Nim : 1705521052
Arsitektur vernakular ini tumbuh dan berasal dari rakyat suatu daerah, yang juga merupakan
identitas dari setiap daerahnya. Karena, gaya bangunan yang tercermin menggambarkan tradisi
dari daerah tersebut. Indonesia merupakan negeri yang kaya etnisnya, sehingga memiliki
berbagai bangunan dengan gaya arsitektur vernakular yang berbeda-beda. Yang di antaranya
adalah rumah adat Tana Toraja, Rumah Joglo, Rumah Gadang dan lain sebagainya.
Salah satu bentuk arsitektur candi, yaitu bangunan keagamaan atau tempat ibadah peninggalan
masa lalu yang berasal dari zaman Hindu-Buddha. Keindahan candi nampak pada arsitektur,
relief, serta arcanya, dan pesan yang disapaikan erat dengan spiritualitas, kreatifitas, dan
keterampilan para pembangun candinya. Arsitektur candi yang paling terkenal adalah Candi
Borobudur, yang terletak di wilayah Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Candi Borobudur juga merupakan satu dari tujuh keajaiban dunia.
Masjid-masjid kuno memiliki ciri khas yang sangat terkait dengan daerah tempat masjid itu
berada. Misalnya saja Menara Kudus yang mirip dengan bangunan kerajaan Majapahit. Atau
juga masjid di beberapa daerah lain yang bentuknya mirip dengan unsur bangunan zaman Hindu-
Buddha.
4. Arsitektur Kolonial
Bangunan dengan arsitektur ini berkembang pada saat Indonesia dijajah Belanda selama tiga
setengah abad. Arsitektur kolonial mengarah pada gaya Belanda yang dibangun oleh pemerintah
penjajah masa itu. Selama beberapa abad tersebut, gaya arsitektur pun ikut berkembang. Mulai
dari khas Prancis karena pemimpinnya kala itu merupakan mantan pimpinan Napoleon, sampai
seni kaca, dan juga tren modern Belanda yang disesuaikan iklim tropis Indonesia.
5. Arsitektur Kontemporer
GAYA ARSITEKTUR
1. Regionalisme dalam Arsitektur
Regionalisme dalam arsitektur merupakan sutu gerakan dalam arsitektur yang menganjurkan
penampilan bangunan yang merupakan hasil senyawa dari internasionalisme dengan pola cultural
dan teknologi modern dengan akar, tata nilai dan nuansa tradisi yang masih di anut oleh masyarakat
setempat.
Karakteristik/ Ciri-ciri
Adapun ciri – ciri daripada arsitektur regionalis adalah sebagai berikut :
Menggunakan bahan bangunan local dengan teknologi modern
Tanggap dalam mengatasi pada kondisi iklim setempat
Mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat
Mencari makna dan substansi cultural, bukan gaya/ style sebagai produk akhir.
2. JENGKI
Arsitektur jengki merupakan langgam arsitektur asli Indonesia. Arsitektur Jengki menjadi pelopor
arsitektur di Indonesia pasca kemerdekaan dan berkembang pada tahun 1950-1960. Meski
berumur cukup pendek, arsitektur jengki muncul sebagai bentuk perlawanan (dalam bidang
arsitektur) pada kolonialisme serta semangat pencarian jati diri arsitektur Indonesia. Kita ingat
dalam pelajaran sejarah bagaimana Bung Karno pada tahun yang sama sedang gencar-gencarnya
melakukan pembangunan, untuk menunjukkan jati diri bangsa Indonesia kepada dunia.
Istilah jengki memang tidak populer dikalangan anak muda sekarang. Karena istilah ini sebenarnya
banyak ditemui di tahun 1970-an, misalkan celana jengki, merujuk pada celana yang ketat dan
sangat kecil bagian bawahnya. Juga sepeda jengki, serta perabot yang juga muncul di tahun 1970-
an kita kenal dengan sebutan meja jengki. Istilah jengki banyak digunakan untuk menyebut gaya-
gaya serta karakter yang tidak populer pada saat itu. Meminjam istilah sekarang, jengki dapat
dikatakan sepadan dengan istilah anti-mainstrea.
