, dengan fikus pada parameter yang terbatas, yaitu
fungsi, iklim, konstruksi, dan bahan bangunan.
Semenjak konflik di Irian Barat pada tahun 1955 semua pengajar dari Belanda dipulangkan
ke negaranya, kecuali V.R. van Romondt yang secara rendah hati bersikeras untuk tinggal dan
memimpin sekolah arsitektur sampai tahun 1962. Selama kepemimpinannya, pendidikan arsitektur
secata bertahan memperkaya dengan memberikan aspek estetika, barat ke tanah Indonesia. Sekitar
awal 1910-an beberapa karya arsitek Belanda seperti Stasiun Jakarta Kota, Hotel Savoy Homan
dan Villa Isola di bandung sudah memberikan pemandangan barubudaya dan sejarah ke dalam
sebuah pertimbangan desain. Van Romondt berambisi menciptakan “Arsitektur Indonesia” baru,
yang berakar pada prinsip tradisional dengan sentuhan modern untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat kontemporer. Dengan kata lain “Arsitektur Indonesia” adalah penerapan gagasan
fungsionalisme, rasionalisme, dan kesederhanaan dari desain modern, namun sangat terinspirasi
oleh prinsip-prinsip arsitektur tradisional.
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR DARI JAMAN VERNAKULAR SAMPAI JAMAN
PASCA KEMERDEKAAN

1. Arsitektur Vernakular (Tradisional)

Arsitektur vernakular ini tumbuh dan berasal dari rakyat suatu daerah, yang juga merupakan
identitas dari setiap daerahnya. Karena, gaya bangunan yang tercermin menggambarkan tradisi
dari daerah tersebut. Indonesia merupakan negeri yang kaya etnisnya, sehingga memiliki
berbagai bangunan dengan gaya arsitektur vernakular yang berbeda-beda. Yang di antaranya
adalah rumah adat Tana Toraja, Rumah Joglo, Rumah Gadang dan lain sebagainya.

2. Arsitektur Zaman Hindu-Buddha

Salah satu bentuk arsitektur candi, yaitu bangunan keagamaan atau tempat ibadah peninggalan
masa lalu yang berasal dari zaman Hindu-Buddha. Keindahan candi nampak pada arsitektur,
relief, serta arcanya, dan pesan yang disapaikan erat dengan spiritualitas, kreatifitas, dan
keterampilan para pembangun candinya. Arsitektur candi yang paling terkenal adalah Candi
Borobudur, yang terletak di wilayah Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Candi Borobudur juga merupakan satu dari tujuh keajaiban dunia.

3. Arsitektur Zaman Islam

Masjid-masjid kuno memiliki ciri khas yang sangat terkait dengan daerah tempat masjid itu
berada. Misalnya saja Menara Kudus yang mirip dengan bangunan kerajaan Majapahit. Atau
juga masjid di beberapa daerah lain yang bentuknya mirip dengan unsur bangunan zaman Hindu-
Buddha.

4. Arsitektur Kolonial

Bangunan dengan arsitektur ini berkembang pada saat Indonesia dijajah Belanda selama tiga
setengah abad. Arsitektur kolonial mengarah pada gaya Belanda yang dibangun oleh pemerintah
penjajah masa itu. Selama beberapa abad tersebut, gaya arsitektur pun ikut berkembang. Mulai
dari khas Prancis karena pemimpinnya kala itu merupakan mantan pimpinan Napoleon, sampai
seni kaca, dan juga tren modern Belanda yang disesuaikan iklim tropis Indonesia.
5. Arsitektur Kontemporer

Pasca kemerdekaan sampai sekarang, arsitektur terus berkembang menjadi arsitektur


kontemorer. Awal masa kemerdekaan, bangunan-bangunan yang muncul masih berkualitas
rendah karena perkembangan ekonominya masih belum kuat. Lambat laun, orang-orang banyak
pula yang menggunakan arsitektur pribadi untuk mendesain rumah mereka sesuai keinginan.
Sekarang, secara umum di Indonesia tren arsitektur terbagi dua kutub, minimalis dan maksimalis
(klasik).

