Anda di halaman 1dari 83

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Desentralisasi menjadi salah satu alternatif sistem pemerintahan di berbagai


dunia pada saat ini. Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah adalah
mendekatkan pemerintah kepada konstituen sehingga layanan pemerintah dapat
disampaikan dengan lebih efektif dan efisien. Desentralisasi menurut Smith (1985)
merupakan pengurangan pemusatan administrasi pada suatu pusat tertentu dan
pemberian kekuasaan kepada pemda, termasuk di dalamnya pendelegasian
kekuasaan kepada tingkatan yang lebih rendah dalam suatu hirarki teritorial.
Dengan dilaksanakannya desentralisasi, daerah diharapkan dapat memberikan
pelayanan yang lebih cepat dan bermuara pada peningkatan daya saing ekonomi
dan kesejahteraan rakyat daerah otonom diikuti dengan pengelolaan keuangan yang
transparan dan akuntabel.

Undang–Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 1 yang berbunyi : “anggaran


pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara
ditetapkan setiap tahun dengan undang - undang dan dilaksanakan secara terbuka
dan bertanggungjawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam pasal
ini secara eksplisit disebutkan ada dua faktor penentu bagi tercapainya kemakmuran
rakyat melalui pengelolaan keuangan yang baik, yaitu terbuka atau transparan dan
bertanggung jawab atau akuntabel. Hal ini sesuai dengan visi BPK untuk menjadi
lembaga pemeriksa keuangan negara yang kredibel dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai dasar untuk berperan aktif dalam mendorong terwujudnya tata kelola
keuangan negara yang akuntabel dan transparan.

Pemerintah daerah diharapkan semakin mandiri, mengurangi


ketergantungan terhadap pemerintah pusat, dalam masalah pembiayaan untuk
pembangunan. Pembiayaan pembangunan pemerintah daerah tidak lagi sepenuhnya
ditanggung oleh pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah itu sendiri yang
membiayai pembangunan di daerahnya dengan memanfaatkan Pendapatan Asli
2

Daerah (PAD). Berdasarkan postur anggaran pendapatan dan belanja daerah


(APBD) pada tahun 2016 komposisi pendapatan daerah untuk provinsi dan
kabupaten/kota di Indonesia masih didominasi oleh dana perimbangan yaitu sebesar
Rp. 776,3 triliun pada APBN-P 2016. Dengan jumlah tersebut , untuk pertama
kalinya dalam sejarah jumlah alokasi transfer ke daerah lebih besar dibandingkan
belanja kementrian/lembaga (http://keuda.kemendagri.go.id). Hal ini mengindikasi
masih banyaknya daerah di Indonesia yang belum mampu menyelenggarakan
desentralisasi secara optimal terutama dalam memanfaatkan potensi daerah dalam
meningkatkan pendapatan asli daerahnya.

Menurut Mahmudi (2010) PAD merupakan sumber keuangan asli daerah,


sehingga penting bagi pemerintah daerah untuk memberikan perhatian yang lebih
besar terhadap pengelolaan PAD yaitu dengan mengoptimalkan penerimaan sesuai
dengan potensi yang dimiliki. Kinerja suatu pemerintah daerah tidak hanya dinilai
dari pengelolaan PAD saja Heriningsih (2013), namun juga dapat dilihat dari
Kualitas hasil pemeriksaan dan penilaian terhadap pengawasan yang telah
dilakukan oleh aparat pemeriksa. Hasil pemeriksaan yang mempunyai kualitas baik
diharapkan mampu memberikan jaminan terhadap tata kelola pemerintahan yang
transparansi dan bertanggung jawab.

Fenomena yang dapat diamati dalam perkembangan sektor publik dewasa


ini adalah semakin menguatnya tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan
akuntabilitas publik oleh organisasi sektor publik Mardiasmo (2009). Pengawasan
merupakan salah satu unsur penting dalam rangka menjawab penilaian kinerja atas
tuntutan pelaksanaan akuntabilitas organisasi sektor publik terhadap terwujudnya
good governance Halim (2007). Pengawasan berfungsi membantu agar sasaran
yang ditetapkan organisasi dapat tercapai, serta berperan dalam mendeteksi secara
dini terjadinya penyimpangan pelaksanaan, penyalahgunaan wewenang,
pemborosan dan kebocoran Sukriah (2009). Pemeriksaan laporan keuangan adalah
pengawasan yang dilakukan oleh pemeriksa/auditor independen terhadap laporan
keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai
kewajaran laporan keuangan tersebut Mulyadi (2002).
3

Badan Pengawas Keuangan “ BPK RI” bertugas mengawasi/memeriksa


pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan baik di
pemerintah daerah maupun pemerintahan pusat, atau lembaga-lembaga Negara
lainnya yang mengelola keuangan negara. Seluruh pemeriksaan BPK RI dilakukan
dalam rangka mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas keuangan
negara. Untuk mewujudkan akuntabilitas, tidak cukup dengan akuntabilitas
keuangan saja, sementara akuntabilitas kinerja pemerintah ditinggalkan, atau
sebaliknya. Kedua - duanya harus diwujudkan, dengan demikian dalam pengelolaan
keuangan negara, bagi entitas tidak cukup jika sudah memperoleh opini WTP dalam
laporan keuangannya, karena opini WTP bukanlah segala-galanya, artinya upaya
memperoleh opini WTP hendaknya seiring dengan upaya mencapai kinerja yang
baik dalam pengelolaan keuangan. Idealnya upaya untuk meraih opini WTP juga
dibarengi dengan upaya untuk mencapai kinerja terbaik, tidak terjadi korupsi, dan
rakyatnya makin sejahtera (Badan Pemeriksa Keuangan, 2015).

Berdasarkan tren perkembangan opini antara pemerintah daerah yang


memperoleh opini Non-WTP dan opini WTP menunjukkan adanya perbaikan
terhadap 537 LKPD Tahun 2016 tersebut, BPK memberikan 375 opini WTP (70%),
139 opini WDP (26%), dan 23 opini TMP (4%), Berdasarkan tingkat pemerintahan,
opini WTP dicapai oleh 31 dari 34 pemerintah provinsi (91%), 272 dari 415
pemerintah kabupaten (66%), dan 72 dari 93 pemerintah kota (77%). Secara
lengkap perkembangan opini LKPD Pemerintah Kabupaten/Kota secara nasional
untuk audit LKPD tahun 2015 sampai dengan 2016 disajikan dalam grafik sebagai
berikut :

Perbandingan Opini atas Lkpd


tahun 2015 dan 2016
375
400 313
300
194
200 139
100 31 23 4 0
0
WTP WDP TMP TW

2015 2016
4

Pencapaian opini tersebut telah melampaui target kinerja keuangan daerah bidang
penguatan tata kelola pemerintah daerah/ program peningkatan kapasitas keuangan
pemerintah daerah yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 masing-masing
sebesar 85%, 60%, dan 65% di tahun 2019.

Dengan adanya peningkatan tersebut dapat dikatakan bahwa semakin


banyak pemerintahan daerah yang telah melakukan pengakuan, pengukuran, dan
penyajian laporan keuangannya sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Kabupaten/kota yang mendapatkan opini WTP memang bertambah dari tahun ke
tahun, tetapi hasil pemeriksaan BPK atas 537 LKPD mengungkapkan masih
terdapat 6.053 kelemahan SPI yang terdiri atas 2.156 permasalahan kelemahan
sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, 2.657 permasalahan kelemahan
sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, dan 1.240
permasalahan kelemahan struktur pengendalian intern dan juga trennya tidak diikuti
dengan pencapaian skor EKPPD yang masuk dalam kategori sangat tinggi.

Menurut Suaedy (2011) pemberian opini WTP terhadap laporan keuangan


adalah sebuah apresiasi dari BPK terhadap instansi pemerintah yang telah
melakukan pengelolaan keuangan dengan baik. Namun demikian, tidak selamanya
entitas pemerintah daerah yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dari
BPK pada tahun anggaran tertentu juga memiliki kinerja keuangan yang baik dari
entitas pemerintah daerah yang memperoleh opini non-WTP.

Kinerja keuangan dapat menunjukkan bagaimana kondisi keuangan


pemerintah serta kemampuan pemerintah dalam memperoleh dan menggunakan
dana untuk pembangunan negara. Oleh karena itu, kinerja pemerintah perlu
dilakukan untuk mengukur sejauh mana kemajuan dicapai oleh pemerintah dalam
menjalankan tugasnya (progress report) Mardiasmo (2006). Pengukuran kinerja
merupakan komponen yang penting karena akan memberikan umpan balik atas
rencana yang telah diimplementasikan Chow (1998). Wood (1998)
mengungkapkan bahwa fungsi dari pengukuran kinerja dapat menjelaskan
mengenai (1) evaluasi bagaimana program tersebut berjalan; (2) sarana
perbandingan atas pelayanan yang diberikan; (3) alat komunikasi dengan publik.
5

Pengukuran kinerja pemerintah daerah perlu dilakukan karena adanya fakta


bahwa menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam kurun 2005 - 2017
sedikitnya terdapat enam kasus suap yang melibatkan 23 auditor/pejabat/Staff BPK.
Kasus-kasus itu terdiri dari tiga kasus suap untuk mendapatkan opini WTP, satu
kasus suap untuk mendapatkan opini WDP, satu kasus suap untuk mengubah hasil
temuan BPK, dan satu kasus suap untuk "melancarkan" proses audit BPK
(Kompas.com - 31/05/2017) oleh karena itu sudah saatnya dilakukan reformasi total
terhadap proses pemberian opini laporan keuangan dan pengawas atau pembanding
yang bisa menilai audit BPK. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pengukuran kinerja keuangan daerah adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan.
Carmeli (2003) mengungkapkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah
memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi politik, sosial, dan ekonomi.
Pernyataan selaras dengan Greiling (2005) yang menyatakan bahwa salah satu
kunci sukses dari pembaharuan dalam sektor publik adalah dengan melakukan
pengukuran kinerja.

Yang dan Hsieh (2007) mengungkapkan bahwa pengukuran kinerja


merupakan bagian penting dalam melakukan reformasi pemerintah di seluruh
dunia. Penelitian mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah telah dilakukan
oleh Bruijn (2002) dan Greiling (2005) pada pemerintah daerah di Jerman, serta
Nolan (2004) dan Chan (2004) di Amerika dan Kanada. Di Indonesia, penelitian
mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah telah dilakukan oleh Hamzah (2009)
yang meneliti mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah di Jawa Timur.
Perhatian yang besar terhadap pengukuran kinerja disebabkan oleh opini bahwa
pengukuran kinerja dapat meningkatkan efisiensi, keefektifan, penghematan dan
produktifitas pada organisasi sektor publik Halacmi (2005). Penelitian yang
dilakukan Mandell (1997) mengungkapkan bahwa dengan melakukan pengukuran
kinerja, pemerintah daerah memperoleh informasi yang dapat meningkatkan
kualitas pengambilan keputusan sehingga akan meningkatkan pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat.
6

Kinerja pemerintah didefenisikan sebagai hasil dari kegiatan dan program


pemerintah yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran
dengan kuantitas dan kualitas terukur (PP Nomor 8 Tahun 2006). Menurut Nordiawan
(2010) kinerja pemerintah tidak bisa dilihat hanya dari sisi input dan output tetapi juga
dari sisi outcome, manfaat dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk
menilai kinerja Pemerintah Daerah dilakukan evaluasi kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang selanjutnya disebut EKPPD. EKPPD merupakan penilaian
kinerja berdasarkan LPPD (laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintah
daerah), LAKIP (laporan kinerja instansi pemerintah), informasi keuangan daerah dan
laporan-laporan lainnya yang dibuat oleh pemerintah sebagai pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemerintahan (Permendagri Nomor 73 Tahun 2009).

Selain EKPPD, kinerja pemerintah juga dapat dilihat dari indeks pembangunan
manusia yang selanjutnya disebut IPM. IPM terdiri dari beberapa komponen penilaian
yaitu income per capita, tingkat kesehatan, pendidikan dan tingkat pengangguran
(Badan Pusat Statistik). Penilaian kinerja pemerintah menggunakan IPM sesuai dengan
penelitian Afonso (2005) dan Meurs dan Kochut (2013). Kesejahteraan masyarakat
juga dapat diukur dengan menggunakan tingkat pendapatan nasional per kapita dari
aspek ekonominya untuk melihat kinerja ekonomi dari pemerintahan di daerah
tersebut. Dalam suatu wilayah regional atau daerah, maka kesejahteraan masyarakat
diukur melalui Produk Domestik Regional bruto (PDRB) per kapita. Pertumbuhan
ekonomi yang diukur melalui PDRB tersebut ditentukan oleh beberapa faktor,
antara lain: Tanah dan Kekayaan Alam Lainnya, Jumlah dan Kualitas Dari
Penduduk dan Tenaga kerja, Kapital, Tingkat Teknologi, Sistem Sosial dan Sikap
Masyarakat (Wiguna, 2013).

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai kaitan opini audit dengan kinerja


pemerintah diantaranya Virgasari (2009) menemukan bahwa opini audit
mempunyai hubungan dan pengaruh positif signifikan terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah. Konsisten dengan penelitian Budianto (2012) yang menemukan
bahwa opini audit berpengaruh positif terhadap kinerja pemerintah daerah. Senada
dengan itu, hasil penelitian Anifa Yasmin (2016) menunjukkan bahwa opini audit
tahun lalu berpengaruh positif terhadap kinerja pemerintah daerah.
7

Berbeda dengan hasil penelitian Rifka (2012) yang menemukan bahwa opini
audit tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pemerintah daerah karena
dalam pemberian opini audit, BPK hanya mempertimbangkan kewajaran laporan
keuangan, apakah sudah sesuai dengan standar, bukan jumlah atau nominal dari
data keuangan tersebut. Hasil penelitian ini didukung oleh temuan penelitian Yuni
(2016) bahwa hasil pemeriksaan BPK tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja
pemerintah daerah karena diduga masih lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga pengawas internal pemerintah. Lain halnya dengan Roeki (2017) yang
menemukan bahwa opini audit berkorelasi negatif dengan kinerja keuangan karena
audit BPK lebih ditekankan pada kewajaran dan kepatuhan terhadap sistem
pengendalian internal bukan pada nilai nominal laporan keuangannya.
Dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan tersebut, belum
memberikan hasil yang konklusif, dimana peneliti-peneliti sebelumnya mengaitkan
opini audit dengan kinerja pemerintah daerah pada tahun yang sama. Sedangkan
penelitian ini akan melihat perbandingan mengenai kinerja keuangan pemerintah
daerah yang memperoleh opini WTP dan yang memperoleh opini Non-WTP dalam
aspek kinerja penyelengaraan pemerintah daerah, indeks pembangunan manusia.
Penelitian ini dilakukan pada pemerintahan daerah di Pulau Sumatera pada
tahun 2015 – 2016 karena beberapa alasan, Pertama Struktur ekonomi Indonesia
secara spasial pada triwulan II-2016 didominasi oleh kelompok provinsi di pulau
Jawa dan pulau Sumatera. Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Data
BPS untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester kedua 2016
sebesar 5,18 persen dimana 80 persen di Pulau Jawa memberikan kontribusi
terbesar terhadap Produk Domestik Bruto, yakni sebesar 58,81 persen, diikuti oleh
pulau Sumatera sebesar 22,02 persen, dan pulau Kalimantan 7,61 persen.

Bedasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai ANALISIS PERBEDAAN KINERJA
KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PERIODE OPINI NON WTP DAN
PERIODE OPINI WTP (Studi Pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera
Tahun 2015-2016).
8

B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas maka permasalahan dalam


penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada kinerja penyelenggaraan


pemerintah daerah periode opini non-WTP dan periode opini WTP?
2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada indeks pembangunan
manusia periode opini non-WTP dan periode opini WTP ?
3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada produk domestik regional
bruto periode opini non-WTP dan periode opini WTP ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan
penelitiaan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
pada kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah periode opini non WTP
dan periode opini WTP .
2. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
pada Indeks Pembangunan Manusia periode opini non WTP dan periode opini
WTP.
3. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
pada Produk Domestik Regional Bruto periode opini non WTP dan periode
opini WTP.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta berguna bagi
berbagai pihak, antara lain:
1. Bagi penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi semua pihak
yang berkepentingan terutama dalam bidang akuntansi sektor publik dan
gambaran yang dapat dijadikan pembanding antara teori yang selama ini di
9

dapat dengan pelaksanaan yang sebenarnya di lapangan. Selain itu


penelitian ini berguna sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
program Magister Ilmu Akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas
Andalas.
2. Bagi pemerintah
Dapat digunakan sebagai bahan koreksi untuk meningkatkan kinerja
keuangan dan sebagai alat, masukan, evaluasi Pemerintah daerah kabupaten
di Pulau Sumatera pada khususnya.
3. Bagi masyarakat
Dapat digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi kinerja
keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota di Pulau Sumatera.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi penelitian yang
akan datang serta dapat memberikan perbedaan dalam mengadakan
penelitian terkait dengan analisis perbandingan kinerja keuangan antara
Periode non Wtp dan Opini Wtp.

E. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini disusun secara terperinci dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab pertama berisi latar belakang, identifikasi masalah, tujuan
penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan
penelitian.
Bab II Tinjauan Literatur dan Pengembangan Hipotesis
Bab kedua berisi tinjauan teori, rerangka berpikir yang
menghubungkan antar variabel penelitian, dan pengembangan
hipotesis.
Bab III Metode Penelitian
Bab ketiga menguraikan tentang sumber data, populasi dan
sampel penelitian, ukuran variabel, serta metode analisis data.
10

Bab VI Hasil dan Pembahasan


Bab keempat berisi data dan informasi hasil penelitian, analisis
data dan pembahasannya.
Bab V Penutup
Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari
hasil penelitian, keterbatasan penelitian dan saran untuk
penelitian selanjutnya.
11

BAB II. LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Otonomi Daerah


Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1
ayat 6, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi
daerah memiliki makna sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Sedangkan di dalam negara kesatuan yang menganut asas
desentralisasi, dikenal adanya struktur pemerintah pusat (central government) dan
daerah-daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban, wewenang dan tanggung
jawab untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang juga disebut
dengan otonomi. Kata otonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani, Autos yang
berarti sendiri dan Nomos yang berarti aturan.
1. Landasan Hukum Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan pemerintah
yang berdasarkan asas desentralisasi yang diwujudkan agar otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab dilaksanakan dalam NKRI yang telah diatur dalam kerangka
landasannya di dalam UUD 1945 antara lain: (i) Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:
“Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. (ii) Pasal
18 yang menyatakan: “Pemerintahan daerah dibentuk atas dasar pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunannya ditetapkan dengan
UU, dengan memandang dasar pemusyawaratan dalam sisitem pemerintah negara
dan hak-hak, asal-usul dalm daerah yang bersifat istimewa.” (Bachrul Elmi,
2002:3).
Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Berdasar pada UU No.23/2014,
prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :
12

1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan


aspek-aspek demokrasi,keadilan, pemerataan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
antar daerah.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
Daerah Otonom.
5. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan
Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan
Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya
berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi
kepentingan nasional.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan
maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Dari sisi sejarah perkembangannya penyelenggaraan pemerintah di daerah,


telah dikeluarkan berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan UU 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah
13

yang hanya mengatur pelaksanaan asas desentralisasi ini dibuat pertama kali tahun
1948. Sejalan perlunya dilakukan reformasi di sektor publik, saat ini telah
dikeluarkan juga peraturan pemrintah untuk mendukung pelaksanaan otonomi
daerah dan desentralisasi antara lain:
1. Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
2. Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
3. Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi
Tugas Pembantuan.
4. Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
5. Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
6. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
7. Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
8. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan
Daerah.
2. Maksud dan Tujuan Otonomi Daerah
Menurut UUD negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi yang berwujud desentralisasi dan tugas pembantuan. Asas
desentralisasi pemberian otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu
melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatiakn prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serat potensi dan keanekaragaman daerah dalam
sistem NKRI. Dalam hal untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
menurut UU No, 33 Tahun 2004 melalui penyediaan sumber-sumber
pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
14

perlu diatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah berupa sistem
keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung
jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan.
Ada 2 alasan yang mendasari pemberian otonomi luas dan desentralisasi
(Mardiasmo, 2002) yaitu:
a. Intervensi pemerintah pusat pada masa lalu yang terlalu besar telah
menimbulkan masalh rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah
daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di
daerah.
b. Tuntutan ekonomi muncul sebagai jawaban memasuki era new game yang
membawa new rules pada semua aspek kehidupan di masa mendatang.

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan


pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup pembagian
keuangan antara pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara
proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi,
kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian
kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk
pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Tujuan utama penyelenggaraan
otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan
perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung 3 misi utama pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (Mardiasmo, 2002), yaitu:
1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat.
2. Menciptakan efisiensi dan efiktivitas pengelolaan sumber daya daerah.
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat atu publik untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.
3. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahn daerah seperti yang dijelaskan
pada penjelasan UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah bahwa pembangunan daerah sebagi bagian integral
15

dari pembangunan nasional dilaksankan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan


pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan
demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara
dimaksudkan untuk meningkatakan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan
masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ketrbukaan, partisipasi masyarakat dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Hakekat suatu negara dalam menyelenggarakn pemerintahan, pelayanan
masyarakat dan pembangunan yaitu mengemban 3 fungsi, fungsi alokasi yang
meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan
masyarakat, fungsi distribusi meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat,
pemerataan pembangunan dan fungsi stabilisasi yang meliputi
pertahanankeamanan, akonomi dan moneter.
Sesuai dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 bahwa ada urusan
pemerintahan yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan
negara secara keseluruhan, urusan tersebut meliputi politik luar negeri, pertahanan
keamanan, moneter, yustisi dan agama, urusan tertentu pemerintah yang berskala
nasional yang tidak diserahkan kepada daerah.
Keserasian hubungan yang disebut juga pengelolaan bagian urusan
pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemrintah yang berbeda, bersifat saling
berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi) dan saling
mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperlihatkan cakupan
kemanfaatannya. Urusan yang menjadi kewenangan daerah ada 2 urusan yaitu :
a) Urusan wajib adalah suatu urusan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan
dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal,
prasrana lingkungan dasar,
b) Urusan pilihan adalah urusan pemerintah daerah yang bersifat berkaitan dengan
potensi daerah dan kekhasan daerah. Dalam pelaksanaannya tidak semua urusan
16

pemerintah dapat diserahkan kepada daerah. Pemerintah pusat berat untuk


menyelenggarakan semua urusan pemerintah di daerah yang masih menjadi
wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar asas dekonsentrasi mengingat
terbatasnya kemampuan aparatur pemerintah pusat. Maka dari itu urusan
pemerintah daerah dapat dilakukan menurut asas tugas pembantuan yang pada
dasrnya merupakn keikutsertaan daerah atas penugasan dari pemerintah pusat atau
daerah dalam melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent
artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian tertentu dapat
dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan daerah. Dengan demikian setiap
urusan yang bersifat concurrent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan
pemerintah, ada yang diserahkan kepada provinsi, dan ada yang diserahkan kepada
kabupaten kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent
secara proporsional antara pemerintah, daerah provinsi, daerah kabupaten kota
maka, disusunlah tiga kriteria dengan mempertimbangkan keserasian hubungan
pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan yang meliputi (Baban
Sobandi et. Al, 2006:104-105):
a. Kriteria Eksternalitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahn
dengan mempertimbangkan dampak akibat yang ditimbulkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan
bersifat lokal, maka urusan pemrintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten
kota. Apabila dampaknya regional, maka menjadi kewenangan provinsi dan apabila
dampaknya nasional, maka menjadi kewenangan pemerintah.
b. Kriteria Akuntabilitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian
urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung dekat dengan dampak
akibat urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan
lebih terjamin.
c. Kriteria Efisiensi ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, daya, peralatan)
17

untuk mendapatakan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai
dalm penyelenggaraan bagian urusan. Untuk itu pembagian urusan harus
disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian
urusan pemerintahn tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari
besarnya manfaat yang dirasakn oleh masyarakt dan besar kecilnya resiko yang
dihadapi.

B. Keuangan Daerah
1. Pengertian Keuangan Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005,
tentang Pengelolaan keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan
bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut.
Menurut Halim (2007) menyatakan bahwa “Keuangan Daerah dapat
diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang,
demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat
dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki oleh negara atau daerah yang
lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku”

C. Pengelolaan Keuangan Daerah


1. Pengertian Pengelolaan Keuangan Daerah
Abdul Halim (2012) mengemukakan bahwa, pengelolaan keuangan daerah
terdiri atas pengurusan umum dan pengurusan khusus. Pengurusan umum berkaitan
dengan APBD, sedangkan pengurusan khusus berkaitan dengan barang inventaris
daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah akan terlaksana secara optimal
jika penyelenggaraan urusan pemerintah diikuti dengan pemberian sumber-sumber
penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu pada undang-undang
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang besarnya
disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dan daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menyatakan tentang
18

Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 39 Ayat 2 disebutkan bahwa penyusunan


anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja,
indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar
pelayanan minimal. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 menyebutkan bahwa
untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka dalam
perencanaan anggaran perlu diperhatikan (1) penetapan secara jelas tujuan dan
sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) penetapan
prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang
rasional.
2. Indikator Pengelolaan Keuangan Daerah
Chabib Soleh dan Rohcmansjah Heru (2010:10), prinsip-prinsip pengelolaan
keuangan yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi:
1. Akuntabilitas
Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berprilaku sesuai
dengan mandat atau amanah yang diterimanya. Untuk itu, baik dalam proses
perumusan kebijakan, cara untuk mencapai keberhasilan atas kebijakan yang
telah dirumuskan berikut hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan
dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal kepada masyarakat.
Kerugian Daerah Berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga
dan barang,yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja maupun lalai.
2. Value for Money
Indikasi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi adalah
terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan serta
adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Keadilan tersebuthanya akan tercapai apabila penyelenggaraan pemerintahan
daerah dikelola dengan memperhatikan konsep value for money, yang
mencakup:
a. Ketidakhematan
19

Temuan mengenai ketidakhematan mengungkap adanya penggunaan input


dengan harga atau kuantitas/kualitas yang lebih tinggi dari standar,
kuantitas/kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang lebih mahal
dibandingkan denganpengadaan serupa pada waktu yang sama.
b. Ketidakefektifan
Temuan mengenai ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil
(outcome) yaitu temuan yang mengungkapkan adanya kegiatan yang
tidakmemberikan manfaat atau hasil yang direncanakan serta fungsi
instansi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tercapai.
3. Kejujuran dalam Mengelola Keuangan Publik (Probity)
Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki
integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat
diminimalkan, yang mencakup Potensi kerugian daerah adalah suatu perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko
terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang,
surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya.
4. Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah daerah dalam membuat
kebijkankebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh
DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada
akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah
dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintah daerah yang bersih,efektif,
efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat,
yang mencakup temuan administrasi mengungkap adanya penyimpangan
terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau
pengelolaan aset, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian
daerah atau potensi kerugian daerah, tidak mengurangi hak daerah (kekurangan
penerimaan). Tidak menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur
indikasi tindak pidana.
5. Pengendalian
20

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus sering dievaluasi yaitu


dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu
dilakukan analisis varians (selisih) terhadap pendapatan dan belanja daerah agar
dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians untuk kemudian
dilakukan tindakan antisipasi ke depan.
3. Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menjelaskan bahwa
tujuan pokok dari penyusunan keuangan daerah :
a. Memberdayakan dan meningkatkan perekonomian daerah.
b. Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional,
transparan, partisipatif, bertanggungjawab, dan pasti.
c. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah yang mencerminkan pembagian tugas, kewenangan dan
tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
mendukung otonomi daerah penyelenggaraan pemerintah daerah yang
transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban
dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya, dan
memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah
yang bersangkutan.
d. Menciptakan acuan dalam alokasi penerimaan negara dari daerah.
e. Menjadikan pedoman pokok tentang keuangan daerah.
Abdul Halim (2004) mengemukakan bahwa tujuan dari pengelolaan
keuangan daerah meliputi:
1. Tanggung jawab
2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan
3. Kejujuran
4. Hasil guna dan kegiatan bunga
5. Pengendalian
21

4. Sumber-Sumber Keuangan Daerah


Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU No.33 Tahun 2004 Pasal
157, meliputi:
a. Pendapatan Asli Daerah
1. Hasil Pajak Daerah.
2. Hasil Retribusi Daerah.
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan.
4. Lain-Lain PAD Yang Sah.
b. Dana Perimbangan
1. Dana Bagi Hasil.
2. Dana Alokasi Umum.
3. Dana Alokasi Khusus.
c. Pinjaman Daerah
1. Pemerintah.
2. Pemerintahan Daerah.
3. Lembaga Keuangan Bank.
4. Lembaga Bukan Keuangan Bank.
5. Masyarakat.
d. Lain-Lain Penerimaan Daerah
1. Hibah
2. Dana Darurat
Adapun teori yang menghubungkan dalam penelitian ini yaitu menurut
Abdul Halim (2012) yang menyatakan bahwa, pertanggungjawaban pengelolaan
keuangan daerah merupakan sesuatu yang penting untuk mendapatkan kepastian
mengenai keberhasilan atau ketepatan suatu kegiatan pengelolaan keuangan daerah
dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Proses
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah dapat dilakukan melalui
pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh unit-unit pengawasan yang ada.
22

D. Laporan Keuangan
1. Definisi Laporan Keuangan
Pengertian laporan keuangan menurut pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan No.1 revisi 2009 adalah:
“Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan
kinerja keuangan suatu entitas yang bertujuan memberikan informasi mengenai
posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi
sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi.”
Sedangkan, laporan keuangan menurut pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintah No.1 tahun 2005 adalah:
“Laporan keuangan merupakan laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan
dan transaksi – transaksi yang di lakukan suatu entitas pelaporan yang bertujuan
untuk menyajikan informasi mengenai posisi keuangan, realisasi anggaran, arus
kas, dan kinerja keuangan suatu entitas pelaporan yang bermanfaat bagi pengguna
dalam membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya.”
2. Tujuan Laporan Keuangan
Mardiasmo (2002), tujuan umum laporan keuangan bagi organisasi
pemerintahan adalah:
1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan
ekonomi, sosial, dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban
(accountability) dan pengeloloaan (stewarship).
2. Untuk mernberikan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja
manajerial dan organisasional. Secara spesifik, tujuan pelaporan keuangan
pemerintah adalah untuk menyajikan informasi yang berguna untuk
pengambilan keputusan dan untuk menunjukkan akuntabilitas entitas
pelaporan sumber daya yang dipercayakan kepadanya, dengan:
1. Menyediakan informasi mengenai posisi sumber daya ekonomi,
kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah.
2. Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi sumber daya
ekonomi, kewajiban dan ekuitas dana pemerintah.
23