Rumah-rumah jengki umumnya menggunakan atap pelana yang tidak lazim. Banyak atap yang
berupa patahan dengan perbedaan ketinggian yang kemudian diselipkan ventilasi sebagai media
pembuangan panas pada atap. Selain itu atap-atap rumah jengki memiliki kemiringan yang curam
sebagai bentuk tanggap iklim tropis yang curah hujannya tinggi.
Masih dengan semangat anti-simetris, bentuk kusen yang asimetris dan permainan letak jendela
yang tidak sejajar menunjukkan kesan tersebut. Selain itu banyaknya bukaan jendela sebagai
sarana penghawaan dan pencahayaan yang alami berlawanan dengan jendela rumah sekarang yang
semakin lama semakin mengecil (desain minimalis, jendela minimal?). Penyesuain desain kusen
dan jendela yang lebar dan besar juga menunjukkan bahwa arsitektur jengki tanggap terhadap
iklim tropis.
Beranda
Keberadaan beranda atau teras merupakan elemen mutlak dalam arsitektur tropis juga disadari
oleh para arsitek jengki. Teras berfungsi sebagai ruang penerima tamu, tempat berteduh, dan tak
sedikit sebagai aksentuasi pintu masuk. Bandingkan dengan ukuran teras rumah-rumah sekarang
yang semakin mengecil, teras pada rumah jengki masik memiliki kesan yang luas dan selaras
dengan pekarangan. Atap teras sendiri memiliki bentuk yang berbeda-beda pada rumah jengki
sebagai fungsi aksentuasi. Yang umum kita lihat adalah atap beton yang melengkung maupun yang
ditekuk-tekuk sebagai perlawanan terhadap bentuk modern yang datar dan monoton (bayangkan,
dengan ilmu arsitektur dan konstruksi yang belum madani para arsitek jengki telah menghasilkan
desain beton yang ditekuk
Elemen-elemen dekoratif merupakan ungkapan para penghuni serta kreatifitas para arsitek jengki.
Maka kita menemukan satu ciri dekorasi yang sama antara satu rumah jengki dengan yang lain.
Ragam dekoratif kreasi arsitek jengki kebanyakan kombinasi-kombinasi garis lengkung dengan
motif alam, ataupun pola-pola garis vertikal dan horisontal. Elemen ini dapat kita lihat pada
dinding atau pada kolom bangunan.
3. POSTMODERENISME
Post-Modern adalah istilah untuk menyebut suatu masa atau zaman yang dipakai berbagai disiplin
untuk menguraikan bentuk budaya dari suatu titik pandang dan yang berlawanan atau mengganti
istilah modernisme. Karena salah satu bentuk ungkapan bentuk fisik kebudayaan adalah seni,
termasuk arsitektur, karena itu Post-Modern lebih banyak digunakan di kebudayaan.
Sebelumnya dalam arsitektur, titik pandang ini tidak bisa digunakan namun sejak tahun 1970-an
istilah ini mulai digunakan untuk menyebut gaya Eklektik yang memilih unsur-unsur lama dari
berbagai periode, terutama unsur klasik, yang dikombinasikan dengan bentuk-bentuk yang
kelihatan aneh. Kemungkinan besar Post-Modern berkembang oleh karena kejenuhan terhadap
konsep fungsionalisme yang terlalu mengacu kapada fungsi. Pemakaian elemen-elemen geometris
sederhana terlihat sebagai suatu bentuk yang tidak fungsional tetapi lebih ditonjolkan sebagai
unsur penambah keselarasan dalam komposisi ataupun sebagai dekor.
TINJAUAN OBJEK
Teater Jakarta menjadi objek tinjauan kali ini.
Teater Jakarta berlokasi di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, tepatnya di
Jalan Cikini Raya No.73 Jakarta Pusat. Pada Taman Ismail Marzuki terdapat beberapa
bangunan seperti Graha Bhakti Budaya, Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III, Teater Halaman, Plaza,
Halaman, dan Teater Jakarta merupakan teater besar yang mempertunjukan berbagai
pertunjukan seni serta galeri seni. Teater Jakarta mampu menampung 1200 orang dengan total
luas lantai adalah 40.108 m2 dari luas lahan 14.732 m2.