KEMAJUAN, MODERNITAS, DAN MONUMENTALITA


Pada tahun 1958, mahasiswa arsitektur ITB sudah mencapai 500 orang, dengan 12 orang
lulusan. Yang kemudian beberapanya menjadi pengajar. Pada bulan September 1959, Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI) didirikan. Sejak tahun 1961, kepemimpinan sekolah arsitektur berpindah
tangan pada bangsa Indonesia dengan Sujudi sebagai ketuanya. Kemudian Sujudi mendirikan
sekolah arsitektur di perguruan tinggi lainnya. Masa ini juga juga dipelopori oleh Sujudi cs.
bersama teman-temannya yang menamakan diri ATAP.
Awal tahun 1960-an, literature barat mulai masuk dalam diskursus pendidikan arsitektur
di Indonesia. Karya dan pemikiran para arsitek terkemukan seperti Walter Gropius, Frank Lloyd
Wright, dan Le Corbusier menjadi referensi normative dalam diskusi dan pelajaran.
Iklim politik pada saat itu juga sangat berpengaruh terhadap pola fikir masyarakat terhadap
teori dan konsep arsitektur modern. Karena di masa kepemimpinan Sukarno, “modernitas”
diberikan olah kepentingan simbolis yang merujuk pada persatuan dan kekuatan nasional. Sukarno
telah berhasil mempengaruhi secara mendasar karakter arsitektur yang diproduksi pada masa iai
memegang kekuasaan. Modern, revolusioner, dan heroik dalam arsitektur membawa kita pada
program pembangunan besar-besaran terutama untuk ibukota Jakarta. Ia berusaha mengubah citra
Jakarta sebagai pusat pemerintahan kolonial menjadi ibukota Negara yang merdeka dan berdaulat
yang lahir sebagai kekuatan baru di dunia.
Pada akhir 1950-an Sukarno mulai membongkar bangunan-bangunan lama dan
memdirikan bangunan baru, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan bebas hambatan. Gedung
pencakar langit dan teknologi bangunan modern mulai diperkenalkan di negeri ini. Dengan
bantuan dana luar negeri proyek-proyek seperti Hotel Indonesia, Pertokoan Sarinah, Gelora Bung
Karno, By pass, Jembatan Semanggi, Monas, Mesjid Istiqlal, Wisma Nusantara, Taman Impian
Jaya Ancol, Gedung DPR&MPR dan sejumlah patung monumen.
Ciri khas proyek arsitektur Sukarno adalah kemajuan, modernitas, dan monumentalitas
yang sebagian besar menggunakan langgam “International Style”. Seorang arsitek yang memiliki
hubungan dekat dengan Presiden Sukarno pada masa itu adalah Friedrich Silaban. Ia terlibat
hampir semua proyek besari pada masa itu. Desainnya didasari oleh prinsip fungsional,
kenyamanan, efisiensi, dan kesederhanaan. Pendapatnya bahwa arsitek harus memperhatikan
kebutuhan fungsional suatu bangunan dan factor iklim tropis seperti temperatur, kelembaban,
sirkulasi udara, dan radiasi matahari. Desainnya terekspresikan dalam solusi arsitektur seperti
ventilasi silang, teritisan atap lebar, dan selasar-selasar.
KESATUAN DAN KERAGAMAN BUDAYA
Sejak kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, pemerintahan Orde Baru di bawah
kepemimpinan Suharto menyalurkan investasi asing ke Jakarta dan telah melaksanakan rencana
modernisasi dengan tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia. Proyek yang ditinggalkan
Sukarno kemudian diselesaikan oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Ali Sadikin.
Ali Sadikin juga bermaksud menjadikan Jakarta sebagai tujuan wisata bagi wisatawan dari
Timur dan Barat. Sehingga pada tahun 1975, dikembangkan suatu program konservasi bagian Kota
Tuan di Jakarta dan beberapa situs-situ sejarah lainnya. Program ini sedikit demi sedikit mengubah
sikap masyarakat terhadap warisan arsitektur kolonial.
Sejak awal 1970-an, kondisi ekonomi di Indonesia semakin membaik, yang berdampak
pada kebutuhan akan jasa perencanaan dan perancangan arsitektur berkembang pesat. Maka
munculla biro-biro arsitektur yang menangani proyek badan pemerintahan, BUMN, dan para
“orang kaya baru”. Sayangnya para arsitek professional di Indonesia tidak siap menerima
tantangan besar tersebut. Yang tidak memiliki pilihan doktrin fungsional dari arsitektur modern
membelenggu pengembangan karakter unik dalam arsitektur kontemporer pada masanya.
Sementara itu kalangan elit dan golongan menengah keatas mengekspresikan kekayaan dan status
sosialnya melalui desain yang monumental dan eklektik dengan meminjam ornamen arsitektur
Yunani, Romawi, dan Spanyol.
Kekecewaan terhadap kecenderungan meniru dan eklektik ini membawa arsitek Indonesia
pada suatu gagasan untuk mengembangkan karakter arsitektur Indonesia yang khas. Suharto
memegang peran utama untuk membangkitkan kembali kerinduan pada kehidupan pedesaan
Indonesia, melalui tema-tema arsitektur etnik. Jenis arsitektur ini kemudian dipahami sebagai
langgam resmi yang dianjurkan. Ditandai juga dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII).
Para arsitek muda sebagian besar juga kecewa terhadap tendensi eklektis dari arsitektur
modern di dalam negeri. Yang kemudian semakin menyoroti secara simpatik pada arsitektur
tradisional. Mereka menyoroti perbedaan kontras antara arsitektur modern dengan arsitektur
tradisional sedemikian rupa sehingga arsitektur tradisional diasosiasikan dengan “nasional”, dan
arsitektur modern dengan “asing” dan “barat”.