3. Menyediakan informasi mengenai sumber, alokasi, dan penggunaan


sumber daya ekonomi.
4. Menyediakan informasi mengenai ketaatan realisasi terhadap
anggarannya.
5. Menyediakan informasi mengenai cara entitas pelaporan mendanai
aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan kasnya.
6. Menyediakan informasi mengenai potensi pemerintah untuk membiayai
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.
7. Menyediakan informasi yang berguna untuk mengevaluasi kemampuan
entitas pelaporan dalam mendanai aktivitasnya.
3. Komponen-Komponen Laporan Keuangan
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, komponen-komponen yang terdapat dalam suatu laporan keuangan
pokok adalah :
1. Laporan Realisasi Anggaran mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah
pusat/daerah yang menunjukkan ketaatan terhadap APBN/APBD. Laporan
Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, aplikasi dan penggunaan
sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dalam satu
periode pelaporan. Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan unsur yang dicakup dalam Laporan
Realisasi Anggaran terdiri dari :
a. Pendapatan adalah semua penerimaan kas daerah yang menambah ekuitas
dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak
Pemda, dan tidak perlu dibayar kembali oleh Pemda.
b. Belanja adalah semua pengeluaran kas daerah yang mengurangi ekuitas
dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, dan tidak akan
diperoleh kembali pembayarannya oleh Pemda.
c. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya,
24

yang dalam penganggaran Pemda terutama dimaksudkan untuk menutupi


defisit atau memanfaatkan surplus anggaran.
2. Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai
aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Masing-masing unsur
didefinisikan sebagai berikut :
a. Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
Pemda sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh.
b. Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang
penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi
pemberdayaan daerah.
c. Ekuitas dana adalah kekayaan bersih Pemda yang merupakan selisih antara
aset dan kewajiban Pemda.
3. Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan atau daftar terinci atau
analisis atau nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Catatan atas laporan keuangan
juga mencakup informasi tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan
oleh entitas pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan
untuk diungkapkan di dalam standar akuntansi pemerintahan serta
ungkapanungkapan yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan
keuangan secara wajar. Catatan atas laporan keuangan disajikan secara
sistematis. Setiap pos dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan
Laporan Arus Kas harus memiliki referensi silang dengan informasi terkait
dalam catatan atas laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan terdiri
dari hal-hal sebagai berikut :
a. Menyajikan informasi tentang ekonomi makro, kebijakan fiskal dan
pencapaian target Perda APBD, serta kendala yang dihadapi dalam
pencapaian target.
b. Menyajikan ikhtisar pencapaian kinerja selama tahun pelaporan.
25

c. Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan


kebijakan-kebijakan akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas
transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian penting lainnya.
d. Menyediakan informasi tambahan yang diperlukan untuk penyajian yang
wajar, yang tidak disajikan dalam lembar muka laporan keuangan.

E. Kinerja Keuangan Daerah


1. Pengertian Kinerja
John Witmore dalam Rusydi (2010) menyatakan bahwa kinerja adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu
prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan suatu kondisi yang
harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui
tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban
suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari
suatu kebijakan operasional.
Mahsun (2006) menyatakan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai
tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic
planning suatu organisasi.
2. Pengukuran Kinerja
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio
terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Penggunaan analisis
rasio pada sektor publik belum banyak dilakukan, sehinggga secara teori belum ada
kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun
demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur,
demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap laporan keuangan
daerah perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam laporan
keuangan daerah
26

3. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah


Daerah
Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu system yang
bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi
melalui alat ukur finansial dan non finansial. (Mardiasmo, 2005). Prestasi
pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi
tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan
umpan balik untuk upaya perbaikan secara terusmenerus dan pencapaian tujuan di
masa mendatang. (Dora Detisa:2008)
4. Tolok Ukur Kinerja keuangan
Rahardjo (2011), Tolok ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan yang
dicapai pada setiap program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja digunakan sebagai
dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja, terutama untuk
menilai kewajaran anggaran biaya suatu program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja
mencakup dua hal yaitu unsur keberhasilan yang terukur dan tingkat pencapaian
setiap unsur keberhasilan. Setiap program atau kegiatan minimal mempunyai satu
unsur keberhasilan dan tingkat pencapaiannya (target kinerja) yang digunakan
sebagai tolok ukur kinerja. Program atau kegiatan tertentu dapat diukur berdasarkan
lebih dari satu unsur ukuran keberhasilan. Untuk menentukan apakah suatu
perusahaan sehat atau tidak dari sisi keuangan dapat dilakukan dengan dua macam
metode, yaitu :
1. Metode Lintas Waktu ( Time Series)
Metode ini merupakan metode tolok ukur analisis laporan keuangan yang
dilakukan dengan cara membandingkan suatu rasio keuangan perusahaan
dari satu periode tertentu dengan periode sebelumnya.
2. Metode Lintas Seksi/Industri ( Cross Section)
Metode ini merupakan metode tolok ukur yang digunakan menentukan
sehat tidaknya posisi keuangan perusahaan yang dilakukan dengan cara
membandingkan rasio keuangan suatu perusahaan pada periode tertentu
dengan rasio keuangan rata-rata industrinya yang bersangkutan.
27

5. Jenis Indikator Kinerja Pemerintah Daerah


Mohamad Mahsun (2006:77), Indikator kinerja Pemerintah Daerah
terdapat beberapa jenis yaitu :
1. Indikator masukan (Input), adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar
pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.
Misalnya:
a. Jumlah dana yang dibutuhkan.
b. Jumlah pegawai yang dibutuhkan.
c. Jumlah infrastruktur yang ada.
d. Jumlah waktu yang digunakan.
2. Indikator proses (Process). Dalam indikator ini, organisasi/ instansi
merumuskan ukuran kegiatan, baik dari segi kecepatan, ketepatan, maupun
tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan tersebut. Rambu yang paling dominan
dalam proses adalah tingkat efisiensi dan ekonomis pelaksanaan kegiatan
organisasi/ instansi. Misalnya :
a. Ketaatan pada peraturan perundangan.
b. Rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi atau menghasilkan
layanan jasa
3. Indikator keluaran (Output), adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat
dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau non-fisik. Indikator ini
digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan,
Misalnya hasil dari studi survey.
4. Indikator hasil (Outcomes), segala sesuatu yang mencerminkan
berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
Outcome menggambarkan tingkat pencapaian atas hasil lebih tinggi yang
mungkin mencakup kepentingan banyak pihak. Dengan indikator ini,
organisasi/ instansi akan dapat mengetahui apakah hasil yang telah
diperoleh dalam bentuk output memang dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya dan memberikan kegunaan yang besar bagi masyarakat banyak.
5. Indikator dampak (Impact), pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun
negatif. Misalnya:
28

a. Peningkatan kesejahteraan masyarakat.


b. Peningkatan pendapatan masyarakat.

a). Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah


Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Sistem
pengukuran kinerja adalah sistem yang digunakan untuk mengukur, menilai dan
membandingkan secara sistematis dan berkesinambungan atas kinerja
penyelenggaraan pemerintah daerah. Di dalam Pasal 5 Permendagri No.73/2009,
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah digunakan sebagai sumber
informasi utama EKPPD yang difokuskan pada informasi capaian kinerja pada
tataran pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan (Noviando, 2015).
Menurut Mardiasmo (2002) pengukuran kinerja berfungsi untuk (1)
memperbaiki kinerja pemerintah agar dapat berfokus pada tujuan dan sasaran
program unit kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas
sektor publik dalam memberikan layanan kepada masyarakat; (2) ukuran kinerja
sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuat keputusan;
(3) untuk mewujudkan tanggung jawab publik dan memperbaiki komunikasi
kelembagaan. Dengan adanya pengukuran, analisis dan evaluasi terhadap kinerja,
pemerintah daerah dapat segera menentukan berbagai cara untuk mempertahankan
atau meningkatkan efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan dan sekaligus
memberikan informasi obyektif kepada publik mengenai pencapian atau hasil yang
diperoleh. Jadi dapat dikatakan pengukuran kinerja penting untuk dilakukan karena
berpengaruh terhadap publik.
Kinerja tata kelola Pemda yang dituangkan dalam LPPD memerlukan
adanya evaluasi yang disebut dengan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (EKPPD) yang teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 73 Tahun 2009. Selain LPPD, informasi pelengkap untuk
EKPPD ini antara lain laporan pertanggungjawaban APBN, informasi keuangan
daerah dan laporan kinerja instansi pemerintah daerah. Hasil dari EKPPD tersebut
berupa Laporan Hasil Evaluasi Pemeringkatan Kinerja Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Sedyaningsih dan Zaky, 2015)
29

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi


Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa salah satu evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah berupa Evaluasi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (EKPPD). EKPPD adalah suatu proses pengumpulan dan
analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan
daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Hasil EKPPD tahunan
digunakan Pemerintah sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan
kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
EKPPD dilakukan untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintah
daerah dalam rangka upaya perubahan kinerja berdasarkan prinsip tata
kepemerintahan yang baik (good governance). Dengan ditingkatkanya
akuntabilitas oleh pemerintah daerah, maka informasi yang diterima oleh
masyarakat menjadi lebih berimbang terhadap pemerintah daerah. Pengawasan dari
semua pihak terhadap jalannya pemerintahan diharapkan akan meningkatkan
kinerja dari pemerintah daerah.
1. Maksud Dan Tujuan EKPPD
1. Untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah
dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah dengan capaian
keluaran dan hasil yang telah direncanakan.
2. Sebagai umpan balik dan rekomendasi bagi daerah untuk mendorong
perubahan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3. Sebagai dasar pemerintah melakukan pembinaan dalam rangka
perubahan kapasitas daerah, sebagaimana Perpres No. 59 Tahun 2012
Tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan
Daerah.
b). Indeks Pembangunan Daerah (IPM)
Indikator pembangunan manusia merupakan salah satu alat ukur yang dapat
digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia, baik dari sisi dampaknya
terhadap kondisi fisik manusia (kesehatan dan kesejahteraan) maupun 29 yang
bersifat non-fisik (intelektualitas). Pembangunan yang berdampak pada kondisi
fisik masyarakat tercermin dalam angka harapan hidup serta kemampuan daya beli,
30

sedangkan dampak non-fisik dilihat dari kualitas pendidikan masyarakat. Indeks


pembangunan manusia merupakan indikator strategis yang banyak digunakan
untuk melihat upaya dan kinerja program pembangunan secara menyeluruh di suatu
wilayah. Stewart dalam teorinya Stewart’s Ladder of Accountability juga
mengemukakan bahwa untuk menjadi akuntabel perlu melewati langkah-langkah
dimana langkah yang pertama adalah probity dan legality. Probity diharapkan dapat
dipenuhi dari audit laporan keuangan.
IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan
wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan
kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan
standar hidup layak. Pada pelaksanaan perencanaan pembangunan, IPM juga
berfungsi dalam memberikan tuntunan dalam menentukan prioritas perumusan
kebijakan dan penentuan program pembangunan. Hal ini juga merupakan tuntunan
dalam mengalokasikan anggaran yang sesuai dengan kebijakan umum yang telah
ditentukan oleh pembuat kebijakan dan pengambil keputusan.
Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk
memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia (”a process of enlarging peoples’s
choices”). Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus pembangunan 30
suatu negara adalah manusia sebagai aset negara yang sangat berharga. Definisi
pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan
yang sangat luas. Definisi ini lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya
menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konsep pembangunan manusia,
pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sisi manusianya, bukan
hanya dari sisi pertumbuhan ekonominya. Sebagaimana laporan UNDP (1995),
dasar pemikiran konsep pembangunan manusia meliputi aspek-aspek sebagai
berikut:
a. Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian;
b. Pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi
penduduk, bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh
karena itu, konsep pembangunan manusia harus berpusat pada penduduk
secara komprehensif dan bukan hanya pada aspek ekonomi semata;
31

c. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya


meningkatkan kemampuan/kapasitas manusia, tetapi juga pada upaya-
upaya memanfaatkan kemampuan/kapasitas manusia tersebut secara
optimal;
d. Pembangunan manusia didukung empat pilar pokok, yaitu: produktifitas,
pemerataan, kesinambungan dan pemberdayaan;
e. Pembangunan manusia menjadi dasar dalam penentuan tujuan
pembangunan dan dalam menganalisis pilihan-pilihan untuk mencapainya.
Konsep pembangunan manusia yang diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP
ini mengembangkan suatu indikator yang dapat menggambarkan
perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan representatif,
yang dinamakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
c). Produk Domestik Regional Bruto
PDRB adalah nilai bersih barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh
berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam periode (Hadi Sasana, 2006).
PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah mengelola sumber saya
alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh
masing-masing daerah sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan
faktor produksi Daerah tersebut. Adanya keterbatasan dalam penyediaan faktor-
faktor tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah. Di dalam
perekonomian suatu negara, masing-masing sektor tergantung pada sektor yang
lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam tenaga, bahan mentah
maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan mentah dari sektor
pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan oleh sektor pertanian
dan jasa-jasa. Cara perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui tiga pendekatan
yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran
yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :
1. Menurut Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka
waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya
dikelompokkan 27 menjadi 9 sektor atau lapangan usaha yaitu; Pertanian,
32

Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas dan Air Bersih,
Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Jasa
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa.
2. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua
komponen permintaan akhir yaitu:
a) Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari untung.
b) Konsumsi pemerintah.
c) Pembentukan modal tetap domestik bruto.
d) Perubahan stok.
e) Ekspor netto.
3. Menurut pendekatan pendapatan PDRB merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu
wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang
dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan. Semua
hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak lainnya. Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha
dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.
Menurut BPS Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku
digunakan untuk menunjukkan besarnya struktur perekonomian dan peranan sektor
ekonomi. Kuncoro (2001) menyatakan bahwa pendekatan pembangunan tradisional
lebih dimaknai sebagai pembangunan yang lebih memfokuskan pada peningkatan
PDRB suatu provinsi, Kabupaten, atau kota. Sedangkan pertumbuhan ekonomi
dapat dilihat dari pertumbuhan angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).
Saat ini umumnya PDRB baru dihitung berdasarkan dua pendekatan, yaitu dari sisi
sektoral / lapangan usaha dan dari sisi penggunaan. Selanjutnya PDRB juga
dihitung berdasarkan harga berlaku dan harga konstan. Total PDRB menunjukkan
jumlah seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh penduduk dalam periode tertentu.
33

F. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


1. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagaimanadijelaskan
dalam UU no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dinyatakan dalam pasal 1 butir (17):
“ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah
suatu rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui
bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.”