Selain dua ruang utama di atas, terdapat ruang-ruang pendukung lain yang menjadikan
gedung ini cukup matang disebut sebagai sebuah gedung teater, yakni ruang pameran, studio
tari, ruang ganti pemain, gudang properti, kantor pengelola, dan orchestra shell.
Gedung yang diklaim sebagai gedung berskala internasional ini memiliki sebuah ruang
inti yang bernama Teater Lirik dengan kapasitas duduk 1.200 penonton dengan panggung
proscenium, rear stage, side stage, fly tower, dan orchestra pit. Adapun Teater Studio yang
berukuran lebih kecil, yaitu 250 tempat duduk, difungsikan sebagai ruang latihan dan
pertunjukan skala kecil. Meskipun kecil, dalam ruang ini dapat diwujudkan 4 alternatif
penataan panggung.
Selain dua ruang utama di atas, terdapat ruang-ruang pendukung lain yang menjadikan
gedung ini cukup matang disebut sebagai sebuah gedung teater, yakni ruang pameran, studio
tari, ruang ganti pemain, gudang properti, kantor pengelola, dan orchestra shell.
Material, system penghias bangunan ,dekorasi dan respon bangunan terhadap iklim
Furniture untuk kursi teater dari Ferco dan Archigrama. Finishing lobby menggunakan marmer
Amarillo Triatna, Nero Marquina, Rosso Alicante, White Carara; karpet teater dari Patcraft;
panggung, parket ruang latihan dan orchestra pitt oleh Daru-Daru; dance floor Harlequin
Reversible; toilet dan daerah servis menggunakan homogenous tile dan keramik dari Essenza.
Lantai plaza menggunakan batu andesit.
Dinding lobi menggunakan marmer Nero Asoluto, Trespa Virtuon warna Copper Yellow,
Armourcoat tipe Travertine warna hijau, dan Topakustik tipe plank 28/4 M warna beech. Elemen
estetis kayu pada teater studio karya Rita Widagdo.
Plafon pada kantor menggunakan gypsum Knauf. Dinding kaca Asahimas clear dan Panasap
hijau. Spider glass menggunakan Sistem Irish dari Fev Italia. Komposit alumunium dari Alpolic
warna champagne metallic. Alumunium frame dari YKK AP. Pintu frameless fitting dari Dorma.
Bungkus kolom beton precast oleh Dusaspun. Atap TECU Patina dan TECU Zinn dari KME
Jerman. Cat rangka baja oleh Jotun.
Fixed dan fitting secara keseluruhan menggunakan saniter TOTO. Elevator dan eskalator dari
Sigma Elevator. Bangunan menggunakan genset FG Wilson, chiller Mc Quay, dan sound system
TOA Galva.
Bangunan ini melakikan adaptasi terhadap lingkungan Indonesia yang memiliki iklim tropis.
Pencarian terhadap identitas arsitektur Indonesia terlihat dari adanya suatu pemahaman terhadap
arsitektur local terhadap fungsi bangunan baru yang hadir. Adanya adaptasi antara arsitektur
vernacular dengan fungsi baru ini menunjukan masih adanya suatu pencarian terhadap identitas
arsitektur Indonesia yang sesungguhnya.
Adanya loyalitas , regionalis, dan tradisi pada bangunan ini mewujudkan dalam bentuk seperti
bangunan tradisional Toraja.
Daftar Pustaka
Akihary, Huib. (1990). Architectur en Stedebouw in Indonesie 1870-1970. De Walburg
Pres, Zutphen. (Diakses 11 oktober 2018)
Anonim. (2016). Sejarah Arsitektur Kontemporer di Indonesia. Online (diakses tanggal 11
oktober 2018). http://atelierriri.com/sejarah-arsitektur-kontemporer-indonesia/
Yulianto, Sumalyo. Arsitektur Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Hill, D.T. (1993) 'The Two Leading Institutions': Taman Ismail Marzuki and
Horison. In: Hooker, V.M., (ed.) Culture and society in new order Indonesia. Oxford
University Press, Kuala Lumpur, pp. 245-262. (diakses 11 oktober 2018)