MENCARI IDENTITAS ARSITEKTUR INDONESIA


Pada pertengahan tahun 1970-an, masalah langgam dan identitas arsitektur nasional
menjadi isu utama bagi arsitek Indonesia. Terhadap masalah langgam dan identitas arsitektur
nasional pandangan arsitek Indonesia menjadi tiga kelompok yang berbeda. Kelompok pertama
berpendapat bahwa arsitektur Indonesia sebenarnya sudah ada, terdiri atas berbagai jenis arsitektur
tradisional dari berbagai daerah. Implikasinya adalah penerapan elemen arsitektur tradisional yang
khas, seperti atap dan ornamen. Kelompok arsitek kedua bersikap skeptis terhadap segala
kemungkinan untuk mencapai langgam dan identitas arsitektur nasional yang ideal. Kelompok
ketiga adalah sebagian akademisi arsitektur yang secara konsisten mengikuti langkah “bapak”
mereka, V.R. van Romondt. Mereka berpendapat bahwa arsitektur Indonesia masih dalam proses
pembentukan, dan hasilnya bergantung pada komitmen dan penilaian kritis terhadap cita-cita
budaya, selera estetis, dan perangkat teknologi yang melahirkan model dan bentuk bangunan
tradisional pada masa tertentu dalam sejarah. Mereka yakin bahwa pemahaman yang lebih
mendalam terhadap prinsip tersebut dapat memberikan pencerahan atau inspirasi bagi arsitek
kontemporer untuk menghadapi pengaruh budaya asing dalam konteks mereka sendiri.
Dalam periode 1980-1996 institusi keprofesian dan pendidikan arsitektur mengalami
perkembangan pesat, Pertumbuhan sector swasta yang subur serta investasi dengan korporasi
arsitektur asing mulai mengambil alih segmen pasar kelas atas di ibukota dan daerah tujuan wisata
seperti Pulau Bali. Dapat dikatakan bahwa arsitektur kontemporer di Indonesia tidak menunjukkan
deviasi yang radikal terhadap perkembangan arsitektur modern di dunia pada umumnya.
Sebenarnya pada pertengahan 1970-an telah ada usaha untuk menciptakan suatu langgam
khusus, suatu bentuk identitas “Indonesia”, tetapi hanya terbatas pada proyek arsitektur yang
prestisius seperti bandara udara internasional hotel, kampus, dan gedung perkantoran. Sangat jelas
bahwa proyek penciptaan langgam dan identitas arsitektur Indonesia termotivasi secara politis.
ARSITEKTUR KONTEMPORER INDONESIA
Awal tahun 1990-an ditandai pengaruh postmodernisme pada bangunan umum dan
komersil di Jakarta dan kota besar lainnya. Hadirnya kontribusi signifikan dari para arsitek muda
yang berusaha menghasilkan desain yang khas dan inovatif untuk memperkaya khasanah arsitektur
kontemporer di Indonesia. Di antaranya adalah mereka yang terhimpun dalam kelompok yang
sering dianggap elitis, yaitu Arsitek Muda Indonesia (AMI). Dengan motto “semangat, kritis, dan
keterbukaan” kiprah AMI juga didukung oleh kelompok muda arsitek lainnya seperti di Medan,
SAMM di Malang, De Maya di Surabaya dan BoomArs di Manado. Untuk menciptakan iklim
yang kondusif bagi usaha kreatif di kalangan arsitek praktisi, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) juga
mulai memberikan penghargaan desain (design award) untuk berbagai kategori tipe bangunan.
Karya-karya arsitektur yang memperoleh penghargaan dimaksudkan sebagai tolok ukur bagi
pencapaian desain yang baik dan sebagai pengarah arus bagi apresiasi arsitektural yang lebih
tinggi.
Penghargaan Aga Khan Award dalam arsitektur yang diterima Y.B. Mangunwijaya pada
tahun 1992 untuk proyek Kali Code, telah berhasil memotivasi arsitek-arsitek Indonesia untuk
melatih kepekaan tehadap tanggung jawab sosial budaya.
Krisis moneter tahun 1997 mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Orde Baru telah
melumpuhkan sector property dan jasa professional di bidang arsitektur. Diperlukan hampir lima
tahun untuk kembali, namun kerusakan yang sedemikian parah mengakibatkan kemunduran pada
semua program pembangunan nasional.
Kini, arsitek kontemporer Indonesia dihadapkan pada situasi paradoksikal: Bagaimana
melakukan modernisasi sambil tetap memelihara inti dari identitas budaya? Karya-karya kreatif
dan kontemporer kini menjadi tonggak baru dalam perkembangan arsitektur Indonesia. Dengan
pemikiran dan isu baru yang menjadi tantangan arsitek muda. Seiring pergerakan AMI
memberikan semangat modernisme baru yang lebih sensitif terhadap isu lokalitas dan perubahan
paradigma arsitektur di Indonesia.