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar


pengelolaaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Ketentuan ini berarti
bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana
pelaksanaan semua pendapatan daerah dan belanja daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Dari semua itu,
pemungutan semua penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan
sasaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi dasar bagi
kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah
(Bratakusumah dan Solihin, 2002:209).
Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005, pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa
struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan satu
kesatuan yang terdiri atas Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan.
Yang dimaksud dengan satu kesatuan dalam hal ini adalah bahwa dokumen
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rangkuman seluruh
jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber- sumber pembiayaannya (Bratakusumah
dan Solihin, 2002:212).
34

a. Pendapatan Daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis


pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi PAD, Dana Perimbangan
dan Lain Pendapatan yang sah. Jenis pendapatan meliputi Pajak Daerah,
Retribusi, DAU dan DAK.
b. Belanja Daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Yang
dimaksud belanja menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna
anggaran serperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, serta dinas daerah dan lembaga teknis
daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya pendidikan, kesehatan, dan
fungsifungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai,
belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja
modal/pembangunan.
c. Pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber
pembiayaan yang merupakan Penerimaan Daerah antara lain seperti sisa
lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi
serta penerimaan dan penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber
pembiayaan yang merupakan pengeluaran antara lain seperti pembayaran
huytang pokok. Dalam rangka mengelola keuangan, daerah dapat
membentuk dana cadangan yang bersumber dari pemerintah daerah guna
membiayai kebutuhan tertentu. Dana cadangan dapat disediakan dari
sisa anggaran tahun lalu/sumber pendapatan daerah. Dana cadangan
dibentuk dan diadministrasikan secraterbukti tidak dirahasiakan,
disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan dan semua
transaksi harus dicantumkan dalam APBD.
Menurut PERMENDAGRI No. 13 Tahun 2006, APBD mempunyai 6 fungsi
utama, yaitu:
1. Fungsi Otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
35

2. Fungsi Perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi


pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan, mengandung arti bahwa anggran daerah menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah
daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi, mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan
untuk mengurangi penganggaran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efiktivitas perekonomian.
5. Fungsi Distribusi, mengandung arti bahwa kebutuhan anggaran daerah
harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.
6. Fungsi Stabilisasi, menandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian daerah.
2. Analisis Rasio Keuangan Berdasarkan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD)

Abdul Halim (2012) Menyatakan bahwa salah satu alat untuk menganalisis
kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan
melakukan analisis keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang telah ditetapkan dan dilaksanakanya.
a) Derajat Desentralisasi Fiskal
Menurut Ihyaul Ulum (2009), derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah
pusat dan daerah pada umumnya ditunjukkan oleh variabel-variabel Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio Bagi Hasil
Pajak dan Bukan Pajak untuk daerah (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah
(TPD) dan Rasio Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan
Daerah (TPD).
b) Rasio Efektivitas PAD
Menurut Ihyaul Ulum (2009), rasio efektivitas menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan
36

dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.


Semakin tinggi rasio efektivitas, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah
c) Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio)
Menurut Ihyaul Ulum (2009), rasio pertumbuhan (growth Ratio) mengukur
seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari satu periode ke periode
berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen
pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana
yang perlu mendapatkan perhatian. Mengacu pada PP No. 71 Tahun 2010 dan PP
No. 58 Tahun 2005 maka perhitungan rasio pertumbuhan dapat disesuaikan dengan
mengganti belanja rutin dan belanja pembangunan menjadi belanja operasi dan
belanja modal.
d) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah atau yang sering disebut sebagai
otonomi fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.
Rasio ini juga menggambarkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber
dana eksternal. Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan daerah
terhadap pihak eksternal semakin rendah, begitu pula sebaliknya (Soleh, 2010).
e) Rasio Aktivitas/Keserasian
Menurut Abdul Halim (2012), Rasio Aktivitas/Keserasian terdiri dari Rasio
Belanja tidak Langsung terhadap APBD dan Rasio Belanja Langsung terhadap
APBD.Rasio keserasian ini melihat Keserasian antara rasio belanja tidak langsung
dan Rasio belanja Langsung. Rasio ini Menggambarkan bagaimana pemerintah
daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja tidak langsung dan belanja
langsung secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk
belanja tidak langsung berarti persentase belanja langsung yang digunakan untuk
menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cendrung semakin kecil.
37

f) Rasio Likuiditas
Rasio lancar merupakan ukuran standar untuk menilai kesehatan keuangan
organisasi. Rasio lancar menggambarkan kemampuan pemerintah pusat untuk
memenuhi kewajiban jangka pendeknya (Mahmudi, 2006). Nilai standar rasio
lancar dianggap aman adalah 2:1 dan nilai minimalnya adalah 1:1. Mahmudi (2006)
menyatakan bahwa “jika nilai rasio lancar kurang dari 1:1 maka keuangan
organisasi tidak lancar “.
g). Rasio Solvabilitas
Rasio solvabilitas merupakan perbandingan antara jumlah aset pemerintah
pusat terhadap total kewajiban yang dimiliki pemerintah pusat. Rasio solvabilitas
meenggambarkan kemampuan pemerintah pusat untuk membayar seluruh
kewajiban yang dimiliki pemerintah pusat, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Mahmudi (2006) menyatakan bahwa “nilai minimal rasio solvabilitas
dianggap aman adalah 1:1”.

G. Opini Audit
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, disebutkan bahwa terdapat
empat (4) jenis opini audit yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
atas hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah (LKP). Masing-masing opini
tersebut sebagai berikut:
a. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)
Opini wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion) adalah opini yang
menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara
wajar dalam semua hal yang material dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum di Indonesia. Mahmudi (2006) menjelaskan bahwa “opini yang
paling baik adalah wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)”. Opini wajar
tanpa pengecualian diberikan karena auditor meyakini bahwa laporan keuangan
telah bebas dari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang material. Keyakinan
auditor tersebut berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan.
b. Opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion)
38

Opini wajar dengan pengecualian menunjukan bahwa sebagian besar pos


dalam laporan keuangan, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tersebut
telah disajikan secara wajar terbebas dari salah saji mateerial dan sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal
yang berhubungan dengan yang dikecualikan atau untuk pos-pos tertentu disajikan
secara tidak wajar.
c. Opini Tidak Wajar (Adverse Opinion)
Opini tidak wajar adalah opini yang menyatakan bahwa laporan keuangan
entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha,
dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia. Keadaan seperti

H. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan kajian teori sebelumnya, maka berikut akan dikemukakan
penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan penelitian ini :
a. Rifka Amalia Mirza (2012), dalam penelitiannya yang berjudul “analsis
kinerja keuangan pemerintah pusat tahun 2005 sampai tahun 2010”
menemukan bahwa Berdasarkan pengujian data dan analisis hasil penelitian,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa kinerja keuangan pemerintah
pusat sebelum dan sesudah periode opini audit qualified tidak mengalami
perbedaan (sama). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa opini audit yang
diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pemeriksaan Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tidak berhubungan dengan kinerja
keuangan pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu
meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan negara.
b. Rini, Adhariani Sarah (2014), dalam penelitiannya yang berjudul “ Opini audit
dan pengungkapan atas laporan keuangan pemerintah kabupaten serta
kaitannya dengan korupsi diindonesia” Penelitian ini memeriksa keterkaitan
antara kualitas pelaporan keuangan daerah yang diproksikan dengan opini
audit dan pengungkapan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD)
kabupaten, serta tingkat korupsi di Indonesia. Penelitian ini bersifat kualitatif
39

deskriptif dan menggunakan metode analisis isi (konten) untuk mengolah


data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas pelaporan laporan
keuangan semakin meningkat yang ditunjukkan dengan membaiknya opini
audit atas LKPD Kabupaten di Indonesia. Temuan kedua menunjukkan tidak
terdapat kaitan antara pengungkapan laporan keuangan pemerintah daerah
kabupaten dengan opini yang diberikan oleh BPK. Temuan ketiga
memperlihatkan perkembangan kasus korupsi di Indonesia semakin
bertambah. Temuan keempat, pengungkapan laporan keuangan daerah
kabupaten dan opini audit memiliki keterkaitan dengan tingkat korupsi di
Indonesia.
c. Rosmiaty, Tarmizi Khairudin, Ayu Jayadi (2014), dalam penelitiannya yang
berjudul “Analisis kinerja keuangan pemerintah daerah kota bandar lampung
sebelum dan setelah memperoleh opini wtp” Berdasarkan hasil analisis
kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung tahun anggaran
2008 - 2012, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung setelah Opini WTP berbeda
dengan sebelum Opini WTP yang artinya Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah Kota Bandar Lampung setelah Opini WTP lebih baik sebelum Opini
WTP.
d. Yuni Wulan Dary, M.Rizal Yahya (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “
Analisis perbedaan kinerja keuangan pendapatan asli daerah periode opini
non WTP dan WTP” Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah
dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Secara keseluruhan dari
indikator kinerja keuangan PAD, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kinerja keuanganPAD periode opini non WTP tidak berbeda dengan kinerja
keuangan PAD periode opini WTP pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
e. Anifa Yasmin (2016), dalam penelitiannya yang berjudul “Perbandingan
kinerja pemerintah kabupaten/kota yang memperoleh opini wtp dan non wtp
“ menemukan bahwa adanya perbedaan kinerja pemerintah kabupaten/kota
yang memperoleh opini WTP dan Non WTP. Implikasi penelitian yang dapat
digunakan yaitu temuan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi para
40

stakeholder untuk tidak mengabaikan hasil evaluasi penyelenggaraan


pemerintahan daerah, pertumbuhan produk domestik regional bruto yang
merupakan salah satu komponen perhitungan produk domestik bruto
nasional, dan opini audit dalam pengambilan keputusan, agar kabupaten/kota
di Indonesia menjadi daerah yang benar-benar berkualitas, baik secara
pengelolaan keuangannya, penyelenggaraan pemerintahannya, pertumbuhan
ekonominya, maupun juga secara kehandalan informasi yang terkandung
dalam suatu laporan keuangan.
f. Roeki Hakiki (2017), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
perbandingan kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
opini wajar tanpa pengecualian (wtp) dan non Wtp berbasis value for money
di provinsi Lampung tahun 2011-2015” menemukan bahwa penelitian
menganalisis Kinerja keuangan pemerintah daerah diukur dengan basis value
for money yaitu rasio ekonomi, rasio efisiensi dan rasio efektivitas
penerimaan PAD yang diperbandingkan antara pemerintah daerah yang
memperoleh opini WTP dan non WTP yang diperoleh melalui Laporan
keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang telah di audit oleh Badan
Pemeriksa Keuangan BPK. Pengujian hipotesis menggunakan uji beda
independent t- test. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat
perbedaan kinerja keuangan kriteria ekonomis dan efisiensi antara
pemerintah daerah kota/ kabupaten yang memperoleh opini WTP dan non
WTP. Dan terdapat perbedaan kinerja keuangan kriteria efektivitas antara
pemerintah daerah kota/ kabupaten yang memperoleh opini WTP dan non
WTP.

I. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan di atas, serta penelitian
terdahulu mengenai analisis perbandingan kinerja keuangan pada periode non wtp
dan wtp, maka penulis mencoba mengembangkan kerangka pemikiran dalam
penelitian ini yang digambarkan dengan bagan sebagai berikut:
41

Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran

Laporan Kinerja Pemerintah kabupaten dan Kota di Pulau Sumatera tahun


2015-2016 (sudah di publikasikan di BPS)

Analisis Kinerja laporan keuangan pemerintah


daerah

evaluasi kinerja Indeks


Produk domestik
penyelenggaraan Pembangunan
regional bruto
pemerintah Manusia

Nilai kinerja pemerintah daerah kabupaten dan kota propinsi di


Pulau Sumatera tahun 2015-2016

Nilai Kinerja
kabupaten/ kota Nilai Kinerja
Uji Beda kabupaten/ kota
dengan opini non WTP
dengan opini WTP
1. evaluasi kinerja
1. evaluasi kinerja
penyelenggaraan pemerintah
penyelenggaraan pemerintah
2. Indeks Pembangunan
2. Indeks Pembangunan
Manusia
Manusia
3. Produk domestik
3. Produk domestik
regional bruto
regional bruto

J. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tujuan, landasan teori serta kerangka pemikiran penelitian


maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
42

1. Terdapat perbedaan antara kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah


periode opini non WTP dan periode opini WTP

Bastian (2006) medefinisikan kinerja sebagai prestasi yang dicapai oleh


organisasi dalam periode tertentu. Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang
direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi (Hamzah, 2008). Kinerja
penyelenggaraan pemerintahan salah satunya dapat diukur dengan melihat skor
EKPPD. Sedangkan kinerja pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangannya
tercermin pada laporan keuangan daerah. Opini yang diberikan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan merupakan cermin bagi kualitas akuntabilitas keuangan atas
pelaksanaan APBD. Dengan didapatkannya opini wajar tanpa pengecualian
terhadap suatu kabupaten/kota, diharapkan kinerja pemerintah daerah, dilihat dari
pertumbuhan pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan
keuangan dan pelayanan dasar kepada masyarakat di kabupaten/kota tersebut juga
telah lebih baik daripada kabupaten/kota yang belum menerima opini wajar tanpa
pengecualian. Khairudin (2013) menemukan bahwa kinerja keuangan Pemerintah
Kabupaten/Kota se-Indonesia yang beropini WTP lebih baik dan berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan kinerja keuangan Pemerintah Daerah yang
beropini Non WTP. Budianto (2012) juga menjelaskan bahwa pada Pemerintah
Daerah yang memiliki rata-rata opini audit yang rendah (TMP dan TW)
kecendrungannya memiliki skor kinerja yang rendah dibandingkan dengan
Pemerintah Daerah yang memiliki rata-rata opini audit yang tinggi (WTP dan
WDP).
EKPPD menunjukkan sebaik apa pemerintah daerah menyelenggarakan
pemerintahannya sedangkan opini audit menunjukkan kepercayaan publik terhadap
kredibilitas dan kehandalan pemerintah dalam mengelola keuangannya. Jika
pengelolaan keuangan suatu daerah sudah baik, diharapkan kesejahteraan
masyarakat daerah tersebut juga baik, yang mengindikasikan keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah tersebut.
H1 : Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintah daerah periode
opini non-WTP dan periode opini WTP dalam aspek evaluasi kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
43

2. Terdapat perbedaan antara kinerja Indeks Pembangunan Manusia


Pemerintah Daerah periode opini non WTP dan periode opini WTP

Masyarakat madani mencerminkan suatu masyarakat yang sejahtera dan


berkeadilan. Beberapa parameter masyarakat madani adalah tingkat pembangunan
manusia, tingkat pengetahuan masyarakat, tingkat angka harapan hidup, dan
tingkat kesejahteraan. Masyarakat madani memiliki perspektif yang lebih baik
dalam melihat pemerintahannya sehingga dapat menciptakan fungsi pengawasan
dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, baik perspektif dalam segi ekonomi,
sosial maupun budaya (Despotis 2005).
Tingkat pembangunan masyarakat menunjukkan tingkat kemajuan yang
dicapai suatu masyarakat. Tingkat pembangunan masyarakat dapat diukur salah
satunya melalui IPM. Tata kelola pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya
keberadaan masyarakat yang tingkat pembangunannya baik pula (Ramachandran
2002). Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan
masyarakat akan meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga akan
menghasilan akuntabilitas laporan keuangan yang lebih baik.
H2 : Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintah daerah periode
opini non-WTP dan periode opini WTP dalam aspek indeks
pembangunan manusia.
3. Terdapat perbedaan antara kinerja Produk Domestik Regional Bruto
Pemerintah Daerah periode opini non WTP dan periode opini WTP

Kinerja merupakan hasil yang didapat dari sebuah proses kegiatan yang
cukup panjang (Khairudin), Begitu juga dengan kinerja ekonomi pemerintah daerah
yang tentunya lahir dari sebuah proses kegiatan yang cukup panjang pula yang biasa
disebut dengan kegiatan pengelolaan dana APBD demi pembangunan daerah yang
diawali dari perencanaan sumber daya sampai dengan pengendalian. Jika proses
kegiatan pembangunan daerah berjalan dengan baik dan benar, maka dapat
dipastikan bahwa kinerja ekonomi pemerintah daerah akan semakin baik juga.
Karena semakin baik kinerja ekonomi suatu pemerintah daerah mengandung arti
bahwa pengelolaan sumber daya daerah demi kesejahteraan masyarakatnya
semakin baik dan demikian pula sebaliknya (Halim, 2002). Sedangkan opini audit
44

menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan


Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara merupakan pernyataan
profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi
yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada (1) kesesuaian
dengan standar akuntansi pemerintah, (2) kecukupan pengungkapan, (3) kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan, dan (4) efektivitas sistem pengendalian
intern. Artinya baik atau buruknya opini atas laporan keuangan ditentukan oleh baik
atau buruknya sistem administrasi yang ada, termasuk didalamnya apakah anggaran
yang dimiliki telah tepat sasaran.
Hasil penelitian Budiartha (2008) yang melakukan penelitian terhadap
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006 dan 2007 yang oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diberikan opini berupa disclaimer untuk tahun
2006 dan 2007 menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah pusat tahun 2007
lebih baik dibandingkan dengan tahun 2006, meskipun opini audit untuk tahun 2006
dan 2007 adalah disclaimer yakni opini yang paling buruk.
H3 : Terdapat perbedaan antara kinerja Produk Domestik Regional Bruto
Pemerintah Daerah periode opini non-WTP dan periode opini WTP
45

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Objek Penelitian dan Lokasi Penelitian


Menurut Sugiyono (2010), objek penelitian (variabel penelitian) adalah
suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai
variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Objek dari penelitian ini adalah perbedaan kinerja keuangan
periode opini non wtp dan opini wtp di Pulau sumatera tahun 2015-2016.
Lokasi penelitian merupakan tempat melakukan penelitian guna
memperoleh data yang berasal dari responden. Lokasi dari penelitian ini adalah
Pemerintahan daerah kabupaten dan kota di Pulau Sumatera.

B. Jenis Penelitian
Penelitian ini akan digunakan pendekatan kuantitatif dengan bentuk
perbandingan (komparatif). Metode kuantitatif adalah pendekatan ilmiah
yang memandang suatu realitas itu dapat diklasifikasikan, konkrit, teramati
dan terukur, hubungan variabelnya bersifat sebab akibat dimana data
penelitiannya berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik
(Sugiyono, 2010). Penelitian komparatif adalah penelitian yang
membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau sample
yang berbeda, atau waktu yang berbeda (Sugiyono, 2012). Dalam penelitian
ini dilakukan perbandingan tingkat kinerja keuangan pemerintah daerah
kabupaten kota di Pulau Sumatera yang memperoleh opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) dan non WTP untuk periode 2015-2016.

C. Jenis Data dan Sumber Data


Jenis data adalah pengelompokkan data yang didasarkan pada sifat data
tersebut (Sugiyono, 2010). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung melalui media perantara. Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan,
46

atau laporan historis yang telah disusun dalam arsip atau dokumenter yang telah
dipublikasikan. Data sekunder pada penelitian ini adalah data yang diperoleh dari
laporan keuangan kabupaten/kota di Pulau Sumatera yang telah diaudit oleh BPK
RI tahun 2015- 2016 dan dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini yaitu
melalui website BPK, dan website masing-masing pemerintah daerah yang menjadi
sampel.

D. Tekhnik Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan
untuk mengumpulkan data. Metode menunjuk suatu cara sehingga dapat diperlihat
penggunaannya melalui angket, wawancara, pemangamatan, tes, dokumentasi dan
sebagainya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi. Metode dokumentasi adalah pengambilan data melalui dokumen
tertulis maupun elektronik dari lembaga / institusi, dengan cara mengumpulkan data
sekunder dari laporan keuangan yang telah dipublikasikan di DJPK dan BPK RI.
Selain itu Peneliti harus mengumpulkan, mencatat, mengkaji semua informasi yang
dibutuhkan, dan menghitung rasio - rasio yang terdapat di dalam laporan keuangan
pemerintah daerah periode 2015-2016 yang bersangkutan.

E. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk
menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi
kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan
kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung
sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam
menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas
yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Susantih, 2009). Menurut Halim
(2001) analisis kinerja keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan
berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Bentuk dari pengukuran kinerja
tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan
47

pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD (Azhar, 2008).


Indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur kinerja keuangan
pemerintah daerah sebagai berikut :
a. Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintahan Daerah
EKPPD adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara
sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan
menggunakan sistem pengukuran kinerja. Hasil EKPPD tahunan digunakan
Pemerintah sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan kebijakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Data yang digunakan merupakan skor EKPPD Kabupaten/Kota secara
nasional tahun 2015- 2016 yang diperoleh dari halaman situs Kementerian Dalam
Negeri. Kriteria penilaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Penetapan
Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara
Nasional pada Tahun 2015-2016 .
b. Indeks Pembangunan Manusia
IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan
wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan
kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan
standar hidup layak. Pada pelaksanaan perencanaan pembangunan, IPM juga
berfungsi dalam memberikan tuntunan dalam menentukan prioritas perumusan
kebijakan dan penentuan program pembangunan. Rumus umum yang dipakai
adalah sebagai berikut :
𝟑
IPM = √𝑰𝑲𝒆𝒔𝒆𝒉𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒙 𝑰. 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒙 𝑰. 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒂𝒏 x 100%
Di mana :
X1 = Dimensi Kesehatan
X2 = Dimensi Pendidikan
X3 = Dimensi Pengeluaran

Pengelompokan IPM
48

Untuk melihat capaian IPM antar wilayah dapat dilihat melalui


pengelompokkan IPM ke dalam beberapa kategori, yaitu:

Kategori Capaian IPM


IPM < 60 IPM rendah
60 ≤ IPM < 70 IPM sedang
70 ≤ IPM < 80 IPM tinggi
IPM ≥ 80 IPM sangat tinggi
Sumber : bps.go.id
c. Produk Domestik Regional Bruto
PDRB adalah nilai bersih barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh
berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam periode (Hadi Sasana, 2006).
PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah mengelola sumber saya
alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh
masing-masing daerah sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan
faktor produksi Daerah tersebut.
Besarnya PDRB per Kapita masing-masing daerah berbeda bahkan
mempunyai selisih yang besar, sehingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrem.
Untuk menghindari adanya data yang tidak normal tersebut maka data PDRB per
Kapita perlu di-Lg10-kan. Variabel PDRB per Kapita diukur dengan logaritma
natural PDRB per Kapita masing-masing daerah. Data dalam variabel ini diperoleh
dari BPS tahun 2015 dan 2016

F. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Sumatera yang terdiri dari 164
kabupaten/kota.
2. Sampel Penelitian
49

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2010). Teknik penentuan sampel yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu. Kriteria penentuan sampel yang diambil
berdasarkan jurnal utama penelitian, yaitu kabupaten/kota yang mengalami
peningkatan opini dari non WTP pada tahun 2015 menjadi WTP pada tahun 2016.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 33
kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Sampel yang termasuk dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4
Daftar Sampel Penelitian
No Nama Kabupaten/kota Opini BPK 2015 Opini BPK 2016

1 Kota Subulussalam WDP WTP


2 Kab. Humbang . H WDP WTP
3 Kab. Pakpak Bharat WDP WTP
4 Kab. Toba Samosir WDP WTP
5 Kota Binjai WDP WTP
6 Kota Pematangsiantar WDP WTP
7 Kota Tebing Tinggi TMP WTP
8 Kab. Pasaman barat WDP WTP
9 Kab. Sijunjung WDP WTP
10 Kab. Solok Selatan WDP WTP
11 Kota Padang Panjang WDP WTP
12 Kota Solok WDP WTP
13 Kab. Indragiri Hilir WDP WTP
14 Kab. Indragiri Hulu WDP WTP
15 Kab. Kampar WDP WTP
16 Kab. Rokan Hulu WDP WTP
17 Kota Pekanbaru WDP WTP
18 Kab. Merangin WDP WTP
19 Kab. Muaro Jambi WDP WTP
20 Kab. Sarolangun WDP WTP
21 Kota Jambi WDP WTP
22 Kab. Empat Lawang WDP WTP
23 Kab. Musi Rawas WDP WTP
24 Kab. Ogan Ilir WDP WTP
25 Kab. Penukal Abab WDP WTP
26 Kab. Kaur WDP WTP
27 Kab. Lebong WDP WTP
28 Kab. Lamsel WDP WTP
29 Kab. Lamteng WDP WTP
30 Kab. Pesawaran WDP WTP
50

31 Kab. Bangka WDP WTP


32 Kab. Bangka Barat WDP WTP
33 Kab. Bangka Tengah WDP WTP

G. Tekhnik Analisis Data


Analisis data yang dilakukan yaitu dengan menguji rasio keuangan periode
opini Non-WTP dan periode opini WTP 2015 - 2016, dari hasil pengujian ini
diharapkan dapat mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan
pemerintah daerah. Tahap-tahap pengujian meliputi Analisis Rasio Keuangan
setelah itu uji normalitas data dengan menggunakan pendekatan Kolmogorov –
Smirnov dan dilanjutkan dengan pengujian hipotesis untuk masing-masing variabel
penelitian dengan paired samples t test atau pun uji mann whitney test. Tingkat
signifikansi atau nilai alfa (α) pada penelitian ini ditetapkan untuk seluruh
pengujian adalah sebesar 0,05 atau (5%). Besarnya nilai alfa (α ) tergantung pada
keberanian pembuat keputusan yang dalam hal ini berapa besar kesalahan (yang
menyebabkan resiko) yang akan ditolerir (Hendraryadi, 2011). Penjelasan tahap-
tahap pengujian sebagai berikut:
1. Analisis Rasio Keuangan
Analisis rasio keuangan digunakan untuk menganalisis kinerja keuangan
pemerintah daerah. Rasio-rasio tersebut dibandingan dengan rasio keuangan pada
periode opini non wtp dengan periode opini wtp. Langkah pertama yang dilakukan
adalah menghitung masing-masing rasio keuangan pemerintah daerah yang sudah
ditetapkan sebagai variabel penelitian. Hasil perhitungan rasio-rasio ini selanjutnya
digunakan sebagai data dalam pengujian statistik.
2. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan dan mendeskripsikan
variabel-variabel dalam penelitian. Statistik deskriptif dalam penelitian pada
dasarnya merupakan proses transformasi data penelitian dalam bentuk tabulasi
sehingga mudah dipahami dan di interpretasikan. Tabulasi menyajikan ringkasan,
pengaturan atau penyusunan data dalam bentuk tabel dan grafik. Statistik deskriptif
umumnya digunakan oleh peneliti untuk memberikan informasi mengenai
karakteristik variabel penelitian yang utama. Penelitian statistik deskriptif
51

memberikan gambaran atau deskriptif suatu data yang dapat dilihat dari nilai rata-
rata (mean), standar deviasi, varians, dan maksimum-minimum (Ghozali, 2011).
Mean digunakan untuk memperkirakan besar rata-rata populasi yang diperkirakan
dari sampel. Maksimum-minimum digunakan untuk melihat nilai minimum dan
maksimum dari populasi. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat gambaran
keseluruhan dari sampel yang brhasil dikumpulkan dan memenuhi syarat untuk
dijadikan sampel penelitian. maksimum dari populasi. Hal ini perlu dilakukan untuk
melihat gambaran keseluruhan dari sampel yang berhasil dikumpulkan dan
memenuhi syarat untuk dijadikan sampel penelitian.

3. Uji Normalitas Data


Pengujian normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data
berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas penting dilakukan karena untuk
menentukan alat uji statistik apa yang sebaiknya digunakan pengujian hipotesis. Uji
statistik Kolmogorov-Smirnov dipilih karena lebih peka untuk mendeteksi
normalitas data dibandingkan pengujian dengan menggunakan grafik (Ghozali,
2011). Penentuan normal tidaknya data ditentukan dengan cara, apabila hasil
signifikansinya lebih besar dari tingkat signifikansi yang sudah ditentukan (≥0,05)
maka H0 diterima maka data tersebut terdistribusi normal. Sebaliknya apabila
signifikansi uji lebih kecil dari nilai signifikansi (< 0,05) H0 ditolak maka data
tersebut terdistribusi tidak normal.

H. Pengujian Hipotesis
Apabila data yang diuji berdistribusi normal, maka pengujian hipotesa
menggunakan alat uji statistik parametrik yaitu uji t berpasangan (paired sample t-
test). Sedangkan apabila data berdistribusi tidak normal, maka pengujian hipotesa
menggunakan alat uji statistik non parametrik yaitu uji peringkat bertanda
Wilcoxon (wilcoxon signed ranks test). Apabila data tidak normal maka teknik
statistik parametrik tidak dapat digunakan untuk alat analisis, Sugiono (2003) dalam
Yudisianta (2007).
1. Uji Independent T-Test
52

Uji independent t-test adalah metode yang digunakan untuk menguji


kesamaan rata-rata dari dua populasi yang bersifat independen, dimana peneliti
tidak memiliki informasi mengenai ragam populasi. Independen adalah bahwa
populasi yang satu tidak dipengaruhi atau tidak berhubungan dengan populasi yang
lain. Ataupun bisa dikatakan uji independent t -test yang dimaksud di sini adalah
sampel yang tidak berpasangan, artinya sumber data berasal dari subjek yang
berbeda. Sebelum melakukan uji ini, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan
uji homogenitas.
Sampel berpasangan (Paired Sample) merupakan sampel dengan subjek
yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda
(Santoso, 2012). Data berasal dari dua pengukuran atau dua periode pengamatan
yang berbeda yang diambil dari subjek yang sama, yaitu kinerja keuangan
pemerintah kota/kabupaten periode opini non-WTP dan periode opini WTP. Dari
hasil pengujian, apabila signifikansi > 0,05 maka data tidak berbeda, sedangkan
apabila signifikansi < 0,05 maka data berbeda.
2. Uji Mann Whitney
Uji Mann Whitney merupakan salah satu uji statistik nonparametrik dalam
kasus sampel independen. Uji Mann Whitney digunakan untuk menguji apakah
perbedaan dua sample yang tidak berhubungan atau berpasangan satu sama lainnya.
Uji Mann Whitney digunakan ketika data tidak normal dalam uji independent t-test
tidak terpenuhi, yaitu masing-masing kelompok sampel/data harus terdistribusi
secara normal. jika data berdistribusi tidak normal maka digunakan uji non
parametik yaitu uji Wilcoxon Sign Rank Test dengan taraf signifikansi 5%.
53

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Rasio Keuangan

Hasil analisis kinerja keuangan kabupaten/kota periode opini non-WTP dan


periode opini WTP di Pulau Sumatera dapat dilihat pada tabel 4.1 dan tabel 4.2
sebagai berikut :

Tabel 4.1
Kinerja Keuangan PAD Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera
Periode Opini Non WTP