EKOLOGI, FLEKSIBILITAS, DAN TEKNOLOGI


Dunia arsitektur dewasa ini juga kini dihadapkan pada suatu isu baru. Krisis energi karena
sumber daya alam yang dieksploitasi sejak era industrialisasi dunia kini terasa gejalanya.
Perubahan iklim, pemanasan global, dan bencana lainnya menjadi dampak dari krisis energi dan
perusakan lingkungan. Jelas sekali dunia konstruksi menjadi salah satu penyebabnya. Sepertinya
pernyataan tentang isu berkelanjutan melalui konferensi internasional yang menghasilkan
pernyataan:
“… Sustainable development is development that meets the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs…”(Bruntdland report,
1987)
Kini menjadi keharusan karena tekanan keadaan.
Fenomena ini yang kemudian memberikan pelajaran bagi arsitektur kontemporer
Indonesia. Dimana modernitas, lokalitas dan faktor ekologis kita yang memiliki iklim tropis harus
dikedepankan. Pencarian beralih menuju arsitektur modern tropis. Beberapa arsitek muda kini juga
berlomba-lomba untuk menyelamatkan keberadaan bumi ini. Seperti Adi Purnomo yang banyak
menghasilkan karya rumah tinggal yang kaya akan area hijau, Jimmy Priatman yang berhasil
membuat bangunan hemat energi dan masuk nominasi Aga Khan Award, dan tokoh arsitek muda
lainnya.
Isu lainnya yang menjadi berkembang adalah ketersediaan lahan. Kurang berhasilnya
penerapan otonomi daerah pemerintahan reformasi kita ini tetap menjadikan kota sebagai pusat
perekonomian nasional. Akibatnya lahan di perkotaan semakin menipis. Membuat karya arsitektur
selain ramah lingkungan kini dihadapkan pada suatu kenyataan penyempitan ruang binaan.
Bangunan yang efisien dengan keadaan dan “compact” dengan segala bentuk keadaan mulai
ditinjau dalam penerapan arsitektur kontemporer.
Tantangan ini yang kemudian menjadi “pekerjaan rumah” (PR) para arsitek muda kita sekarang
dan untuk masa akan datang. Menjaga unsur lokalitas dan arus globalitas, antara tradisi dan isu
terkini harus segera dijawab dengan sebuah karya yang nyata dan berkesinambungan.

GAYA ARSITEKTUR
1. Regionalisme dalam Arsitektur
Regionalisme dalam arsitektur merupakan sutu gerakan dalam arsitektur yang menganjurkan
penampilan bangunan yang merupakan hasil senyawa dari internasionalisme dengan pola cultural
dan teknologi modern dengan akar, tata nilai dan nuansa tradisi yang masih di anut oleh masyarakat
setempat.
Karakteristik/ Ciri-ciri
Adapun ciri – ciri daripada arsitektur regionalis adalah sebagai berikut :
Menggunakan bahan bangunan local dengan teknologi modern
Tanggap dalam mengatasi pada kondisi iklim setempat
Mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat
Mencari makna dan substansi cultural, bukan gaya/ style sebagai produk akhir.

2. JENGKI

Arsitektur jengki merupakan langgam arsitektur asli Indonesia. Arsitektur Jengki menjadi pelopor
arsitektur di Indonesia pasca kemerdekaan dan berkembang pada tahun 1950-1960. Meski
berumur cukup pendek, arsitektur jengki muncul sebagai bentuk perlawanan (dalam bidang
arsitektur) pada kolonialisme serta semangat pencarian jati diri arsitektur Indonesia. Kita ingat
dalam pelajaran sejarah bagaimana Bung Karno pada tahun yang sama sedang gencar-gencarnya
melakukan pembangunan, untuk menunjukkan jati diri bangsa Indonesia kepada dunia.

Istilah jengki memang tidak populer dikalangan anak muda sekarang. Karena istilah ini sebenarnya
banyak ditemui di tahun 1970-an, misalkan celana jengki, merujuk pada celana yang ketat dan
sangat kecil bagian bawahnya. Juga sepeda jengki, serta perabot yang juga muncul di tahun 1970-
an kita kenal dengan sebutan meja jengki. Istilah jengki banyak digunakan untuk menyebut gaya-
gaya serta karakter yang tidak populer pada saat itu. Meminjam istilah sekarang, jengki dapat
dikatakan sepadan dengan istilah anti-mainstrea.

Atap yang Tidak Lazim

Rumah-rumah jengki umumnya menggunakan atap pelana yang tidak lazim. Banyak atap yang
berupa patahan dengan perbedaan ketinggian yang kemudian diselipkan ventilasi sebagai media
pembuangan panas pada atap. Selain itu atap-atap rumah jengki memiliki kemiringan yang curam
sebagai bentuk tanggap iklim tropis yang curah hujannya tinggi.

Dinding yang Unik


Sebagai konsekuensi penggunaan atap pelana, rumah-rumah jengki memiliki dinding cukup lebar
pada tampak bangunan. Disinilah munculnya kreatifitas arsitek-arsitek jengki menghadirkan
tampak bangunan. Dinding yang miring dan membentuk bidang segi lima menjadi ciri yang lazim
kita temui pada arsitektur jengki. Selain itu dinding dihias dengan motif-motif alam. Ada pula
yang ditutup dengan batu alam yang disusun tidak teratur. Hal ini merupakan penerapan anti-
geometri dan anti-tegak lurus pada masa itu.

Permainan Bentuk Kusen dan Perletakan Jendela.

Masih dengan semangat anti-simetris, bentuk kusen yang asimetris dan permainan letak jendela
yang tidak sejajar menunjukkan kesan tersebut. Selain itu banyaknya bukaan jendela sebagai
sarana penghawaan dan pencahayaan yang alami berlawanan dengan jendela rumah sekarang yang
semakin lama semakin mengecil (desain minimalis, jendela minimal?). Penyesuain desain kusen
dan jendela yang lebar dan besar juga menunjukkan bahwa arsitektur jengki tanggap terhadap
iklim tropis.

Beranda

Keberadaan beranda atau teras merupakan elemen mutlak dalam arsitektur tropis juga disadari
oleh para arsitek jengki. Teras berfungsi sebagai ruang penerima tamu, tempat berteduh, dan tak
sedikit sebagai aksentuasi pintu masuk. Bandingkan dengan ukuran teras rumah-rumah sekarang
yang semakin mengecil, teras pada rumah jengki masik memiliki kesan yang luas dan selaras
dengan pekarangan. Atap teras sendiri memiliki bentuk yang berbeda-beda pada rumah jengki
sebagai fungsi aksentuasi. Yang umum kita lihat adalah atap beton yang melengkung maupun yang
ditekuk-tekuk sebagai perlawanan terhadap bentuk modern yang datar dan monoton (bayangkan,
dengan ilmu arsitektur dan konstruksi yang belum madani para arsitek jengki telah menghasilkan
desain beton yang ditekuk

Elemen Dekoratif pada Tampak Bangunan.