PDRB Harga PDRB Harga


Kabupaten/kota EKPPD IPM
Berlaku Konstan
1 Kota Subulussalam 2,1046 61.32 1.287 1.141
2 Kab. Humbang . H 2,968 66.03 4.413 3.407
3 Kab. Pakpak Bharat 2,9754 65.53 826 677
4 Kab. Toba Samosir 2,7168 73.40 5.622 4.552
5 Kota Binjai 2,7769 73.81 8.382 6.571
6 Kota Pematangsiantar 2,4258 76.34 10.566 7.992
7 Kota Tebing Tinggi 2,8193 72.81 4.288 3.235
8 kab. Pasaman barat 2,842 65.26 11.714 9.357
9 Kab. Sijunjung 3,1016 65.30 7.110 5.537
10 Kab. Solok Selatan 3,0998 67.09 10.153 3.268
11 Kota Padang Panjang 2,8465 75.98 2.533 2.066
12 Kota Solok 2,8733 76.83 2.964 2.307
13 Kab. Indragiri Hilir 2,9497 64.80 51.797 37.920
14 Kab. Indragiri Hulu 2,7924 68 34.583 25.791
15 Kab. Kampar 3,0175 71.28 66.285 46.314
16 Kab. Rokan Hulu 3,9857 67.29 27.160 20.801
17 Kota Pekanbaru 2,897 79.32 83.662 57.615
18 Kab. Merangin 3,2295 67.15 10.589 7.993
19 Kab. Muaro Jambi 2,6965 66.66 17.049 13.238
20 Kab. Sarolangun 3,2162 68.10 11.176 8.987
21 Kota Jambi 2,8443 75.58 21.353 15.921
22 Kab. Empat Lawang 3,2888 63.55 3.816 2.964
23 Kab. Musi Rawas 3,1092 64.11 14.101 11.050
24 Kab. Ogan Ilir 2,9143 65.35 8.168 6.118
25 Kab. Penukal Abab 30897 60.83 5.095 3.736
26 Kab. Kaur 3,0008 64.47 2.457 1.856
27 Kab. Lebong 3,0876 64.72 2.331 1.746
28 Kab. Lamsel 2,8666 65.22 31.413 24.655
29 Kab. Lamteng 2,8818 67.61 48.878 38.774
30 Kab. Pesawaran 3,8976 62.70 11.717 9.369
31 Kab. Bangka 3,1841 70.03 11.022 8.513
54

32 Kab. Bangka Barat 3,0667 67.23 11.473 8.749


33 Kab. Bangka Tengah 3,0069 68.66 7.056 5.272

Tabel 4.2
Kinerja Keuangan PAD Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera
Periode Opini WTP

Kabupaten/kota PDRB Harga PDRB Harga


EKPPD IPM
Berlaku Konstan
1 Kota Subulussalam 2,5048 62.18 1.394 1.199
2 Kab. Humbang . H 2,9558 66.56 4.776 3.578
3 Kab. Pakpak Bharat 3,0887 65.81 911 718
4 Kab. Toba Samosir 2,9071 73.61 6.140 4.770
5 Kota Binjai 2,8884 74.11 9.077 6.936
6 Kota Pematangsiantar 2,7931 76.90 11.579 8.381
7 Kota Tebing Tinggi 3,0687 73.58 4.729 3.401
8 kab. Pasaman barat 2,9002 66.03 12.795 9.855
9 Kab. Sijunjung 3,0918 66.01 7.721 5.828
10 Kab. Solok Selatan 2,5555 67.47 11.047 3.435
11 Kota Padang Panjang 2,9103 76.50 2.774 2.186
12 Kota Solok 3,0734 77.07 3.238 2.440
13 Kab. Indragiri Hilir 2,7722 65.35 57.383 39.755
14 Kab. Indragiri Hulu 2,9958 68.67 37.031 26.741
15 Kab. Kampar 2,9642 71.39 69.675 47.609
16 Kab. Rokan Hulu 2,9097 67.86 29.449 21.829
17 Kota Pekanbaru 3,0481 79.69 92.382 61.049
18 Kab. Merangin 3,3383 67.86 12.130 8.489
19 Kab. Muaro Jambi 2,5693 67.55 19.105 13.956
20 Kab. Sarolangun 3,2787 68.73 12.246 9.369
21 Kota Jambi 3,0668 76.14 24.451 17.006
22 Kab. Empat Lawang 2,8922 64 4.159 3.098
23 Kab. Musi Rawas 3,1996 64.75 15.047 11.647
24 Kab. Ogan Ilir 3,0434 65.45 8.849 6.432
55

25 Kab. Penukal Abab 2,0587 61.66 5.472 3.931


26 Kab. Kaur 3,1128 64.95 2.715 1.955
27 Kab. Lebong 2,7536 65.58 2.594 1.836
28 Kab. Lamsel 3,0867 66.19 34.904 25.943
29 Kab. Lamteng 3,0755 68.33 55.173 40.951
30 Kab. Pesawaran 2,9807 63.47 12.861 9.843
31 Kab. Bangka 3,2976 70.43 11.791 8.907
32 Kab. Bangka Barat 3,1249 67.60 12.260 9.153
33 Kab. Bangka Tengah 3,0755 68.76 7.470 5.428

1. Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah

Hasil perhitungan Skor Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan


Daerah antara pemerintah daerah yang memperoleh Opini Non Wajar Tanpa
Pengecualian dengan pemerintah daerah yang memperoleh Opini Wajar Dengan
Pengecualian tahun anggaran 2015 – 2016. Berdasarkan tabel diatasdapat dilihat
hasil perhitungan Skor Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah
menunjukkan penurunan kemampuan peningkatkan Kinerja Penyelengaraan
Kinerja, karena pemerintah subnasional/pemerintah daerah akan lebih efisien
dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik.

Berdasarkan tabel 4.1 secara keseluruhan besar pemerintah daerah yang


memperoleh memperoleh Opini Non WTP memiliki Skor Kinerja Penyelenggara
Pemerintahan Daerah yangtermasuk dalam klasifikasi baik, dilihat dari rata-rata
skor Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang menunjukkan
nilai yang berada dikisaran 2 dan 3. Sedangkan pada Tabel 4.2 sebagian besar
pemerintah daerah yang memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian dilihat dari
56

rata-rata skor Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah juga


menunjukkan nilai dibawah 4 yang masuk dalam klasifikasi cukup baik.

2. Indeks Pembangunan Manusia

Hasil perhitungan Indeks Pembangunan Manusia antara pemerintah daerah


yang memperoleh Opini Non Wajar Tanpa Pengecualian dengan pemerintah daerah
yang memperoleh Opini Wajar Dengan Pengecualian tahun anggaran 2015 – 2016.
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat hasil perhitungan Indeks Pembangunan
Manusia untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah yang mempunyai
dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah
dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak. Analisis Indeks
Pembangunan Manusia dikategorikan tinggi apabila rasio yang dicapai minimal
sebesar 80. Semakin tinggi rasio Indeks Pembangunan Manusia, menggambarkan
kemampuan daerah yang semakin baik dalam pengelolaan keuangan daerah.
Berdasarkan tabel 4.1 sebagian besar pemerintah daerah yang memperoleh
Opini Non WTP telah memiliki rasio Indeks Pembangunan Manusia yang termasuk
dalam klasifikasi sedang, dilihat dari rata-rata rasio Indeks Pembangunan
Manusiayang menunjukkan nilai 60 sampai dengan 70. Namun, terdapat beberapa
daerah yang memiliki rasio Indeks Pembangunan Manusia yang baik, dalam artian
masih memiliki kinerja keuangan yang diklasifikasikan tinggi. Hal ini dapat dilihat
pada Pemerintah Kota Pekanbaru yang memiliki rasio IPM 79.32 dan Kota
Pematangsiantar yang memiliki rasio IPM sebesar 76.34 yang termasuk klasifikasi
tinggi.Sedangkan pada Tabel 4.2 sebagian besar pemerintah daerah yang
memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian dilihat dari rata-rata rasio IPM yang
menunjukkan nilai diatas 60, Namun terdapat beberapa daerah yang telah memiliki
IPM yang baik yaitu Pemerintah Kota Solok yang memiliki persentase rasio IPM
sebesar 77.07 yang termasuk klasifikasi tinggi.

3. Pendapatan Domestik Regional Bruto


Berdasarkan tingkat persentase rasio Pendapatan Regional Domestik Bruto
diatas diketahui bahwa kemampuan pemerintah daerah yang memperoleh Opini
Non Wajar Tanpa Pengecualian dan Opini Wajar tanpa Pengecualian dalam
57

mengelola sumber daya alam yang dimiliki oleh masing-masing daerah sangat
bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi Daerah tersebut.
Dimana rasio Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga berlaku dan
Konstan antara pemerintah daerah yang memperoleh Opini Non WTP dengan yang
memperoleh Opini WTP menunjukkan pola Instruktif. Artinya bahwa peranan
pemerintah pusat dalam memberikan bantuan kepada pemerintah daerah masih
dominan.
Berdasarkan tabel 4.1 secara keseluruhan besar pemerintah daerah yang
memperoleh memperoleh Opini Non WTP memiliki Pendapatan Regional
Domestik Bruto dengan harga berlaku yang rendah sekali termasuk dalam
klasifikasi Instruktif, dilihat dari rata-rata PDRB yang menunjukkan nilai yang
berada dikisaran 0- 16.698 dan Pendapatan Regional Domestik Bruto dengan harga
konstan juga menunjukkan klasifikasi sedang yaitu antara 0 - 12.348 . Sedangkan
pada Tabel 4.2 sebagian besar pemerintah daerah yang memperoleh Opini Wajar
Tanpa Pengecualian dilihat dari rata-rata Pendapatan Regional Domestik Bruto
dengan harga berlaku yang menunjukkan nilai dibawah 18.283 yang masuk dalam
klasifikasi instruktif dan Pendapatan Regional Domestik konstan dengan harga
yang memiliki persentase PDRB sebesar 12.959 yang termasuk cukup baik.

B. Analisis Statistik Deskriptif


Analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk
memberikan informasi mengenai variabel-variabel penelitian seperti Evaaluasi
Kinerja Penyelenggara Pemerintahan Daerah, Indeks Pembangunan Manusia,
Pendapatan daerah Regional Bruto dengan harga berlaku dan Pendapatan daerah
Regional Bruto dengan konstan. Statistik deskriptif untuk variabel-variabel
penelitian tersebut dapat kita lihat sebagai berikut:
Tabel 4.3
58

Descriptive Statistics
Periode Opini Non WTP

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


EKPPD 33 2,245 3,9857 27,495.94 8,577.132
IPM 33 60.83 79.32 68.2533 4.78508
PDRB_Harga_Berlaku 33 1.29 826.00 41.7034 142.14529
PDRB_Harga_Konstan 33 1.14 677.00 32.8428 116.47980
Valid N (listwise) 33

Sumber : Data diolah dengan SPSS

Tabel 4.4
Descriptive Statistics
Periode Opini WTP

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


EKPPD 33 2.0587 3.3383 2.950973 .2534613
IPM 33 61.66 79.69 68.7952 4.68804
PDRB_Harga_Berlaku 33 1.39 911.00 45.8611 156.77393
PDRB_Harga_Konstan 33 1.20 718.00 34.6950 123.53885
Valid N (listwise) 33

Sumber : Data diolah dengan SPSS


Tabel diatas menggambarkan deskripsi variabel-variabel secara statistic
dalam penelitian ini. Mean (rata-rata) adalah hasil penjumlahan nilai seluruh data
dibagi dengan banyaknya data, maksimum adalah nilai terbesar dari suatu
rangkaian pengamatan, minimum adalah nilai terkecil dari suatu rangkaian
pengamatan, sementara standar deviasi adalah akar dari jumlah kuadrat dari selisih
nilai data dengan rata-rata dibagi dengan banyaknya data. Tabel 4.3 dan 4.4
menunjukkan Deskriptif Variabel penelitian dengan jumlah data setiap variabel
yang valid sebanyak 33 adalah sebagai berikut :
a. Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintahan Daerah mempunyai nilai mean
sebesar 27,49, nilai minimum sebesar 2,245 terletak pada Kota Pematang
siantar, berarti kab/kota tersebut memiliki skor Evaluasi Kinerja Penyelenggara
Pemerintah Daerahterendah selama periode Opini Non WTP dan nilai
maksimum sebesar 3,9857 terletak pada Kab. Rokan Hulu pada tahun 2015
yang berarti Kab/kota tersebut memiliki skor Evaluasi Kinerja Penyelenggara
59

Pemerintah Daerahtertinggi selama periode Non WTP dari 33 sampel yang


diteliti. dan nilai standar deviasinya adalah 8,577.132.
Sedangkan pada periode Opini WTP Evaluasi Kinerja Penyelenggara
Pemerintah Daerahmempunyai nilai mean sebesar 2,950973, nilai minimum
sebesar 2,0857terletak pada Kab. Penukal Abab Lematang Ilir, berarti kab/kota
tersebut memiliki Skor Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah
terendah selama periode Opini WTP dan nilai maksimum sebesar 3,3383
terletak pada Kab. Merangin pada tahun 2016 yang berarti Kab/kota tersebut
memiliki Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah tertinggi selama
periode Opini WTP dari 33 sampel yang diteliti. dan nilai standar deviasinya
adalah 0.2534613.
b. Indeks Pembangunan Manusia mempunyai nilai mean sebesar 68.2533, nilai
minimum sebesar 60.83terletak pada Kab. Penukal Abab Lematang Ilir pada
tahun 2015 yang berarti kab/kota tersebut memiliki Indeks Pembangunan
Manusiaterendah selama periode pengamatan, dan nilai maksimum sebesar
79.32 yang terletak pada Kota Pekanbaru pada tahun 2015 yang berarti
pemerintahan daerah tersebut memiliki Indeks Pembangunan Manusia tertinggi
selama periode pengamatan dan nilai standar deviasinya adalah 4.78508.
Sedangkan pada periode Opini WTP Indeks Pembangunan
Manusiamempunyai nilai mean sebesar 68.7952, nilai minimum sebesar 61.66
terletak pada Kab. Penukal Abab Lematang Ilir, berarti kab/kota tersebut
memiliki Indeks Pembangunan Manusia terendah selama periode Non WTP
dan nilai maksimum sebesar 79.69 terletak pada Kota Pekanbaru pada tahun
2016 yang berarti Kab/kota tersebut memiliki Indeks Pembangunan Manusia
tertinggiselama periode Non WTP dari 33 sampel yang diteliti dan nilai standar
deviasinya adalah 4.68804.
c. Pendapatan domestik Regional Bruto dengan Harga Berlaku pada periode Opini
Non WTP mempunyai nilai mean sebesar 41.7034, nilai minimum sebesar 1.29
terletak pada Kota Subulussalam pada tahun dan nilai maksimum sebesar 826
yang terletak pada Kab. Pakpak Bharat pada tahun 2015 yang berarti
Pemerintahan daerah tersebut memiliki Pendapatan domestik Regional Bruto
60

dengan Harga Berlaku tertinggi selama periode pengamatan dengan nilai


standar deviasinya adalah 142.145, dan Pendapatan domestik Regional Bruto
dengan Harga Konstan mempunyai nilai mean sebesar 32.8428, nilai minimum
sebesar 1.14terletak pada Kota Subulussalam pada tahun 2016 dan nilai
maksimum sebesar 677 yang terletak pada Kab. Pakpak Bharat pada tahun 2016
yang berarti Pemerintahan daerah tersebut memiliki Pendapatan domestik
Regional Bruto dengan Harga Konstan tertinggi selama periode pengamatan
dengan nilai standar deviasinya adalah 116.47980.
Sedangkan pada periode Opini WTP Pendapatan domestik Regional
Bruto dengan Harga Berlakumempunyai nilai mean sebesar 45.8611, nilai
minimum sebesar 1.39terletak pada Kota Subulussalamdan nilai maksimum
sebesar 911 terletak pada Kab. Pakpak Bharat pada tahun 2016 yang berarti
Kab/kota tersebut memiliki Pendapatan domestik Regional Bruto dengan
Harga Berlakutertinggi selama periode Opini WTP dari 33 sampel yang diteliti
dengan nilai standar deviasinya adalah 156.77393., dan Pendapatan domestik
Regional Bruto dengan Harga Konstan mempunyai nilai mean sebesar
34.6950, nilai minimum sebesar 1.20 terletak pada Kota Subulussalam pada
tahun 2016 dan nilai maksimum sebesar 718 yang terletak pada Kab. Pakpak
Bharat pada tahun 2016 yang berarti Pemerintahan daerah tersebut memiliki
Pendapatan domestik Regional Bruto dengan Harga Konstan tertinggi selama
periode pengamatan dengan nilai standar deviasinya adalah 123.53885.