Elemen-elemen dekoratif merupakan ungkapan para penghuni serta kreatifitas para arsitek jengki.
Maka kita menemukan satu ciri dekorasi yang sama antara satu rumah jengki dengan yang lain.
Ragam dekoratif kreasi arsitek jengki kebanyakan kombinasi-kombinasi garis lengkung dengan
motif alam, ataupun pola-pola garis vertikal dan horisontal. Elemen ini dapat kita lihat pada
dinding atau pada kolom bangunan.

3. POSTMODERENISME
Post-Modern adalah istilah untuk menyebut suatu masa atau zaman yang dipakai berbagai disiplin
untuk menguraikan bentuk budaya dari suatu titik pandang dan yang berlawanan atau mengganti
istilah modernisme. Karena salah satu bentuk ungkapan bentuk fisik kebudayaan adalah seni,
termasuk arsitektur, karena itu Post-Modern lebih banyak digunakan di kebudayaan.
Sebelumnya dalam arsitektur, titik pandang ini tidak bisa digunakan namun sejak tahun 1970-an
istilah ini mulai digunakan untuk menyebut gaya Eklektik yang memilih unsur-unsur lama dari
berbagai periode, terutama unsur klasik, yang dikombinasikan dengan bentuk-bentuk yang
kelihatan aneh. Kemungkinan besar Post-Modern berkembang oleh karena kejenuhan terhadap
konsep fungsionalisme yang terlalu mengacu kapada fungsi. Pemakaian elemen-elemen geometris
sederhana terlihat sebagai suatu bentuk yang tidak fungsional tetapi lebih ditonjolkan sebagai
unsur penambah keselarasan dalam komposisi ataupun sebagai dekor.

TINJAUAN OBJEK
Teater Jakarta menjadi objek tinjauan kali ini.

Arsitektur, Tata Ruang dan Lingkungan Sekitar Teater Jakarta

Teater Jakarta berlokasi di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, tepatnya di
Jalan Cikini Raya No.73 Jakarta Pusat. Pada Taman Ismail Marzuki terdapat beberapa
bangunan seperti Graha Bhakti Budaya, Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III, Teater Halaman, Plaza,
Halaman, dan Teater Jakarta merupakan teater besar yang mempertunjukan berbagai
pertunjukan seni serta galeri seni. Teater Jakarta mampu menampung 1200 orang dengan total
luas lantai adalah 40.108 m2 dari luas lahan 14.732 m2.

berskala internasional ini


memiliki sebuah ruang inti yang
bernama Teater Lirik dengan kapasitas
duduk 1.200 penonton dengan panggung
proscenium, rear stage, side stage, fly
tower, dan orchestra pit. Adapun Teater
Studio yang berukuran lebih kecil, yaitu
250 tempat duduk, difungsikan sebagai ruang latihan dan pertunjukan skala kecil. Meskipun
kecil, dalam ruang ini dapat diwujudkan 4 alternatif penataan panggung.

Selain dua ruang utama di atas, terdapat ruang-ruang pendukung lain yang menjadikan
gedung ini cukup matang disebut sebagai sebuah gedung teater, yakni ruang pameran, studio
tari, ruang ganti pemain, gudang properti, kantor pengelola, dan orchestra shell.
Gedung yang diklaim sebagai gedung berskala internasional ini memiliki sebuah ruang
inti yang bernama Teater Lirik dengan kapasitas duduk 1.200 penonton dengan panggung
proscenium, rear stage, side stage, fly tower, dan orchestra pit. Adapun Teater Studio yang
berukuran lebih kecil, yaitu 250 tempat duduk, difungsikan sebagai ruang latihan dan
pertunjukan skala kecil. Meskipun kecil, dalam ruang ini dapat diwujudkan 4 alternatif
penataan panggung.