C. Hasil Pengujian Normalitas Data


Pengujian normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data
berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas penting dilakukan karena untuk
menentukan alat uji statistik apa yang sebaiknya digunakan pengujian hipotesis. Uji
statistik Kolmogorov-Smirnov dipilih karena lebih peka untuk mendeteksi
normalitas data dibandingkan pengujian dengan menggunakan grafik (Ghozali,
2011).Hasil uji normalitas data Kolmogorov - Smirnov Test dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
61

Tabel 4.5
Hasil Uji Normalitas Data
Periode Opini Non WTP

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


PDRB_Harga_ PDRB_Harga_K
EKPPD IPM Berlaku onstan
N 33 33 33 33
Normal Parametersa Mean 27,495.94 68.2533 41.7034 32.8428
Std.
8,577.132 4.78508 142.14529 116.47980
Deviation
Most Extreme Differences Absolute .324 .179 .388 .393
Positive .204 .179 .381 .393
Negative -.324 -.089 -.388 -.393
Kolmogorov-Smirnov Z 1.860 1.031 2.229 2.260
Asymp. Sig. (2-tailed) .002 .238 .000 .000
a. Test distribution is Normal.

Tabel 4.6
Hasil Uji Normalitas Data
Periode Opini WTP
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
PDRB_Harga_ PDRB_Harga_K
EKPPD IPM Berlaku onstan
N 33 33 33 33
Normal Parametersa Mean 2.950973 68.7952 45.8611 34.6950
Std.
.2534613 4.68804 156.77393 123.53885
Deviation
Most Extreme Differences Absolute .190 .200 .388 .398
Positive .125 .200 .380 .398
Negative -.190 -.093 -.388 -.393
Kolmogorov-Smirnov Z 1.094 1.149 2.231 2.285
Asymp. Sig. (2-tailed) .183 .143 .000 .000
a. Test distribution is Normal.
Sumber : Data diolah dengan SPSS

Suatu data dikatakan berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih besar
dari 0,05 (Ghozali, 2006). Uji dua sisi digunakan untuk menguji apakah kinerja
keuangan daerah sama atau berbeda antara daerah pada periode opini Non Wtp
dengan Periode Opini Wtp. Berdasarkan Tabel 4.5 hasil uji normalitas data
Kolmogorov-Smirnov Test pada periode Non WTP menunjukkan bahwa
nilaiasymp sig > 0,05 yaitu rasio Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah
Daerah sebesar 1.860, rasio Indeks Pembangunan Manusia sebesar1.031, rasio
Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlakusebesar 2.229, dan
62

rasio Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan harga konstan sebesar 2.260,
sehingga data tersebut berdistribusi normal.
Berdasarkan Tabel 4.5 hasil uji normalitas data Kolmogorov-Smirnov Test
pada periode Opini Wtp menunjukkan bahwa nilaiasymp sig > 0,05 yaitu rasio
Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah sebesar 1.094, rasio Indeks
Pembangunan Manusia sebesar 1.149, rasio Pendapatan Domestik Regional Bruto
dengan harga berlaku sebesar 2.231, dan rasio Pendapaatan Domestik Regional
Bruto dengan harga konstan sebesar 2.285, sehingga data tersebut berdistribusi
normal.
Hasil uji normalitas data menunjukkan bahwa data yang digunakan dalam
perhitungan rasio Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah,Indeks
Pembangunan Manusia,Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga
berlaku dan Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan harga
konstanberdistribusi secara normal. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai
Asymptatic Significance (2-tailed) lebih besar dari 0,05 sehingga semua variabel
lolos uji normalitas data.

D. Hasil Pengujian Hipotesis


Pengujian hipotesis dalam penelitian ini untuk menguji perbedaan kinerja
Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah,Indeks Pembangunan
Manusia,Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlaku dan
Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan harga konstan pada periode Opini
Non Wtp dan Periode Opini Wtp dengan menggunakan hasil uji regresi yang
ditunjukkan dalam paired differences. Dalam uji hipotesis dengan alat uji t dua
sampel berpasangan (t-paired), pada kolom Significant dibandingkan dengan
tingkat kealphaan 0,05 (5%). Apabila tingkat signifikansi < 0,05, maka Ha diterima.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa angka rasio keuangan dan
hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal, sehingga alat
statistik yang dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan pada
Periode Opini Non Wtp dan Periode Opini Wtp adalah statistik parametrik dengan
63

alat uji t dua sampel berpasangan (t-paired).Dari pengujian statistik yang dilakukan
oleh peneliti menggunakan software SPSS, hasil yang diperoleh sebagai berikut:
1. Perbedaan Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah
antara periode opini non WTP dan periode opini WTP

Pengujian ini bertujuan untuk melihat perbedaan Evaluasi Kinerja


Penyelengaraan Pemerintahan Daerah. Berdasarkan analisis data Evaluasi Kinerja
Penyelengaraan Pemerintahan Daerah periode opini non WTP dan periode opini
WTP diperoleh hasil seperti pada tabel 4.7
Tabel 4.7
Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Berdasarkan tabel 4.7 pada tabel paired samples test terlihat bahwa nilai
probabilitas (sig.) adalah 0,602. Untuk uji dua sisi, nilai probabilitas (sig.) adalah
0,001/2 = 0,0005 <0,025 maka Ha ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aspek
Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair Opini_Non_WTP 339.84


3,708.402 645.550 -975.094 1,654.791 .526 32 .602
1 - Opini_WTP 8

Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerahperiode opini non WTP


tidak berbeda dengan Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan
Daerahperiode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Perbedaan
tersebut bermakna bahwa Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah
periode opini WTP lebih tinggi sebesar 339.848% dibandingkan Evaluasi Kinerja
Penyelengaraan Pemerintahan Daerah periode opini non WTP.
Adapun penyebab dari tidak adanya perbedaan yang signifikan tersebut
adalah tingkat pencapaian kinerja keuangan periode Non WTP dibandingkan
64

dengan periode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera belum


memberikan kontribusi lebih besar daripada periode opini non WTP, Pemerintah
daerah belum mampu untuk meningkatkan skor EKPPD secara signifikan
dibandingkan pada tahun 2015 karena hampir seluruh pemerintah daerah di
Sumatera masih berada di level 1 sampai dengan level 3. Capaian level per-elemen
pada pemerintah daerah masih belum mencapai level tinggi yaitu level 4 atau level
5. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa level rendah yang dicapai pemerintah
daerah tidak dapat memberikan pengaruh positif terhadap kinerja penyelenggaraan
pemerintah daerah pada periode opini WTP.
Pemerintah daerah harus tetap berusaha untuk meningkatkan kelengkapan
informasi yang diungkapkan dalam LPPDnya agar sesuai dengan regulasi meskipun
saat ini bobot penilaian untuk kelengkapan informasi dalam penilaian EKPPD
masih sangat kecil. Pemda jangan hanya fokus pada masalah penyediaan informasi
IKK dan mengabaikan informasi yang lain karena LPPD merupakan suatu bentuk
laporan akuntabilitas dan pertanggungjawaban pemda secara menyeluruh atas
penyelenggaraan tugas dan urusan pemerintahan daerah. Masalah yang dihadapi
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah juga disebabkan oleh tidak efektifnya
penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan
dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama, ketersediaan tenaga
pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi dan fasilitas yang
terbatas, dan masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik yang diberikan.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Budianto (2012) yang
menjelaskan bahwa pada Pemerintah Daerah yang memiliki rata-rata opini audit
yang rendah (TMP dan TW) kecendrungannya memiliki skor kinerja yang rendah
dibandingkan dengan Pemerintah Daerah yang memiliki rata-rata opini audit yang
tinggi (WTP dan WDP).
2. Perbedaan Indeks Pembangunan Manusia periode opini non WTP
dan periode opini WTP

Pengujian ini bertujuan untuk melihat perbedaan Indeks Pembangunan


Manusia. Berdasarkan analisis data kinerja keuangan untuk variabel Indeks
65

Pembangunan Manusia periode opini non WTP dan periode opini WTP diperoleh
hasil seperti pada tabel 4.8.
Tabel 4.8
Indeks Pembangunan Manusia

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair Opini_Non_WTP - -
.24324 .04234 -.62807 -.45557 32 .000
1 - Opini_WTP .54182 12.796

Berdasarkan tabel 4.8 pada tabel paired samples test terlihat bahwa nilai
probabilitas (sig.) adalah 0,000. Untuk uji dua sisi, nilai probabilitas (sig.) adalah
0,001/2 = 0,0005 <0,025 maka Ha diterima. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
Indeks Pembangunan Manusiaperiode opini non WTP berbeda dengan kinerja
keuangan Indeks Pembangunan Manusia periode opini WTP pada kabupaten/kota
di Pulau Sumatera. Perbedaan tersebut bermakna bahwa Rasio Indeks
Pembangunan Manusia periode opini WTP lebih tinggi sebesar -.54182%
dibandingkan Indeks Pembangunan Manusia periode opini non WTP.
Bila ditinjau dari Indeks Pembangunan Manusia Pemerintah Kab/Kota di
Pulau Sumatera diklasifikasikan sudah cukup tinggi dalam meningkatkan
pembangunan manusia dari target yang telah ditetapkan sebelumnya. Pemerintahan
daerah pada saat ini level IPM masih tergolong sedang, namun jika sudah mecapai
angka 70-80 dan sudah di atas itu, maka konsentrasinya sudah tinggi. Jadi, hasil
penelitian ini menunjukkan masih tingginya akses hasil pembangunan pemerintah
daerah dalam memperoleh pendapatan, kesehatan dan pendidikan dan perolehan
lainnya.
Adanya perbedaan Indeks Pembangunan Manusia antara periode opini non
WTP dan periode opini WTP disebabkan oleh capaian kinerja keuangan disisi
66

APBD pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sumatera secara umum sudah baik dan
sesuai dengan yang direncanakan. Besarnya target yang direncanakan oleh
pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sumatera telah diimbangi dengan usaha yang
maksimal dalam merealisasikan target kinerja keuangan dalam segi pembangunan
manusia.
Menurut Stewart dalam Kluver (1984) Akuntabilitas seperti layaknya ilmu
ekonomi yang mengandung pertanyaan apa, bagaimana dan mengapa sumber daya
di alokasikan untuk tujuan–tujuan tertentu. Akbar (2015) menyebutkan akuntabel
dan transparan seperti layaknya pilar yang menopang tata kelola keuangan yang
baik sehingga tercipta kemakmuran rakyat. Stewart dalam teorinya Stewart’s
Ladder of Accountability juga mengemukakan bahwa untuk menjadi akuntabel
perlu melewati langkah-langkah dimana langkah yang pertama adalah probity dan
legality. Probity diharapkan dapat dipenuhi dari audit laporan keuangan, sedangkan
legality merupakan kepatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan yang
berlaku dalam mengelola keuangan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 23 ayat (1) yang berbunyi: “Anggaran pendapatan dan belanja
negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun
dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Diperolehnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) adalah merupakan
awal dari proses tercapainya akuntabilitas secara penuh. Dalam era otonomi daerah
ini, pengelolaan keuangan daerah menjadi salah satu faktor yang krusial dalam
pertanggungjawaban pejabat publik daerah kepada masyarakat.Hasil penelitian ini
konsisten dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Ramachandran
(2002) yang menyatakan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik mensyaratkan
adanya keberadaan masyarakat yang tingkat pembangunannya baik pula. Hal ini
mungkin dikarenakan pada kenyataannya bahwa opini diberikan kepada
pemerintah daerah perlu melihat apakah masyarakat di daerah tersebut memiliki
tingkat pembangunan masyarakat yang tinggi atau rendah. Hal ini tidak sesuai
dengan SPKN bahwa pemeriksaan atas LKPD merupakan jenis pemeriksaan
67

keuangan yang dilakukan oleh BPK hanya dengan tujuan memberikan pernyataan
opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam LKPD.
3. Perbedaan Pendapatan Regional Daerah Bruto periode opini non
WTP dan periode opini WTP
Pengujian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kinerja keuangan dalam
aspek Pendapatan Regional Daerah Bruto. Berdasarkan analisis data kinerja
keuangan untuk variabel Pendapatan Regional Daerah Bruto periode opini non
WTP dan periode opini WTP diperoleh hasil seperti pada tabel 4.9 dan 4.10.
Tabel 4.9
PDRB dengan harga Berlaku

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair Opini_Non_WTP -
1 - Opini_WTP 1.8521 7.06434 1.22974 -4.35706 .65275 -1.506 32 .142
5
68

Tabel 4.10
PDRB dengan harga konstan

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair Opini_Non_WTP -
1 - Opini_WTP 4.1577 14.64444 2.54927 -9.35039 1.03500 -1.631 32 .113
0

Berdasarkan tabel 4.9 pada tabel paired samples test terlihat bahwa nilai
probabilitas (sig.) adalah 0,113. Untuk uji dua sisi, nilai probabilitas (sig.) adalah
0,001/2 = 0,0005 <0,025 maka Ha ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aspek
Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga berlaku periode opini non WTP
tidak berbeda dengan kinerja keuangan periode opini Non WTP pada
kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Perbedaan tersebut bermakna bahwa
Pendapatan Regional Daerah Bruto periode opini Non WTP lebih tinggi sebesar
4.15770% dibandingkan Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga berlaku
periode opini non WTP.
Sedangkan Berdasarkan tabel 4.10 pada tabel paired samples test terlihat
bahwa nilai probabilitas (sig.) adalah 0,142. Untuk uji dua sisi, nilai probabilitas
(sig.) adalah 0,001/2 = 0,0005 <0,025 maka Ha ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam aspek Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga konstan periode
opini non WTP tidak berbeda dengan kinerja keuangan periode opini Non WTP
pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Perbedaan tersebut bermakna bahwa
Pendapatan Regional Daerah Bruto periode opini Non WTP lebih tinggi sebesar
1.85215% dibandingkan Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga berlaku
periode opini non WTP.
Tidak adanya perbedaan kinerja keuangan daerah induk disebabkan karena
realisasi APBD daerah tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan dari
69

tahun ke tahun meskipun mendapatkan tingkatan opini menjadi Wtp pada tahun
2016. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Giroux dan McLelland (2003) membuktikan bahwa tingkat
pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap kualitas audit dan tingkat
pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Hal ini mungkin dikarenakan pada
kenyataannya bahwa tingkat pendapatan yang menjadi ruang lingkup pemeriksaan
hanya sebatas pada pendapatan yang disajikan pada LKPD dan tidak
memperhitungkan tingkat pendapatan masyarakat apakah tinggi atau rendah.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, opini
merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria.
Rendahnya aktivitas perekonomian disebabkan oleh beberapa hal Di
antaranya, pertama, pembagian sumber - sumber perekonomian antara daerah DOB
dan induk tidak merata. Daerah induk biasanya mendominasi pembagian sumber
daya ekonomi seperti kawasan industri maupun sumberdaya alam produktif. Kedua,
investasi swasta di DOB juga relatif kecil sehingga selama lima tahun terakhir tidak
banyak perubahan yang cukup signifikan untuk mendongkrak perekonomian
daerah. Ketiga, perekonomian di DOB belum digerakkan secara optimal oleh
pemerintah daerah, baik karena kurang efektifnya program-program yang
dijalankan maupun karena alokasi anggaran pemerintah yang belum menunjukkan
hasilnya.
70

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan pada BAB IV, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam aspek Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah, secara


statistik kinerja Pemerintahan Daerah periode opini non-WTP tidak berbeda
dengan periode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera.
2. Dalam aspek Indeks Pembangunan Manusia, secara statistik kinerja
Pemerintahan Daerah periode opini non WTP berbeda dengan periode opini
WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera.
3. Dalam aspek Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlaku,
secara statistik kinerja Pemerintahan Daerah periode opini non WTP tidak
berbeda dengan periode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera
sedangkan Dalam Aspek Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan
harga konstan, secara statistik kinerja Pemerintahan Daerah periode opini
non WTP juga tidak berbeda dengan periode opini WTP pada
kabupaten/kota di Pulau Sumatera.

B. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin dapat


melemahkan hasil penelitian. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :

1. Penelitian ini hanya menguji perbedaan Aspek Evaluasi Kinerja


Penyelenggara Pemerintah Daerah,Indeks Pembangunan
Manusia,Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlaku dan
Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan harga konstan
71

2. Objek penelitian hanya pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera pada tahun


2015 – 2016.
3. Penelitian ini hanya dilakukan pada Pulau Sumatera sebagai populasi dalam
pengambilan sampelnya, sehingga belum bisa melihat kecenderungan
perbedaan rasio kinerja keuangan dalam ruang lingkup yang lebih luas.
4. Jumlah sampel yang digunakan relatif sedikit, yaitu 33 kabupaten/kota yang
dijadikan sampel dalam penelitian, karena jumlah kabupaten/kota di Pulau
Sumatera yang dijadikan sampel dalam penelitian ini tidak sebanyak di
Pulau yang lainnya.

C. Saran

Penelitian mengenai perbedaan kinerja keuangan pada periode opini non


WTP dan periode opini WTPdimasa yang akan datang diharapkan mampu
memberikan hasil penelitian yang lebih berkualitas dengan mempertimbangkan
saran sebagai berikut:

1. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas indikator pengukuran


dengan menambahkan indikator pengukuran seperti Tingkat Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Kemiskinan, Tingkat Pengangguran, dan Rasio Gini.
2. Penelitian selanjutnya juga dapat memperpanjang tahun pengamatan
sehingga dapat melihat terjadinya perbedaan kinerja keuangandalam jangka
panjang karena periode yang lebih panjang diharapkan dapat lebih
meminimalisasi kinerja keuangan.
3. Peneliti berikutnya juga dapat menggunakan pulau yang lain sebagai
populasi dalam pengambilan sampelnya, sehingga dapat dilakukan
perbandingan antar Pulau, misalnya Pulau Jawa, Kalimantan,sulawesi dan
papua.
4. Bagi Pemerintah daerah kabupaten/ kota agar lebih baik dalam melakukan
penganggaran untuk meningkatkan kinerja keuangan dan diharapkan tidak
terlalu mengejar opini WTP, karena dari hasil penelitian ini opini WTP tidak
selalu mencerminkan tingkat kinerja keuangan yang baik.
72

DAFTAR PUSTAKA

Azhar, M. (2008). Analisis kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota


sebelum dan setelah otonomi daerah. (Tesis. Universitas Sumatera Utara).

Anifa Yasmin, 2016. “Perbandingan kinerja pemerintah kabupaten/kota yang


memperoleh opini wtp dan non wtp “. Skripsi. Universitas Lampung.
http://opac.unila.ac.id/ucs/index.php?p=show_detail&id=14152

Adisasmita, Rahardjo, 2011. Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah,Graha


Ilmu, Yogyakarta.

Bruijn, Hans De. 2002. Performance Measurement in The Public Sector: Strategies
to Cope With The Risk of Performance Measurement. Emerald Insight.

Baban Sobandi, et al. 2006. Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan


Daerah. Bandung : Humaniora Anggota IKAPI

Dora Detisa. (2008). “Hubungan pengelolaan Aset Daerah Dengan Kualitas


Laporan Keuangan Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong”. Skripsi.
Samarinda: Universitas Mulawarman.

Chan Yee Ching Lilian. 2004. Performance measurement and adoption of balanced
scorecards. Emerald Insight, Vol: 17: 188-202.

Chow, C.W., Ganulin, D., Haddad, K. and Williamson, J. 1998. The balanced
scorecard: a potent tool for energizing and focusing health-care
organization management. Journal of Health-care Management.

Greiling, Dorothea. 2005. Performance measurement in the public sector: the


German experience. Emerald Research, Vol. 54: 551-567.
73

Ghozali, I. (2011). Aplikasi analisis multivariat dengan program IBM SPSS 19. Cet,
ke-lima. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Halachmi, Arie. 2005. Performance measurement is only one way of managing


performance. International Journal of Productivity and Performance
Management. Vol. 54: 502-516.

Halim, Abdul. 2001. Definisi Keuangan Daerah : ”Akuntansi Keuangan Daerah,


Edisi 3”. Jakarta Salemba Empat.

Halim, Abdul, et.al. 2012. Teori, Konsep, dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik,
Salemba Empat, Jakarta.
Nolan, James F, Moore, Adrian, dan Segal, Geoffrey. 2003. Putting out the trash:
measuring municipal service efficiency in U.S. cities. Working Paper
Series. SSRN September Padovani.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:


Penerbit Andi.

Mardiyanto, Handono. 2008. Inti Sari Manajemen Keuangan. Jakarta: Grasindo.

Mahsun, M. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE-UGM.

Mahmudi. 2010. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit UII Press. Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan


Daerah.

Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal


Pemerintah.
74

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan


Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi


Pemerintahan.

Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Tentang


Pemerintahan Daerah. Jakarta: Direktorat Jendral Otonomi Daerah.

Republik Indonesia. Undang-Undang No.33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan


Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta:
Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Republik Indonesia. Undang-Undang No.33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan


Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta:
Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Rifka Amalia and ROHMAN, Abdul (2012) Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah
Pusat Tahun 2005 Sampai Tahun 2010. Undergraduate thesis, Fakultas
Ekonomika dan Bisnis.http://eprints.undip.ac.id/35545/

Rusdy, 2010. “Analisis Determinan Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Daerah


dan Deteksi Ilusi Fiskal (Studi Kasus Provinsi di Indonesia Tahun 2005-
2008)”. Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Diponogoro, Semarang.

Rosmiaty Tarmizi, Khairudin, Ayu Jayadi, 2014. “Analisis Kinerja Keuangan


Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung Sebelum Dan Setelah
Memperoleh Opini WTP” Jurnal Akuntansi & KeuanganVol. 5, No. 2,
September 2014 Halaman 71-90
75

Roeki Hakiki, 2017. “Analisis perbandingan kinerja keuangan pemerintah daerah


kabupaten/kota dengan opini wajar tanpa pengecualian (wtp) dan non Wtp
berbasis value for money di provinsi Lampung tahun 2011-2015” Skripsi.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung.
http://digilib.unila.ac.id/28305/

Soleh Chabib dan Rohcmansjah Heru, 2010. Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah Bandung: Fokusmedia.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Alfabeta.


Jakarta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Alfabeta.


Jakarta.

Wood, L. 1998. Local Government Dollars & Sense (Rancho Palos Verdes, CA.:
Training Shoppe).

Yang, Kaifeng dan Hsieh, Jun Yi. 2007. Managerial Effectiveness of Government
Performance Measurement: Testing a Middle-Range Model. Public
Administration Review October 2007.

Yuni Wulan Dary, M.Rizal Yahya, 2016. “Analisis Perbedaan Kinerja Keuangan
Pendapatan Asli Daerah Periode Opini Non WTtp Dan Periode Opini Wtp”
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Akuntansi (JIMEKA) Vol. 1, No. 1,
(2016) Halaman 60-73
76

LAMPIRAN 1

Tabel 4.1
Kinerja Keuangan PAD Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera
Periode Opini Non WTP
PDRB Harga PDRB Harga
Kabupaten/kota EKPPD IPM
Berlaku Konstan
1 Kota Subulussalam 2,1046 61.32 1.287 1.141
2 Kab. Humbang . H 2,968 66.03 4.413 3.407
3 Kab. Pakpak Bharat 2,9754 65.53 826 677
4 Kab. Toba Samosir 2,7168 73.40 5.622 4.552
5 Kota Binjai 2,7769 73.81 8.382 6.571
6 Kota Pematangsiantar 2,4258 76.34 10.566 7.992
7 Kota Tebing Tinggi 2,8193 72.81 4.288 3.235
8 kab. Pasaman barat 2,842 65.26 11.714 9.357
9 Kab. Sijunjung 3,1016 65.30 7.110 5.537
10 Kab. Solok Selatan 3,0998 67.09 10.153 3.268
11 Kota Padang Panjang 2,8465 75.98 2.533 2.066
12 Kota Solok 2,8733 76.83 2.964 2.307
13 Kab. Indragiri Hilir 2,9497 64.80 51.797 37.920
14 Kab. Indragiri Hulu 2,7924 68 34.583 25.791
15 Kab. Kampar 3,0175 71.28 66.285 46.314
16 Kab. Rokan Hulu 3,9857 67.29 27.160 20.801
17 Kota Pekanbaru 2,897 79.32 83.662 57.615
18 Kab. Merangin 3,2295 67.15 10.589 7.993
19 Kab. Muaro Jambi 2,6965 66.66 17.049 13.238
20 Kab. Sarolangun 3,2162 68.10 11.176 8.987
21 Kota Jambi 2,8443 75.58 21.353 15.921
22 Kab. Empat Lawang 3,2888 63.55 3.816 2.964
23 Kab. Musi Rawas 3,1092 64.11 14.101 11.050
24 Kab. Ogan Ilir 2,9143 65.35 8.168 6.118
25 Kab. Penukal Abab 30897 60.83 5.095 3.736
26 Kab. Kaur 3,0008 64.47 2.457 1.856
27 Kab. Lebong 3,0876 64.72 2.331 1.746
28 Kab. Lamsel 2,8666 65.22 31.413 24.655
29 Kab. Lamteng 2,8818 67.61 48.878 38.774
30 Kab. Pesawaran 3,8976 62.70 11.717 9.369
31 Kab. Bangka 3,1841 70.03 11.022 8.513
32 Kab. Bangka Barat 3,0667 67.23 11.473 8.749
33 Kab. Bangka Tengah 3,0069 68.66 7.056 5.272
77

Tabel 4.2
Kinerja Keuangan PAD Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera
Periode Opini WTP

Kabupaten/kota PDRB Harga PDRB Harga


EKPPD IPM
Berlaku Konstan
1 Kota Subulussalam 2,5048 62.18 1.394 1.199
2 Kab. Humbang . H 2,9558 66.56 4.776 3.578
3 Kab. Pakpak Bharat 3,0887 65.81 911 718
4 Kab. Toba Samosir 2,9071 73.61 6.140 4.770
5 Kota Binjai 2,8884 74.11 9.077 6.936
6 Kota Pematangsiantar 2,7931 76.90 11.579 8.381
7 Kota Tebing Tinggi 3,0687 73.58 4.729 3.401
8 kab. Pasaman barat 2,9002 66.03 12.795 9.855
9 Kab. Sijunjung 3,0918 66.01 7.721 5.828
10 Kab. Solok Selatan 2,5555 67.47 11.047 3.435
11 Kota Padang Panjang 2,9103 76.50 2.774 2.186
12 Kota Solok 3,0734 77.07 3.238 2.440
13 Kab. Indragiri Hilir 2,7722 65.35 57.383 39.755
14 Kab. Indragiri Hulu 2,9958 68.67 37.031 26.741
15 Kab. Kampar 2,9642 71.39 69.675 47.609
16 Kab. Rokan Hulu 2,9097 67.86 29.449 21.829
17 Kota Pekanbaru 3,0481 79.69 92.382 61.049
18 Kab. Merangin 3,3383 67.86 12.130 8.489
19 Kab. Muaro Jambi 2,5693 67.55 19.105 13.956
20 Kab. Sarolangun 3,2787 68.73 12.246 9.369
21 Kota Jambi 3,0668 76.14 24.451 17.006
22 Kab. Empat Lawang 2,8922 64 4.159 3.098
23 Kab. Musi Rawas 3,1996 64.75 15.047 11.647
24 Kab. Ogan Ilir 3,0434 65.45 8.849 6.432
25 Kab. Penukal Abab 2,0587 61.66 5.472 3.931
26 Kab. Kaur 3,1128 64.95 2.715 1.955
27 Kab. Lebong 2,7536 65.58 2.594 1.836
28 Kab. Lamsel 3,0867 66.19 34.904 25.943
29 Kab. Lamteng 3,0755 68.33 55.173 40.951
30 Kab. Pesawaran 2,9807 63.47 12.861 9.843
31 Kab. Bangka 3,2976 70.43 11.791 8.907
32 Kab. Bangka Barat 3,1249 67.60 12.260 9.153
33 Kab. Bangka Tengah 3,0755 68.76 7.470 5.428
78

LAMPIRAN 2

Descriptive Statistics
Periode Opini Non WTP

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


EKPPD 33 2,245 3,9857 27,495.94 8,577.132
IPM 33 60.83 79.32 68.2533 4.78508
PDRB_Harga_Berlaku 33 1.29 826.00 41.7034 142.14529
PDRB_Harga_Konstan 33 1.14 677.00 32.8428 116.47980
Valid N (listwise) 33

Descriptive Statistics
Periode Opini WTP

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


EKPPD 33 2.0587 3.3383 2.950973 .2534613
IPM 33 61.66 79.69 68.7952 4.68804
PDRB_Harga_Berlaku 33 1.39 911.00 45.8611 156.77393
PDRB_Harga_Konstan 33 1.20 718.00 34.6950 123.53885
Valid N (listwise) 33
79

LAMPIRAN 3

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


PDRB_Harga_ PDRB_Harga_K
EKPPD IPM Berlaku onstan
N 33 33 33 33
Normal Parametersa Mean 27,495.94 68.2533 41.7034 32.8428
Std.
8,577.132 4.78508 142.14529 116.47980
Deviation
Most Extreme Differences Absolute .324 .179 .388 .393
Positive .204 .179 .381 .393
Negative -.324 -.089 -.388 -.393
Kolmogorov-Smirnov Z 1.860 1.031 2.229 2.260
Asymp. Sig. (2-tailed) .002 .238 .000 .000
a. Test distribution is Normal.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


PDRB_Harga_ PDRB_Harga_K
EKPPD IPM Berlaku onstan
N 33 33 33 33
Normal Parametersa Mean 2.950973 68.7952 45.8611 34.6950
Std.
.2534613 4.68804 156.77393 123.53885
Deviation
Most Extreme Differences Absolute .190 .200 .388 .398
Positive .125 .200 .380 .398
Negative -.190 -.093 -.388 -.393
Kolmogorov-Smirnov Z 1.094 1.149 2.231 2.285
Asymp. Sig. (2-tailed) .183 .143 .000 .000
a. Test distribution is Normal.
80

LAMPIRAN 4

Tabel 4.7
Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair Opini_Non_WTP - -
.24324 .04234 -.62807 -.45557 32 .000
1 - Opini_WTP .54182 12.796

Tabel 4.8
Indeks Pembangunan Manusia

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair Opini_Non_WTP 339.84


3,708.402 645.550 -975.094 1,654.791 .526 32 .602
1 - Opini_WTP 8
81

Tabel 4.9
PDRB dengan harga Berlaku

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair Opini_Non_WTP -
1 - Opini_WTP 1.8521 7.06434 1.22974 -4.35706 .65275 -1.506 32 .142
5

Tabel 4.10
PDRB dengan harga konstan

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair Opini_Non_WTP -
1 - Opini_WTP 4.1577 14.64444 2.54927 -9.35039 1.03500 -1.631 32 .113
0
82
83

Anda mungkin juga menyukai