Selain dua ruang utama di atas, terdapat ruang-ruang pendukung lain yang menjadikan
gedung ini cukup matang disebut sebagai sebuah gedung teater, yakni ruang pameran, studio
tari, ruang ganti pemain, gudang properti, kantor pengelola, dan orchestra shell.

Sistem Konstruksi Bangunan Teater Jakarta


Pada awalnya proyek ini
bernama Grand Theater di Taman
Ismail Marjuki yang akhirnya berubah
menjadi Teater Jakarta. Gedung teater
ini merupakan kelanjutan dari proyek
masterplan yang didesain oleh Raul
Renanda bersama Altelier 6 pada tahun
1995. Pelaksaannya baru dimulai pada
tahun 1996 dan selesai dapat digunakan pada tahun 2010. Konsep ini gabungan vernacular di
Indonesia yang berdasarkan ide dari struktur bangunan Toraja yang juga merupakan konsep
bangunan joglo sebagai potongan melintang dari bangunan teater ini. disajikan dalam tatanan
modern namun masih mempunyai nafas Indonesia. Ruang dengan kapasitas 1200 penonton
dengan luas panggung 14 – 16 meter2 dan 7 – 9 meter2 dapat digunakan untuk berbagai
pertunjukan (musik, teater, tari dll).

Material, system penghias bangunan ,dekorasi dan respon bangunan terhadap iklim

Furniture untuk kursi teater dari Ferco dan Archigrama. Finishing lobby menggunakan marmer
Amarillo Triatna, Nero Marquina, Rosso Alicante, White Carara; karpet teater dari Patcraft;
panggung, parket ruang latihan dan orchestra pitt oleh Daru-Daru; dance floor Harlequin
Reversible; toilet dan daerah servis menggunakan homogenous tile dan keramik dari Essenza.
Lantai plaza menggunakan batu andesit.
Dinding lobi menggunakan marmer Nero Asoluto, Trespa Virtuon warna Copper Yellow,
Armourcoat tipe Travertine warna hijau, dan Topakustik tipe plank 28/4 M warna beech. Elemen
estetis kayu pada teater studio karya Rita Widagdo.
Plafon pada kantor menggunakan gypsum Knauf. Dinding kaca Asahimas clear dan Panasap
hijau. Spider glass menggunakan Sistem Irish dari Fev Italia. Komposit alumunium dari Alpolic
warna champagne metallic. Alumunium frame dari YKK AP. Pintu frameless fitting dari Dorma.
Bungkus kolom beton precast oleh Dusaspun. Atap TECU Patina dan TECU Zinn dari KME
Jerman. Cat rangka baja oleh Jotun.
Fixed dan fitting secara keseluruhan menggunakan saniter TOTO. Elevator dan eskalator dari
Sigma Elevator. Bangunan menggunakan genset FG Wilson, chiller Mc Quay, dan sound system
TOA Galva.
Bangunan ini melakikan adaptasi terhadap lingkungan Indonesia yang memiliki iklim tropis.
Pencarian terhadap identitas arsitektur Indonesia terlihat dari adanya suatu pemahaman terhadap
arsitektur local terhadap fungsi bangunan baru yang hadir. Adanya adaptasi antara arsitektur
vernacular dengan fungsi baru ini menunjukan masih adanya suatu pencarian terhadap identitas
arsitektur Indonesia yang sesungguhnya.
Adanya loyalitas , regionalis, dan tradisi pada bangunan ini mewujudkan dalam bentuk seperti
bangunan tradisional Toraja.

Daftar Pustaka
 Akihary, Huib. (1990). Architectur en Stedebouw in Indonesie 1870-1970. De Walburg
Pres, Zutphen. (Diakses 11 oktober 2018)
 Anonim. (2016). Sejarah Arsitektur Kontemporer di Indonesia. Online (diakses tanggal 11
oktober 2018). http://atelierriri.com/sejarah-arsitektur-kontemporer-indonesia/
 Yulianto, Sumalyo. Arsitektur Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
 Hill, D.T. (1993) 'The Two Leading Institutions': Taman Ismail Marzuki and
Horison. In: Hooker, V.M., (ed.) Culture and society in new order Indonesia. Oxford
University Press, Kuala Lumpur, pp. 245-262. (diakses 11 oktober 2018)

Anda mungkin juga menyukai